Senin, 24 September 2018

Meningkat dengan UJIAN


Moh.In'ami | Ujian dan Naik Level

Tidak akan ada habisnya memperbincangkan masalah-masalah kehidupan yang ada di sekitar kita. Setiap kita memiliki pengalaman yang berbeda-beda dalam menghadapi setiap persoalan yang datang silih berganti. Hidup selalu bergandengan dengan masalahnya, dan kita berusaha sekuat tenaga menyelesaikannya dengan memohon pertolongan dari Allâh SWT.
Setiap yang diberi hidup pasti akan mendapatkan bagiannya dalam hal ujian. Apapun ujian yang dihadapi, baik itu masalah pribadi, problem keluarga, perjuangan untuk kemaslahatan umat, da`wah atau menegakkan agama Allâh, kesemuanya membutuhkan sikap cermat dan kesabaran yang utuh.
Pun tidak ada kesempatan untuk mengelak dari apa yang sudah ditetapkan. Tidak juga dapat menghindar dari apa yang telah ditaqdîrkan. Masing-masing di antara manusia mendapatkannya secara adil dan merata.
Jika terdapat seorang makhlûq yang mampu berbuat baik secara sempurna dalam ber`ibâdah kepada Allâh dan ‘mumpuni’ dalam memberikan manfaat bagi hamba-hamba-Nya yang lain, maka baginya bagian yang besar berupa rahmat dari sisi Allâh SWT.

1. Menyadari sifat manusia

Allâh SWT senantiasa memberikan yang terbaik kepada makhlûq-Nya. Potensi dan kelebihan melekat pada diri manusia. Meski demikian, manusia memiliki kesempatan untuk menjadi dirinya sendiri.
Setiap orang, saat dihadapkan pada masalah hidup, menjadi nyata dan nampak sisi kemanusiaannya. Terhadap persoalan hidup yang susah dan rumit itu orang cenderung mengeluh dan berkecil hati, seakan hidup ini tidak adil. Orang menjadi beranggapan negatif terhadap Tuhan. “Mengapa kesusahan hidup selalu menimpaku?”, atau dengan ungkapan lain “Kapan hidup keluargaku sejahtera dan berkecukupan?”. Pertanyaan semacam itu sangat mungkin muncul dalam kehidupan setiap orang.
Berkenaan dengan sifat bawaan manusia, Allâh memberikan penjelasan:
Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami ia berkata: “Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku”. Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui.” (QS: 39: 49)
Terhadap segala macam nikmat dan ujian yang datang, manusia memiliki pilihannya sendiri. Siapapun bisa melakukannya, antara bersyukur, mengeluh, hingga kufur. Setiap pilihan membawa konsekuensi tersendiri bagi pelakunya.
Kecenderungan sifat manusia hendaknya mendapat perhatian khusus. Sifat manusia yang fluktuatif hendaknya dikelola, dikendalikan, dan diarahkan kepada hal-hal positif dan konstruktif yang menjadikan pribadi manusia mampu menghadapi setiap tantangan yang dihadapi, ujian yang menghadang dan cobaan yang menimpa. Bukan untuk memupuk rasa egoisme dan merasa diri lebih baik atau lebih kuat dari yang lain.

2. Belajar dari ujian

Di manapun dan kapanpun manusia akan menemukan ujian sesuai dengan apa yang telah Allâh SWT tetapkan. Ketentuan-Nya berlaku bagi siapapun tanpa terkecuali. Terhadap ujian, berat ataupun ringan, yang diberikan itu hendaknya manusia berpikir dan merenungi akan hikmah dan pelajaran berharga di balik setiap ujian yang datang. Adakah itu peringatan, cobaan atau malah hukuman?
Allâh telah mensinyalir keadaan manusia terhadap ujian yang dihadapi, firman-Nya:
Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”.” (QS. 89: 15)
Untuk itulah, sikap kita adalah pilihan kita. Menghadapi setiap ujian itu dengan sebentuk kesadaran akan kekuasaan Allâh SWT, dan pemaknaan ketidakberdayaan kita pada titik klimaks; dengan menjadikan ujian tersebut sebagai wahana dan media untuk meningkatkan keîmânan dan ketaqwâan. Dengan pengertian ini, konsekuensinya setiap yang diuji dengan berbagai macam kesulitan dan kesusahan, sikap sabar menjadi penguat kepribadiannya. Pun jika diuji dengan berbagai macam keberlimpahan harta dan kemudahan, sikap syukur dengan tidak melupakan bahwa apapun yang diterima adalah pemberian dan rahmat dari Allâh SWT, kemudian ada kepuasan dalam berbagi dengan sesama.
Namun jika perasaan prasangka negatif manusia cenderung dominan, maka akibatnya adalah sebagaimana firman-Nya:
Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku”.” (QS. 89: 16)
Maksud ayat di atas adalah Allâh menyalahkan orang-orang yang mengatakan bahwa kekayaan itu adalah suatu kemuliaan dan kemiskinan adalah suatu kehinaan seperti yang tersebut pada ayat 15 dan 16. Tetapi sebenarnya kekayaan dan kemiskinan adalah ujian Tuhan bagi hamba-hamba-Nya.
Bagi mereka yang mendapat ujian berupa kesulitan hidup hendaknya menjadikan kesabaran sebagai hiasan kehidupannya, dengan membangun sebuah keyakinan bahwa kesulitan itu akan segera berganti kemudahan. Dan, cepat atau lambat, hal itu mudah bagi Allâh.
Bagi mereka yang diberi kemudahan dan kesejahteraan hidup hendaknya mampu menunjukkan keteladanan nyata sebagaimana Rasûl saw dan para sahabat contohkan, yaitu kemauan untuk berbagai dengan sesama, dan kepedulian terhadap orang-orang sekitar yang berada di bawah garis kemiskinan. Jangan dilupakan, kesadaran bahwa yang dimiliki sekarang –dalam wujud kekayaan atau lainnya– sejatinya hanya titipan belaka. Sehingga jika Yang Maha Memiliki mengambilnya tidak akan merasa kehilangan sedikitpun, karena hanya titipan. Kapan saja Sang Pemilik berkehendak, akan menarik dan mencabutnya. Kesiapan dalam bentuk yang sedemikian ini agak sulit dipraktekkan oleh mereka yang merasa memiliki segalanya. Kadang, keberlimpahan harta dapat melalaikan siapapun. Silakan lihat QS. 102: 1.

3. Rasûl, kekasih Allâh juga diuji

Setiap utusan Allâh membawa risâlah yang harus disampaikan kepada umatnya. Risâlah tersebut menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan tantangan yang diberikan. Para rasûl yang termasuk Ulûl `Azmi adalah orang-orang yang tangguh dan sabar dalam menghadapi berbagai macam rintangan dan ujian. Betapa menegakkan agama Allâh itu penuh dengan perjuangan baik harta, pikiran maupun nyawa sekalipun. Perhatikan QS. 2: 124,
Dan (ingatlah), ketika Ibrâhîm diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrâhîm menunaikannya. Allâh berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imâm bagi seluruh manusia”. Ibrâhîm  berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allâh berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zhâlim”.”
Di antara ujian yang diberikan kepada Nabi Ibrâhîm `alaihissalâm adalah membangun Ka`bah, membersihkan sekitar Ka`bah dari kemusyrikan, mengorbankan anaknya Ismâ`îl, menghadapi raja Namrûdz dan lain-lain.
Di balik ujian yang sedemikian hebat itu, Allâh telah mengabulkan doa Nabi Ibrâhîm, karena banyak di antara rasûl-rasûl itu adalah keturunan Nabi Ibrâhîm. Sama halnya dengan Nabi Mûsâ yang mendapat tantangan da`wah sangat berat. Nabi Muhammad pun juga mengalami kesulitan, dan para rasûlpun merasakan hal yang sama, ujian dan cobaan datang silih berganti. Namun Allâh SWT menjanjikan datangnya pertolongan, dan setiap tantangan, kesulitan, ujian maupun cobaan semakin menambah keyakinan akan kebenaran agama Allâh.
Intinya, jika rasûl mendapatkan ujian dan cobaan, apalagi kita sebagai manusia biasa yang tidak mendapat pengecualian apapun dari Allâh. Dengan diuji itulah seorang muslim menyadari bahwa ujian merupakan bagian dari perjalanan yang episodenya harus diselesaikan dengan baik, satu per satu.

4. Refleksi ujian

Allâh SWT memberikan segala sesuatu kepada hamba-Nya berdasarkan porsinya. Maknanya, jika kebaikan yang diberikan tidak sampai membuat hamba-Nya lalai dari bersyukur. Pun jika keburukan yang ditimpakan tidak akan melebihi kemampuan yang dimilikinya.
Mengapa Allâh SWT tidak memberikan beban melebihi kekuatan manusia? Tentunya ada hikmah yang luar biasa di balik itu. Dia Yang Maha Kuasa hendak menunjukkan kepada seluruh makhlûq-Nya bahwa ada keterbatasan pada makhlûq dan tanpa batas pada Pencipta.
Demikian juga ada banyak kelemahan pada manusia, sementara Tuhan Maha Sempurna. Maka makhlûq yang bernama manusia selalu mendapatkan apa yang sepadan dengan kekuatan yang dimilikinya. Apapun yang bernama ujian dalam hidup, hakekatnya, Allâh SWT telah sesuaikan dengan kemampuan makhlûq-Nya untuk menghadapi hal tersebut.
Allâh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. 2: 286)
Jika kesadaran akan kesanggupan yang dimiliki oleh setiap orang dalam mengarungi bahtera kehidupan yang penuh ombak dan badai ini maka untuk apa kita merasa berkecil hati atas segala sesuatu yang terjadi. Bukankah beban hidup selalu dibawah kekuatan yang diberikan Allâh pada kita. Bukankah ujian itu sesuai dengan ‘kelas’ kita.
Setiap ujian yang menerpa selalu menjadi jalan untuk menapaki tingkatan keîmânan ke jenjang yang lebih tinggi. Setiap cobaan menjadi batu loncatan untuk mengasah ketajaman nalar dan kepekaan sosial. Olah jiwa sedemikian tidak diajarkan di sekolah manapun.
Yang mendapatkan penempaan diri sedemikian, kapan dan di mana saja, di sanalah kesempatan untuk belajar dan menjadi pribadi yang mampu mewujudkan sikap sabar yang proaktif dan sikap hidup yang produktif, tanpa adanya keluh kesah dan sikap apatis.
Apakah kita telah melewati setiap ujian hidup dengan penuh kesabaran dan ‘penerimaan’? ž







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...