Selagi Ada
Pesantren
tidak pernah tutup. Ia selalu terbuka untuk siapa saja; yang mau menjadi
santri, yang mau jadi guru, yang ingin mengabdi, yang belajar administrasi,
hingga yang menunaikan tugas memasak untuk semua penghuni pesantren, dan juga
untuk yang memberi perhatian kepada pesantren.
Pesantren
menjadi rumah kedua setelah rumah kita sesungguhnya. Hingga pada suatu
tingkatan tertentu, seseorang menjadikan pesantren sebagai ‘istri’nya, sehingga
perhatian dan perlakuannya sangat istimewa.
Pada titik
penyadaran seseorang terhadap pesantren di mana relasi seseorang dengan
pesantren begitu dekat, menunjuk pada penyatuan seseorang sebagai diri pribadi
dengna pesantren sebagai entitas yang patut untuk ditumbuhkembangkan, dibina
dan dimajukan.
Pada aspek
kebijakan, banyak yang menjadikan seseorang (khususnya yang berposisi sebagai
pengasuh, profil model, atau guru) terpanggil untuk memandang dan mencermati
pesantren sebagai kekuatan yang dapat memberikan penguatan pada pribadi para
santri.
Pada aspek
aktivitas, banyak yang mengantarkan setiap orang kepada kemampuan dan
keterampilan; mampu berinteraksi dalam pelbagai perbedaan, mampu menjalankan
tugas dengan baik dan bertanggungjawab, dan mampu belajar dalam berbagai
keadaan.
Selagi ada waktu
dan kesempatan di pesantren, semua elemen baik santri, guru maupun pengasuh,
berkhidmat dan belajar dalam peran masing-masing. Siapapun, tanpa terkecuali,
yang tinggal di pesantren siap dipimpin dan memimpin.
Selagi masih
menjadi santri, saatnya untuk mengelaborasi pesantren dalam dinamika dan
aktivitasnya. Selagi ada amanah untuk menjadi apapun di pesantren, semuanya
berbuah pengalaman, pembelajaran dan sarat dengan hikmah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar