Sabtu, 05 Mei 2018

Hidup dalam Islam, Ber-Islam dalam Hidup


Moh.In'ami | Membentuk Hidup Islâmi


Seorang anggota Majelis Ta`lîm di sebuah Komplek Perumahan bertanya kepada kepada seorang ustad, “Bagaimana seharusnya kita bersikap seiring adanya banyak perbedaan di dalam praktek ber-Islâm?” Melalui tulisan ini setidaknya pertanyaan itu hendak dicarikan solusi dengan sebuah perspektif universal dan Islâmi.
Selalu ada kesempatan yang sama bagi setiap muslim dalam upaya mencari dan menemukan kebenaran dalam agama. Upaya pencarian tersebut merupakan kewajiban yang secara implisit disebutkan oleh Rasûlullâh saw dalam hadîtsnya, “Mencari ilmu diwajibkan atas setiap muslim laki-laki dan perempuan.”
Kebenaran dalam agama yang dimaksud adalah bagaimana setiap insan muslim mengamalkan ajaran agama sebagaimana yang telah dicontohkan oleh beliau saw. Ajaran agama yang telah diatur dan disyarî`atkan itulah yang menjadi tuntunan hidup setiap muslim, kapanpun dan di manapun.
Hendaknya, setiap muslim, lekat dan akrab dengan ajaran-ajaran yang shahîh (untuk tidak menyebut yang lain tidak benar atau kurang benar). Betapapun ajaran yang shahîh tidak bisa ditawar, lebih-lebih dikurangi dan atau ditambah. Menjadi muslim yang sepenuh hati adalah keharusan dan pilihan sadar bahwa mengikuti apa yang telah disyarî`atkan itulah wujud ketaatan yang tinggi.

1. Realitas hidup manusia

Persoalan yang mungkin terjadi di kalangan umat adalah ajaran mana yang harus diikuti. Umat menjadi berbeda dalam hal mengambil ajaran-ajaran yang diterapkan dalam kehidupan beragama –padahal sudah jelas ajaran yang bersumber dari Allâh dan Rasûl-Nya.
Kita bisa melihat kehidupan ini dengan berbagai sudut pandang. Setiap sudut pandang yang ada tergantung pada posisi masing-masing; subyektif atau obyektif dalam menangkap dan mencerna setiap obyek. Hasil dari penginderaan obyek tersebutlah yang kadang menjadikan orang berbeda antara satu dengan lainnya. Kemampuan memahami setiap nash yang datang dari Allâh dan Rasûl-Nya merupakan sebuah ikhtiar yang wajib. Dari pemahaman itulah setiap orang dituntut untuk bisa mengamalkan dengan sepenuh hati, tanpa ada unsur terpaksa ataupun ragu.
Apabila setiap orang telah berusaha untuk memahami apa yang datang dari Allâh dan Rasûl-Nya dan mengamalkannya, maka ia menjadi muslim sejati, yang dengan keyakinan dan pengetahuannya berpegang teguh sehidup semati dan tidak ada keinginan sedikitpun untuk membuat-buat apa yang bukan dari Allâh dan Rasûl-Nya.
Suatu kebenaran yang mutlak adalah apa yang datang dari Allâh dan Rasûl-Nya. Dalam konteks Islâm, apapun yang lahir dari manusia yang berasal dari pikiran dan bukan wahyu, termasuk dalam kategori baru. Sedangkan agama ini tidak menyebut dirinya kurang. Maka istilah kurang atau lebih di dalam menyebut agama tidak tepat. Allâh SWT telah menguatkan agama ini dengan memberikan pegangan bagi setiap pemeluknya melalui QS. 5: 3, “Pada hari ini telah aku sempurnakan bagimu agamamu...”. Jika Dzat Yang Maha Mengatur telah menggariskan bagi manusia sedemikian rupa, masihkah perlu ‘menyaingi’ Allâh SWT dalam menambah atau mengurangi apa yang telah disyarî`atkan bagi kehidupan manusia?
Untuk itulah, setiap muslim hendaknya membenarkan apa saja yang datang dari Allâh dan Rasûl-Nya tanpa menawar sedikitpun. Membenarkan ajaran agama Islâm berarti mengusahakan untuk menjadikan Rasûlullâh sebagai barometer dalam segala hal.
Membenarkan setiap yang datang dari Allâh dan Rasûl-Nya berarti mengindikasikan bahwa kita sungguh-sungguh berîmân. Karena dalam berîmân terdapat terminologi membenarkan dalam hati, mengucapkan dengan lisan dan merealisasikannya dalam wujud aksi (baca: amal).
Suatu keharusan bagi seorang muslim untuk berusaha benar dalam setiap amalannya. Berusaha benar artinya jika siapapun orang sudah berada pada kebenaran, maka hendaknya mempertahankan kebenaran itu. Jika belum mampu menerapkan kebenaran, maka berjuanglah untuk dapat menjadikan kebenaran sebagai kebiasaan dan pegangan. Inilah potret ideal hidup ber-Islâm. Allâh SWT menegaskan,
Kebenaran itu dari Tuhanmu, maka janganlah sekali-kali engkau (Muhammad) termasuk orang-orang yang ragu.” (QS. 2: 147).
Jika kebenaran itu nyata datang dari Allâh dan Rasûl-Nya, mengapa orang masih saja mencoba untuk bernegosiasi, mencari argumen untuk menolaknya atau lebih memperhatikan alternatif yang lainnya?

2. Sebuah interpretasi

Hidup ini terbuka bagi siapapun. Setiap orang yang hidup mendapat hak untuk menentukan arah perjalanannya. Meski ia harus sadar bahwa Dzat Yang Maha Pencipta telah mengatur segalanya. Persoalannya, maukah orang menerÎmânya sebagai yang benar dari Tuhan atau justru sebaliknya, menolak.
Dengan sifat kasih dan sayang, Allâh menaburkan `ibrah dan pelajaran bagi siapapun yang mau dan mampu melihatnya. Maka ayat-ayat qauliyah maupun kauniyah menjadi sarana bagi manusia untuk tumbuh, berkembang dan maju.
Salah satu dari taburan Allâh SWT yang berkenaan dengan kebenaran adalah firman-Nya:
Allâh telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya. Maka arus itu membawa buih yang mengambang, dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allâh membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bâthil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allâh membuat perumpamaan-perumpamaan.” (QS. 13: 17)
Menurut ayat di atas, Allâh mengumpamakan yang benar dan yang bâthil dengan air dan buih atau dengan logam yang mencair dan buihnya. Yang benar sama dengan air atau logam murni, yang bâthil sama dengan buih air atau tahi logam yang akan lenyap dan tidak ada gunanya bagi manusia.
Dengan adanya perumpamaan sedemikian itu kita lantas bercermin, melakukan refleksi dalam setiap ucap dan perilaku kita, adakah yang keluar dari kebenaran, atau sebaliknya, semakin kuat kita dalam berpegang teguh pada agama Allâh? Apapun faktanya, ketika kita jauh dari cahaya Alqurân dan pancaran As-Sunnah yang shahîh berarti kita telah jauh pula dari Allâh SWT. Bukankah untuk dekat dengan-Nya kita mesti mengikuti bimbingan Rasûlullâh?
Sebagai bentuk perenungan, bahwa setiap orang memiliki cara untuk belajar. Belajar saja ada caranya. Jika orang hendak belajar tentang agama maka tidak cukup hanya bermodalkan pendengaran (baca: telinga), apalagi mengenyampingkan penglihatan (baca: mata). Kedua alat ini penting untuk meniti jalan menggapai kebenaran. Lillâh. 
Sementara orang masih mengkaji masalah agama dengan kekuatan pendengaran. Jika sumber penyampai kebenaran itu menggunakan satu sudut pandang dan tidak menjelaskan pendapat yang lain berkenaan dengan suatu masalah, maka apa yang didengar itulah yang dianggap sebagai suatu kebenaran, lain tidak.

3. Seorang tokoh

Figur penyampai kajian masalah agama memberikan pengaruh kuat, bahkan hingga pada tingkatan indoktrinasi. Ujungnya adalah membenarkan satu kelompok dan menyalahkan lainnya. Umatpun akhirnya hanya mengikuti satu pemahaman akan kebenaran tanpa mengetahui bahwa di sana terdapat berbagai macam pilihan dalam praktek ber-Islâm. Jika sebutannya adalah madzhab, maka keberadaan 4 madzhab merupakan Sunnatullâh. Jika sebagian muslim berpegang pada suatu madzhab, mestinya mereka menyadari keabsahan madzhab lainnya, sebagai pegangan. Dan keberadaannya dianggap benar oleh sebagian yang lain.
Fakta di atas menunjukkan adanya ucapan para ulama yang menjadi penyampai kajian masalah agama sebagai patokan. Ucapan ulama sedemikian telah berubah menjadi fatwa. Dan umat selalu merujuk kepadanya dalam berbagai masalah agama. Jika demikian yang terjadi, maka perlu hati-hati. Kehati-hatian kita lebih kepada upaya untuk membuka kitâb referensi, dan mencoba mengembalikan semua hal kepada Alqurân dan As-Sunnah yang shahîh. Dalam persoalan fiqh, maka upaya membuka kitâb yang dapat dijadikan sandaran adalah Al-Fiqh `alâ al-Madzâhib al-Arba`ah, Bidâyah al-Mujtahid, atau Yas’alûnaka fiddîn wal-Hayât, dan lainnya.
Umat dibutuhkan keberanian untuk mempelajari dan memperdalam kitâb-kitâb yang membuka wacana keberagamaan, sehingga tidak lagi bersikap ‘benar sendiri’, atau hanya yang dipahamilah yang benar adanya.
Untuk menghindari sikap apriori, egoisme kelompok, dan kesalahpahaman dalam amalan agama, maka siapapun dituntut untuk melakukan pencarian terhadap kebenaran. Ingat, sebaik-baik statement adalah Kitâb Allâh, dan sebaik-baik guide adalah sabda Nabi saw. Pencarian ini hendaknya diteruskan dan tetap diupayakan sampai akhir hayât. Hingga Allâh SWT membukakan pintu rahmat untuk umat Islâm seluruhnya.
Melalui sebuah upaya dan usaha sekuat tenaga, untuk mengikuti Alqurân dan As-Sunnah yang sahih, kita dapat dengan tenang dan khusyû` mengamalkan apapun amalan itu, karena yang kita amalkan tidak ada keraguan lagi. Tidak menimbulkan pertanyaan banyak pihak akan kebenarannya, karena semua amalan itu berdasar pada petunjuk Allâh dan Rasûl-Nya.
Jika kebenaran telah kita temukan, sampaikanlah kebenaran itu kepada siapapun walau (mungkin) dampak penyampaian akan buruk (di mata manusia, tidak dianggap kelompoknya). Dan teruslah berjuang untuk menyatakan kebenaran, dan bukan membenarkan kenyataan. Ingat, katakan yang benar walau ‘pahit’ rasanya.
Apakah dengan hidup berkah dan prinsip hidup islâmi seseorang dapat merealisasikan kehidupan sederhana? ž









Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...