Taubat Sebagai Upaya Mendidik Jiwa
Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya
setiap anak Adam bersalah, dan sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah orang
yang bertobat.”
(HR. Turmudzi dan Ibn Majah)
T
D
|
alam belantara kehidupan begitu mudah
ditemukan apa yang kita sebut sebagai ‘baik’, pun demikian tidak sulit untuk
menjumpai apa yang dikenal sejak kecil sebagai ‘buruk’. Baik mengandung segala
macam yang dapat diidentifikasi dan memiliki nilai transendental. Maknanya,
setiap yang diperintahkan tentu benar dan baik adanya, meski bersifat normatif.
Buruk menunjukkan segala hal yang menjurus ke pelarian dari agama. Maknanya,
setiap yang memunculkan sikap ketidakpedulian terhadap agama, meski hanya lahir
atau batin saja, atau kedua-duanya, adalah wujud keburukan dan tidak adanya
pengakuan terhadap apa yang Allah Ta’ala turunkan berupa risalah yang diberikan
kepada Nabi saw dalam bentuk syari’at.
Pada tulisan ini, baik itu
lebih dekat pada perintah, sementara buruk itu mengarah pada larangan. Tidak
ada yang setengah-setengah dalam agama, semua yang haq dan bathil
telah dijelaskan dalam Alqur’an dan al-Hadits. Jika ingin melaksanakan syari’at
agama hendaknya bersikap total, sepenuhnya diamalkan.
Ajakan dan perintah yang
cukup jelas itu kadang menjadikan makhluk yang bernama manusia tidak sempat
untuk menangkap hikmah dan manfaat kini. Orang menjadi serius dengan kesibukan
tertentu, dan lalai dalam melaksanakan ajakan dan perintah itu.
Di sisi lain, agama ini
memberikan ‘rambu-rambu’ kehidupan yang jelas, dan larangan adalah garis yang
tidak dapat diterjang oleh siapapun. Tanpa terkecuali. Betapa Islam tidak
memberikan perlakuan yang bersifat ‘pilih kasih’ dalam soal tatanan dan aturan
hidup.
Sering kali ungkapan yang
diajukan adalah karena saya manusia, tempat lupa dan salah. Ada lagi yang
menganggap mumpung masih muda, dipuas-puaskan. Yang lain lagi mengatakan bahwa
saya ini sudah terlanjur banyak berbuat maksiat. Mungkin masih banyak yang
ingin menunjukkan mengapa tidak segera keluar untuk menemukan jalan baru,
taubat. Semakin dicari alasan semakin tidak akan pernah terjadi pertaubatan.
Dan menuruti hawa nafsu tidak akan pernah ada ujungnya.
§ Salah dan Dosa
Menurut pandangan Islam,
dosa dibagi dua; dosa besar dan dosa kecil. Allah menjelaskan dalam firman-Nya:
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa
yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya kami hapus kesalahan-kesalahanmu
(dosa-dosamu yang kecil) dan kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).
(QS. An-Nisa’: 31)
Dalam ayat lain disebutkan:
“(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan
perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu
Maha luas ampunanNya.” (QS. An-Najm: 32)
Perbuatan dosa, baik besar
maupun kecil, merupakan sebab utama kesengsaraan manusia. Dosa itu berdampak
negatif pada diri pelakunya; keresahan, keterpurukan, bahaya kesehatan, akal,
dan pekerjaan. Dampak lain berupa menghilangnya rasa persatuan, keguncangan
maupun keributan pada masyarakat.
Hanya para nabi dan rasul
saja yang terjaga (ma’shum). Tidak ada satu dosapun yang dilakukan oleh
mereka alaihissalam. Allah Ta’ala memberikan perlakuan khusus kepada
hamba-hamba-Nya itu. Jika terdapat di antara kita yang mengaku bebas dari
kesalahan, sok suci, bebas dari setitik salah, tentu bukanlah pengakuan,
mungkin lebih dekat kepada canda atau mengingatkan kita dengan logika terbalik.
Artinya, sadar atau tidak, ya kita pernah berbuah salah.
Terdapat sebuah analogi
bahwa salah itu seperti kotoran. Tergantung pada kecerdasan orang untuk dapat
mengelolanya. Jika orang mampu menjadikan kesalahan untuk mendekat kepada Allah
Ta’ala, untuk bertaubat kepada-Nya, maka kesalahan itu sebenarnya bukan kesalahan
melainkan itu bentuk saluran rahmat dari Allah.
Nabi saw pernah bersabda
“Setiap anak manusia pernah melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang
berbuat salah adalah yang mau bertaubat”. Hadits inilah yang dijadikan landasan
untuk menyadari adanya kebaikan dari setiap keburukan, sehingga orang yang
berbuat salah tidak berlama-lama menikmati kemaksiatan yang membawa kehancuran.
Dan kenikmatan dalam maksiat bukanlah sejatinya nikmat, melainkan bujuk dan
rayu syetan.
Mengerjakan kejahatan
lantaran kejahilan sebagaimana disebutkan dalam surat An-Nisa’ ayat 17 diatas
adalah: maksudnya ialah: 1. orang yang berbuat maksiat dengan tidak mengetahui
bahwa perbuatan itu adalah maksiat kecuali jika dipikirkan lebih dahulu. 2.
orang yang durhaka kepada Allah baik dengan sengaja atau tidak. 3. orang yang
melakukan kejahatan Karena kurang kesadaran lantaran sangat marah atau Karena
dorongan hawa nafsu.
§ Argumen Itu
Selalu orang bertanya
tentang alasan dalam mengerjakan sesuatu, atau paling tidak orang berpikir tentang
maksud ataupun tujuan melakukan hal yang diperintahkan. Tidak ada suatu
perintah yang tidak dapat dilakukan oleh makhluk. Semua perintah yang Allah
Ta’ala tetapkan merupakan indikator adanya kemampuan makhluk untuk
mengerjakannya. Pun bila terdapat larangan-Nya, sebenarnya tidak seorangpun
yang tidak dapat meninggalkannya. Betapa larangan itu lebih dekat kepada hawa
nafsu yang mendominasi pribadi seseorang, sehingga larangan pun diterjang.
Panggilan bertaubat sering
dikumandangkan, hanya soal indera pendengaran saja yang bermasalah. Mendengar
tetapi tidak fokus pada inti yang disampaikan. Mungkin bisa saja mendengar,
tetapi menerima panggilan tersebut adalah soal lain.
Jika nafas masih ada, itu
tandanya masih terbuka kesempatan untuk bertaubat. Jika ada yang merasa kotor,
terlanjur banyak maksiat dan dosa, itu tandanya diperintahkan untuk
membersihkan diri, bertaubat. Jika orang sudah tahu dirinya kotor, berlumur
lumpur, lantas ‘mandi’, lalu menceburkan diri dalam kubangan lumpur, itu
berarti “nekad”. Orang yang berbuat dosa dan maksiat, sudah bertaubat, lalu
menjerumuskan diri lagi, ini berarti belum menyadari dan sadar diri yang
sesungguhnya.
Pertanyaan “mengapa harus
bertaubat” adalah awal yang baik bagi orang yang sadar akan maksiat dan
bahayanya. Kesadaran untuk menjawab pertanyaan tersebut menjadi tonggak penting
dalam perubahan seseorang yang ‘biasa’ berlaku maksiat untuk berubah dan
menjadi ‘diri’ yang baru.
Amru Khalid, dalam Hatta
Yughayyiru ma bi Anfusihim, menyebutkan 15 efek buruk dari maksiat, di
antaranya: murka Allah, kebencian orang mukmin, penghalang datangnya rezeki,
penghalang memperoleh ilmu, cobaan yang berat, merasa terasing dari Allah,
merasa terasing dari lingkungan, hati yang gelap dan raut muka yang suram,
terhalang melakukan ketaatan, hasrat untuk mengerjakan kemaksiatan lain,
kehinaan di sisi Allah, kehinaan di dalam hati, melemahkan akal, petaka akibat
maksiat, dan mulut pelaku maksiat akan berkhianat pada dirinya.
Argumen yang semestinya
ditemukan oleh para pelaku maksiat adalah
“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi
orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka
bertaubat dengan segera. Maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya. dan
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa’: 17).
Pada ayat di atas, yang
dimaksud mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan adalah: 1. orang yang berbuat
maksiat dengan tidak mengetahui bahwa perbuatan itu adalah maksiat kecuali jika
dipikirkan lebih dahulu; 2. orang yang durhaka kepada Allah baik dengan sengaja
atau tidak; 3. orang yang melakukan kejahatan karena kurang kesadaran lantaran
sangat marah atau Karena dorongan hawa nafsu.
§ Saatnya Kembali
Dalam Al-Khathaya fi
Nadzril Islam karya Syekh Afif Thobaroh disebutkan bahwa taubat mempunyai
tiga syarat: (a) meninggalkan perbuatan dosa; (b) menyesali perbuatannya; (c)
bertekad tidak akan melakukannya kembali. Salah satu unsur penting dalam taubat
adalah adanya rasa penyesalan. Rasa penyesalan ini mempunyai pengaruh besar
dalam merubah sikap seseorang dari keadaan jelek menjadi baik.
“Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal
saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang
sebenar-benarnya.” (QS. Al-Furqan: 71)
Manusia lahir dalam keadaan
suci, fitrah. Jika manusia mengotori fitrahnya itu lantaran hawa nafsu
yang menguasai dirinya, hingga orang lalai, salah, berbuat dosa atau maksiat,
maka kesempatan untuk membersihkan diri masih terbuka dan selalu dibuka untuk
siapa saja yang mau kembali, kembali ke jalan yang benar. Selama hayat masih
dikandung badan, bertaubat masih diterima. Namun bila orang menunda-nunda,
mengulur waktu, tidak mau bersegera untuk bertaubat, maka suatu saat nyawa akan
meregang dari raga tanpa warning, dan datangnyapun tiba-tiba.
Jika panggilan taubat tidak
lagi dihiraukan, waspadalah bahwa Malaikat Izrail bisa kapan saja dan dimana
saja mencabut nyawa, tentunya Izrail bertindak setelah adanya instruksi Sang
Khaliq. Maka waspadalah terhadap mati su’ul khatimah (akhir yang buruk).
Upaya untuk kembali ke
jalan yang lurus hendaknya diupayakan semaksimal mungkin. Perjuangan untuk
taubat ini mengandung nilai yang positif bagi perbaikan pribadi dan bukti
penghambaan kepada Yang Maha Pengampun. Jika orang yang bertaubat sudah kembali
ke dalam naungan cahaya ilahi, ia pantang kembali kepada kemaksiatan. Maka
diperlukan cara jitu untuk menepis keinginan untuk bermaksiat, yaitu (i)
bergaul dengan orang saleh; (ii) membiasakan diri beramal saleh. Disinilah
pentingnya lingkungan yang baik, yang mendukung berseminya kemaslahatan dan
perbaikan serta kebermaknaan hidup di bawah ridha Allah Ta’ala.
Sebuah contoh yang dapat
ditiru oleh siapapun dari kita adalah Rasulullah saw, yang merupakan manusia
yang terhindar dari dosa (ma’shum) bertaubat atau beristighfar dalam
sehari 70 kali, bahkan sampai 100 kali. Akankah kita umatnya, yang notabene
adalah manusia biasa (baca: tidak ada jaminan bebas dari dosa) enggan melakukan
hal tersebut. Padahal dosa, kesalahan dan maksiat tidak pernah lepas dari
kehidupan kita sehari-hari. Masihkah kita enggan bertaubat kepada Allah Ta’ala?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar