Moh.In'ami | Hamba
yang Berkualitas
Sudah menjadi kodrat manusia untuk
menjadi `abdullâh dan khalîfatullâh. Kodrat sedemikian memiliki
implikasi untuk berbuat dan berkarya sesuai dengan tatanan yang telah Allâh
tentukan dan mengikuti apa yang telah Rasûl-Nya teladankan.
Betapa posisi
manusia dalam kehidupan ini sangat menjanjikan, baik jika dilihat secara lahir
maupun batin; secara lahir, manusia dapat menemukan adanya banyak profit dan
keistimewaan, banyak kewenangan yang diberikan kepadanya. Sementara, secara
batin, manusia sangat jelas diberi ruang khusus untuk ‘kembali’ menemukan
dirinya, jati dirinya, dan hakekatnya sekaligus.
Melalui dimensi
lahir itu manusia dapat mewujudkan segala yang terpikir dalam batinnya,
menunjukkan perilaku nyata yang bisa dicontoh, diakses atau bahkan disinergikan
dengan individu lain untuk melahirkan kemaslahatan bersama. Sedangkan
melalui dimensi batin, manusia terbuka jalan untuk memperkuat motif dan spirit,
yang dari keduanya potensi `abdullâh dan khalîfatullâh, dapat
dinyatakan dan disalurkan.
Dalam
menjalankan tugas di kantor, di rumah atau di mana saja, orang sering
mengedepankan ego (keakuannya) dan mengenyampingkan dimensi lain yang
semestinya menjadi bagian integral dan tak terpisahkan. Pada saat fungsi `abdullâh
dan khalîfatullâh tidak lagi dapat dirasakan dan dihadirkan dalam
kehidupan, maka silakan saja untuk menghuni dunia lain selain bumi Allâh SWT.
Sungguh pengharaan
yang setinggi-tingginya dari Yang Maha Pencipta bahwa kita sebagai manusia
sekaligus hamba-Nya yang sadar dan mampu menundukkan diri, taat dan berserah
diri kepada-Nya dalam setiap perjalanan hidup.
Bagaimana masa
depan kita (kelak di âkhirat) jika Allâh tak lagi memandang kita sebagai
hamba-Nya?
1. Menjadi hamba
Bagaimana menjadi seorang hamba yang baik? Itulah pertanyaan
yang seharusnya kita jawab dan kita siapkan setiap saat dan waktu. Upaya
memahami keberadaan kita sebagai manusia dan fungsinya bagi kehidupan ini
hendaknya terus menerus dilakukan. Hal ini akan menghindarkan kita dari
perilaku yang berlebihan, tidak melekatkan sifat-sifat yang seharusnya bukan
milik kita, atau apalagi berbuat yang di luar kapasitas sebagai manusia.
Apalagi mencoba menyaingin Tuhan. Sungguh sû’ul adab yang berlebihan.
Untuk itulah, pemahaman kita terhadap ‘wilayah’ yang menjadi
wewenang Allâh dan kekuasaan-Nya dalam kehidupan ini amatlah penting. Supaya
manusia tetap berstatus sebagai makhlûq. Agar, siapapun kita; penguasa,
pengusaha atau petani dan lainnya, bersikap sebagaimana manusia –adanya dan
yang seharusnya– sekalipun berposisi dan mempunyai kewenangan ataupun
kekuasaan.
Ingat, yang menjadi penguasa jangan sok kuasa,
mentang-mentang berkuasa yang kecil diinjak, yang lemah diabaikan dan ditindas.
Hati-hati, yang jadi pengusaha ojo dumeh harta melimpah dan berpunya
lantas ‘membeli’ undang-undang, bernego dengan penguasa untuk tujuan monopoli
dan kepentingan sendiri. Waspadalah, yang menjadi petani jangan merasa inferior,
kecil hati, atau hina. Justru dengan bertani itulah bisa dijadikan sarana untuk
menemukan Allâh SWT. Dan pada puncak kesadaran seorang petani mampu menjadi
manusia yang mulia, yang tahu akan fungsinya, dan bekerja sebagai `abdullâh dan
khalîfatullâh dengan bercocok tanam.
Sungguh nikmat yang luar biasa ketika setiap saat dan waktu
kita juga mampu menghambakan diri hanya kepada Allâh, ber`ibâdah kepada-Nya
semata, dan dengan segala kesadaran yang kita miliki hendaknya menjadikan Allâh
sebagai Tuhan.
2. Keangkuhan pragmatisme
Sekali lagi, kesadaran menjadi hamba adalah hal penting bagi
manusia. Melalui kesadaran itu manusia bisa merealisasikan tugasnya secara
nyata sebagai `abdullâh dan sekaligus khalîfatullâh. Di manapun
berada dan kapan saja setiap orang hendaknya menunjukkan eksistensi kehambaan
dan kekhalifahannya.
Lihat saja dalam aspek politik, hegemoni penguasa dengan
kekuasaan dan kesewenangannya cenderung menyempitkan gerak kaum marginal,
orang-orang tidak mampu dan mereka yang mustadh`afîn. Pendapat, cara
berpikir, dan sudut pandang didorong dan diarahkan untuk searah dengan kemauan
penguasa. Apa saja yang dimiliki orang-orang kecil itu telah dibeli dan
digantirugi oleh idealisme penguasa. Nyaris mereka tidak memiliki apapun.
Bagaimana penguasa akan menemukan kesadarannya bila ia tak
lagi mau dan mampu mendengar, melihat dan merasakan realitas masyarakat,
sementara hidupnya diselimuti dominasi, pengokohan kursi kekuasaan, dan kabut
tebal kepentingan kelompok. Padahal dengan menjadi penguasa pun kesadaran
manusia sebagai hamba Allâh dapat dimanifestasikan, dan hal itu akan terwujud
dalam pemahaman yang inheren dalam mengambil setiap keputusan dan
melaksanakan kewenangan yang merujuk pada apa yang diwahyukan dan bukan
apa yang dibuat menurut keinginan, kesepakatan dan keuntungan bersama.
Dalam aspek ekonomi, para konglomerat merasa memiliki
segalanya. Padahal apa saja yang kita akui dan kita klaim sebagai miliki
kita, secara de jure maupun de facto, hakekatnya adalah milik
Allâh SWT. Semua itu hanyalah titipan, dan niscaya akan kembali kepada-Nya.
Jika kita yang merasa memiliki masih saja bersikukuh untuk menahan untuk tidak
berbagi dengan sesama, lantas ke mana rasa kepedulian kita?
Dalam aspek sosial, manusia mampu berinteraksi dan bergumul
dengan komunitas di sekitarnya. Setiap hubungan sosial yang dilakukan selalu
berangkat dari motif yang berbeda antara satu orang dengan lainnya. Sungguh
ironis jika muara setiap aktivitas itu adalah keuntungan materi semata. Padahal
orientasi non-fisik merupakan sarana untuk pemenuhan kebutuhan rohani.
Dalam aspek budaya, orang mencapuradukkannya dengan agama,
sehingga di kalangan masyarakat antara budaya dan agama menjadi tidak jelas
batasannya. Jika demikian sudah seharusnya setiap muslim kembali kepada Alqurân
dan As-Sunnah yang shahîh. Dan pilihan kita secara tegas adalah
mengikuti apa yang Rasûl saw teladankan.
Dalam aspek relasi personal, orang yang individualis dan
egois masih saja menjamur di sekitar kita. Mengajak mereka ‘membuka mata’
adalah tugas mulia yang mengantarkan pada kesamaan kewajiban dan hak. Adanya
kesadaran bahwa masing-masing berstatus sama di hadapan Allâh, maka asas
egaliter lebih diutamakan. Yaitu, tidak ada yang merasa lebih pintar, lebih
kuat atau lebih segalanya. Adanya kebersamaan merupakan cermin ukhuwwah antar
individu dalam masyarakat.
Melalui aspek-aspek yang berbeda itu setidaknya saya, anda
dan kita dapat melihat gaya dan sikap hidup yang akan kita pilih. Apapun yang
kita lakukan dalam berbagai disiplin keilmuan atau keterampilan yang kita
tekuni merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pola pikir kita sebagai `abdullâh
dan khalîfatullâh. Sehingga nampak jelas dan nyata adanya nilai
pertanggungjawaban kini di dunia dan kelak di âkhirat. Untuk itu, sebagai hamba
sekaligus pengelola alam semesta hendaknya mendorong kita dapat berbuat yang
lebih baik dan mewujudkan kebaikan itu bagi sesama dan alam sekitarnya.
3. Klimaks penghambaan
Setiap makhlûq hendaknya menyadari adanya Khâliq. Sebagai
hamba yang baik hendaknya sadar dan menjalankan setiap tugas dan kewajiban. Dan
keberadaan setiap hamba di muka bumi merupakan wujud rahmat dan anugerah
yang bersar dari Allâh SWT. Muaranya adalah menuju QS. 51: 56,
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
Menjadi manusia adalah menyadari arti kemanusiaan dan
menghargai setiap yang tercecer, memungut setiap yang terpinggir, mengayomi dan
menolong setiap yang teraniaya. Adanya keutamaan yang diperhatikan dan mewarnai
setiap polah tingkah dan perilaku hidup menjadi citra diri seorang hamba yang
selalu mendambakan adanya ma`ûnah dari Dzat Yang Maha Memberi.
Kesadaran seorang muslim dalam memanusiakan diri sehingga
mampu berperi kemanusiaan dalam kehidupan ini merupakan jalan menuju upaya
menjadi hamba Allâh yang dengan tulus mau dan mampu mengamalkan ayat 5 surat
Al-Bayyinah. Kesadaran yang mewujud dalam perilaku ini memperkuat penghambaan
seorang manusia kepada Allâh. Apapun pangkat dan jabatan seseorang tidak
menjadikannya lalai dari hukum dan tatanan-Nya. Maknanya, dalam setiap aspek
kehidupan tidak ada batasan atau sekat yang mampu menahan atau melepas apapun
yang melekat pada setiap orang, apapun haknya selalu ditunaikan tanpa memangkas,
apalagi menghapusnya. Seorang muslim sedemikian telah memasuki level Ihsân
dalam menjalani kehidupan.
Dan Ihsân adalah puncak penghambaan manusia terhadap
Allâh SWT. Sebentuk keindahan dalam menghamba kepada-Nya akan terasakan.
Melalui Ihsân inilah seorang muslim mempraktekkan keadilan dalam hidup,
jujur karena Allâh, amânah, dan cerdas dalam menjalani kehidupan yang penuh
dengan berbagai macam cobaan dan ujian.
Maka, berîmân saja tidak cukup, mesti ditingkatkan menjadi
ber-Islâm. (Yusuf Qardhawi, 2001: 17) Dan hanya ber-Islâm juga tidaklah cukup, diperlukan kesungguhan dan
kesiapan untuk menggapai Ihsân. Seorang muslim hendaknya berjuang untuk
menjadikan Ihsân sebagai nafas kehidupannya.
Pertanyaannya
sekarang adalah, sudah sampai manakah diri kita; Îmân, Islâm, ataukah Ihsân?
Di manapun pencapaian kita, di sanalah terdapat suatu kebaikan dan
keberuntungan yang besar.
Benar saja jika
Rasûlullâh bersabda, “Ihsân adalah hendaknya engkau menyembah Allâh
seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya maka
sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar