Moh.In'ami | Menyongsong Hidup Berkah
Hidup adalah anugerah yang luar biasa
dari Dzat Yang Maha Hidup. Anugerah yang besar bagi setiap makhlûq itu
menjadikannya untuk terus dan menyadari bahwa pengabdian, aktivitas dan
motivasi dalam hal apa saja selalu merujuk kepada-Nya, Allâh SWT.
Allâh SWT
menciptakan manusia, sebagaimana QS. 51: 56,
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”,
yang secara
eksplisit adalah untuk misi utama, yaitu ber`ibâdah kepada-Nya.
Sebagai muslim,
mengupayakan diri untuk senantiasa memiliki cara hidup yang Islâmi sekaligus
menerapkannya dalam hidup keseharian adalah wujud nyata keislâmannya. Cara
hidup yang Islâmi itu dibangun atas dasar kesadaran menegakkan aturan, tatanan
dan mekanisme yang telah Allâh SWT sediakan dan siapkan. Tidak ada seorangpun
yang mengaku dirinya muslim lantas dengan seenaknya meninggalkan syarî`at atau
bahkan mengabaikannya.
Menegakkan
syarî`at Allâh, di manapun kita berada, menjadi salah satu jalan menuju
keberkahan hidup. Fî ayyi ardhin tatha` fa anta mas’ûlun `an islâmihâ.
Di bumi manapun kamu berpijak, singgah dan tinggal, maka kamu mempunyai
tanggungjawab atas keislamânnya. Benarkah hanya dengan bersyahâdat saja orang
bisa merasakan berkahnya hidup?
Untuk menggapai
hidup berkah dapat dilakukan dengan,
1. Membiasakan sifat malu yang positif
Sudah menjadi fithrah manusia untuk merasa malu terhadap
hal-hal yang dipandang tidak senonoh –tidak patut dan tidak sopan–, buruk dan
mengandung unsur maksiat. Keberadaan sifat malu pada diri seseorang adalah
keniscayaan dan merupakan suatu kontrol dalam setiap tindakan.
Sifat malu yang merupakan kontrol dalam setiap tindakan
tersebut dapat dimaknai sebagai anugerah yang besar dari Allâh. Tentunya, rasa
malu di sini dalam hal yang bersifat negatif –merasa malu jika berbuat maksiat
atau yang bertentangan dengan aturan Allâh.
Keberadaan rasa malu ini menjadi kekuatan yang mampu melawan
setiap ajakan ataupun pengaruh yang mengarah kepada perbuatan yang buruk dan
tindakan yang jauh dari ketaatan kepada Allâh. Justru dengan adanya rasa malu
inilah seseorang dapat dilihat kekuatan dirinya dan keîmânan yang melekat
padanya.
Sebagai muslim, merasa malu untuk berbuat aniaya adalah
tindakan positif. Sebagai muslim, merasa malu untuk mengambil hak orang lain
adalah kebiasaan positif. Sebagai muslim, ia merasa malu jika dalam kehidupan
keseharian tidak pernah peduli dan tidak pula memberi perhatian terhadap
tetangganya. Sebagai muslim, ia merasa malu jika mulutnya senantiasa memakan
barang dan makanan yang tidak halal.
Sabda Nabi saw, “Malu adalah sebagian dari Îmân”, setidaknya
dapat diterjemahkan dalam model seperti di atas. Dalam redaksi yang lain dapat
dikatakan bahwa jika Anda masih memiliki rasa malu berarti Anda berîmân. Jika
rasa malu sudah hilang dari diri seseorang maka apa bedanya manusia dengan
binatang?
2. Mensyukuri apa yang ada
Jika seseorang menghendaki untuk bersyukur atas apapun yang
diberikan oleh Allâh, maka bersyukur atas apa yang ada merupakan suatu
keharusan. Jika seserang berkeinginan untuk mensyukuri limpahan –rahmat,
karunia dan hidâyah– Allâh, maka apa yang ada itulah yang layak mendapat
apresiasi.
Sangat jelas sekali apa yang menjadi referensi, disebutkan
dalam QS. 14: 7,
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan,
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu,
dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzâb-Ku sangat pedih.”
Seorang makhlûq yang mau bersyukur berarti ia telah menikmati
dan merasakan adanya banyak kenikmatan yang telah ia terima. Orang yang
bersyukur dalam setiap kenikmatan adalah hal yang wajar. Namun, adakah orang
yang mampu melihat setiap kesulitan, kesempitan, dan bahkan ujian hidup yang
dihadapi sebagai sesuatu yang juga patut disyukuri?
Allâh SWT tidak pernah berhenti memberi: saat seorang hamba
melupakan-Nya, Dia tetap saja memberi; pada saat manusia sibuk dengan urusan
dunia dan melupakan urusan âkhirat, Allâh tetap dan terus memberi; saat orang
mengakui bahwa segala kesuksesan yang diraih dan kekayaan yang dimiliki sebagai
hasil jerih payah dan usahanya, dan melupakan Dzat Yang Maha Memberi, Dia
senantiasa saja memberi.
Masih adakah alasan bagi seorang muslim untuk tidak
bersyukur? Argumen apakah yang dibangun oleh seorang muslim ketika ia tidak
lagi sempat bersyukur?
Maka sebaiknya menyatakan pada diri sendiri dan dengan apa
adanya menyebut, “Syukuri apa yang ada. Hidup adalah anugerah.”
3. Memiliki tutur kata dan komunikasi yang
baik
Interaksi individu dengan yang lain menjadi sulit dihindari.
Orang saling berbagi manfaat, ide dan perencanaan. Bersinggungan dengan orang
lain dalam taraf yang wajar merupakan sebentuk keakraban. Pada saat itulah
masing-masing berkesempatan untuk menunjukkan kemampuan dalam bertutur kata dan
berkomunikasi. Siapapun memiliki karakter dalam hal ini. Sehingga tidak perlu
dipaksakan untuk dapat sepadan, seirama ataupun sesuai dengan gaya orang lain.
Dalam bentuk interaksi sebagaimana di atas, siapapun
hendaknya sadar dan mau memahami serta menghormati kebebasan orang lain;
kebebasan untuk berpendapat, menyampaikan aspirasi, atau menyatakan sepakat
ataupun sebaliknya. Kebebasan itu didasari dengan rasa yang tinggi dalam hal
bahwa orang lain pun memiliki kebebasan itu, sehingga ketika orang menggunakan
kebebasan yang dimilikinya tidak lantas menganggu, menerjang ataupun merusak
kebebasan yang dimiliki orang lain.
Tutur kata dan komunikasi yang baik merupakan sebuah
kepiawaian yang bisa dimiliki oleh siapapun. Terhadap siapapun, kepiawaian itu
dimanfaatkan dan digunakan untuk kepentingan dan kemaslahatan yang lebih besar,
yang selalu mengikuti bagaimana kehendak Allâh, sebagai Sang Pencipta, dan
kuasa-Nya. Kepentingan dan kemaslahatan itu adalah untuk membumikan agama Allâh
dalam semesta-Nya.
Tutur kata dan komunikasi yang baik tidak bisa lepas dari
senyum yang tulus. Dan senyum yang tulus itu membuktikan bahwa antara satu
dengan yang lain tidak ada masalah yang berarti, saling memaafkan, dan tidak
ada perasaan lebih tinggi dari yang lainnya. Senyum kepada saudaramu sesama
muslim bisa berarti sedekah.
Jika senyum sudah mengawali dalam setiap pertemuan, maka sapa
akan menjadi tahapan berikutnya yang menjadikan suasana lebih akrab dan tidak
canggung. Pada akhirnya salam menjadi bagian penting untuk saling mendo’akan,
mempererat ukhuwwah yang dibangun, dan menunjukkan adanya rasa saling mencintai
–sebagai saudara sesama muslim.
Nabi saw bersabda, “Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan
yang jika kalian kerjakan, maka kalian akan dapat saling mencintai? Beliau
bersabda: Tebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim)
4. Berbakti kepada kedua orangtua
Untuk mewujudkan hidup berkah hendaknya seorang muslim
menyadari dari mana ia berasal, siapa yang menjadi perantara hadirnya dalam
kehidupan nyata, dan kepada siapa ia mesti bersikap hormat.
Seorang anak yang shâlih tentu mampu merealisasikan
keshâlihannya itu dalam praktek nyata; menjaga, merawat, dan menunjukkan
dharma bakti kepada kedua orangtua. Jika mereka masih hidup, menjadi tugas yang
utama untuk melayani mereka sebagaimana mereka telah mengurus, merawat dan
membesarkan sang anak.
Berbakti kepada kedua orangtua menjadi tugas utama setiap
orang yang mengaku sebagai anak. Keberadaan orangtua menjadi indikator bagi
keberadaan anak. Tidak ada seorang anak yang lahir kecuali kedua orangtuanya
yang telah mengantarkan keberadaannya –dengan izin dan kuasa Allâh.
Jika ada seorang anak yang terlahir dari sebongkah batu,
tentu saja hal itu adalah dongeng atau imajinasi belaka. Logika manusia sudah
terbangun sejak manusia itu ada. Logika yang menyatakan bahwa hanya manusia
yang akan melahirkan anak manusia.
Menjadi tugas orangtua untuk mendidik anak tentang berbagai
hal, prioritasnya adalah mengajarkan tauhid bagi kehidupannya. Seorang
anak yang lurus dalam tauhid akan menjadi investasi bagi kedua
orangtuanya.
Menjadi tugas anak untuk mewujudkan baktinya kepada kedua
orangtuanya. Menjadi tugas anak untuk membahagiakan orangtua. Menjadi tugas
anak untuk berbakti kepada keduanya, apakah saat masih hidup maupun sudah
meninggal dunia.
Adalah suatu pengabdian yang bernilai tinggi antara sesama
manusia, yaitu berbakti kepada kedua orangtua.
5. Menghiasi diri dengan sifat qanâ`ah
Setiap orang memiliki cara pandang sendiri soal perhiasan.
Ada yang merasa emas dan permata yang menempel dalam dirinya sebagai sesuatu
yang berharga. Meski patut dipahami bahwa diri itu lebih berharga daripada emas
dan permatanya. Ada yang menganggap bergelimang uang sebagai wujud perhiasan
paling mahal, karena dengan uang segalanya bisa dibeli. Meski patut dicermati
bahwa uang bukanlah segala-galanya, justru Îmân yang ada pada pemegang uang
itulah yang lebih mulia. Berapapun uang jika berada di tangan yang salah hanya
akan sia-sia, habis, dan tiada guna.
Bagaimanapun orang berpandangan tentang perhiasan diri,
sejatinya diri manusia lebih mahal dan lebih berharga daripada apapun –yang
berbau materi– yang dianggap berharga. Meski perlu dipahami bahwa manusia
terdiri dari jasmani dan ruhani.
Jika manusia mulai menyadari bahwa ada kesejatian dan hakekat
dalam hidup maka manusia menjadi terhindar dari keterjebakan materi.
Kebahagiaan dan kedamaiannya bukan tergantung pada penikmatan materi dan
tercukupnya segala macam fasilitas hidup.
Berapa banyak orang yang dalam taraf hidupnya cukup dan tidak
lebih dalam hal materi, mereka tetap bahagia dan damai. Dalam kecukupan yang
dialami orang masih mampu merasakan kesejahteraan yang diberikan oleh Allâh
SWT.
Merasa cukup atas setiap pemberian dan anugerah Allâh adalah
sebentuk rasa penerimaan yang tinggi. Itulah sifat qanâ`ah. Suatu kemampuan
menerima atas setiap pemberian dan kemampuan mengelolanya dalam kehidupan
sehari-hari. Suatu bentuk sikap puas dalam kuantitas berapapun. Suatu bentuk
sikap puas dalam taraf kualitas.
6. Konsisten dan teguh pendirian dalam
berdo’a
Dalam QS. 40: 60 disebutkan,
“Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu.”
Perintah tersebut datang dari Allâh SWT, apa yang datang
dari-Nya jangan pernah diragukan ataupun diabaikan. Dua hal dalam ayat
tersebut, yaitu perintah dan janji; perintah untuk melakukan ikhtiar yang
bernama do’a, dan janji berupa dikabulkannya do’a bagi siapa saja yang mau dan
sudi berdo’a kepada-Nya.
Tugas kita sebagai seorang muslim adalah berdo’a. Berdo’a
hendaknya dapat dilakukan kapan dan di manapun, dengan sebentuk kesadaran bahwa
berdo’a itu merupakan perintah Allâh. Silakan berdo’a tanpa ragu, apapun
do’anya. Tentunya, sebagai muslim yang taat, berdo’a sebagaimana yang telah
dicontohkan merupakan suatu hal yang mulia.
Diperkenankannya do’a bukan wewenang dan urusan makhlûq.
Siapapun, orang suci ataupun orang awam, tidak tahu kapan do’a itu diwujudkan,
direalisasikan dan dikabulkan. Karena hal itu menjadi urusan Allâh. Apa yang
menjadi urusan Allâh berarti wewenang-Nya. Jika sesuatu menjadi wewenang Allâh,
maka makhlûq dalam tingkatan yang tertinggi sekalipun tidak berhak turut
campur.
Karena tidak ada yang tahu kapan sebuah do’a dikabulkan, maka
diperlukan dari orang yang berdo’a itu untuk senantiasa konsisten –tidak pernah
bosan, terus menerus dan istiqâmah.
Karena berdo’a menjadi indikator tawâdhu` dan rasa
ketergantungan seorang hamba dengan Sang Khâliq, maka pilihan bagi seorang
muslim adalah hendaknya teguh pendirian dalam berdo’a –tidak mudah putus asa,
memiliki kekuatan untuk tekun berdo’a, dan menjaga kontinuitasnya.
Melalui keenam
hal di atas, seorang muslim dapat merasakan hidup berkah. Orang menjadi
terbiasa malu jika tidak berbuat kebaikan; senantiasa bersyukur atas apapun;
memiliki model interaksi yang baik; prioritas hidupnya adalah berbakti kepada
kedua orangtua; mempunyai jiwa yang qanâ`ah; serta kuat dan tekun dalam
berdo’a.
Apakah kehidupan
yang kita jalani telah memenuhi standar keberkahan hidup?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar