Mengoptimalikan Potensi Kebaikan
Sabda beliau saw: “Sesungguhnya di
dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, yang apabila dia berfungsi dengan
baik maka baiklah seluruh tubuh. Dan apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh
tubuh. Ketahuilah, segumpal darah itu adalah qalbu.”
(HR. Albukhari-Muslim)
T
A
|
danya makhluk tidak bisa dilepaskan
dari adanya Khaliq. Keberadaan setiap yang hidup bisa dipastikan ada yang
menghidupkan dan mengadakannya. Kemampuan untuk mengetahui adanya Khaliq
melalui indikator hadirnya makhluk yang hidup di sekitar kita adalah wujud
kesadaran ilahiyah yang tinggi. Allah Ta’ala sebagai Sang Khaliq hendak
memberikan pembelajaran kepada siapa saja yang sadar sebagai makhluk untuk
mengerti dan memahami bahwa Sang Pencipta Yang Maha Kuasa telah menunjukkan
kekuasaan-Nya melalui ayat-ayat kauniyah yang menyebar di semesta alam.
Dan sesungguhnya Allah Maha
Adil, yang telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sempurna (fi ahsani
taqwim) sehingga dengan kemampuan yang dimilikinya dapat menjalankan
tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Tugas-tugas kekhalifahan itu merupakan
amanah yang besar dan berat, serta tidak banyak yang mampu mengembannya. Hanya
manusialah yang berani mengambil resiko menjalaninya. (lihat QS. Al-Ahzab: 72)
Setiap yang bernama manusia
mempunyai kesempatan dan peluang yang sama. Tidak ada yang tidak memiliki waktu
24 jam sehari-semalam. Baik laki-laki maupun perempuan diberikan kekuatan dan
kelemahan. Masing-masing dari kekuatan dan kelemahan itu menjadi karakteristik
yang melekat. Sehingga laki-laki menjadi lebih kuat daripada perempuan, atau
bahkan sebaliknya. Dengan izin Allah tentunya. Soal yang satu lebih kuasa dan
yang lain dikuasai itu lebih merupakan pemaknaan parsial terhadap ciptaan
Allah. Jika manusia mampu menerima yang datang dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya
tentu masalah ini sudah jelas dan demikianlah adanya.
Eksistensi kita merupakan
rajutan titik dari masa lalu, masa kini dan masa depan. Masa lalu telah kita
lewati dengan berbagai macam pesona dan aktivitas yang mengarah pada
pembelajaran diri dan pengalaman hidup, laksana guru sepanjang masa, (experience
is the best teacher), yang mengantarkan kita menjadi dewasa hingga masa
kini. Yaitu sebuah kesempatan untuk menumbuhkembangkan kesadaran dan kemampuan
diri demi menggapai cita-cita dan harapan di masa depan. Suatu masa yang pasti
akan datang, dan mau tidak mau kita harus menghadapinya dengan segala fenomena,
problematika dan tantangan yang muncul. Sementara yang belum pasti dan tidak
menentu adalah kesiapan diri kita. Adakah kita kehabisan bekal di masa depan,
sehingga defisit kebaikan? Ataukah masa lalu dan masa sekarang terlewatkan
begitu saja tanpa pembekalan diri menuju insan profesional? Siapkah kita
bersaing di dunia global pada masa mendatang?
§ Potensi Itu
Keadilan Allah menjadi
tampak nyata dalam kehidupan ini ketika kita mampu melihat potensi dalam setiap
pribadi manusia. Potensi baik maupun buruk. Sebagaimana disebutkan dalam ayat
8-10 surat Asy-Syams, bahwa Allah telah menganugerahkan potensi dan daya untuk
mengetahui apa yang ada, baik berupa pengetahuan terhadap yang perkara yang haq
maupun yang bathil. Sehingga ketika seorang hamba mampu mengoreksi diri,
mengetahui kelemahan maupun kekurangan, dan pula mampu mendeteksi potensi
kebaikan dalam dirinya, kemudian mengimplementasikan dalam kehidupan nyata,
maka terbukalah jalan kemenangan baginya melalui penyucian jiwa.
Namun sebaliknya, orang
yang meremehkan sinyal-sinyal kebaikan dan menghinakan diri tanpa mempedulikan
rambu-rambu agama, dengan sikap melalaikan Allah Ta’ala dan menyesatkan diri, niscaya
termasuk golongan orang yang merugi di hari kemudian.
Selanjutnya, interpretasi
yang muncul adalah bahwa setiap individu memiliki hak untuk memilih alternatif
jalan hidup. Manakala seseorang mampu memaksimalkan potensi kebaikan dalam
diri, tentu pribadinya akan memancarkan performance (sikap, perilaku dan
tutur sapa) yang santun, penuh nilai manfaat dan diridlai Allah.
Berbeda dengan orang yang
menonaktifkan potensi kebaikan, lalu menyalakan potensi keburukan, hingga
mempengaruhi pikirannya, bahkan terjebak pada perilaku negatif, maka tidak
menutup kemungkinan cahaya ketaqwaan yang menghunjam di dada akan pudar dan
keburukan menjadi hiasan kehidupannya. Na’udzu billah min dzalik.
Akan bagaimana sikap
seseorang dalam hidup dan bagaimana jalan hidup yang diambil sangat bergantung
pada segumpal darah. Jika qalbu seseorang mampu ‘berkilau cahaya’ yang disinari
petunjuk ilahiyah tentu ekspresi kehidupannya akan memancar kedamaian, menebar
kebaikan, menyemai benih-benih kebermanfaatan di tengah kehidupan. Semua bentuk
tutur sapa, ucap-laku, ‘solah-bowo, dan muna-muni’ sungguh bercermin pada
akhlak karimah. Disinilah seseorang betul-betul menemukan sisi kemanusian dan pribadinya yang sejati.
Berbeda dengan qalbu yang
rusak oleh ‘debu-debu’ kemunkaran dan kemaksiatan. Yang nampak selalu saja
‘wajah’ yang bukan seharusnya. Bentuk-bentuk lahir yang bukan berasal dari
dimensi nurani, jauh dari nilai-nilai religius. Hiasan pribadinya adalah
permusuhan, gelora amarah tanpa kenal maaf, selalu nampak jelas yang salah pada
orang tanpa mampu melihat diri sendiri. Perilaku dan sikap menjadi tidak
terkendali dan lepas kontrol. Semua gerak dan lakunya berbasis pada nafsu.
Dan kita hanya dapat
memahami qalbu melalui asumsi-asumsi dari proses perenungan yang sangat personal,
karena di dalam qalbu itu terdapat berbagai potensi yang sangat
multi-dimensional.
§ Mengintegrasikan Kebaikan dan Kebenaran
Dalam kehidupan beragama,
bermasyarakat dan bernegara, faktor kebaikan dan kebenaran tidak dapat
dipisahkan. Kedua faktor tersebut hendaknya menyatu dalam setiap sudut
kehidupan. Integrasi kedua hal itu mampu mewujudkan kehidupan individu maupun
sosial yang religius (agamis) dan penuh kedamaian, yang secara otomatis akan
berimplikasi pada kebaikan yang mengarahkan manusia menuju insan kamil
(manusia sempurna), sementara kebenaran menuntut setiap individu kepada sikap
adil terhadap diri sendiri dan orang lain yang melahirkan kesejahteraan bagi
semesta raya.
Untuk menjadi manusia yang khoirun-nas
(sebaik-baik manusia) hendaknya setiap individu mampu menghayati dan memiliki
kebaikan dalam budi pekerti, dengan didorong semangat “hari ini harus lebih
baik daripada hari kemarin, dan hari esok harus lebih baik daripada hari ini”,
sungguh-sungguh diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Setiap muslim
berjuang menegakkan panji-panji agama Allah dan memegang teguh pada komitmen
“berani karena benar” dan tidak takut menyatakan kebenaran meskipun akan
menjadi tidak mengenakkan akibatnya (Qul al-haqq walau kana murran). Katakan yang benar meskipun itu
pahit rasanya. Hal ini berdampak pada prinsip menyatakan kebaikan dan bukannya
membaikkan kenyataan –yang mengandung makna menjelaskan sesuatu secara
proporsional, obyektif dan sebagaimana adanya. Allah Ta’ala menegaskan dalam
QS. Al-Isra’ ayat 81:
“Dan katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang
batil telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti
lenyap.”
§
Komitmen
“Jangan bosan menjadi orang
baik.” Itulah sebuah untaian pesan seorang ustadz kepada para santrinya agar
kelak dapat memenuhi apa yang diharapkan oleh Orangtua dan masyarakat.
Belajar dari pesan tersebut
setidaknya terdapat konsekuensi logis, baik idealis maupun praktis. Pertama,
dalam setiap pikir hendaknya dilandasi dengan positive thinking sehingga
seluruh perilaku yang muncul akan positif dan berorientasi pada manfaat dan
berakhir pada prestasi; kedua, perbuatan yang baik dan lurus hendaknya lahir
dari kesadaran pribadi dan bukan karena paksaan. Ketika kedua hal di atas telah
melekat pada diri seseorang, maka yang nampak adalah manusia yang memiliki
kepribadian yang agung (high personality).
Potensi kebaikan dalam diri
manusia bagaikan bunga di taman, yang harus disiram, dirawat dengan baik agar
terjaga kelestariannya. Ketika cuaca panas, badai menerpa, sementara kondisi
tanah gersang dan tandus, maka bunga akan layu dan akhirnya mati.
Kesadaran untuk memelihara
dan menjaganya akan membuat bunga tetap bertahan hidup dan tegar dalam berbagai
suasana dan kondisi. Dengan berbekal rasa kasih sayang seseorang mampu
mempertahankan kebaikan yang telah lekat, dan akan menjadi eksis dan
mendominasi setiap relung hati, tutur sapa, dan gerak tingkah laku sehari-hari.
Seseorang yang
dikategorikan telah berbuat maksimal terhadap potensi kebaikan dalam dirinya
dapat dilihat dari fungsinya sebagai manusia yang rahmatan lil ‘alamin
dan berkarakter khoiru ummah (sebaik-baik umat). Yang demikian itu
terdapat korelasi yang kuat dengan QS. Ali Imran ayat
110, yaitu:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah.“
Sebagai refleksi atas
keadaan yang tidak sesuai dengan harapan: sebuah lembaga Islam tidak
mencerminkan nilai-nilai Islam; ‘mesin pencetak’ sarjana Islam yang ternyata
hanya berlabel Islam saja dan faktanya sangat tidak peduli dengan konsep
pendidikan Islam yang layak diterapkan dan diamalkan dalam kehidupan nyata;
para pendidik yang lebih mementingkan ‘kelompok’ dan penyelematan ‘kursi’
ketimbang konsen pada misi pendidikan dan mengembangkannya; gerusan nuansa
‘politik’ dalam ranah agama, pendidikan dan sosial, dan seterusnya. Hal-hal
tersebut merupakan cerminan penyimpangan perilaku manusia yang tidak lagi
menjadikan baik sebagai bagian penting dalam kehidupannya. Sehingga yang
dipaksakan wajar adalah “bagaimana enaknya”, dan tidak ada lagi pembicaraan
untuk mencari “bagaimana baiknya.”
§
Epilog
Masing-masing individu
muslim hendaknya menjadikan konsep fastabiqul khoirot sebagai spirit,
semangat dan sekaligus doktrin yang –dengannya– mampu menggerakkan cipta, rasa
dan karsa untuk menegakkan kalimah Allah, menebarkan kedamaian dan
kesejahteraan melalui jalan Islam sebagai pendekatan yang persuasif dan
komprehensif.
Yang menjadi persoalan
sekarang adalah bagaimana kita mensinergikan kemampuan emosional, intelektual
dan spiritual yang ada dalam pribadi kita untuk dapat membumikan nilai-nilai
ilahiyah melalui perbuatan baik dalam kaitannya dengan hubungan vertikal
(mu’amalah kepada Allah) dan horizontal (mu’amalah dengan sesama manusia dan
makhluk lain)?
Ingat, bahwa Allah Ta’ala
telah memberi bekal kepada setiap manusia:
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS.
Asy-Syams: 8-10)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar