Selasa, 01 Mei 2018

Meningkatkan Keimanan


Moh.In'ami | Upgrading Îmân



Untuk berîmân, seseorang butuh penalaran dan spontanitas; penalaran lebih mengedepankan kekuatan rasio ketimbang aspek lainnya, sedangkan spontanitas membutuhkan instuisi yang bekerja secara maksimal.
Baik melalui penalaran maupun spontanitas, siapapun yang mengaku telah berîmân, pasti mengalami ujian dan cobaannya sendiri. Ujian atau cobaan itu akan menjadi berbeda jauh antara satu orang dengan lainnya; perbedaan itu pada model, takaran, tata cara, hingga levelnya.
Menjadi seorang yang berîmân, siapapun, dengan sungguh-sungguh merupakan keinginan nurani setiap manusia. Melalui fithrahnya, manusia memposisikan Îmân sebagai sebuah kebutuhan dan kepentingan. Îmân yang belum dianggap sebagai kebutuhan akan menjadikan jiwa seseorang mudah goyah oleh berbagai macam godaan dan ujian hidup. Îmân yang belum dijadikan sebagai kepentingan dalam kehidupan seseorang akan menjadikannya cepat menggadaikan Îmân dengan sesuatu yang sama sekali tidak berharga.
Apapun yang dilakukan oleh seorang yang dirinya mengaku berîmân, baik berupa amal atau sebentuk perhatian terhadap agama, adalah bagian dari manifestasi Îmân itu sendiri. Lebih-lebih bila Îmân itu telah mengakar dan menjadi hiasan bagi pribadi seseorang.
Siapapun yang menjadi sadar akan adanya Îmân dalam dirinya, tentu akan membuktikan keîmânan itu dalam berbagai aspek kehidupan. Besar atau kecil bukti yang dilahirkan membawa pengaruh yang signifikan bagi orang yang berîmân dan bagi siapa saja yang menyadari adanya urgensi keîmânan dalam kehidupan ini.
Usaha keras dalam rangka membuktikan adanya keîmânan dalam bentuk amal nyata itulah yang memperkuat pribadi seseorang menjadi hamba Allâh yang benar-benar yakin dan tidak ragu akan kekuasaan dan kekuatan dari-Nya.
Maka, mengikuti isyârat sebagaimana dimaksudkan dalam ungkapan “orang-orang yang berîmân”, dalam surat Al-Anfâl ayat 2 di atas adalah orang yang sempurna Îmânnya, merupakan ikhtiar yang harus dilakukan dan tanpa henti.
Sungguh Allâh SWT memberikan prioritas bagi mereka yang berîmân, dan isyârat sebagaimana dalam Al-Anfâl ayat 2 merupakan titik tolak seseorang untuk menjaga, mempertahankan, dan meningkatkan keîmânan kepada-Nya.
Pun tidak dapat ditinggalkan bahwa menyebut sifat-sifat yang mengagungkan Allâh SWT dan memuliakan-Nya, menjadi jalan untuk meneguhkan keîmânan. Dan bagi orang yang mendengar nama Allâh disebut “gemetarlah hati mereka” dan menikmati bacaan dari ayat-ayat-Nya akan menemukan “bertambahlah Îmân”, sebagaimana QS. 8: 2, merupakan anugerah dan petunjuk yang luar biasa bagi kehidupan seorang yang mengaku dirinya berîmân. 
Yang mesti kita waspadai adalah Îmân yang tidak konstan, labil dan fluktuatif. Ingat sabda Nabi saw: “Sungguh ajaib urusan kaum mukmin karena semua urusannya baik, dan itu tidak dialami kecuali oleh orang mukmin, apabila ditimpa kebaikan dia bersyukur dan itu lebih baik baginya dan apabila ditimpa kesusahan dia sabar dan itu kebaikan baginya.” (HR. Muslim)

1. Indikator keîmânan

Îmân merupakan sesuatu yang abstrak, tidak dapat dilihat dengan mata. Îmân adalah bagian yang non-fisik dari setiap orang yang mengaku dirinya berîmân. Dan memahami keîmânan dapat diperhatikan melalui ikrar dalam batin yang paling dalam, dari bagaimana seseorang berbicara, dan bentuk amal perbuatan yang dilakukan. Hal ini sesuai dengan definisi Îmân itu sendiri; peneguhan dalam hati, pengucapan dengan lisân, dan pengamalan dalam wujud perbuatan.
Kesehatan Îmân seseorang dapat dilihat dari keteguhan hatinya dalam berbagai macam ujian yang menimpa, ucapan yang mengarah kepada kebaikan, dan perbuatan yang senantiasa dalam keridhâan Allâh SWT. Îmân seseorang yang sehat adalah yang mengantarkannya kepada ketaatan penuh kapada Rabb-Nya. Sebaliknya, Îmân yang tidak sehat adalah yang menjadikan seseorang bergelÎmâng dosa, cenderung kepada maksiat, jauh dari Allâh SWT.
Ingat, bahwa Rasûl saw banyak memberikan petunjuk kepada keîmânan yang benar; “Tidaklah berîmân seseorang sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”, “Tidak berîmân seseorang sehingga ia mampu menjadikan hawâ nafsunya mau mengikuti apa saja yang dibawa Rasûl saw”, “Tidaklah berîmân seseorang yang tidak amânah.” Dan masih banyak lagi.
Melalui sabda Nabi saw itulah kita menandai pribadi kita dalam setiap aspek kehidupan, agar petunjuk kepada keîmânan yang benar itu dapat direalisasikan dalam kehidupan nyata. Dan melalui indikator keîmânan itu hendaknya kita melihat, merefleksikan diri, dan bergerak: melihat untuk mengetahui dan mengerti tanda-tanda keîmânan; kemudian melihat ke dalam diri, mana yang telah dirasakan dan dinikmati, serta mana saja yang masih belum bisa didapat, segera merefleksikan keîmânan itu dalam diri, dan selanjutnya menggerakkan keîmânan yang sudah diketahui dan dimengerti itu dalam kehidupan sehari-hari.

2. Perkuat Îmân

Setiap orang muslim hendaknya menyadari adanya keîmânan yang tertanam di kedalaman hati. Kesadaran akan keberadaan Îmân ini akan menjadikan setiap gerak dan perilaku menjadi terarah dan terbimbing.
Betapa kehidupan dengan segala ujian dan fitnahnya banyak mengantarkan sebagian orang ke arah yang jauh dari Allâh, Rabbul `âlamîn. Orang yang jauh dari-Nya ini tidak merasa bahwa Îmân menjadi bagian penting yang tidak dapat dengan mudah diremehkan atau disepelekan. Apalagi dianggap sebagai ‘barang’ tidak bermanfaat. Allâh memperingatkan,
Adapun orang-orang yang berîmân, maka surat ini menambah Îmânnya.” (QS. 9: 124)
Maksud ayat di atas adalah apabila diturunkan suatu surat kepada Nabi saw maka di antara orang-orang munâfiq ada yang berkata: “Siapakah di antara kamu yang bertambah Îmânnya dengan (turunnya) surat ini?” Maka ayat di atas merupakan penjelasan yang nyata bagi siapa saja yang teguh dalam menjaga keîmânannya.
Setiap perjalanan hidup kita, apa saja yang berupa ujian, fitnah dan cobaan akan datang silih berganti. Îmân yang ada dalam diri kita diuji, seberapa kuat menghadapi berbagai macam ujian tersebut. Maka tidak ada pilihan lain kecuali memperkuat keîmânan kita. Oleh sebab Îmân akan membuat kita konsisten, istiqâmah dan selalu berada di jalan yang lurus.
Kita mesti memperkuat keîmânan, tidak ada pewarisan Îmân dari seorang ayah yang muslim kepada anaknya. Kita yang harus meneguhkan Îmân, tidak ada orang yang putus asa kecuali mereka yang kehilangan Îmân. Seharusnya kita pula yang memantapkan Îmân kita, karena Îmân tidak dapat diperjualbelikan.
Rasûlullâh saw memberikan peringatan, “Bersegeralah kalian mengerjakan amal-amal shâlih sebelum terjadi fitnah (bencana) yang menyerupai kepingan-kepingan malam yang gelap gulita, yaitu seseorang di waktu pagi berîmân tapi pada waktu sore ia telah kâfir, atau pada waktu sore ia berîmân dan pada pagi harinya ia telah kâfir, ia rela menjual agamanya dengan secuil keuntungan dunia.” (HR. Muslim)
Jika kita pernah gelisah berkenaan dengan keîmânan yang dimiliki berarti Îmân kita itu hidup. Dan kegelisahan Îmân itu menjadikan diri kita terus berupaya untuk melakukan perbaikan diri dan pemenuhan kebutuhan jiwa, hingga kita merasa butuh dan mau mendekatkan diri kepada Allâh SWT.

3. Aktualisasi Îmân

Setiap yang tidak nampak, seperti rûh yang ada dalam diri kita, membutuhkan tempat yang layak, yaitu jasmani kita. Dengan adanya rûh itulah jasmani kita bisa hidup dan beraktivitas, sebaliknya tanpa rûh manusia mengalami kematian.
Demikian juga halnya dengan Îmân. Îmân begitu dekat dengan hati, ucapan, dan perbuatan. Setiap Îmân membutuhkan tempat yang tepat. Hati menjadi pangkalan dari setiap unsur yang mengandung arti percaya ataupun yakin. Ucapan menjadi bukti atas unsur yang bersarang dalam hati.
Sementara perbuatan menjadi indikator atas hati dan ucapan yang bersinergi. Maknanya, setiap ada orang yang mengaku, dalam hati, berîmân tetapi lisânnya tidak ada pernyataan yang jelas tentang keîmânan itu berarti belum sepenuhnya berîmân, apalagi tidak ditindaklanjuti dengan bentuk nyata keîmânan dalam wujud perbuatan.  Rasûlullâh pernah ditanya seseorang, “Wahai Rasûlullâh, siapakah manusia yang utama?” Jawab Nabi, “Seorang mukmin yang berjuang dengan jiwa dan hartanya untuk menegakkan agama Allâh.” “Kemudian siapa?” “Seorang yang menyendiri dan menghindari manusia dari kejahatannya.” (HR. Bukhâri dan Muslim) (Cahyadi, 2001)
Mengaktualisasikan Îmân adalah konsistensi antara hati, lisân dan perbuatan. Tidak ada Îmân parsial, tidak ada Îmân sebagian, atau hanya percaya tatkala sesuatu menjadi keharusan dan menganggap yang lain tidak. Jika sebagian saja dari “Rukun Îmân” yang dipercayai tentu sebagian lain didustakan. Maka, pilihan tepat bagi setiap muslim adalah mengaktualisasi Îmân yang mengarah pada model berîmân secara total.
Dan yang termasuk aktualisasi Îmân adalah kemampuan diri untuk mengejawantahkan berbagai macam kebaikan yang direkomendasikan Allâh dan Rasûl-Nya; kemampuan untuk mencegah segala hal yang berbau kemaksiatan dengan lisânnya, kemampuan untuk menegakkan yang ma`rûf dengan kekuatan yang dimiliki, kekuasaan yang dipegang, dan tidak sekedar ‘melawan’ larangan Allâh dengan hatinya. Ingat, bahwa di sana terdapat sekian banyak cabang Îmân yang bisa dijadikan hiasan diri.
Persoalannya adalah, kapan kita mengevaluasi diri; sehatkah Îmân kita, sakitkah Îmân yang ada pada diri kita, atau malah kita tidak lagi peduli dalam persoalan ini? Apakah kita sekedar mengaku berîmân tetapi tidak mau menerima cobaan dan ujian dari Allâh SWT?
Firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang berîmân ialah mereka yang bila disebut nama Allâh gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah Îmân mereka (karenanya).” (QS. 8: 2)
Kita memohon kepada Allâh untuk penjagaan Îmân kita. Wallâhul musta`ân.ž





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...