Senin, 07 Mei 2018

Tidak Sekedar Menjadi Hamba




Moh.In'ami |  Hamba yang Berkualitas


Sudah menjadi kodrat manusia untuk menjadi `abdullâh dan khalîfatullâh. Kodrat sedemikian memiliki implikasi untuk berbuat dan berkarya sesuai dengan tatanan yang telah Allâh tentukan dan mengikuti apa yang telah Rasûl-Nya teladankan.
Betapa posisi manusia dalam kehidupan ini sangat menjanjikan, baik jika dilihat secara lahir maupun batin; secara lahir, manusia dapat menemukan adanya banyak profit dan keistimewaan, banyak kewenangan yang diberikan kepadanya. Sementara, secara batin, manusia sangat jelas diberi ruang khusus untuk ‘kembali’ menemukan dirinya, jati dirinya, dan hakekatnya sekaligus.
Melalui dimensi lahir itu manusia dapat mewujudkan segala yang terpikir dalam batinnya, menunjukkan perilaku nyata yang bisa dicontoh, diakses atau bahkan disinergikan dengan individu lain untuk melahirkan kemaslahatan bersama. Sedangkan melalui dimensi batin, manusia terbuka jalan untuk memperkuat motif dan spirit, yang dari keduanya potensi `abdullâh dan khalîfatullâh, dapat dinyatakan dan disalurkan.
Dalam menjalankan tugas di kantor, di rumah atau di mana saja, orang sering mengedepankan ego (keakuannya) dan mengenyampingkan dimensi lain yang semestinya menjadi bagian integral dan tak terpisahkan. Pada saat fungsi `abdullâh dan khalîfatullâh tidak lagi dapat dirasakan dan dihadirkan dalam kehidupan, maka silakan saja untuk menghuni dunia lain selain bumi Allâh SWT.
Sungguh pengharaan yang setinggi-tingginya dari Yang Maha Pencipta bahwa kita sebagai manusia sekaligus hamba-Nya yang sadar dan mampu menundukkan diri, taat dan berserah diri kepada-Nya dalam setiap perjalanan hidup.
Bagaimana masa depan kita (kelak di âkhirat) jika Allâh tak lagi memandang kita sebagai hamba-Nya?

1. Menjadi hamba

Bagaimana menjadi seorang hamba yang baik? Itulah pertanyaan yang seharusnya kita jawab dan kita siapkan setiap saat dan waktu. Upaya memahami keberadaan kita sebagai manusia dan fungsinya bagi kehidupan ini hendaknya terus menerus dilakukan. Hal ini akan menghindarkan kita dari perilaku yang berlebihan, tidak melekatkan sifat-sifat yang seharusnya bukan milik kita, atau apalagi berbuat yang di luar kapasitas sebagai manusia. Apalagi mencoba menyaingin Tuhan. Sungguh sû’ul adab yang berlebihan.
Untuk itulah, pemahaman kita terhadap ‘wilayah’ yang menjadi wewenang Allâh dan kekuasaan-Nya dalam kehidupan ini amatlah penting. Supaya manusia tetap berstatus sebagai makhlûq. Agar, siapapun kita; penguasa, pengusaha atau petani dan lainnya, bersikap sebagaimana manusia –adanya dan yang seharusnya– sekalipun berposisi dan mempunyai kewenangan ataupun kekuasaan.
Ingat, yang menjadi penguasa jangan sok kuasa, mentang-mentang berkuasa yang kecil diinjak, yang lemah diabaikan dan ditindas. Hati-hati, yang jadi pengusaha ojo dumeh harta melimpah dan berpunya lantas ‘membeli’ undang-undang, bernego dengan penguasa untuk tujuan monopoli dan kepentingan sendiri. Waspadalah, yang menjadi petani jangan merasa inferior, kecil hati, atau hina. Justru dengan bertani itulah bisa dijadikan sarana untuk menemukan Allâh SWT. Dan pada puncak kesadaran seorang petani mampu menjadi manusia yang mulia, yang tahu akan fungsinya, dan bekerja sebagai `abdullâh dan khalîfatullâh dengan bercocok tanam.
Sungguh nikmat yang luar biasa ketika setiap saat dan waktu kita juga mampu menghambakan diri hanya kepada Allâh, ber`ibâdah kepada-Nya semata, dan dengan segala kesadaran yang kita miliki hendaknya menjadikan Allâh sebagai Tuhan.

2. Keangkuhan pragmatisme

Sekali lagi, kesadaran menjadi hamba adalah hal penting bagi manusia. Melalui kesadaran itu manusia bisa merealisasikan tugasnya secara nyata sebagai `abdullâh dan sekaligus khalîfatullâh. Di manapun berada dan kapan saja setiap orang hendaknya menunjukkan eksistensi kehambaan dan kekhalifahannya.
Lihat saja dalam aspek politik, hegemoni penguasa dengan kekuasaan dan kesewenangannya cenderung menyempitkan gerak kaum marginal, orang-orang tidak mampu dan mereka yang mustadh`afîn. Pendapat, cara berpikir, dan sudut pandang didorong dan diarahkan untuk searah dengan kemauan penguasa. Apa saja yang dimiliki orang-orang kecil itu telah dibeli dan digantirugi oleh idealisme penguasa. Nyaris mereka tidak memiliki apapun.
Bagaimana penguasa akan menemukan kesadarannya bila ia tak lagi mau dan mampu mendengar, melihat dan merasakan realitas masyarakat, sementara hidupnya diselimuti dominasi, pengokohan kursi kekuasaan, dan kabut tebal kepentingan kelompok. Padahal dengan menjadi penguasa pun kesadaran manusia sebagai hamba Allâh dapat dimanifestasikan, dan hal itu akan terwujud dalam pemahaman yang inheren dalam mengambil setiap keputusan dan melaksanakan kewenangan yang merujuk pada apa yang diwahyukan dan bukan apa yang dibuat menurut keinginan, kesepakatan dan keuntungan bersama.
Dalam aspek ekonomi, para konglomerat merasa memiliki segalanya. Padahal apa saja yang kita akui dan kita klaim sebagai miliki kita, secara de jure maupun de facto, hakekatnya adalah milik Allâh SWT. Semua itu hanyalah titipan, dan niscaya akan kembali kepada-Nya. Jika kita yang merasa memiliki masih saja bersikukuh untuk menahan untuk tidak berbagi dengan sesama, lantas ke mana rasa kepedulian kita?
Dalam aspek sosial, manusia mampu berinteraksi dan bergumul dengan komunitas di sekitarnya. Setiap hubungan sosial yang dilakukan selalu berangkat dari motif yang berbeda antara satu orang dengan lainnya. Sungguh ironis jika muara setiap aktivitas itu adalah keuntungan materi semata. Padahal orientasi non-fisik merupakan sarana untuk pemenuhan kebutuhan rohani.
Dalam aspek budaya, orang mencapuradukkannya dengan agama, sehingga di kalangan masyarakat antara budaya dan agama menjadi tidak jelas batasannya. Jika demikian sudah seharusnya setiap muslim kembali kepada Alqurân dan As-Sunnah yang shahîh. Dan pilihan kita secara tegas adalah mengikuti apa yang Rasûl saw teladankan.
Dalam aspek relasi personal, orang yang individualis dan egois masih saja menjamur di sekitar kita. Mengajak mereka ‘membuka mata’ adalah tugas mulia yang mengantarkan pada kesamaan kewajiban dan hak. Adanya kesadaran bahwa masing-masing berstatus sama di hadapan Allâh, maka asas egaliter lebih diutamakan. Yaitu, tidak ada yang merasa lebih pintar, lebih kuat atau lebih segalanya. Adanya kebersamaan merupakan cermin ukhuwwah antar individu dalam masyarakat.
Melalui aspek-aspek yang berbeda itu setidaknya saya, anda dan kita dapat melihat gaya dan sikap hidup yang akan kita pilih. Apapun yang kita lakukan dalam berbagai disiplin keilmuan atau keterampilan yang kita tekuni merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pola pikir kita sebagai `abdullâh dan khalîfatullâh. Sehingga nampak jelas dan nyata adanya nilai pertanggungjawaban kini di dunia dan kelak di âkhirat. Untuk itu, sebagai hamba sekaligus pengelola alam semesta hendaknya mendorong kita dapat berbuat yang lebih baik dan mewujudkan kebaikan itu bagi sesama dan alam sekitarnya.

3. Klimaks penghambaan

Setiap makhlûq hendaknya menyadari adanya Khâliq. Sebagai hamba yang baik hendaknya sadar dan menjalankan setiap tugas dan kewajiban. Dan keberadaan setiap hamba di muka bumi merupakan wujud rahmat dan anugerah yang bersar dari Allâh SWT. Muaranya adalah menuju QS. 51: 56,
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
Menjadi manusia adalah menyadari arti kemanusiaan dan menghargai setiap yang tercecer, memungut setiap yang terpinggir, mengayomi dan menolong setiap yang teraniaya. Adanya keutamaan yang diperhatikan dan mewarnai setiap polah tingkah dan perilaku hidup menjadi citra diri seorang hamba yang selalu mendambakan adanya ma`ûnah dari Dzat Yang Maha Memberi.
Kesadaran seorang muslim dalam memanusiakan diri sehingga mampu berperi kemanusiaan dalam kehidupan ini merupakan jalan menuju upaya menjadi hamba Allâh yang dengan tulus mau dan mampu mengamalkan ayat 5 surat Al-Bayyinah. Kesadaran yang mewujud dalam perilaku ini memperkuat penghambaan seorang manusia kepada Allâh. Apapun pangkat dan jabatan seseorang tidak menjadikannya lalai dari hukum dan tatanan-Nya. Maknanya, dalam setiap aspek kehidupan tidak ada batasan atau sekat yang mampu menahan atau melepas apapun yang melekat pada setiap orang, apapun haknya selalu ditunaikan tanpa memangkas, apalagi menghapusnya. Seorang muslim sedemikian telah memasuki level Ihsân dalam menjalani kehidupan.
Dan Ihsân adalah puncak penghambaan manusia terhadap Allâh SWT. Sebentuk keindahan dalam menghamba kepada-Nya akan terasakan. Melalui Ihsân inilah seorang muslim mempraktekkan keadilan dalam hidup, jujur karena Allâh, amânah, dan cerdas dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan berbagai macam cobaan dan ujian.
Maka, berîmân saja tidak cukup, mesti ditingkatkan menjadi ber-Islâm. (Yusuf Qardhawi, 2001: 17) Dan hanya ber-Islâm juga tidaklah cukup, diperlukan kesungguhan dan kesiapan untuk menggapai Ihsân. Seorang muslim hendaknya berjuang untuk menjadikan Ihsân sebagai nafas kehidupannya.
Pertanyaannya sekarang adalah, sudah sampai manakah diri kita; Îmân, Islâm, ataukah Ihsân? Di manapun pencapaian kita, di sanalah terdapat suatu kebaikan dan keberuntungan yang besar.
Benar saja jika Rasûlullâh bersabda, “Ihsân adalah hendaknya engkau menyembah Allâh seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim)ž




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...