Moh.In'ami | Ujian dan Naik Level
Tidak akan ada habisnya memperbincangkan
masalah-masalah kehidupan yang ada di sekitar kita. Setiap kita memiliki
pengalaman yang berbeda-beda dalam menghadapi setiap persoalan yang datang silih
berganti. Hidup selalu bergandengan dengan masalahnya, dan kita berusaha sekuat
tenaga menyelesaikannya dengan memohon pertolongan dari Allâh SWT.
Setiap yang
diberi hidup pasti akan mendapatkan bagiannya dalam hal ujian. Apapun ujian
yang dihadapi, baik itu masalah pribadi, problem keluarga, perjuangan untuk
kemaslahatan umat, da`wah atau menegakkan agama Allâh, kesemuanya membutuhkan
sikap cermat dan kesabaran yang utuh.
Pun tidak ada
kesempatan untuk mengelak dari apa yang sudah ditetapkan. Tidak juga dapat
menghindar dari apa yang telah ditaqdîrkan. Masing-masing di antara manusia
mendapatkannya secara adil dan merata.
Jika terdapat
seorang makhlûq yang mampu berbuat baik secara sempurna dalam ber`ibâdah kepada
Allâh dan ‘mumpuni’ dalam memberikan manfaat bagi hamba-hamba-Nya yang lain,
maka baginya bagian yang besar berupa rahmat dari sisi Allâh SWT.
1. Menyadari sifat manusia
Allâh SWT senantiasa memberikan yang terbaik kepada
makhlûq-Nya. Potensi dan kelebihan melekat pada diri manusia. Meski demikian,
manusia memiliki kesempatan untuk menjadi dirinya sendiri.
Setiap orang, saat dihadapkan pada masalah hidup, menjadi
nyata dan nampak sisi kemanusiaannya. Terhadap persoalan hidup yang susah dan
rumit itu orang cenderung mengeluh dan berkecil hati, seakan hidup ini tidak
adil. Orang menjadi beranggapan negatif terhadap Tuhan. “Mengapa kesusahan
hidup selalu menimpaku?”, atau dengan ungkapan lain “Kapan hidup keluargaku
sejahtera dan berkecukupan?”. Pertanyaan semacam itu sangat mungkin muncul dalam
kehidupan setiap orang.
Berkenaan dengan sifat bawaan manusia, Allâh memberikan
penjelasan:
“Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami,
kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata:
“Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku”. Sebenarnya
itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.” (QS: 39:
49)
Terhadap segala macam nikmat dan ujian yang datang, manusia
memiliki pilihannya sendiri. Siapapun bisa melakukannya, antara bersyukur,
mengeluh, hingga kufur. Setiap pilihan membawa konsekuensi tersendiri bagi
pelakunya.
Kecenderungan sifat manusia hendaknya mendapat perhatian
khusus. Sifat manusia yang fluktuatif hendaknya dikelola, dikendalikan, dan
diarahkan kepada hal-hal positif dan konstruktif yang menjadikan pribadi
manusia mampu menghadapi setiap tantangan yang dihadapi, ujian yang menghadang
dan cobaan yang menimpa. Bukan untuk memupuk rasa egoisme dan merasa diri lebih
baik atau lebih kuat dari yang lain.
2. Belajar dari ujian
Di manapun dan kapanpun manusia akan menemukan ujian sesuai
dengan apa yang telah Allâh SWT tetapkan. Ketentuan-Nya berlaku bagi siapapun
tanpa terkecuali. Terhadap ujian, berat ataupun ringan, yang diberikan itu
hendaknya manusia berpikir dan merenungi akan hikmah dan pelajaran berharga di
balik setiap ujian yang datang. Adakah itu peringatan, cobaan atau malah
hukuman?
Allâh telah mensinyalir keadaan manusia terhadap ujian yang
dihadapi, firman-Nya:
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya
dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”.”
(QS. 89: 15)
Untuk itulah, sikap kita adalah pilihan kita. Menghadapi
setiap ujian itu dengan sebentuk kesadaran akan kekuasaan Allâh SWT, dan
pemaknaan ketidakberdayaan kita pada titik klimaks; dengan menjadikan ujian
tersebut sebagai wahana dan media untuk meningkatkan keîmânan dan ketaqwâan.
Dengan pengertian ini, konsekuensinya setiap yang diuji dengan berbagai macam
kesulitan dan kesusahan, sikap sabar menjadi penguat kepribadiannya. Pun jika
diuji dengan berbagai macam keberlimpahan harta dan kemudahan, sikap syukur
dengan tidak melupakan bahwa apapun yang diterima adalah pemberian dan rahmat
dari Allâh SWT, kemudian ada kepuasan dalam berbagi dengan sesama.
Namun jika perasaan prasangka negatif manusia cenderung
dominan, maka akibatnya adalah sebagaimana firman-Nya:
“Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya
maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku”.” (QS. 89: 16)
Maksud ayat di atas adalah Allâh menyalahkan orang-orang yang
mengatakan bahwa kekayaan itu adalah suatu kemuliaan dan kemiskinan adalah
suatu kehinaan seperti yang tersebut pada ayat 15 dan 16. Tetapi sebenarnya
kekayaan dan kemiskinan adalah ujian Tuhan bagi hamba-hamba-Nya.
Bagi mereka yang mendapat ujian berupa kesulitan hidup
hendaknya menjadikan kesabaran sebagai hiasan kehidupannya, dengan membangun
sebuah keyakinan bahwa kesulitan itu akan segera berganti kemudahan. Dan, cepat
atau lambat, hal itu mudah bagi Allâh.
Bagi mereka yang diberi kemudahan dan kesejahteraan hidup
hendaknya mampu menunjukkan keteladanan nyata sebagaimana Rasûl saw dan para
sahabat contohkan, yaitu kemauan untuk berbagai dengan sesama, dan kepedulian
terhadap orang-orang sekitar yang berada di bawah garis kemiskinan. Jangan
dilupakan, kesadaran bahwa yang dimiliki sekarang –dalam wujud kekayaan atau
lainnya– sejatinya hanya titipan belaka. Sehingga jika Yang Maha Memiliki
mengambilnya tidak akan merasa kehilangan sedikitpun, karena hanya titipan.
Kapan saja Sang Pemilik berkehendak, akan menarik dan mencabutnya. Kesiapan
dalam bentuk yang sedemikian ini agak sulit dipraktekkan oleh mereka yang
merasa memiliki segalanya. Kadang, keberlimpahan harta dapat melalaikan
siapapun. Silakan lihat QS. 102: 1.
3. Rasûl, kekasih Allâh juga diuji
Setiap utusan Allâh membawa risâlah yang harus disampaikan
kepada umatnya. Risâlah tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan
tantangan yang diberikan. Para rasûl yang termasuk Ulûl `Azmi adalah
orang-orang yang tangguh dan sabar dalam menghadapi berbagai macam rintangan
dan ujian. Betapa menegakkan agama Allâh itu penuh dengan perjuangan baik
harta, pikiran maupun nyawa sekalipun. Perhatikan QS. 2: 124,
“Dan (ingatlah), ketika Ibrâhîm diuji Tuhannya
dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrâhîm menunaikannya.
Allâh berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imâm bagi seluruh
manusia”. Ibrâhîm berkata: “(Dan
saya mohon juga) dari keturunanku”. Allâh berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak
mengenai orang yang zhâlim”.”
Di antara ujian yang diberikan kepada Nabi Ibrâhîm `alaihissalâm
adalah membangun Ka`bah, membersihkan sekitar Ka`bah dari kemusyrikan,
mengorbankan anaknya Ismâ`îl, menghadapi raja Namrûdz dan lain-lain.
Di balik ujian yang sedemikian hebat itu, Allâh telah
mengabulkan doa Nabi Ibrâhîm, karena banyak di antara rasûl-rasûl itu adalah
keturunan Nabi Ibrâhîm. Sama halnya dengan Nabi Mûsâ yang mendapat tantangan
da`wah sangat berat. Nabi Muhammad pun juga mengalami kesulitan, dan
para rasûlpun merasakan hal yang sama, ujian dan cobaan datang silih berganti.
Namun Allâh SWT menjanjikan datangnya pertolongan, dan setiap tantangan,
kesulitan, ujian maupun cobaan semakin menambah keyakinan akan kebenaran agama
Allâh.
Intinya, jika rasûl mendapatkan ujian dan cobaan, apalagi
kita sebagai manusia biasa yang tidak mendapat pengecualian apapun dari Allâh.
Dengan diuji itulah seorang muslim menyadari bahwa ujian merupakan bagian dari
perjalanan yang episodenya harus diselesaikan dengan baik, satu per satu.
4. Refleksi ujian
Allâh SWT memberikan segala sesuatu kepada hamba-Nya
berdasarkan porsinya. Maknanya, jika kebaikan yang diberikan tidak sampai
membuat hamba-Nya lalai dari bersyukur. Pun jika keburukan yang ditimpakan
tidak akan melebihi kemampuan yang dimilikinya.
Mengapa Allâh SWT tidak memberikan beban melebihi kekuatan
manusia? Tentunya ada hikmah yang luar biasa di balik itu. Dia Yang Maha
Kuasa hendak menunjukkan kepada seluruh makhlûq-Nya bahwa ada keterbatasan pada
makhlûq dan tanpa batas pada Pencipta.
Demikian juga ada banyak kelemahan pada manusia, sementara
Tuhan Maha Sempurna. Maka makhlûq yang bernama manusia selalu mendapatkan apa
yang sepadan dengan kekuatan yang dimilikinya. Apapun yang bernama ujian dalam
hidup, hakekatnya, Allâh SWT telah sesuaikan dengan kemampuan makhlûq-Nya untuk
menghadapi hal tersebut.
“Allâh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya.” (QS. 2: 286)
Jika kesadaran
akan kesanggupan yang dimiliki oleh setiap orang dalam mengarungi bahtera kehidupan
yang penuh ombak dan badai ini maka untuk apa kita merasa berkecil hati atas
segala sesuatu yang terjadi. Bukankah beban hidup selalu dibawah kekuatan yang
diberikan Allâh pada kita. Bukankah ujian itu sesuai dengan ‘kelas’ kita.
Setiap ujian
yang menerpa selalu menjadi jalan untuk menapaki tingkatan keîmânan ke jenjang
yang lebih tinggi. Setiap cobaan menjadi batu loncatan untuk mengasah ketajaman
nalar dan kepekaan sosial. Olah jiwa sedemikian tidak diajarkan di sekolah
manapun.
Yang mendapatkan
penempaan diri sedemikian, kapan dan di mana saja, di sanalah kesempatan untuk
belajar dan menjadi pribadi yang mampu mewujudkan sikap sabar yang proaktif dan
sikap hidup yang produktif, tanpa adanya keluh kesah dan sikap apatis.
Apakah kita
telah melewati setiap ujian hidup dengan penuh kesabaran dan ‘penerimaan’?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar