Sabtu, 14 April 2018

Mengoptimalkan Potensi Kebaikan


Mengoptimalikan Potensi Kebaikan
Sabda beliau saw: “Sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging, yang apabila dia berfungsi dengan baik maka baiklah seluruh tubuh. Dan apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal darah itu adalah qalbu.”
(HR. Albukhari-Muslim)
T

A
danya makhluk tidak bisa dilepaskan dari adanya Khaliq. Keberadaan setiap yang hidup bisa dipastikan ada yang menghidupkan dan mengadakannya. Kemampuan untuk mengetahui adanya Khaliq melalui indikator hadirnya makhluk yang hidup di sekitar kita adalah wujud kesadaran ilahiyah yang tinggi. Allah Ta’ala sebagai Sang Khaliq hendak memberikan pembelajaran kepada siapa saja yang sadar sebagai makhluk untuk mengerti dan memahami bahwa Sang Pencipta Yang Maha Kuasa telah menunjukkan kekuasaan-Nya melalui ayat-ayat kauniyah yang menyebar di semesta alam.
Dan sesungguhnya Allah Maha Adil, yang telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sempurna (fi ahsani taqwim) sehingga dengan kemampuan yang dimilikinya dapat menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Tugas-tugas kekhalifahan itu merupakan amanah yang besar dan berat, serta tidak banyak yang mampu mengembannya. Hanya manusialah yang berani mengambil resiko menjalaninya. (lihat QS. Al-Ahzab: 72)
Setiap yang bernama manusia mempunyai kesempatan dan peluang yang sama. Tidak ada yang tidak memiliki waktu 24 jam sehari-semalam. Baik laki-laki maupun perempuan diberikan kekuatan dan kelemahan. Masing-masing dari kekuatan dan kelemahan itu menjadi karakteristik yang melekat. Sehingga laki-laki menjadi lebih kuat daripada perempuan, atau bahkan sebaliknya. Dengan izin Allah tentunya. Soal yang satu lebih kuasa dan yang lain dikuasai itu lebih merupakan pemaknaan parsial terhadap ciptaan Allah. Jika manusia mampu menerima yang datang dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya tentu masalah ini sudah jelas dan demikianlah adanya.
Eksistensi kita merupakan rajutan titik dari masa lalu, masa kini dan masa depan. Masa lalu telah kita lewati dengan berbagai macam pesona dan aktivitas yang mengarah pada pembelajaran diri dan pengalaman hidup, laksana guru sepanjang masa, (experience is the best teacher), yang mengantarkan kita menjadi dewasa hingga masa kini. Yaitu sebuah kesempatan untuk menumbuhkembangkan kesadaran dan kemampuan diri demi menggapai cita-cita dan harapan di masa depan. Suatu masa yang pasti akan datang, dan mau tidak mau kita harus menghadapinya dengan segala fenomena, problematika dan tantangan yang muncul. Sementara yang belum pasti dan tidak menentu adalah kesiapan diri kita. Adakah kita kehabisan bekal di masa depan, sehingga defisit kebaikan? Ataukah masa lalu dan masa sekarang terlewatkan begitu saja tanpa pembekalan diri menuju insan profesional? Siapkah kita bersaing di dunia global pada masa mendatang?

§  Potensi Itu

Keadilan Allah menjadi tampak nyata dalam kehidupan ini ketika kita mampu melihat potensi dalam setiap pribadi manusia. Potensi baik maupun buruk. Sebagaimana disebutkan dalam ayat 8-10 surat Asy-Syams, bahwa Allah telah menganugerahkan potensi dan daya untuk mengetahui apa yang ada, baik berupa pengetahuan terhadap yang perkara yang haq maupun yang bathil. Sehingga ketika seorang hamba mampu mengoreksi diri, mengetahui kelemahan maupun kekurangan, dan pula mampu mendeteksi potensi kebaikan dalam dirinya, kemudian mengimplementasikan dalam kehidupan nyata, maka terbukalah jalan kemenangan baginya melalui penyucian jiwa.
Namun sebaliknya, orang yang meremehkan sinyal-sinyal kebaikan dan menghinakan diri tanpa mempedulikan rambu-rambu agama, dengan sikap melalaikan Allah Ta’ala dan menyesatkan diri, niscaya termasuk golongan orang yang merugi di hari kemudian.
Selanjutnya, interpretasi yang muncul adalah bahwa setiap individu memiliki hak untuk memilih alternatif jalan hidup. Manakala seseorang mampu memaksimalkan potensi kebaikan dalam diri, tentu pribadinya akan memancarkan performance (sikap, perilaku dan tutur sapa) yang santun, penuh nilai manfaat dan diridlai Allah.
Berbeda dengan orang yang menonaktifkan potensi kebaikan, lalu menyalakan potensi keburukan, hingga mempengaruhi pikirannya, bahkan terjebak pada perilaku negatif, maka tidak menutup kemungkinan cahaya ketaqwaan yang menghunjam di dada akan pudar dan keburukan menjadi hiasan kehidupannya. Na’udzu billah min dzalik.
Akan bagaimana sikap seseorang dalam hidup dan bagaimana jalan hidup yang diambil sangat bergantung pada segumpal darah. Jika qalbu seseorang mampu ‘berkilau cahaya’ yang disinari petunjuk ilahiyah tentu ekspresi kehidupannya akan memancar kedamaian, menebar kebaikan, menyemai benih-benih kebermanfaatan di tengah kehidupan. Semua bentuk tutur sapa, ucap-laku, ‘solah-bowo, dan muna-muni’ sungguh bercermin pada akhlak karimah. Disinilah seseorang betul-betul menemukan  sisi kemanusian dan pribadinya yang sejati.
Berbeda dengan qalbu yang rusak oleh ‘debu-debu’ kemunkaran dan kemaksiatan. Yang nampak selalu saja ‘wajah’ yang bukan seharusnya. Bentuk-bentuk lahir yang bukan berasal dari dimensi nurani, jauh dari nilai-nilai religius. Hiasan pribadinya adalah permusuhan, gelora amarah tanpa kenal maaf, selalu nampak jelas yang salah pada orang tanpa mampu melihat diri sendiri. Perilaku dan sikap menjadi tidak terkendali dan lepas kontrol. Semua gerak dan lakunya berbasis pada nafsu.
Dan kita hanya dapat memahami qalbu melalui asumsi-asumsi dari proses perenungan yang sangat personal, karena di dalam qalbu itu terdapat berbagai potensi yang sangat multi-dimensional.

§  Mengintegrasikan Kebaikan dan Kebenaran

Dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara, faktor kebaikan dan kebenaran tidak dapat dipisahkan. Kedua faktor tersebut hendaknya menyatu dalam setiap sudut kehidupan. Integrasi kedua hal itu mampu mewujudkan kehidupan individu maupun sosial yang religius (agamis) dan penuh kedamaian, yang secara otomatis akan berimplikasi pada kebaikan yang mengarahkan manusia menuju insan kamil (manusia sempurna), sementara kebenaran menuntut setiap individu kepada sikap adil terhadap diri sendiri dan orang lain yang melahirkan kesejahteraan bagi semesta raya.
Untuk menjadi manusia yang khoirun-nas (sebaik-baik manusia) hendaknya setiap individu mampu menghayati dan memiliki kebaikan dalam budi pekerti, dengan didorong semangat “hari ini harus lebih baik daripada hari kemarin, dan hari esok harus lebih baik daripada hari ini”, sungguh-sungguh diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Setiap muslim berjuang menegakkan panji-panji agama Allah dan memegang teguh pada komitmen “berani karena benar” dan tidak takut menyatakan kebenaran meskipun akan menjadi tidak mengenakkan akibatnya (Qul al-haqq walau kana murran). Katakan yang benar meskipun itu pahit rasanya. Hal ini berdampak pada prinsip menyatakan kebaikan dan bukannya membaikkan kenyataan –yang mengandung makna menjelaskan sesuatu secara proporsional, obyektif dan sebagaimana adanya. Allah Ta’ala menegaskan dalam QS. Al-Isra’ ayat 81:
Dan katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.”

§  Komitmen

“Jangan bosan menjadi orang baik.” Itulah sebuah untaian pesan seorang ustadz kepada para santrinya agar kelak dapat memenuhi apa yang diharapkan oleh Orangtua dan masyarakat.
Belajar dari pesan tersebut setidaknya terdapat konsekuensi logis, baik idealis maupun praktis. Pertama, dalam setiap pikir hendaknya dilandasi dengan positive thinking sehingga seluruh perilaku yang muncul akan positif dan berorientasi pada manfaat dan berakhir pada prestasi; kedua, perbuatan yang baik dan lurus hendaknya lahir dari kesadaran pribadi dan bukan karena paksaan. Ketika kedua hal di atas telah melekat pada diri seseorang, maka yang nampak adalah manusia yang memiliki kepribadian yang agung (high personality).
Potensi kebaikan dalam diri manusia bagaikan bunga di taman, yang harus disiram, dirawat dengan baik agar terjaga kelestariannya. Ketika cuaca panas, badai menerpa, sementara kondisi tanah gersang dan tandus, maka bunga akan layu dan akhirnya mati.
Kesadaran untuk memelihara dan menjaganya akan membuat bunga tetap bertahan hidup dan tegar dalam berbagai suasana dan kondisi. Dengan berbekal rasa kasih sayang seseorang mampu mempertahankan kebaikan yang telah lekat, dan akan menjadi eksis dan mendominasi setiap relung hati, tutur sapa, dan gerak tingkah laku sehari-hari.
Seseorang yang dikategorikan telah berbuat maksimal terhadap potensi kebaikan dalam dirinya dapat dilihat dari fungsinya sebagai manusia yang rahmatan lil ‘alamin dan berkarakter khoiru ummah (sebaik-baik umat). Yang demikian itu terdapat korelasi yang kuat dengan QS. Ali Imran ayat 110, yaitu:
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.“
Sebagai refleksi atas keadaan yang tidak sesuai dengan harapan: sebuah lembaga Islam tidak mencerminkan nilai-nilai Islam; ‘mesin pencetak’ sarjana Islam yang ternyata hanya berlabel Islam saja dan faktanya sangat tidak peduli dengan konsep pendidikan Islam yang layak diterapkan dan diamalkan dalam kehidupan nyata; para pendidik yang lebih mementingkan ‘kelompok’ dan penyelematan ‘kursi’ ketimbang konsen pada misi pendidikan dan mengembangkannya; gerusan nuansa ‘politik’ dalam ranah agama, pendidikan dan sosial, dan seterusnya. Hal-hal tersebut merupakan cerminan penyimpangan perilaku manusia yang tidak lagi menjadikan baik sebagai bagian penting dalam kehidupannya. Sehingga yang dipaksakan wajar adalah “bagaimana enaknya”, dan tidak ada lagi pembicaraan untuk mencari “bagaimana baiknya.”

§  Epilog

Masing-masing individu muslim hendaknya menjadikan konsep fastabiqul khoirot sebagai spirit, semangat dan sekaligus doktrin yang –dengannya– mampu menggerakkan cipta, rasa dan karsa untuk menegakkan kalimah Allah, menebarkan kedamaian dan kesejahteraan melalui jalan Islam sebagai pendekatan yang persuasif dan komprehensif.
Yang menjadi persoalan sekarang adalah bagaimana kita mensinergikan kemampuan emosional, intelektual dan spiritual yang ada dalam pribadi kita untuk dapat membumikan nilai-nilai ilahiyah melalui perbuatan baik dalam kaitannya dengan hubungan vertikal (mu’amalah kepada Allah) dan horizontal (mu’amalah dengan sesama manusia dan makhluk lain)?
Ingat, bahwa Allah Ta’ala telah memberi bekal kepada setiap manusia:
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 8-10) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...