Sabtu, 14 April 2018

MERETAS UNIVERSALITAS ISLAM


Meretas Universalitas Islam
Dari Abi Ruqyah Tamim bin Aus ad-Dary ra bahwasanya Nabi saw bersabda: “Agama adalah nasehat.” Kami bertanya: “Bagi siapa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: bagi Allah Ta’ala, kitab-Nya, rasul-Nya, bagi pemimpin orang Muslim dan kaum Muslim umumnya.”
(HR. Muslim)
T
I
slam adalah suatu sistem yang amat luas. Ia bisa dilihat dari berbagai perspektif, dimensi maupun kepentingan. Hasil bidikan dari proses ’melihat’ tadi menyajikan beragam out-put, tergantung bagaimana titik bidikan tersebut didekati menurut konsep: apa, mengapa, siapa, kapan, di mana dan bagaimana. Keanekaragaman tersebut dimungkinkan karena persepsi selalu tergantung dari posisi. Jika posisi bergeser maka persepsi pun akan ikut bergeser. Sementara kenyataan obyektif yang ada menunjukkan bahwa  tidak ada dua individu (atau lebih) di dunia ini yang memiliki posisi sama persis. Bahkan pasangan kembar pun dipastikan memiliki titik-titik perbedaan di antara sederet persamaan yang ada.
Seseorang yang melakuklan proses ’melihat’ Islam maka akan ada semacam ’jarak’. Ada proses pra dan pasca. Pra proses melihat adalah ketika Islam belum masuk dalam wilayah persepsi manusia, dan yang pasca adalah ketika sistem nilai tersebut sudah masuk dan berada dalam wilayah persepsi.
Jika manusia belum mengadakan obyektivikasi maka Islam berada dalam tataran a-sistem. Islam belum tersistem atau dengan kata lain sistemik. Islam adalah Islam. Islam bukan 1001 ‘kotak’. Bukan sesuatu yang terkungkung dalam ruang dan waktu. Bukan sesuatu yang bermain dalam alam ide manusia. Ia adalah apa yang diturunkan Allah melalui para Rasul-Nya. Tetapi Islam menjadi tersistem ketika memasuki kawasan obyektivikasi manusia. Tersistem karena sistemasi yang dibuat manusia. Sistemasi ini, sebagai sebuah proses, adalah sah sebab pada dasarnya merupakan pemudahan bagi manusia dalam caranya memahami agama.
Adanya istilah  Rukun Islam  lima, Rukun Iman enam, cara sholat  syaratnya sekian, witir sekian raka’at berdasarkan kitab ini dan itu, demikian juga yang lainnya, maka ini adalah hasil sistemasi. Angka 5 atau 6 maupun definisi ini itu menurut apa dan siapa bukanlah Islam itu sendiri. Angka, teori, konsep, klasifikasi/kategori, definisi dan semacamnya lebih merupakan upaya untuk memudahkan dalam memahami dan mengajarkan Islam. Nyata bahwa Alqur’an tidak pernah bertutur tentang angka 5 untuk Rukun Islam, 6 untuk Rukun Iman, 25 untuk jumlah Nabi dan Rasul, 99 untuk Asma’ul Husna dan begitu seterusnya. Dari sudut ini menjadi sesuatu yang tidak mengejutkan bila ada orang-orang yang merasa perlu adanya tambahan nabi-nabi baru walaupun sudah ditutup oleh The Last Messenger of Allah, Muhammad saw.

Yang Mujmal dan Tafshili

Mayoritas ayat-ayat memang mujmal. Dengan kata lain lebih memuat ’garis-garis besar haluan Ilahi’. Corak demikian justru mengandung rahasia dan hikmah yang besar yaitu keluwesan memasuki medan interpretasi dalam segenap ruang dan waktu. Dimensi ruang dan waktu ini penting mengingat perjalanan umat manusia tidak pernah tidak dalam dimensi-dimensi ini. Konsekuensinya, nilai-nilai yang terkandung dalam corak nash yang sepert ini melampaui batas-batas  ruang dan waktu yang meliputi di dalamnya aspek-aspek demografi, etnisitas, budaya, peradaban, rasa, warna, bahasa dan lain-lain. Ini memberi akibat positif yang logis dimana semua manusia akan merasa mendapatkan tempat dan naungan dalam panji-panji  Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, yaitu suatu kebenaran yang ’tidak lekang karena panas atau lapuk karena hujan’. Sifat mujmal (global) mengandung pengertian universal. Kebenaran universal adalah kebenaran yang sesungguhnya. Kebenaran universal, menurut watak kejadiannya, selalu abadi.
Sifat mujmal suatu nash dapat digambarkan sebagai sesuatu ’sarana’ nilai dimana dengan ’sarana’ nilai ini semua keanekaragaman umat manusia, dalam segenap aspeknya, dapat terwadahi di dalamnya. Bila ini bisa ’ditetapi’ dan ’ditepati’ maka menjadi sangat pas dan sesuai sebab Islam itu sendiri didesain untuk rahmatan lil-alamin. Bukan didesain untuk kelompok-kelompok tertentu saja. Sebaliknya sifat mujmal tidak dapat digambarkan dengan asumsi tentang bagaimana seorang manusia melakukan tafsir yang bersifat eksperimentatif untuk kepentingan yang tidak inklusif, tanpa mempertimbangkan banyak dan luasnya hal, mumpung ruang yang ’disediakan’, oleh terutama nash-nash mujmal, luas dan bisa. Di sinilah proses-proses ’salah pasang’ dan ’salah tempat’ juga dapat terjadi.
Wacana universalitas Islam di sini tidak dirancang untuk menonjolkan sisi mujmal sumber-sumber nilainya lalu melekatkan sifat universal sembari menihilkan sisi tafsili sumber-sumber nilainya hingga terus menafikan sifat universal yang dimiliki. Universalitas Islam lebih digagas sebagai makro kosmos yang memberi kedamaian, yang berdaya tampung besar untuk heteroginitas manusia, yang ini dimungkinkan karena memiliki ’undang-undang’ yang cerdas dengan dua corak pendekatan yang paham situasi lapangan, yang juga mengusung misi universal lintas ruang dan waktu, yaitu rahmatan lil-alamin. Di dalam makro kosmos tersebut diselenggarakan proses-proses ’memanusiakan manusia dengan cara manusiawi’ berlandaskan nilai-nilai Ilahi.
Setiap agama memiliki dimensi yang kompleks dengan kompleksitas berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Dimensi ideologikal mengacu pada serangkaian kepercayaan/keimanan atau hal-hal semakna terhadap Al-Khaliq. Dimensi ritual menyangkut ritus-ritus keagamaan. Dimensi intelektual mengindikasikan tingkat pemahaman terhadap doktrin-doktrin agama dimaksud. Dimensi mistikal menunjukkan pengalaman keagamaan berupa keinginan mencari makna hidup, kesadaran akan kehadiran Yang Maha Kuasa. Dimensi sosial, yang merupakan dimensi konsekuensi, merupakan menifesatasi ajaran agama yang meliputi seluruh perilaku dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam Islam semua dimensi yang ada ini tidak mengalami penciutan apalagi pemangkasan. Ada dan utuh sejak awal hingga dewasa ini dan akan tetap seperti ini hingga kiamat kelak. Apalagi Islam memiliki klaim ’kaffah’. Artinya ini adalah bukti tersendiri di sisi lain bahwa Islam tidak tergerus diferensiasi. Oleh karena itu sebagai sesuatu yang universal adalah niscaya. Yang jelas, tidak semua agama demikian karena antara yang satu dan yang lainnya tidak sama baik  secara intrinsik maupun ekstrinsik.
Memang modernitas menghadirkan tidak sedikit problem. Modernitas itu bukan kemarin, kini atau esok. Dia bukan mutlak milik suatu waktu tertentu. Relatif adanya. Karena kemarin, kini dan esok selalu dibalut oleh problem-problem dengan pola sama. Perspekstif materialistik tidak melihat agama (sebagai) memiliki peran penting dalam kemoderenan, melainkan sebaliknya. Di sudut berbeda, perspektif idealistik memandang agama (sebagai) memiliki peran penting di sana. Ada banyak lokus penting yang tidak dimiliki modernitas tetapi dimiliki agama yang karenanya agama dirasakan sebagai sesuatu kebutuhan. Fakta menegaskan bahwa Islam selalu eksis dari dulu hingga sekarang. Materialisme tidak banyak membuktikan apa-apa. Terlihat dari nyala api Islam sebagai gagasan tauhid telah dimulai sejak Nabi Adam as. Nyala api tersebut menjadi lebih besar sejak Bapak Tauhid dunia, Nabi Ibrahim as, menerima peran kerasulan. Dan Nabi Muhammad saw membuat nyalanya lebih besar lagi dari yang sudah besar sebelumnya. Hari-hari inipun masih tetap menyala.
Bukan sesuatu yang mengada-ada jika disebut Islam bercakupan luas, seluas kesanggupannya itu sendiri. Adalah wajar Islam memiliki kemampuan dan kesanggupan mewadahi aneka ragam persoalan secara lintas ruang dan waktu. Dalam hal ada sesuatu yang salah di keragaman tersebut, maka di dalam ’rumah besar’ Islam yang damai akan terselenggara saling komunikasi dan kontrol secara internal. Yang salah akan dengan sendirinya memperbaiki kesalahan tersebut dan kembali kepada yang benar untuk kemudian tetap mengikatkan diri dalam jamaah kebersamaan. Inilah arti lain dari sabda Nabi saw: “Perbedaan di antara kamu (umat Islam) adalah rahmat bagi kamu”. Perbedaan memang ’rahmat’ bila individu-individu umat bersikap dewasa. Dan tidak untuk sebaliknya.

Di Sini Letaknya

Islam dalam bentuknya sebagai gagasan-gagasan tauhid, telah ada dan dibawa sejak Nabi Adam as. Sekuel tauhid tidak putus sepeninggal Nabi pertama tersebut. Tauhid, dengan segala konsekuensi logisnya, tetap ada dan diteruskan oleh para nabi penerus hingga  berujung pada Nabi dan Rasul terakhir Muhammad saw. Para ulama bersama seluruh komponen umat yang ada tetap melanjutkan dan menjalani kehidupan bertauhid. Dan akan tetap diteruskan oleh generasi-generasi berikut hingga tiba hari akhir. Nilai-nilai tauhid yang ada dan terselenggara sepanjang sejarah kemanusiaan dan dengan jangkauan yang luas adalah bukti tersendiri tentang  kemampuannya mendobrak sekat-sekat ruang dan waktu. Universal adanya.
Tauhid lebih mendapatkan titik artikulasi keuniversalannya dengan pelengkapan sejumlah besar nilai-nilai yang dibutuhkan adalah ketika Muhammad saw menerima peran-peran kerasulannya. Penyempurnaan demi penyempurnaan telah diberikan yang dalam wujud ‘kompaknya’ disebut Islam. Adagium sebagai ‘rahmatan lil alamin’ menjadi sesuatu yang niscaya dan kontekstual, sebab memang itulah adanya. Firman Allah:
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Alanbiya’: 107). Bila rumah indah di atas adalah ’rumah berdaya tampung jembar’, maka Islam dapat dinisbahkan sebagai rumah jembar itu sendiri mengingat bahwa usungan nilai-nilai yang dibawanya bukanlah seperangkat sistem nilai yang sempit. (Lihat QS. Alhajj: 78).
Islam bukan hanya melengkapi diri dengan dua corak nash sebagaimana paparan di atas tetapi juga memberi keluasan kepada pemeluk-pemeluknya untuk tidak hanya memahami sesuatu semata berlandaskan sumber-sumber tertulis (ayat-ayat qouliyah) tetapi juga sumber-sumber tidak tertulis yang terhampar luas di alam semesta (ayat-ayat kauniyah). Ibrahim as. dapat dipandang sebagai ikon keberhasilan seorang anak manusia lebih memahami (baca: ’menemukan’) Tuhannya setelah mengeksplorasi ’ayat-ayat kauniyah’ dengan baik (QS. Al-An’am: 74-79). Sesuatu yang universal bisa didapatkan dari sumber-sumber ini.

Relasi Manusia dan Agama

Islam sebagai tolok ukur nilai sudah ditawarkan kepada kemanusiaan sejak kelahirannya. Bukan sesuatu tanpa sebab Islam dihadirkan. Banyak sumber nilai di dunia yang telah coba dijadikan manusia sebagai pegangan hidup. Tidak juga semua itu memenuhi harapan-harapan kemanusiaan secara kontinu. Ketika di banyak ruang dan waktu Islam diwacanakan sebagai sumber-sumber nilai itu bukan sesuatu yang bersifat penawaran baru tetapi lebih kepada pentingnya memberi penguatan-penguatan di titik persoalan ini mengingat kebutuhan dunia akan sumber-sumber nilai yang tepat, yang dapat diharapkan mampu menjawab persoalan-persoalan hidup nyata terasa dari waktu ke waktu. Itu di satu segi. Segi lainnya, belum semua individu manusia melihat pentingnya penguatan nilai-nilai Islam untuk menjawab persoalan hidup yang selalu kompleks setiap waktu.
Manusia tidak bisa hidup hanya dengan otaknya. Tidak bisa hidup hanya dengan hatinya. Manusia hanya bisa hidup dengan kedua-duanya. Masing-masing otak dan hati membutuhkan ’makanan’ disamping perawatan/pemeliharaan teratur dan berkesinambungan. Manusia berhajat pada agama. Mungkin ada orang yang acuh bisa mengatakan mampu hidup tanpa agama tetapi sulit menghindari adanya saat-saat tertentu merindukan sentuhan rohani di tingkat tinggi. Atau setidaknya ada sesuatu yang kurang dalam dirinya –walaupun tidak diakui.
Suatu sistem nilai yang handal, kokoh, tetap, stabil, tidak berubah-ubah oleh sedotan ruang dan waktu, bisa dijadikan pegangan hidup, bersifat universal sehingga bisa berlaku universal, memiliki komitmen kebaikan dan perbaikan kemanusiaan adalah sesuatu yang dibutuhkan setiap individu di manapun ia menghadirkan diri. Baldatun thoyyibatun wa Robbun Ghofur bisa digagas dari titik berangkat sistem nilai tersebut agar semua apa yang ’min adzdzulumaat’ dapat terdorong sejauh-jauhnya menuju ’ila an-nuur’. Dan Islam adalah jawaban terdekat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...