Senin, 30 April 2018

Kamu adalah Khoiro Ummah


Moh.In'ami | Menjadi Umat Terbaik


Menjadi yang terbaik dalam hidup adalah impian setiap orang. Apapun dilakukan untuk menjadi yang terbaik, mulai dari ikhtiar yang lurus hingga yang tidak masuk akal. Orang boleh saja berpikir macam-macam tentang upaya untuk mewujudkan prestasi, kemenangan yang ingin dicapai, kesuksesan yang diimpikan, atau rencana-rencana yang telah dirancang sedemikian rupa, atau yang lainnya. Namun tetap saja bahwa untuk menggapai setiap hal itu tidak bisa lepas dari motif kebaikan.
Suatu kebaikan yang hendak dicapai, namun cara-cara yang digunakan tidak baik lagi kotor tentu hanya akan melahirkan keburukan. Meski motif dirasa benar atau nampak sebagai yang dianggap baik.
Dan menjadi yang terbaik tidak dapat diraih dengan menceburkan diri dalam ranah kejahatan, atau keburukan yang dibungkus rapi dalam rangka mengejar sebuah tingkatan terbaik.
Di era global seperti saat ini banyak kita jumpai perilaku manusia yang bermacam dan beraneka ragam. Orang yang mengupayakan diri untuk menjadi yang terbaik, tetapi yang dilakukan adalah dengan menekuk dari belakang, bermain kotor, atau jalan hitam, meski nampak menjadi yang terbaik namun hanya akan berdampak terburuk di masa depan. Jika di dunia tetap terbungkus rapi dan keburukan itu tidak ada satupun orang yang melihatnya, tapi di âkhirat semua akan dibongkar. Semua orang dapat melihat apa yang sesungguhnya terjadi. Dan kitapun semakin sadar bahwa tidak ada satu orangpun yang bebas dari penglihatan-Nya.
Mengapa yang terbaik harus umat yang lain? Bagaimana dengan umat Islâm? Masih centang perenang, mengagungkan golongannya, dan sibuk dengan urusan dunianya?
Lantas, siapa yang bertanggungjawab untuk membangun umat yang terbaik?

1. Keharusan atau tuntutan

Siapapun yang terlahir ke dunia ini sebenarnya telah bersaing dan menjadi pemenang. Betapa sekian banyak sel telur yang mencoba untuk sampai pada pertemuan dengan ovum sehingga terjadi pembuahan. Banyak yang tidak sampai dan akhirnya mati, namun satu sel yang telah bertemu dengan ovum itu lantas mengalami perkembangan yang luar biasa dan di luar kendali manusia. Ini adalah bukti kekuasaan Allâh Al-Qadîr.
Janin yang terlahir, bayi mungil yang lucu, dan seorang anak yang kelak menjadi dewasa adalah gambaran dari proses panjang yang penuh dengan pengorbanan. Setiap fase kehidupan manusia merupakan perjalanan yang hendaknya dilewati sebagai upaya perbaikan dan pengembangan diri.
Menjadi yang terbaik adalah sebuah pilihan dan keharusan yang menjadi target bagi setiap insan muslim. Tidak ada suatu nilai yang melebihi dari upaya menggapai apa yang dijanjikan Allâh SWT. Semua konsekuensi yang melekat dalam diri umat terbaik hendaknya diwujudkan dan diupayakan secara nyata dalam kehidupan.
Menjadi umat yang terbaik adalah suatu pilihan yang utama bagi kehidupan setiap muslim. Untuk tidak menjadikan tingkatan umat yang terbaik itu sekedar atribut, label atau apresiasi saja, perlu adanya ikhtiar nyata dan segera untuk mewujudkannya. Bukan dengan menunggu atau berpangku tangan tanpa suatu kegiatan apapun.
Mengejar ketertinggalan dari setiap prestasi merupakan ikhtiar. Berlomba-lomba dalam mewujudkan kebaikan adalah suatu upaya. Menghentikan setiap aspek kehidupan yang negatif dan destruktif adalah wujud nyata partisipasi usaha itu. Dan menjadi yang terbaik berarti melampaui yang lain dalam hal akhlâq, perilaku terpuji, kebermanfaatan terhadap orang lain, atau apapun daripada lainnya.

2. Karakteristik umat terbaik

Menjadi yang terbaik mesti diusahakan, tidak datang atau lahir tiba-tiba. Ikhtiar yang dilakukan oleh setiap individu yang mengaku diri sebagai muslim merupakan kontribusi nyata menuju terwujudnya umat terbaik.
Adapun karakteristik umat terbaik adalah adanya kesungguhan dan keikhlâsan untuk beramar ma`rûf, nahi munkar dan berîmân kepada Allâh. Karakteristik inilah yang semestinya ada pada diri umat. Merealisasikan dan membangun diri dengan karakteristik merupakan jalan menuju pembentukan jati diri umat.
Umat Islâm, jika menginginkan yang terbaik, beramar ma`rûf, nahi munkar dan berîmân kepada Allâh adalah konsekuensi yang mesti dijalani. Kemampuan menebar kebaikan dan mengajak yang ma`rûf merupakan kekuatan diri yang melekat pada diri umat yang terbaik, tentunya disertai dengan kekuatan untuk mencegah diri dari perkara yang munkar.
Karakter tersebut di atas telah menjadi bagian dari pembiasaan diri, sehingga menjadi kebiasaan. Apa yang menjadi kebiasaan menjadi pewarnaan.

3. Amar ma`rûf

Sebagai muslim, penguatan diri pada yang ma`rûf menjadi yang khas, ciri khusus, dan misi yang terus menerus dilakukan. Yang ma`rûf ini diperintahkan berdasarkan dalîl naqli. Tidak seorangpun yang boleh menawar atau mencoba untuk bernegosiasi dalam rangka meninggalkan yang ma`rûf.
Bukan karena apa, mengerjakan yang ma`rûf mendapat penegasan dan perintah yang jelas dari Allâh SWT. Apa yang berbunyi perintah menjadi sesuatu yang harus dijalankan. Siapapun berbuat yang ma`rûf lebih karena perintah-Nya –merealisasikan ketaatan pada Dzat Yang Memerintah.
Apakah kecil atau besar yang diperintahkan, bukan itu yang menjadi soal. Bahkan adakah dampak positif, manfaat atau fungsi dari yang diperintahkan, kesemuanya dikembalikan pada Allâh saja. Yang penting, saya, anda dan kita semua menjalankan perintah itu, karena-Nya.
Jika Allâh menghendaki yang ma`rûf untuk seorang individu, atau sekelompok komunitas, atau bahkan seluruh umat manusia, tentu yang hendak Allâh munculkan dan tebarkan dari yang ma`rûf itu tidak lain dan tidak bukan kecuali kebaikan itu sendiri.
Allâh berfirman:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyeru kepada yang ma`rûf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. 3: 104)

4. Nahi munkar

Sebaliknya, apa yang disebut munkar adalah yang dilarang. Munkar bisa disebut durhaka –ingkar terhadap perintah. Dalam hal ini, besar atau kecil, berat ataupun ringan, susah atau mudah, sama sekali tidak menjadi alasan untuk diperbolehkannya melanggar.
Mengapa harus mencegah dari yang munkar? Padahal dalam setiap yang munkar itu terdapat yang enak-enak, menyenangkan, dan bahkan merusak. Padahal dalam setiap yang munkar itu terdapat larangan yang secara tegas diperingatkan oleh agama Islâm.
Coba lihat dan perhatikan, jika ada pengajian dan pagelaran, mana yang lebih ramai dihadiri oleh masyarakat? Berapa banyak orang yang bersungguh-sungguh dan menekuni usaha aplikatif terhadap QS. 3: 104? Siapapun, tanpa terkecuali, termasuk penulis, juga mempunyai andil dan kesempatan untuk mewujudkan kerja keras dalam ber-nahi munkar.
Jika di hati nurani seorang muslim terdapat pancaran kebahagiaan dalam mengupayakan yang ma`rûf dalam kehidupan sehari-harinya dan menjauhi segala bentuk kemunkaran, maka sungguh ia telah mendapat pertolongan Allâh untuk menghidupkan agama-Nya.
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`rûf, dan mencegah dari yang munkar, dan berîmân kepada Allâh. Sekiranya ahli Kitâb berîmân, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang berîmân, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fâsiq.”(QS. 3: 110).

5. Berîmân kepada Allâh

Menjadi umat terbaik mesti berîmân kepada Allâh. Umat terbaik tidak sekedar mengaku berîmân tetapi hati dan amalannya tidak sinkron. Umat terbaik meyakini dan mengîmâni dalam hati akan wujud Allâh, menyatakan eksistensi-Nya dalam bahasa verbal, dan membuktikannya dalam perbuatan nyata.
Apakah seseorang berîmân ataukah tidak, tidak seorangpun tahu. Yang pasti Allâh Maha Tahu segalanya. Berîmânnya seseorang akan berdampak pada dirinya, tentunya yang positif. Jika orang berîmân justru mendapatkan berbagai macam musibah, kesulitan atau masalah, maka ingatlah bahwa tidak ada suatu keîmânan yang dipegang teguh melainkan Allâh pasti akan mengujinya. Seberapa kuat keîmânan itu pada-Nya. Firman-Nya:
Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah berîmân,” dan mereka tidak diuji.” (QS. 29: 2)
Tidak ada satupun dari kalangan umat ini yang terbebas dari ujian keîmânan ini. Bahkan pada satu titik kronis, orang bisa saja ‘menjual’ keîmânan itu. Padahal keîmânan tidak dapat ditukar dengan sembilan bahan pokok.
Dalam lintasan sejarah, berapa banyak orang yang tidak mampu ‘mencerna’ keîmânan dalam hatinya, sehingga ia menolak dan bahkan menentang keîmânan itu. Berapa banyak umat para nabi terdahulu mengalami nasib buruk.
Dan sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allâh pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. 29: 3)
Seberapapun kapasitas manusia, level yang paling tinggi sekalipun, atau tahta yang paling top; tidak peduli sopir ataupun bankir, bukan pula juru kunci atau kyai, tidak juga pengamen atau presiden, semuanya berhadapan dengan ujian dan cobaan yang datang dari Allâh SWT.
Sebagai kristalisasi paradigma umat terbaik, baik dominasi amar ma`rûf, nahi munkar dan keîmânan kepada Allâh menjadi sublimasi umat terbaik itu sendiri yang mewujud dalam karakter kepribadian seorang muslim.
Sudah seimbangkah kita dalam praktek hidup sehari-hari? Semua kembali kepada masing-masing.
Ingat firman-Nya, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`rûf, dan mencegah dari yang munkar, dan berîmân kepada Allâh. Sekiranya ahli Kitâb berîmân, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang berîmân, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fâsiq.”(QS. 3: 110).
Akankah kita senantiasa menjadi yang terbaik?? ž








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...