Moh.In'ami | Upgrading Îmân
Untuk berîmân, seseorang butuh penalaran
dan spontanitas; penalaran lebih mengedepankan kekuatan rasio ketimbang aspek
lainnya, sedangkan spontanitas membutuhkan instuisi yang bekerja secara
maksimal.
Baik melalui
penalaran maupun spontanitas, siapapun yang mengaku telah berîmân, pasti
mengalami ujian dan cobaannya sendiri. Ujian atau cobaan itu akan menjadi
berbeda jauh antara satu orang dengan lainnya; perbedaan itu pada model,
takaran, tata cara, hingga levelnya.
Menjadi seorang
yang berîmân, siapapun, dengan sungguh-sungguh merupakan keinginan nurani
setiap manusia. Melalui fithrahnya, manusia memposisikan Îmân sebagai sebuah
kebutuhan dan kepentingan. Îmân yang belum dianggap sebagai kebutuhan akan
menjadikan jiwa seseorang mudah goyah oleh berbagai macam godaan dan ujian
hidup. Îmân yang belum dijadikan sebagai kepentingan dalam kehidupan seseorang
akan menjadikannya cepat menggadaikan Îmân dengan sesuatu yang sama sekali
tidak berharga.
Apapun yang
dilakukan oleh seorang yang dirinya mengaku berîmân, baik berupa amal atau
sebentuk perhatian terhadap agama, adalah bagian dari manifestasi Îmân itu
sendiri. Lebih-lebih bila Îmân itu telah mengakar dan menjadi hiasan bagi
pribadi seseorang.
Siapapun yang
menjadi sadar akan adanya Îmân dalam dirinya, tentu akan membuktikan keîmânan
itu dalam berbagai aspek kehidupan. Besar atau kecil bukti yang dilahirkan
membawa pengaruh yang signifikan bagi orang yang berîmân dan bagi siapa saja
yang menyadari adanya urgensi keîmânan dalam kehidupan ini.
Usaha keras
dalam rangka membuktikan adanya keîmânan dalam bentuk amal nyata itulah yang
memperkuat pribadi seseorang menjadi hamba Allâh yang benar-benar yakin dan
tidak ragu akan kekuasaan dan kekuatan dari-Nya.
Maka, mengikuti
isyârat sebagaimana dimaksudkan dalam ungkapan “orang-orang yang berîmân”,
dalam surat Al-Anfâl ayat 2 di atas adalah orang yang sempurna Îmânnya,
merupakan ikhtiar yang harus dilakukan dan tanpa henti.
Sungguh Allâh
SWT memberikan prioritas bagi mereka yang berîmân, dan isyârat sebagaimana
dalam Al-Anfâl ayat 2 merupakan titik tolak seseorang untuk menjaga,
mempertahankan, dan meningkatkan keîmânan kepada-Nya.
Pun tidak dapat
ditinggalkan bahwa menyebut sifat-sifat yang mengagungkan Allâh SWT dan
memuliakan-Nya, menjadi jalan untuk meneguhkan keîmânan. Dan bagi orang yang
mendengar nama Allâh disebut “gemetarlah hati mereka” dan menikmati
bacaan dari ayat-ayat-Nya akan menemukan “bertambahlah Îmân”,
sebagaimana QS. 8: 2, merupakan anugerah dan petunjuk yang luar biasa bagi
kehidupan seorang yang mengaku dirinya berîmân.
Yang mesti kita
waspadai adalah Îmân yang tidak konstan, labil dan fluktuatif. Ingat sabda Nabi
saw: “Sungguh ajaib urusan kaum mukmin karena semua urusannya baik, dan itu
tidak dialami kecuali oleh orang mukmin, apabila ditimpa kebaikan dia bersyukur
dan itu lebih baik baginya dan apabila ditimpa kesusahan dia sabar dan itu
kebaikan baginya.” (HR. Muslim)
1. Indikator keîmânan
Îmân merupakan sesuatu yang abstrak, tidak dapat dilihat
dengan mata. Îmân adalah bagian yang non-fisik dari setiap orang yang mengaku
dirinya berîmân. Dan memahami keîmânan dapat diperhatikan melalui ikrar dalam
batin yang paling dalam, dari bagaimana seseorang berbicara, dan bentuk amal
perbuatan yang dilakukan. Hal ini sesuai dengan definisi Îmân itu sendiri; peneguhan
dalam hati, pengucapan dengan lisân, dan pengamalan dalam wujud perbuatan.
Kesehatan Îmân seseorang dapat dilihat dari keteguhan hatinya
dalam berbagai macam ujian yang menimpa, ucapan yang mengarah kepada kebaikan,
dan perbuatan yang senantiasa dalam keridhâan Allâh SWT. Îmân seseorang yang
sehat adalah yang mengantarkannya kepada ketaatan penuh kapada Rabb-Nya.
Sebaliknya, Îmân yang tidak sehat adalah yang menjadikan seseorang bergelÎmâng
dosa, cenderung kepada maksiat, jauh dari Allâh SWT.
Ingat, bahwa Rasûl saw banyak memberikan petunjuk kepada
keîmânan yang benar; “Tidaklah berîmân seseorang sehingga ia mencintai
saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”, “Tidak berîmân seseorang
sehingga ia mampu menjadikan hawâ nafsunya mau mengikuti apa saja yang dibawa
Rasûl saw”, “Tidaklah berîmân seseorang yang tidak amânah.” Dan masih banyak
lagi.
Melalui sabda Nabi saw itulah kita menandai pribadi kita
dalam setiap aspek kehidupan, agar petunjuk kepada keîmânan yang benar itu
dapat direalisasikan dalam kehidupan nyata. Dan melalui indikator keîmânan itu
hendaknya kita melihat, merefleksikan diri, dan bergerak: melihat untuk
mengetahui dan mengerti tanda-tanda keîmânan; kemudian melihat ke dalam diri,
mana yang telah dirasakan dan dinikmati, serta mana saja yang masih belum bisa
didapat, segera merefleksikan keîmânan itu dalam diri, dan selanjutnya
menggerakkan keîmânan yang sudah diketahui dan dimengerti itu dalam kehidupan
sehari-hari.
2. Perkuat Îmân
Setiap orang muslim hendaknya menyadari adanya keîmânan yang
tertanam di kedalaman hati. Kesadaran akan keberadaan Îmân ini akan menjadikan
setiap gerak dan perilaku menjadi terarah dan terbimbing.
Betapa kehidupan dengan segala ujian dan fitnahnya banyak
mengantarkan sebagian orang ke arah yang jauh dari Allâh, Rabbul `âlamîn.
Orang yang jauh dari-Nya ini tidak merasa bahwa Îmân menjadi bagian penting
yang tidak dapat dengan mudah diremehkan atau disepelekan. Apalagi dianggap
sebagai ‘barang’ tidak bermanfaat. Allâh memperingatkan,
“Adapun orang-orang yang berîmân, maka surat ini menambah
Îmânnya.” (QS. 9: 124)
Maksud ayat di atas adalah apabila diturunkan suatu surat
kepada Nabi saw maka di antara orang-orang munâfiq ada yang berkata: “Siapakah
di antara kamu yang bertambah Îmânnya dengan (turunnya) surat ini?” Maka ayat
di atas merupakan penjelasan yang nyata bagi siapa saja yang teguh dalam
menjaga keîmânannya.
Setiap perjalanan hidup kita, apa saja yang berupa ujian,
fitnah dan cobaan akan datang silih berganti. Îmân yang ada dalam diri kita
diuji, seberapa kuat menghadapi berbagai macam ujian tersebut. Maka tidak ada
pilihan lain kecuali memperkuat keîmânan kita. Oleh sebab Îmân akan membuat
kita konsisten, istiqâmah dan selalu berada di jalan yang lurus.
Kita mesti memperkuat keîmânan, tidak ada pewarisan Îmân dari
seorang ayah yang muslim kepada anaknya. Kita yang harus meneguhkan Îmân, tidak
ada orang yang putus asa kecuali mereka yang kehilangan Îmân. Seharusnya kita
pula yang memantapkan Îmân kita, karena Îmân tidak dapat diperjualbelikan.
Rasûlullâh saw memberikan peringatan, “Bersegeralah kalian
mengerjakan amal-amal shâlih sebelum terjadi fitnah (bencana) yang
menyerupai kepingan-kepingan malam yang gelap gulita, yaitu seseorang di waktu
pagi berîmân tapi pada waktu sore ia telah kâfir, atau pada waktu sore ia
berîmân dan pada pagi harinya ia telah kâfir, ia rela menjual agamanya dengan
secuil keuntungan dunia.” (HR. Muslim)
Jika kita pernah gelisah berkenaan dengan keîmânan yang
dimiliki berarti Îmân kita itu hidup. Dan kegelisahan Îmân itu menjadikan diri
kita terus berupaya untuk melakukan perbaikan diri dan pemenuhan kebutuhan
jiwa, hingga kita merasa butuh dan mau mendekatkan diri kepada Allâh SWT.
3. Aktualisasi Îmân
Setiap yang tidak nampak, seperti rûh yang ada dalam diri
kita, membutuhkan tempat yang layak, yaitu jasmani kita. Dengan adanya rûh
itulah jasmani kita bisa hidup dan beraktivitas, sebaliknya tanpa rûh manusia
mengalami kematian.
Demikian juga halnya dengan Îmân. Îmân begitu dekat dengan
hati, ucapan, dan perbuatan. Setiap Îmân membutuhkan tempat yang tepat. Hati
menjadi pangkalan dari setiap unsur yang mengandung arti percaya ataupun yakin.
Ucapan menjadi bukti atas unsur yang bersarang dalam hati.
Sementara perbuatan menjadi indikator atas hati dan ucapan
yang bersinergi. Maknanya, setiap ada orang yang mengaku, dalam hati, berîmân
tetapi lisânnya tidak ada pernyataan yang jelas tentang keîmânan itu berarti
belum sepenuhnya berîmân, apalagi tidak ditindaklanjuti dengan bentuk nyata
keîmânan dalam wujud perbuatan.
Rasûlullâh pernah ditanya seseorang, “Wahai Rasûlullâh, siapakah manusia
yang utama?” Jawab Nabi, “Seorang mukmin yang berjuang dengan jiwa dan hartanya
untuk menegakkan agama Allâh.” “Kemudian siapa?” “Seorang yang menyendiri dan
menghindari manusia dari kejahatannya.” (HR. Bukhâri dan Muslim) (Cahyadi,
2001)
Mengaktualisasikan Îmân adalah konsistensi antara hati, lisân
dan perbuatan. Tidak ada Îmân parsial, tidak ada Îmân sebagian, atau hanya
percaya tatkala sesuatu menjadi keharusan dan menganggap yang lain tidak. Jika
sebagian saja dari “Rukun Îmân” yang dipercayai tentu sebagian lain didustakan.
Maka, pilihan tepat bagi setiap muslim adalah mengaktualisasi Îmân yang
mengarah pada model berîmân secara total.
Dan yang termasuk aktualisasi Îmân adalah kemampuan diri
untuk mengejawantahkan berbagai macam kebaikan yang direkomendasikan Allâh dan
Rasûl-Nya; kemampuan untuk mencegah segala hal yang berbau kemaksiatan dengan
lisânnya, kemampuan untuk menegakkan yang ma`rûf dengan kekuatan yang dimiliki,
kekuasaan yang dipegang, dan tidak sekedar ‘melawan’ larangan Allâh dengan
hatinya. Ingat, bahwa di sana terdapat sekian banyak cabang Îmân yang bisa
dijadikan hiasan diri.
Persoalannya
adalah, kapan kita mengevaluasi diri; sehatkah Îmân kita, sakitkah Îmân yang
ada pada diri kita, atau malah kita tidak lagi peduli dalam persoalan
ini? Apakah kita sekedar mengaku berîmân tetapi tidak mau menerima cobaan dan
ujian dari Allâh SWT?
Firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang
yang berîmân ialah mereka yang bila disebut nama Allâh gemetarlah hati mereka,
dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah Îmân mereka (karenanya).”
(QS. 8: 2)
Kita memohon
kepada Allâh untuk penjagaan Îmân kita. Wallâhul musta`ân.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar