Moh.In'ami | Membentuk Hidup Islâmi
Seorang anggota Majelis Ta`lîm di sebuah
Komplek Perumahan bertanya kepada kepada seorang ustad, “Bagaimana seharusnya
kita bersikap seiring adanya banyak perbedaan di dalam praktek ber-Islâm?”
Melalui tulisan ini setidaknya pertanyaan itu hendak dicarikan solusi dengan
sebuah perspektif universal dan Islâmi.
Selalu ada
kesempatan yang sama bagi setiap muslim dalam upaya mencari dan menemukan
kebenaran dalam agama. Upaya pencarian tersebut merupakan kewajiban yang secara
implisit disebutkan oleh Rasûlullâh saw dalam hadîtsnya, “Mencari ilmu
diwajibkan atas setiap muslim laki-laki dan perempuan.”
Kebenaran dalam
agama yang dimaksud adalah bagaimana setiap insan muslim mengamalkan ajaran
agama sebagaimana yang telah dicontohkan oleh beliau saw. Ajaran agama yang
telah diatur dan disyarî`atkan itulah yang menjadi tuntunan hidup setiap
muslim, kapanpun dan di manapun.
Hendaknya,
setiap muslim, lekat dan akrab dengan ajaran-ajaran yang shahîh
(untuk tidak menyebut yang lain tidak benar atau kurang benar). Betapapun
ajaran yang shahîh tidak bisa ditawar, lebih-lebih dikurangi dan
atau ditambah. Menjadi muslim yang sepenuh hati adalah keharusan dan pilihan
sadar bahwa mengikuti apa yang telah disyarî`atkan itulah wujud ketaatan yang
tinggi.
1. Realitas hidup manusia
Persoalan yang mungkin terjadi di kalangan umat adalah ajaran
mana yang harus diikuti. Umat menjadi berbeda dalam hal mengambil ajaran-ajaran
yang diterapkan dalam kehidupan beragama –padahal sudah jelas ajaran yang bersumber
dari Allâh dan Rasûl-Nya.
Kita bisa melihat kehidupan ini dengan berbagai sudut
pandang. Setiap sudut pandang yang ada tergantung pada posisi masing-masing;
subyektif atau obyektif dalam menangkap dan mencerna setiap obyek. Hasil dari
penginderaan obyek tersebutlah yang kadang menjadikan orang berbeda antara satu
dengan lainnya. Kemampuan memahami setiap nash yang datang dari Allâh dan
Rasûl-Nya merupakan sebuah ikhtiar yang wajib. Dari pemahaman itulah setiap
orang dituntut untuk bisa mengamalkan dengan sepenuh hati, tanpa ada unsur
terpaksa ataupun ragu.
Apabila setiap orang telah berusaha untuk memahami apa yang
datang dari Allâh dan Rasûl-Nya dan mengamalkannya, maka ia menjadi muslim
sejati, yang dengan keyakinan dan pengetahuannya berpegang teguh sehidup semati
dan tidak ada keinginan sedikitpun untuk membuat-buat apa yang bukan dari Allâh
dan Rasûl-Nya.
Suatu kebenaran yang mutlak adalah apa yang datang dari Allâh
dan Rasûl-Nya. Dalam konteks Islâm, apapun yang lahir dari manusia yang berasal
dari pikiran dan bukan wahyu, termasuk dalam kategori baru. Sedangkan
agama ini tidak menyebut dirinya kurang. Maka istilah kurang atau lebih di
dalam menyebut agama tidak tepat. Allâh SWT telah menguatkan agama ini dengan
memberikan pegangan bagi setiap pemeluknya melalui QS. 5: 3, “Pada hari ini
telah aku sempurnakan bagimu agamamu...”. Jika Dzat Yang Maha Mengatur
telah menggariskan bagi manusia sedemikian rupa, masihkah perlu ‘menyaingi’
Allâh SWT dalam menambah atau mengurangi apa yang telah disyarî`atkan bagi
kehidupan manusia?
Untuk itulah, setiap muslim hendaknya membenarkan apa saja
yang datang dari Allâh dan Rasûl-Nya tanpa menawar sedikitpun. Membenarkan
ajaran agama Islâm berarti mengusahakan untuk menjadikan Rasûlullâh sebagai
barometer dalam segala hal.
Membenarkan setiap yang datang dari Allâh dan Rasûl-Nya
berarti mengindikasikan bahwa kita sungguh-sungguh berîmân. Karena dalam
berîmân terdapat terminologi membenarkan dalam hati, mengucapkan dengan lisan
dan merealisasikannya dalam wujud aksi (baca: amal).
Suatu keharusan bagi seorang muslim untuk berusaha benar
dalam setiap amalannya. Berusaha benar artinya jika siapapun orang sudah berada
pada kebenaran, maka hendaknya mempertahankan kebenaran itu. Jika belum mampu
menerapkan kebenaran, maka berjuanglah untuk dapat menjadikan kebenaran sebagai
kebiasaan dan pegangan. Inilah potret ideal hidup ber-Islâm. Allâh SWT
menegaskan,
“Kebenaran itu dari Tuhanmu, maka janganlah sekali-kali
engkau (Muhammad) termasuk orang-orang yang ragu.” (QS. 2: 147).
Jika kebenaran itu nyata datang dari Allâh dan Rasûl-Nya,
mengapa orang masih saja mencoba untuk bernegosiasi, mencari argumen untuk
menolaknya atau lebih memperhatikan alternatif yang lainnya?
2. Sebuah interpretasi
Hidup ini terbuka bagi siapapun. Setiap orang yang hidup
mendapat hak untuk menentukan arah perjalanannya. Meski ia harus sadar bahwa
Dzat Yang Maha Pencipta telah mengatur segalanya. Persoalannya, maukah orang
menerÎmânya sebagai yang benar dari Tuhan atau justru sebaliknya, menolak.
Dengan sifat kasih dan sayang, Allâh menaburkan `ibrah
dan pelajaran bagi siapapun yang mau dan mampu melihatnya. Maka ayat-ayat qauliyah
maupun kauniyah menjadi sarana bagi manusia untuk tumbuh, berkembang dan
maju.
Salah satu dari taburan Allâh SWT yang berkenaan dengan
kebenaran adalah firman-Nya:
“Allâh telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka
mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya. Maka arus itu membawa buih
yang mengambang, dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat
perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah
Allâh membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bâthil. Adapun buih itu,
akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat
kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allâh membuat
perumpamaan-perumpamaan.” (QS. 13: 17)
Menurut ayat di atas, Allâh mengumpamakan yang benar dan yang
bâthil dengan air dan buih atau dengan logam yang mencair dan buihnya. Yang
benar sama dengan air atau logam murni, yang bâthil sama dengan buih air atau
tahi logam yang akan lenyap dan tidak ada gunanya bagi manusia.
Dengan adanya perumpamaan sedemikian itu kita lantas
bercermin, melakukan refleksi dalam setiap ucap dan perilaku kita, adakah yang
keluar dari kebenaran, atau sebaliknya, semakin kuat kita dalam berpegang teguh
pada agama Allâh? Apapun faktanya, ketika kita jauh dari cahaya Alqurân dan
pancaran As-Sunnah yang shahîh berarti kita telah jauh pula dari
Allâh SWT. Bukankah untuk dekat dengan-Nya kita mesti mengikuti bimbingan
Rasûlullâh?
Sebagai bentuk perenungan, bahwa setiap orang memiliki cara
untuk belajar. Belajar saja ada caranya. Jika orang hendak belajar tentang
agama maka tidak cukup hanya bermodalkan pendengaran (baca: telinga), apalagi
mengenyampingkan penglihatan (baca: mata). Kedua alat ini penting untuk meniti
jalan menggapai kebenaran. Lillâh.
Sementara orang masih mengkaji masalah agama dengan kekuatan
pendengaran. Jika sumber penyampai kebenaran itu menggunakan satu sudut pandang
dan tidak menjelaskan pendapat yang lain berkenaan dengan suatu masalah, maka
apa yang didengar itulah yang dianggap sebagai suatu kebenaran, lain tidak.
3. Seorang tokoh
Figur penyampai kajian masalah agama memberikan pengaruh
kuat, bahkan hingga pada tingkatan indoktrinasi. Ujungnya adalah membenarkan
satu kelompok dan menyalahkan lainnya. Umatpun akhirnya hanya mengikuti satu
pemahaman akan kebenaran tanpa mengetahui bahwa di sana terdapat berbagai macam
pilihan dalam praktek ber-Islâm. Jika sebutannya adalah madzhab, maka
keberadaan 4 madzhab merupakan Sunnatullâh. Jika sebagian muslim
berpegang pada suatu madzhab, mestinya mereka menyadari keabsahan madzhab
lainnya, sebagai pegangan. Dan keberadaannya dianggap benar oleh sebagian yang
lain.
Fakta di atas menunjukkan adanya ucapan para ulama yang
menjadi penyampai kajian masalah agama sebagai patokan. Ucapan ulama sedemikian
telah berubah menjadi fatwa. Dan umat selalu merujuk kepadanya dalam berbagai
masalah agama. Jika demikian yang terjadi, maka perlu hati-hati. Kehati-hatian
kita lebih kepada upaya untuk membuka kitâb referensi, dan mencoba
mengembalikan semua hal kepada Alqurân dan As-Sunnah yang shahîh.
Dalam persoalan fiqh, maka upaya membuka kitâb yang dapat dijadikan sandaran
adalah Al-Fiqh `alâ al-Madzâhib
al-Arba`ah, Bidâyah al-Mujtahid, atau Yas’alûnaka
fiddîn wal-Hayât, dan lainnya.
Umat dibutuhkan keberanian untuk mempelajari dan memperdalam
kitâb-kitâb yang membuka wacana keberagamaan, sehingga tidak lagi bersikap
‘benar sendiri’, atau hanya yang dipahamilah yang benar adanya.
Untuk menghindari sikap apriori, egoisme kelompok, dan
kesalahpahaman dalam amalan agama, maka siapapun dituntut untuk melakukan
pencarian terhadap kebenaran. Ingat, sebaik-baik statement adalah Kitâb
Allâh, dan sebaik-baik guide adalah sabda Nabi saw. Pencarian ini
hendaknya diteruskan dan tetap diupayakan sampai akhir hayât. Hingga
Allâh SWT membukakan pintu rahmat untuk umat Islâm seluruhnya.
Melalui sebuah
upaya dan usaha sekuat tenaga, untuk mengikuti Alqurân dan As-Sunnah yang
sahih, kita dapat dengan tenang dan khusyû` mengamalkan apapun amalan itu,
karena yang kita amalkan tidak ada keraguan lagi. Tidak menimbulkan pertanyaan
banyak pihak akan kebenarannya, karena semua amalan itu berdasar pada petunjuk
Allâh dan Rasûl-Nya.
Jika kebenaran
telah kita temukan, sampaikanlah kebenaran itu kepada siapapun walau (mungkin)
dampak penyampaian akan buruk (di mata manusia, tidak dianggap kelompoknya).
Dan teruslah berjuang untuk menyatakan kebenaran, dan bukan membenarkan
kenyataan. Ingat, katakan yang benar walau ‘pahit’ rasanya.
Apakah dengan
hidup berkah dan prinsip hidup islâmi seseorang dapat merealisasikan kehidupan
sederhana?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar