Moh.In'ami | Mengantisipasi Dampak Alergi
Dalam suatu piket malam, ada dialog
menarik antara seorang yang berbasis akademis dengan seorang yang berpendidikan
wajar. Pada klimaksnya, muncul pertanyaan dari sang akademisi, “Mengapa
syarî`at harus ditetapkan di Indonesia? Toh, negara ini bukan negara
agama.” Rekannya menjawab dengan balik mengajukan pertanyaan, “Mengapa orang
Islâm begitu takut syarî`at diterapkan?”
Sebuah ironi
yang terjadi di negeri yang mayoritas warganya beragama Islâm –tidak menjadi
pemikiran apakah orang hanya KTP yang berbunyi Islâm atau ucap dan perilakunya
juga–, tetapi orang menjadi ‘malu-malu’ untuk menyatakan dirinya sebagai
seorang muslim. Malahan sebagian orang ‘menentang’ segala bentuk upaya
yang mengarah pada pemaknaan Islâm itu sendiri dalam kehidupan riil.
(Sadar atau tidak) orang ini telah menjadi ‘aktor’ yang meragukan syarî`at
dalam bentuk opini publik.
Kenyataan di
atas sangat mungkin terjadi pada diri kita, atau orang-orang yang ada di
sekitar kita –tanpa merasa benar sendiri, ataupun menyalahkan orang lain. Betapa
ucap dan perilaku orang sering berada dalam batas titik nadir, yang
orang bisa saja memiliki persepsi yang berdasar pada suatu pemahaman yang tidak
lurus –untuk tidak mengatakan bahwa ia berpikir saja dibayar berdasarkan
pesanan sponsor.
Mengapa untuk menyebut
Islâm dalam aspek-aspek kehidupan manusia menjadi takut, menakutkan dan
mengkhawatirkan? Atau karena pemahaman Islâm kita ini yang menjadikan cara
pandang orang sedemikian sempit?
1. Sebentuk kekhawatiran
Sebagai muslim, apapun ‘baju’ (baca: organisasi masyarakat)
orang, merealisasikan nilai dan prinsip Islâm adalah keniscayaan. Dalam praktek
individu, tidak ada halangan ataupun larangan untuk memilih dan ‘menikmati’
suatu amalan dalam tataran fiqh –yang faktanya, madzhab ada empat. Jika masih
ada orang yang memaksakan untuk memilih model fiqh tertentu atau mewajibkan
berpegang teguh padanya, sungguh suatu kekhawatiran yang berlebih.
Mengapa untuk soal-soal khilâfiyah menjadikan seseorang
sibuk, bersikeras, dan merasa benar sendiri dan menganggap yang lain salah?
Padahal ia sendiri melakukan sesuatu, amalan apapun itu, hanya sekedar
mendengar dari guru atau kyai yang juga memiliki perspektif tertentu dalam hal
praktek beragama –suatu bentuk keterbatasan. Padahal ia belum membuka sendiri
kitâb atau referensi apapun terkait masalah yang ia perjuangkan –hidup mati
hanya yang ia ketahui yang dianggap benar. Padahal ia tidak melihat betapa masalah
fiqh hanya merupakan masalah ijtihâdiyah belaka, dan hanya orang yang
berkompeten yang berhak untuk melakukannya.
Yang perlu untuk dimaklumi adalah bahwa dalam bersyarî`at
seorang muslim hendaknya melakukan pengilmuan terlebih dahulu, untuk selanjutnya
mengalami sesuatu. Mengedepankan ilmu baru beramal kemudian. Mempelajari dalîl,
tata cara, dan melihat contoh yang ada adalah prioritas. Maka, penyakit alergi,
terhadap yang dilakukan orang lain dalam hal amaliyah, menjadi terjawab dan
terobati setelah mengeksplorasi sendiri dalîl-dalîl yang shahîh
perihal apa yang menjadi pegangan dan amalannya.
Dalam QS. 2: 2 disebutkan,
“Kitâb Alqurân itu tidak ada keraguan padanya, petunjuk
bagi orang-orang yang bertaqwâ.”
Untuk itu, hilangkan keraguan, tepis semua kekhawatiran. Dan
kembali kepada rujukan yang shahîh dalam setiap melangkah adalah
keberanian melawan kekhawatiran itu sendiri.
2. Jangan setengah hati
Apa saja yang datang dari Allâh SWT dan Rasûl-Nya adalah
kebenaran. Tuntunan apapun itu, suka atau tidak, logis atau tidak, sejatinya
selalu berpihak pada kepentingan dan kemaslahatan manusia.
Allâh SWT yang membuat regulasi, tatanan, atau hukum sama
sekali tidak membeda-bedakan antara orang yang berkulit hitam dan yang berkulit
putih, yang pejabat dengan yang jelata, yang kaya dengan yang miskin. Semuanya
sama, makhlûq.
Di balik semua itu, Allâh tidak bermaksud apapun dan bukan
untuk kepentingan-Nya (seperti pepatah, “ada udang di balik batu”). Semua yang
telah Allâh tetapkan dan ciptakan murni untuk kebaikan, kemaslahatan dan
kepentingan makhlûq-Nya. Manusia. Jika semua manusia menjalankan tatanan-Nya
tidak menjadikan Allâh lebih mulia, pun jika tidak seorangpun yang menerapkan
hukum dan aturan-Nya pun tidak ada ruginya juga bagi Allâh. Tidak ada kehinaan
pada Allâh oleh karena tatanan yang dibuat-Nya tidak ditegakkan. Justru
manusialah yang hina.
Allâh SWT membuat tuntunan adalah dalam rangka mengatur dan
menata manusia dalam mengarungi bahtera kehidupan. Aturan hidup yang dipilihkan
Allâh untuk manusia itulah yang mengantarkan manusia kepada kebahagiaan di
dunia dan âkhirat.
Namun, yang perlu dicermati adalah orang-orang yang belum
sepenuh hati menjadikan tatanan Allâh sebagai tuntunan dan pedoman dalam hidup.
Jika kita menyadari bahwa Allâh adalah Tuhan dan Dzat yang menciptakan kita dan
seluruh makhlûq, konsekuensinya adalah logis bila kehidupan kita menggunakan
petunjuk hidup yang dibuat oleh-Nya.
Dalam masalah kendaraan misalnya, produsen mobil Suzuki
mengeluarkan buku pedoman untuk standar perawatan dan pemakaiannya. Jika yang
digunakan oleh pemilik kendaraan adalah buku pedoman tersebut (bukan yang lain)
maka bisa dipastikan bahwa mobil tersebut akan terawat dengan baik dan benar,
tidak mudah rusak tentunya.
Sebaliknya, jika pemilik mobil Suzuki menggunakan buku
petunjuk yang dikeluarkan oleh Mitsubishi dalam servis dan perawatannya, hampir
bisa dipastikan yang terjadi bukannya menambah baik performa mesin,
tetapi malah bisa merusaknya.
Logika demikian bisa digunakan dalam konteks yang lain. Orang
bisa saja menolak tatanan Allâh SWT. Orang bisa saja bersikap abai dan acuh
terhadap tuntunan yang dibuat khusus untuk kemaslahatannya. Jika substansi
pedoman yang dibuat belum menjadi suatu kebutuhan, belum dipandang sebagai
sesuatu yang harus dan tidak bisa tidak, maka boleh jadi kerusakan akibatnya.
3. Ketegasan sikap
Bagaimana dengan sikap manusia terhadap tatanan Allâh itu?
Respon yang ada bisa bermacam-macam. Sangat bergantung pada keterbukaan hati
dan pikiran. Tentunya pencerahan dari Allâh SWT menjadi dominan bagi upaya
realisasi tatanan itu dalam kehidupan nyata.
Anehnya, sebagian orang yang mengaku dirinya muslim dan
memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi belum juga terbuka dalam
menangkap dan memaknai aturan yang Allâh SWT tetapkan. Orang masih saja
berkutat pada pemahaman yang sempit dalam melihat tatanan Allâh. Orang masih
saja mencari dalih untuk membiarkan syarî`at sebagai sesuatu yang layak untuk
ditinggalkan.
Jika saya, anda dan kita merasa sebagai seorang muslim,
mengapa yang menentang Islâm –untuk diterapkan dalam aspek yang lebih luas–
justru kita? Mengapa yang menolak syarî`at untuk diaplikasikan adalah diri kita
sendiri? Pengaruh apakah yang telah menyusup pikiran dan pemahaman sehingga
kita menjadi penghalang bagi tegaknya syarî`at itu di bumi Allâh?
Adakah tatanan
yang lebih lengkap dan sempurna selain tuntunan yang dibuat Allâh? Selagi kita
masih berketetapan dan berhukum pada aturan yang bukan menjadi milik kita, maka
kerusakan demi kerusakan akan dengan mudah menjalar dan menjangkiti gaya hidup
dan cara berpikir kita.
Semoga Allâh
menjadikan kita teguh, komitmen dan konsisten dalam memperjuangkan agama-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar