Senin, 11 Maret 2019

Dilema Pendidikan

SIMALAKAMA PENDIDIKAN

Bidang pendidikan menjadi tugas dan tanggungjawab siapa saja yang mengaku diri sebagai manusia dan menghargai kemanusiaan. Disebut tugas karena dalam hidup manusia ada yang harus diselesaikan dan dilengkapi. Disebut tanggungjawab karena dalam kehidupan pribadi dan sosial manusia selalu ada yang disebut persoalan dan kendala, yang itu tidak mungkin hilang atau sama sekali bersih dari belantara bumi.

Mengurus pendidikan bukanlah hal mudah. Bagaimana tidak, seorang guru yang mengajar dari pagi sampai siang memiliki daftar kegiatan pendidikan yang cukup padat; kegiatan edukatif dan mencerahkan, yang kesemuanya itu membutuhkan ketekunan, keterampilan, dan pengetahuan yang memadai. 

Mengurus pendidikan bukanlah hal ringan. Lihat saja, seorang guru di sebuah sekolah asrama mengurus kehidupan siswa, dari bangun tidur sampai tidur lagi; menyelesaikan masalah anak yang satu ke masalah anak yang lain; mengatasi kegaduhan, dari tekanan satu ke tekanan yang lain; mengurai kebuntuan, dari suatu disiplin ke disiplin yang lain.

Mengurus pendidikan bukanlah hal simple. Betapa kompleksitas aspek dan sisi pendidikan telah menguras pikiran dan energi setiap orang yang telah diamanatkan di pundaknya --mengurus anak-anak.

Tak luput dengan mereka yang berdomisili di pesantren. Anak didik, siswa, atau santri sebutan yang digunakan, tetap saja mereka adalah anak-anak. Mereka memiliki dunia sendiri yang, jika guru, wali kelas, atau musyrif kurang perhatian dan tidak intensif memberikan penguatan psikis, akan menjadikan mereka salah arah dan mudah terbawa oleh arus yang negatif.

Kesadaran seluruh elemen lembaga pendidikan terhadap eksistensi anak didik dengan berbagai macam masalah yang menjadi bawaan, seiring dengan perjalanan usia mereka, menuntut para guru dan pengurus garis depan pendidikan di lembaga, serta meraka yang duduk di level paling tinggi pun, untuk peduli dan memberikan atensi dan membangun kebersamaan dalam menggarap rumah besar yang disebut pendidikan.

Jangan menunggu murid bermasalah, lantas guru baru menyalahkan. Jangan tunggu guru berkasus, baru kemudian kepala sekolah memvonis. Jangan tunggu kepala sekolah salah mengambil kebijakan, baru memunculkan kesadaran pengurus yayasan untuk "ngeh", proaktif, dan terjun ke lapangan pendidikan. Tidak pula pengurus yayasan yang menyimpan misi terselubung, hingga Yang Maha Kuasa memberikan 'sentuhan langsung' dengan makar-Nya.

Di pesantren, mengurus santri adalah masalah yang berat. Lebih berat lagi mengurus yang mengajar para santri, yaitu guru atau ustadz. Siapapun, tanpa terkecuali, memiliki kemungkinan untuk berbuat yang bermanfaat, bersikap bijak, dan memberikan keteladanan, namun sebaliknya, juga bisa melakukan tindakan destruktif yang merugikan diri sendiri, nama baik lembaga, bahkan agamanya.

Jika karena beratnya persoalan anak di sekolah, madrasah atau pesantren membuat orang tidak mau mengurus anak. Lantas siapa lagi yang mau mengurus dan mendidiknya? 
Jika seorang murid di sebuah lembaga pendidikan berbuat salah; harus diusir karena melanggar disiplin berat, apakah di luar sana akan menjadi lebih baik atau lebih rusak? Namun jika tetap dipertahankan untuk meneruskan belajar, akankah menguras energi dan kekuatan para guru untuk melakukan tindakan kuratif? Ataukan justru malah membuat anak-anak yang lain menjadi turut berbuat pelanggaran?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...