Kamis, 03 Mei 2018

BUKAN Sekedar Alergi


Moh.In'ami | Mengantisipasi Dampak Alergi


Dalam suatu piket malam, ada dialog menarik antara seorang yang berbasis akademis dengan seorang yang berpendidikan wajar. Pada klimaksnya, muncul pertanyaan dari sang akademisi, “Mengapa syarî`at harus ditetapkan di Indonesia? Toh, negara ini bukan negara agama.” Rekannya menjawab dengan balik mengajukan pertanyaan, “Mengapa orang Islâm begitu takut syarî`at diterapkan?”
Sebuah ironi yang terjadi di negeri yang mayoritas warganya beragama Islâm –tidak menjadi pemikiran apakah orang hanya KTP yang berbunyi Islâm atau ucap dan perilakunya juga–, tetapi orang menjadi ‘malu-malu’ untuk menyatakan dirinya sebagai seorang muslim. Malahan sebagian orang ‘menentang’ segala bentuk upaya yang mengarah pada pemaknaan Islâm itu sendiri dalam kehidupan riil. (Sadar atau tidak) orang ini telah menjadi ‘aktor’ yang meragukan syarî`at dalam bentuk opini publik.
Kenyataan di atas sangat mungkin terjadi pada diri kita, atau orang-orang yang ada di sekitar kita –tanpa merasa benar sendiri, ataupun menyalahkan orang lain. Betapa ucap dan perilaku orang sering berada dalam batas titik nadir, yang orang bisa saja memiliki persepsi yang berdasar pada suatu pemahaman yang tidak lurus –untuk tidak mengatakan bahwa ia berpikir saja dibayar berdasarkan pesanan sponsor.
Mengapa untuk menyebut Islâm dalam aspek-aspek kehidupan manusia menjadi takut, menakutkan dan mengkhawatirkan? Atau karena pemahaman Islâm kita ini yang menjadikan cara pandang orang sedemikian sempit?

1. Sebentuk kekhawatiran

Sebagai muslim, apapun ‘baju’ (baca: organisasi masyarakat) orang, merealisasikan nilai dan prinsip Islâm adalah keniscayaan. Dalam praktek individu, tidak ada halangan ataupun larangan untuk memilih dan ‘menikmati’ suatu amalan dalam tataran fiqh –yang faktanya, madzhab ada empat. Jika masih ada orang yang memaksakan untuk memilih model fiqh tertentu atau mewajibkan berpegang teguh padanya, sungguh suatu kekhawatiran yang berlebih.
Mengapa untuk soal-soal khilâfiyah menjadikan seseorang sibuk, bersikeras, dan merasa benar sendiri dan menganggap yang lain salah? Padahal ia sendiri melakukan sesuatu, amalan apapun itu, hanya sekedar mendengar dari guru atau kyai yang juga memiliki perspektif tertentu dalam hal praktek beragama –suatu bentuk keterbatasan. Padahal ia belum membuka sendiri kitâb atau referensi apapun terkait masalah yang ia perjuangkan –hidup mati hanya yang ia ketahui yang dianggap benar. Padahal ia tidak melihat betapa masalah fiqh hanya merupakan masalah ijtihâdiyah belaka, dan hanya orang yang berkompeten yang berhak untuk melakukannya.
Yang perlu untuk dimaklumi adalah bahwa dalam bersyarî`at seorang muslim hendaknya melakukan pengilmuan terlebih dahulu, untuk selanjutnya mengalami sesuatu. Mengedepankan ilmu baru beramal kemudian. Mempelajari dalîl, tata cara, dan melihat contoh yang ada adalah prioritas. Maka, penyakit alergi, terhadap yang dilakukan orang lain dalam hal amaliyah, menjadi terjawab dan terobati setelah mengeksplorasi sendiri dalîl-dalîl yang shahîh perihal apa yang menjadi pegangan dan amalannya.
Dalam QS. 2: 2 disebutkan,
Kitâb Alqurân itu tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwâ.”
Untuk itu, hilangkan keraguan, tepis semua kekhawatiran. Dan kembali kepada rujukan yang shahîh dalam setiap melangkah adalah keberanian melawan kekhawatiran itu sendiri.

2. Jangan setengah hati

Apa saja yang datang dari Allâh SWT dan Rasûl-Nya adalah kebenaran. Tuntunan apapun itu, suka atau tidak, logis atau tidak, sejatinya selalu berpihak pada kepentingan dan kemaslahatan manusia.
Allâh SWT yang membuat regulasi, tatanan, atau hukum sama sekali tidak membeda-bedakan antara orang yang berkulit hitam dan yang berkulit putih, yang pejabat dengan yang jelata, yang kaya dengan yang miskin. Semuanya sama, makhlûq.
Di balik semua itu, Allâh tidak bermaksud apapun dan bukan untuk kepentingan-Nya (seperti pepatah, “ada udang di balik batu”). Semua yang telah Allâh tetapkan dan ciptakan murni untuk kebaikan, kemaslahatan dan kepentingan makhlûq-Nya. Manusia. Jika semua manusia menjalankan tatanan-Nya tidak menjadikan Allâh lebih mulia, pun jika tidak seorangpun yang menerapkan hukum dan aturan-Nya pun tidak ada ruginya juga bagi Allâh. Tidak ada kehinaan pada Allâh oleh karena tatanan yang dibuat-Nya tidak ditegakkan. Justru manusialah yang hina.
Allâh SWT membuat tuntunan adalah dalam rangka mengatur dan menata manusia dalam mengarungi bahtera kehidupan. Aturan hidup yang dipilihkan Allâh untuk manusia itulah yang mengantarkan manusia kepada kebahagiaan di dunia dan âkhirat.
Namun, yang perlu dicermati adalah orang-orang yang belum sepenuh hati menjadikan tatanan Allâh sebagai tuntunan dan pedoman dalam hidup. Jika kita menyadari bahwa Allâh adalah Tuhan dan Dzat yang menciptakan kita dan seluruh makhlûq, konsekuensinya adalah logis bila kehidupan kita menggunakan petunjuk hidup yang dibuat oleh-Nya.
Dalam masalah kendaraan misalnya, produsen mobil Suzuki mengeluarkan buku pedoman untuk standar perawatan dan pemakaiannya. Jika yang digunakan oleh pemilik kendaraan adalah buku pedoman tersebut (bukan yang lain) maka bisa dipastikan bahwa mobil tersebut akan terawat dengan baik dan benar, tidak mudah rusak tentunya.
Sebaliknya, jika pemilik mobil Suzuki menggunakan buku petunjuk yang dikeluarkan oleh Mitsubishi dalam servis dan perawatannya, hampir bisa dipastikan yang terjadi bukannya menambah baik performa mesin, tetapi malah bisa merusaknya. 
Logika demikian bisa digunakan dalam konteks yang lain. Orang bisa saja menolak tatanan Allâh SWT. Orang bisa saja bersikap abai dan acuh terhadap tuntunan yang dibuat khusus untuk kemaslahatannya. Jika substansi pedoman yang dibuat belum menjadi suatu kebutuhan, belum dipandang sebagai sesuatu yang harus dan tidak bisa tidak, maka boleh jadi kerusakan akibatnya.

3. Ketegasan sikap

Bagaimana dengan sikap manusia terhadap tatanan Allâh itu? Respon yang ada bisa bermacam-macam. Sangat bergantung pada keterbukaan hati dan pikiran. Tentunya pencerahan dari Allâh SWT menjadi dominan bagi upaya realisasi tatanan itu dalam kehidupan nyata.
Anehnya, sebagian orang yang mengaku dirinya muslim dan memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi belum juga terbuka dalam menangkap dan memaknai aturan yang Allâh SWT tetapkan. Orang masih saja berkutat pada pemahaman yang sempit dalam melihat tatanan Allâh. Orang masih saja mencari dalih untuk membiarkan syarî`at sebagai sesuatu yang layak untuk ditinggalkan.
Jika saya, anda dan kita merasa sebagai seorang muslim, mengapa yang menentang Islâm –untuk diterapkan dalam aspek yang lebih luas– justru kita? Mengapa yang menolak syarî`at untuk diaplikasikan adalah diri kita sendiri? Pengaruh apakah yang telah menyusup pikiran dan pemahaman sehingga kita menjadi penghalang bagi tegaknya syarî`at itu di bumi Allâh?
Adakah tatanan yang lebih lengkap dan sempurna selain tuntunan yang dibuat Allâh? Selagi kita masih berketetapan dan berhukum pada aturan yang bukan menjadi milik kita, maka kerusakan demi kerusakan akan dengan mudah menjalar dan menjangkiti gaya hidup dan cara berpikir kita.
Semoga Allâh menjadikan kita teguh, komitmen dan konsisten dalam memperjuangkan agama-Nya.ž






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...