Selasa, 01 Mei 2018

Keberkahan Hidup


Moh.In'ami | Menyongsong Hidup Berkah



Hidup adalah anugerah yang luar biasa dari Dzat Yang Maha Hidup. Anugerah yang besar bagi setiap makhlûq itu menjadikannya untuk terus dan menyadari bahwa pengabdian, aktivitas dan motivasi dalam hal apa saja selalu merujuk kepada-Nya, Allâh SWT.
Allâh SWT menciptakan manusia, sebagaimana QS. 51: 56,
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”,
yang secara eksplisit adalah untuk misi utama, yaitu ber`ibâdah kepada-Nya.
Sebagai muslim, mengupayakan diri untuk senantiasa memiliki cara hidup yang Islâmi sekaligus menerapkannya dalam hidup keseharian adalah wujud nyata keislâmannya. Cara hidup yang Islâmi itu dibangun atas dasar kesadaran menegakkan aturan, tatanan dan mekanisme yang telah Allâh SWT sediakan dan siapkan. Tidak ada seorangpun yang mengaku dirinya muslim lantas dengan seenaknya meninggalkan syarî`at atau bahkan mengabaikannya.
Menegakkan syarî`at Allâh, di manapun kita berada, menjadi salah satu jalan menuju keberkahan hidup. Fî ayyi ardhin tatha` fa anta mas’ûlun `an islâmihâ. Di bumi manapun kamu berpijak, singgah dan tinggal, maka kamu mempunyai tanggungjawab atas keislamânnya. Benarkah hanya dengan bersyahâdat saja orang bisa merasakan berkahnya hidup?
Untuk menggapai hidup berkah dapat dilakukan dengan,

1. Membiasakan sifat malu yang positif

Sudah menjadi fithrah manusia untuk merasa malu terhadap hal-hal yang dipandang tidak senonoh –tidak patut dan tidak sopan–, buruk dan mengandung unsur maksiat. Keberadaan sifat malu pada diri seseorang adalah keniscayaan dan merupakan suatu kontrol dalam setiap tindakan.
Sifat malu yang merupakan kontrol dalam setiap tindakan tersebut dapat dimaknai sebagai anugerah yang besar dari Allâh. Tentunya, rasa malu di sini dalam hal yang bersifat negatif –merasa malu jika berbuat maksiat atau yang bertentangan dengan aturan Allâh.
Keberadaan rasa malu ini menjadi kekuatan yang mampu melawan setiap ajakan ataupun pengaruh yang mengarah kepada perbuatan yang buruk dan tindakan yang jauh dari ketaatan kepada Allâh. Justru dengan adanya rasa malu inilah seseorang dapat dilihat kekuatan dirinya dan keîmânan yang melekat padanya.
Sebagai muslim, merasa malu untuk berbuat aniaya adalah tindakan positif. Sebagai muslim, merasa malu untuk mengambil hak orang lain adalah kebiasaan positif. Sebagai muslim, ia merasa malu jika dalam kehidupan keseharian tidak pernah peduli dan tidak pula memberi perhatian terhadap tetangganya. Sebagai muslim, ia merasa malu jika mulutnya senantiasa memakan barang dan makanan yang tidak halal.
Sabda Nabi saw, “Malu adalah sebagian dari Îmân”, setidaknya dapat diterjemahkan dalam model seperti di atas. Dalam redaksi yang lain dapat dikatakan bahwa jika Anda masih memiliki rasa malu berarti Anda berîmân. Jika rasa malu sudah hilang dari diri seseorang maka apa bedanya manusia dengan binatang?

2. Mensyukuri apa yang ada

Jika seseorang menghendaki untuk bersyukur atas apapun yang diberikan oleh Allâh, maka bersyukur atas apa yang ada merupakan suatu keharusan. Jika seserang berkeinginan untuk mensyukuri limpahan –rahmat, karunia dan hidâyah– Allâh, maka apa yang ada itulah yang layak mendapat apresiasi.
Sangat jelas sekali apa yang menjadi referensi, disebutkan dalam QS. 14: 7,
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzâb-Ku sangat pedih.”
Seorang makhlûq yang mau bersyukur berarti ia telah menikmati dan merasakan adanya banyak kenikmatan yang telah ia terima. Orang yang bersyukur dalam setiap kenikmatan adalah hal yang wajar. Namun, adakah orang yang mampu melihat setiap kesulitan, kesempitan, dan bahkan ujian hidup yang dihadapi sebagai sesuatu yang juga patut disyukuri?
Allâh SWT tidak pernah berhenti memberi: saat seorang hamba melupakan-Nya, Dia tetap saja memberi; pada saat manusia sibuk dengan urusan dunia dan melupakan urusan âkhirat, Allâh tetap dan terus memberi; saat orang mengakui bahwa segala kesuksesan yang diraih dan kekayaan yang dimiliki sebagai hasil jerih payah dan usahanya, dan melupakan Dzat Yang Maha Memberi, Dia senantiasa saja memberi.
Masih adakah alasan bagi seorang muslim untuk tidak bersyukur? Argumen apakah yang dibangun oleh seorang muslim ketika ia tidak lagi sempat bersyukur?
Maka sebaiknya menyatakan pada diri sendiri dan dengan apa adanya menyebut, “Syukuri apa yang ada. Hidup adalah anugerah.”

3. Memiliki tutur kata dan komunikasi yang baik

Interaksi individu dengan yang lain menjadi sulit dihindari. Orang saling berbagi manfaat, ide dan perencanaan. Bersinggungan dengan orang lain dalam taraf yang wajar merupakan sebentuk keakraban. Pada saat itulah masing-masing berkesempatan untuk menunjukkan kemampuan dalam bertutur kata dan berkomunikasi. Siapapun memiliki karakter dalam hal ini. Sehingga tidak perlu dipaksakan untuk dapat sepadan, seirama ataupun sesuai dengan gaya orang lain.
Dalam bentuk interaksi sebagaimana di atas, siapapun hendaknya sadar dan mau memahami serta menghormati kebebasan orang lain; kebebasan untuk berpendapat, menyampaikan aspirasi, atau menyatakan sepakat ataupun sebaliknya. Kebebasan itu didasari dengan rasa yang tinggi dalam hal bahwa orang lain pun memiliki kebebasan itu, sehingga ketika orang menggunakan kebebasan yang dimilikinya tidak lantas menganggu, menerjang ataupun merusak kebebasan yang dimiliki orang lain.
Tutur kata dan komunikasi yang baik merupakan sebuah kepiawaian yang bisa dimiliki oleh siapapun. Terhadap siapapun, kepiawaian itu dimanfaatkan dan digunakan untuk kepentingan dan kemaslahatan yang lebih besar, yang selalu mengikuti bagaimana kehendak Allâh, sebagai Sang Pencipta, dan kuasa-Nya. Kepentingan dan kemaslahatan itu adalah untuk membumikan agama Allâh dalam semesta-Nya.
Tutur kata dan komunikasi yang baik tidak bisa lepas dari senyum yang tulus. Dan senyum yang tulus itu membuktikan bahwa antara satu dengan yang lain tidak ada masalah yang berarti, saling memaafkan, dan tidak ada perasaan lebih tinggi dari yang lainnya. Senyum kepada saudaramu sesama muslim bisa berarti sedekah.
Jika senyum sudah mengawali dalam setiap pertemuan, maka sapa akan menjadi tahapan berikutnya yang menjadikan suasana lebih akrab dan tidak canggung. Pada akhirnya salam menjadi bagian penting untuk saling mendo’akan, mempererat ukhuwwah yang dibangun, dan menunjukkan adanya rasa saling mencintai –sebagai saudara sesama muslim.
Nabi saw bersabda, “Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang jika kalian kerjakan, maka kalian akan dapat saling mencintai? Beliau bersabda: Tebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim)

4. Berbakti kepada kedua orangtua

Untuk mewujudkan hidup berkah hendaknya seorang muslim menyadari dari mana ia berasal, siapa yang menjadi perantara hadirnya dalam kehidupan nyata, dan kepada siapa ia mesti bersikap hormat.
Seorang anak yang shâlih tentu mampu merealisasikan keshâlihannya itu dalam praktek nyata; menjaga, merawat, dan menunjukkan dharma bakti kepada kedua orangtua. Jika mereka masih hidup, menjadi tugas yang utama untuk melayani mereka sebagaimana mereka telah mengurus, merawat dan membesarkan sang anak.
Berbakti kepada kedua orangtua menjadi tugas utama setiap orang yang mengaku sebagai anak. Keberadaan orangtua menjadi indikator bagi keberadaan anak. Tidak ada seorang anak yang lahir kecuali kedua orangtuanya yang telah mengantarkan keberadaannya –dengan izin dan kuasa Allâh.
Jika ada seorang anak yang terlahir dari sebongkah batu, tentu saja hal itu adalah dongeng atau imajinasi belaka. Logika manusia sudah terbangun sejak manusia itu ada. Logika yang menyatakan bahwa hanya manusia yang akan melahirkan anak manusia.
Menjadi tugas orangtua untuk mendidik anak tentang berbagai hal, prioritasnya adalah mengajarkan tauhid bagi kehidupannya. Seorang anak yang lurus dalam tauhid akan menjadi investasi bagi kedua orangtuanya.
Menjadi tugas anak untuk mewujudkan baktinya kepada kedua orangtuanya. Menjadi tugas anak untuk membahagiakan orangtua. Menjadi tugas anak untuk berbakti kepada keduanya, apakah saat masih hidup maupun sudah meninggal dunia.
Adalah suatu pengabdian yang bernilai tinggi antara sesama manusia, yaitu berbakti kepada kedua orangtua.

5. Menghiasi diri dengan sifat qanâ`ah

Setiap orang memiliki cara pandang sendiri soal perhiasan. Ada yang merasa emas dan permata yang menempel dalam dirinya sebagai sesuatu yang berharga. Meski patut dipahami bahwa diri itu lebih berharga daripada emas dan permatanya. Ada yang menganggap bergelimang uang sebagai wujud perhiasan paling mahal, karena dengan uang segalanya bisa dibeli. Meski patut dicermati bahwa uang bukanlah segala-galanya, justru Îmân yang ada pada pemegang uang itulah yang lebih mulia. Berapapun uang jika berada di tangan yang salah hanya akan sia-sia, habis, dan tiada guna.
Bagaimanapun orang berpandangan tentang perhiasan diri, sejatinya diri manusia lebih mahal dan lebih berharga daripada apapun –yang berbau materi– yang dianggap berharga. Meski perlu dipahami bahwa manusia terdiri dari jasmani dan ruhani.
Jika manusia mulai menyadari bahwa ada kesejatian dan hakekat dalam hidup maka manusia menjadi terhindar dari keterjebakan materi. Kebahagiaan dan kedamaiannya bukan tergantung pada penikmatan materi dan tercukupnya segala macam fasilitas hidup.
Berapa banyak orang yang dalam taraf hidupnya cukup dan tidak lebih dalam hal materi, mereka tetap bahagia dan damai. Dalam kecukupan yang dialami orang masih mampu merasakan kesejahteraan yang diberikan oleh Allâh SWT.
Merasa cukup atas setiap pemberian dan anugerah Allâh adalah sebentuk rasa penerimaan yang tinggi. Itulah sifat qanâ`ah. Suatu kemampuan menerima atas setiap pemberian dan kemampuan mengelolanya dalam kehidupan sehari-hari. Suatu bentuk sikap puas dalam kuantitas berapapun. Suatu bentuk sikap puas dalam taraf kualitas.

6. Konsisten dan teguh pendirian dalam berdo’a

Dalam QS. 40: 60 disebutkan,
Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu.”
Perintah tersebut datang dari Allâh SWT, apa yang datang dari-Nya jangan pernah diragukan ataupun diabaikan. Dua hal dalam ayat tersebut, yaitu perintah dan janji; perintah untuk melakukan ikhtiar yang bernama do’a, dan janji berupa dikabulkannya do’a bagi siapa saja yang mau dan sudi berdo’a kepada-Nya.
Tugas kita sebagai seorang muslim adalah berdo’a. Berdo’a hendaknya dapat dilakukan kapan dan di manapun, dengan sebentuk kesadaran bahwa berdo’a itu merupakan perintah Allâh. Silakan berdo’a tanpa ragu, apapun do’anya. Tentunya, sebagai muslim yang taat, berdo’a sebagaimana yang telah dicontohkan merupakan suatu hal yang mulia.
Diperkenankannya do’a bukan wewenang dan urusan makhlûq. Siapapun, orang suci ataupun orang awam, tidak tahu kapan do’a itu diwujudkan, direalisasikan dan dikabulkan. Karena hal itu menjadi urusan Allâh. Apa yang menjadi urusan Allâh berarti wewenang-Nya. Jika sesuatu menjadi wewenang Allâh, maka makhlûq dalam tingkatan yang tertinggi sekalipun tidak berhak turut campur.
Karena tidak ada yang tahu kapan sebuah do’a dikabulkan, maka diperlukan dari orang yang berdo’a itu untuk senantiasa konsisten –tidak pernah bosan, terus menerus dan istiqâmah.
Karena berdo’a menjadi indikator tawâdhu` dan rasa ketergantungan seorang hamba dengan Sang Khâliq, maka pilihan bagi seorang muslim adalah hendaknya teguh pendirian dalam berdo’a –tidak mudah putus asa, memiliki kekuatan untuk tekun berdo’a, dan menjaga kontinuitasnya.
Melalui keenam hal di atas, seorang muslim dapat merasakan hidup berkah. Orang menjadi terbiasa malu jika tidak berbuat kebaikan; senantiasa bersyukur atas apapun; memiliki model interaksi yang baik; prioritas hidupnya adalah berbakti kepada kedua orangtua; mempunyai jiwa yang qanâ`ah; serta kuat dan tekun dalam berdo’a.
Apakah kehidupan yang kita jalani telah memenuhi standar keberkahan hidup? ž




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...