Moh.In'ami | Menjadi Umat Terbaik
Menjadi yang terbaik dalam hidup adalah
impian setiap orang. Apapun dilakukan untuk menjadi yang terbaik, mulai dari
ikhtiar yang lurus hingga yang tidak masuk akal. Orang boleh saja berpikir
macam-macam tentang upaya untuk mewujudkan prestasi, kemenangan yang ingin
dicapai, kesuksesan yang diimpikan, atau rencana-rencana yang telah dirancang
sedemikian rupa, atau yang lainnya. Namun tetap saja bahwa untuk menggapai
setiap hal itu tidak bisa lepas dari motif kebaikan.
Suatu kebaikan
yang hendak dicapai, namun cara-cara yang digunakan tidak baik lagi kotor tentu
hanya akan melahirkan keburukan. Meski motif dirasa benar atau nampak sebagai
yang dianggap baik.
Dan menjadi yang
terbaik tidak dapat diraih dengan menceburkan diri dalam ranah kejahatan, atau
keburukan yang dibungkus rapi dalam rangka mengejar sebuah tingkatan terbaik.
Di era global
seperti saat ini banyak kita jumpai perilaku manusia yang bermacam dan beraneka
ragam. Orang yang mengupayakan diri untuk menjadi yang terbaik, tetapi yang
dilakukan adalah dengan menekuk dari belakang, bermain kotor, atau jalan hitam,
meski nampak menjadi yang terbaik namun hanya akan berdampak terburuk di masa
depan. Jika di dunia tetap terbungkus rapi dan keburukan itu tidak ada satupun
orang yang melihatnya, tapi di âkhirat semua akan dibongkar. Semua orang dapat
melihat apa yang sesungguhnya terjadi. Dan kitapun semakin sadar bahwa tidak
ada satu orangpun yang bebas dari penglihatan-Nya.
Mengapa yang
terbaik harus umat yang lain? Bagaimana dengan umat Islâm? Masih centang
perenang, mengagungkan golongannya, dan sibuk dengan urusan dunianya?
Lantas, siapa
yang bertanggungjawab untuk membangun umat yang terbaik?
1. Keharusan atau tuntutan
Siapapun yang terlahir ke dunia ini sebenarnya telah bersaing
dan menjadi pemenang. Betapa sekian banyak sel telur yang mencoba untuk sampai
pada pertemuan dengan ovum sehingga terjadi pembuahan. Banyak yang tidak sampai
dan akhirnya mati, namun satu sel yang telah bertemu dengan ovum itu lantas
mengalami perkembangan yang luar biasa dan di luar kendali manusia. Ini adalah
bukti kekuasaan Allâh Al-Qadîr.
Janin yang terlahir, bayi mungil yang lucu, dan seorang anak
yang kelak menjadi dewasa adalah gambaran dari proses panjang yang penuh dengan
pengorbanan. Setiap fase kehidupan manusia merupakan perjalanan yang hendaknya
dilewati sebagai upaya perbaikan dan pengembangan diri.
Menjadi yang terbaik adalah sebuah pilihan dan keharusan yang
menjadi target bagi setiap insan muslim. Tidak ada suatu nilai yang melebihi
dari upaya menggapai apa yang dijanjikan Allâh SWT. Semua konsekuensi yang
melekat dalam diri umat terbaik hendaknya diwujudkan dan diupayakan secara
nyata dalam kehidupan.
Menjadi umat yang terbaik adalah suatu pilihan yang utama
bagi kehidupan setiap muslim. Untuk tidak menjadikan tingkatan umat yang
terbaik itu sekedar atribut, label atau apresiasi saja, perlu adanya ikhtiar
nyata dan segera untuk mewujudkannya. Bukan dengan menunggu atau berpangku
tangan tanpa suatu kegiatan apapun.
Mengejar ketertinggalan dari setiap prestasi merupakan
ikhtiar. Berlomba-lomba dalam mewujudkan kebaikan adalah suatu upaya.
Menghentikan setiap aspek kehidupan yang negatif dan destruktif adalah wujud
nyata partisipasi usaha itu. Dan menjadi yang terbaik berarti melampaui yang
lain dalam hal akhlâq, perilaku terpuji, kebermanfaatan terhadap orang lain,
atau apapun daripada lainnya.
2. Karakteristik umat terbaik
Menjadi yang terbaik mesti diusahakan, tidak datang atau lahir
tiba-tiba. Ikhtiar yang dilakukan oleh setiap individu yang mengaku diri
sebagai muslim merupakan kontribusi nyata menuju terwujudnya umat terbaik.
Adapun karakteristik umat terbaik adalah adanya kesungguhan
dan keikhlâsan untuk beramar ma`rûf, nahi munkar dan berîmân kepada Allâh.
Karakteristik inilah yang semestinya ada pada diri umat. Merealisasikan dan
membangun diri dengan karakteristik merupakan jalan menuju pembentukan jati
diri umat.
Umat Islâm, jika menginginkan yang terbaik, beramar ma`rûf, nahi
munkar dan berîmân kepada Allâh adalah konsekuensi yang mesti dijalani.
Kemampuan menebar kebaikan dan mengajak yang ma`rûf merupakan kekuatan diri
yang melekat pada diri umat yang terbaik, tentunya disertai dengan kekuatan
untuk mencegah diri dari perkara yang munkar.
Karakter tersebut di atas telah menjadi bagian dari
pembiasaan diri, sehingga menjadi kebiasaan. Apa yang menjadi kebiasaan menjadi
pewarnaan.
3. Amar ma`rûf
Sebagai muslim, penguatan diri pada yang ma`rûf menjadi yang
khas, ciri khusus, dan misi yang terus menerus dilakukan. Yang ma`rûf ini
diperintahkan berdasarkan dalîl naqli. Tidak seorangpun yang boleh menawar atau
mencoba untuk bernegosiasi dalam rangka meninggalkan yang ma`rûf.
Bukan karena apa, mengerjakan yang ma`rûf mendapat penegasan
dan perintah yang jelas dari Allâh SWT. Apa yang berbunyi perintah menjadi
sesuatu yang harus dijalankan. Siapapun berbuat yang ma`rûf lebih karena
perintah-Nya –merealisasikan ketaatan pada Dzat Yang Memerintah.
Apakah kecil atau besar yang diperintahkan, bukan itu yang
menjadi soal. Bahkan adakah dampak positif, manfaat atau fungsi dari yang
diperintahkan, kesemuanya dikembalikan pada Allâh saja. Yang penting, saya,
anda dan kita semua menjalankan perintah itu, karena-Nya.
Jika Allâh menghendaki yang ma`rûf untuk seorang individu,
atau sekelompok komunitas, atau bahkan seluruh umat manusia, tentu yang hendak
Allâh munculkan dan tebarkan dari yang ma`rûf itu tidak lain dan tidak bukan
kecuali kebaikan itu sendiri.
Allâh berfirman:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyeru kepada yang ma`rûf dan mencegah dari yang
munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. 3: 104)
4. Nahi munkar
Sebaliknya, apa yang disebut munkar adalah yang dilarang.
Munkar bisa disebut durhaka –ingkar terhadap perintah. Dalam hal ini, besar
atau kecil, berat ataupun ringan, susah atau mudah, sama sekali tidak menjadi
alasan untuk diperbolehkannya melanggar.
Mengapa harus mencegah dari yang munkar? Padahal dalam setiap
yang munkar itu terdapat yang enak-enak, menyenangkan, dan bahkan merusak.
Padahal dalam setiap yang munkar itu terdapat larangan yang secara tegas
diperingatkan oleh agama Islâm.
Coba lihat dan perhatikan, jika ada pengajian dan pagelaran,
mana yang lebih ramai dihadiri oleh masyarakat? Berapa banyak orang yang
bersungguh-sungguh dan menekuni usaha aplikatif terhadap QS. 3: 104? Siapapun,
tanpa terkecuali, termasuk penulis, juga mempunyai andil dan kesempatan untuk
mewujudkan kerja keras dalam ber-nahi munkar.
Jika di hati nurani seorang muslim terdapat pancaran
kebahagiaan dalam mengupayakan yang ma`rûf dalam kehidupan sehari-harinya dan
menjauhi segala bentuk kemunkaran, maka sungguh ia telah mendapat pertolongan
Allâh untuk menghidupkan agama-Nya.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma`rûf, dan mencegah dari yang munkar, dan
berîmân kepada Allâh. Sekiranya ahli Kitâb berîmân, tentulah itu lebih baik
bagi mereka, di antara mereka ada yang berîmân, dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fâsiq.”(QS. 3: 110).
5. Berîmân kepada Allâh
Menjadi umat terbaik mesti berîmân kepada Allâh. Umat terbaik
tidak sekedar mengaku berîmân tetapi hati dan amalannya tidak sinkron. Umat
terbaik meyakini dan mengîmâni dalam hati akan wujud Allâh, menyatakan
eksistensi-Nya dalam bahasa verbal, dan membuktikannya dalam perbuatan nyata.
Apakah seseorang berîmân ataukah tidak, tidak seorangpun
tahu. Yang pasti Allâh Maha Tahu segalanya. Berîmânnya seseorang akan berdampak
pada dirinya, tentunya yang positif. Jika orang berîmân justru mendapatkan
berbagai macam musibah, kesulitan atau masalah, maka ingatlah bahwa tidak ada
suatu keîmânan yang dipegang teguh melainkan Allâh pasti akan mengujinya.
Seberapa kuat keîmânan itu pada-Nya. Firman-Nya:
“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya
dengan mengatakan, “Kami telah berîmân,” dan mereka tidak diuji.” (QS. 29:
2)
Tidak ada satupun dari kalangan umat ini yang terbebas dari
ujian keîmânan ini. Bahkan pada satu titik kronis, orang bisa saja ‘menjual’
keîmânan itu. Padahal keîmânan tidak dapat ditukar dengan sembilan bahan pokok.
Dalam lintasan sejarah, berapa banyak orang yang tidak mampu
‘mencerna’ keîmânan dalam hatinya, sehingga ia menolak dan bahkan menentang
keîmânan itu. Berapa banyak umat para nabi terdahulu mengalami nasib buruk.
“Dan sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum
mereka, maka Allâh pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui
orang-orang yang dusta.” (QS. 29: 3)
Seberapapun kapasitas manusia, level yang paling tinggi
sekalipun, atau tahta yang paling top; tidak peduli sopir ataupun bankir, bukan
pula juru kunci atau kyai, tidak juga pengamen atau presiden, semuanya
berhadapan dengan ujian dan cobaan yang datang dari Allâh SWT.
Sebagai kristalisasi paradigma umat terbaik, baik dominasi
amar ma`rûf, nahi munkar dan keîmânan kepada Allâh menjadi sublimasi umat
terbaik itu sendiri yang mewujud dalam karakter kepribadian seorang muslim.
Sudah
seimbangkah kita dalam praktek hidup sehari-hari? Semua kembali kepada
masing-masing.
Ingat firman-Nya, “Kamu adalah umat
yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`rûf, dan
mencegah dari yang munkar, dan berîmân kepada Allâh. Sekiranya ahli Kitâb
berîmân, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
berîmân, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fâsiq.”(QS. 3: 110).
Akankah kita
senantiasa menjadi yang terbaik??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar