Meretas Universalitas Islam
Dari Abi Ruqyah Tamim bin
Aus ad-Dary ra bahwasanya Nabi saw bersabda: “Agama adalah nasehat.” Kami
bertanya: “Bagi siapa wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: bagi Allah Ta’ala,
kitab-Nya, rasul-Nya, bagi pemimpin orang Muslim dan kaum Muslim umumnya.”
(HR. Muslim)
T
I
|
slam adalah suatu sistem yang amat
luas. Ia bisa dilihat dari berbagai perspektif, dimensi maupun kepentingan.
Hasil bidikan dari proses ’melihat’ tadi menyajikan beragam out-put, tergantung
bagaimana titik bidikan tersebut didekati menurut konsep: apa, mengapa,
siapa, kapan, di mana dan bagaimana. Keanekaragaman tersebut
dimungkinkan karena persepsi selalu tergantung dari posisi. Jika posisi
bergeser maka persepsi pun akan ikut bergeser. Sementara kenyataan obyektif
yang ada menunjukkan bahwa tidak ada dua
individu (atau lebih) di dunia ini yang memiliki posisi sama persis. Bahkan
pasangan kembar pun dipastikan memiliki titik-titik perbedaan di antara sederet
persamaan yang ada.
Seseorang yang melakuklan
proses ’melihat’ Islam maka akan ada semacam ’jarak’. Ada proses pra dan
pasca. Pra proses melihat adalah ketika Islam belum masuk dalam wilayah
persepsi manusia, dan yang pasca adalah ketika sistem nilai tersebut sudah
masuk dan berada dalam wilayah persepsi.
Jika manusia belum
mengadakan obyektivikasi maka Islam berada dalam tataran a-sistem. Islam belum
tersistem atau dengan kata lain sistemik. Islam adalah Islam. Islam bukan 1001
‘kotak’. Bukan sesuatu yang terkungkung dalam ruang dan waktu. Bukan sesuatu
yang bermain dalam alam ide manusia. Ia adalah apa yang diturunkan Allah
melalui para Rasul-Nya. Tetapi Islam menjadi tersistem ketika memasuki kawasan
obyektivikasi manusia. Tersistem karena sistemasi yang dibuat manusia.
Sistemasi ini, sebagai sebuah proses, adalah sah sebab pada dasarnya merupakan
pemudahan bagi manusia dalam caranya memahami agama.
Adanya istilah Rukun Islam
lima, Rukun Iman enam, cara sholat
syaratnya sekian, witir sekian raka’at berdasarkan kitab ini dan itu,
demikian juga yang lainnya, maka ini adalah hasil sistemasi. Angka 5 atau 6
maupun definisi ini itu menurut apa dan siapa bukanlah Islam itu sendiri.
Angka, teori, konsep, klasifikasi/kategori, definisi dan semacamnya lebih
merupakan upaya untuk memudahkan dalam memahami dan mengajarkan Islam. Nyata
bahwa Alqur’an tidak pernah bertutur tentang angka 5 untuk Rukun Islam, 6 untuk
Rukun Iman, 25 untuk jumlah Nabi dan Rasul, 99 untuk Asma’ul Husna dan begitu
seterusnya. Dari sudut ini menjadi sesuatu yang tidak mengejutkan bila ada
orang-orang yang merasa perlu adanya tambahan nabi-nabi baru walaupun sudah
ditutup oleh The Last Messenger of Allah, Muhammad saw.
Yang Mujmal dan Tafshili
Mayoritas ayat-ayat memang mujmal.
Dengan kata lain lebih memuat ’garis-garis besar haluan Ilahi’. Corak
demikian justru mengandung rahasia dan hikmah yang besar yaitu keluwesan
memasuki medan interpretasi dalam segenap ruang dan waktu. Dimensi ruang dan
waktu ini penting mengingat perjalanan umat manusia tidak pernah tidak dalam
dimensi-dimensi ini. Konsekuensinya, nilai-nilai yang terkandung dalam corak
nash yang sepert ini melampaui batas-batas
ruang dan waktu yang meliputi di dalamnya aspek-aspek demografi,
etnisitas, budaya, peradaban, rasa, warna, bahasa dan lain-lain. Ini memberi
akibat positif yang logis dimana semua manusia akan merasa mendapatkan tempat
dan naungan dalam panji-panji Kitabullah
dan sunnah Rasul-Nya, yaitu suatu kebenaran yang ’tidak lekang karena panas
atau lapuk karena hujan’. Sifat mujmal (global) mengandung
pengertian universal. Kebenaran universal adalah kebenaran yang sesungguhnya.
Kebenaran universal, menurut watak kejadiannya, selalu abadi.
Sifat mujmal suatu nash
dapat digambarkan sebagai sesuatu ’sarana’ nilai dimana dengan ’sarana’ nilai
ini semua keanekaragaman umat manusia, dalam segenap aspeknya, dapat terwadahi
di dalamnya. Bila ini bisa ’ditetapi’ dan ’ditepati’ maka menjadi sangat pas
dan sesuai sebab Islam itu sendiri didesain untuk rahmatan lil-alamin. Bukan
didesain untuk kelompok-kelompok tertentu saja. Sebaliknya sifat mujmal tidak
dapat digambarkan dengan asumsi tentang bagaimana seorang manusia melakukan
tafsir yang bersifat eksperimentatif untuk kepentingan yang tidak inklusif,
tanpa mempertimbangkan banyak dan luasnya hal, mumpung ruang yang
’disediakan’, oleh terutama nash-nash mujmal, luas dan bisa. Di sinilah
proses-proses ’salah pasang’ dan ’salah tempat’ juga dapat terjadi.
Wacana universalitas Islam
di sini tidak dirancang untuk menonjolkan sisi mujmal sumber-sumber nilainya
lalu melekatkan sifat universal sembari menihilkan sisi tafsili sumber-sumber
nilainya hingga terus menafikan sifat universal yang dimiliki. Universalitas
Islam lebih digagas sebagai makro kosmos yang memberi kedamaian, yang berdaya
tampung besar untuk heteroginitas manusia, yang ini dimungkinkan karena
memiliki ’undang-undang’ yang cerdas dengan dua corak pendekatan yang paham
situasi lapangan, yang juga mengusung misi universal lintas ruang dan waktu,
yaitu rahmatan lil-alamin. Di dalam makro kosmos tersebut
diselenggarakan proses-proses ’memanusiakan manusia dengan cara manusiawi’
berlandaskan nilai-nilai Ilahi.
Setiap agama memiliki
dimensi yang kompleks dengan kompleksitas berbeda-beda antara satu dengan
lainnya. Dimensi ideologikal mengacu pada serangkaian
kepercayaan/keimanan atau hal-hal semakna terhadap Al-Khaliq. Dimensi ritual
menyangkut ritus-ritus keagamaan. Dimensi intelektual mengindikasikan
tingkat pemahaman terhadap doktrin-doktrin agama dimaksud. Dimensi mistikal
menunjukkan pengalaman keagamaan berupa keinginan mencari makna hidup,
kesadaran akan kehadiran Yang Maha Kuasa. Dimensi sosial, yang merupakan
dimensi konsekuensi, merupakan menifesatasi ajaran agama yang meliputi seluruh
perilaku dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam Islam semua dimensi yang ada ini
tidak mengalami penciutan apalagi pemangkasan. Ada dan utuh sejak awal hingga
dewasa ini dan akan tetap seperti ini hingga kiamat kelak. Apalagi Islam
memiliki klaim ’kaffah’. Artinya ini adalah bukti tersendiri di sisi
lain bahwa Islam tidak tergerus diferensiasi. Oleh karena itu sebagai sesuatu
yang universal adalah niscaya. Yang jelas, tidak semua agama demikian karena
antara yang satu dan yang lainnya tidak sama baik secara intrinsik maupun ekstrinsik.
Memang modernitas
menghadirkan tidak sedikit problem. Modernitas itu bukan kemarin, kini atau
esok. Dia bukan mutlak milik suatu waktu tertentu. Relatif adanya. Karena
kemarin, kini dan esok selalu dibalut oleh problem-problem dengan pola sama.
Perspekstif materialistik tidak melihat agama (sebagai) memiliki peran penting
dalam kemoderenan, melainkan sebaliknya. Di sudut berbeda, perspektif
idealistik memandang agama (sebagai) memiliki peran penting di sana. Ada banyak
lokus penting yang tidak dimiliki modernitas tetapi dimiliki agama yang
karenanya agama dirasakan sebagai sesuatu kebutuhan. Fakta menegaskan bahwa
Islam selalu eksis dari dulu hingga sekarang. Materialisme tidak banyak
membuktikan apa-apa. Terlihat dari nyala api Islam sebagai gagasan tauhid
telah dimulai sejak Nabi Adam as. Nyala api tersebut menjadi lebih besar sejak
Bapak Tauhid dunia, Nabi Ibrahim as, menerima peran kerasulan. Dan Nabi
Muhammad saw membuat nyalanya lebih besar lagi dari yang sudah besar
sebelumnya. Hari-hari inipun masih tetap menyala.
Bukan sesuatu yang
mengada-ada jika disebut Islam bercakupan luas, seluas kesanggupannya itu
sendiri. Adalah wajar Islam memiliki kemampuan dan kesanggupan mewadahi aneka
ragam persoalan secara lintas ruang dan waktu. Dalam hal ada sesuatu yang salah
di keragaman tersebut, maka di dalam ’rumah besar’ Islam yang damai akan
terselenggara saling komunikasi dan kontrol secara internal. Yang salah akan
dengan sendirinya memperbaiki kesalahan tersebut dan kembali kepada yang benar
untuk kemudian tetap mengikatkan diri dalam jamaah kebersamaan. Inilah arti
lain dari sabda Nabi saw: “Perbedaan di antara kamu (umat Islam) adalah
rahmat bagi kamu”. Perbedaan memang ’rahmat’ bila individu-individu umat
bersikap dewasa. Dan tidak untuk sebaliknya.
Di Sini
Letaknya
Islam dalam bentuknya
sebagai gagasan-gagasan tauhid, telah ada dan dibawa sejak Nabi Adam as. Sekuel
tauhid tidak putus sepeninggal Nabi pertama tersebut. Tauhid, dengan segala
konsekuensi logisnya, tetap ada dan diteruskan oleh para nabi penerus
hingga berujung pada Nabi dan Rasul
terakhir Muhammad saw. Para ulama bersama seluruh komponen umat yang ada tetap
melanjutkan dan menjalani kehidupan bertauhid. Dan akan tetap diteruskan oleh
generasi-generasi berikut hingga tiba hari akhir. Nilai-nilai tauhid yang ada
dan terselenggara sepanjang sejarah kemanusiaan dan dengan jangkauan yang luas
adalah bukti tersendiri tentang
kemampuannya mendobrak sekat-sekat ruang dan waktu. Universal adanya.
Tauhid lebih mendapatkan
titik artikulasi keuniversalannya dengan pelengkapan sejumlah besar nilai-nilai
yang dibutuhkan adalah ketika Muhammad saw menerima peran-peran kerasulannya.
Penyempurnaan demi penyempurnaan telah diberikan yang dalam wujud ‘kompaknya’
disebut Islam. Adagium sebagai ‘rahmatan lil alamin’ menjadi sesuatu yang
niscaya dan kontekstual, sebab memang itulah adanya. Firman Allah:
Dan tiadalah
Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Alanbiya’: 107). Bila rumah indah di atas
adalah ’rumah berdaya tampung jembar’, maka Islam dapat dinisbahkan
sebagai rumah jembar itu sendiri mengingat bahwa usungan nilai-nilai yang
dibawanya bukanlah seperangkat sistem nilai yang sempit. (Lihat QS. Alhajj: 78).
Islam bukan hanya
melengkapi diri dengan dua corak nash sebagaimana paparan di atas tetapi juga
memberi keluasan kepada pemeluk-pemeluknya untuk tidak hanya memahami sesuatu
semata berlandaskan sumber-sumber tertulis (ayat-ayat qouliyah) tetapi
juga sumber-sumber tidak tertulis yang terhampar luas di alam semesta (ayat-ayat
kauniyah). Ibrahim as. dapat dipandang sebagai ikon keberhasilan seorang
anak manusia lebih memahami (baca: ’menemukan’) Tuhannya setelah mengeksplorasi
’ayat-ayat kauniyah’ dengan baik (QS. Al-An’am: 74-79). Sesuatu yang universal
bisa didapatkan dari sumber-sumber ini.
Relasi
Manusia dan Agama
Islam sebagai tolok ukur
nilai sudah ditawarkan kepada kemanusiaan sejak kelahirannya. Bukan sesuatu
tanpa sebab Islam dihadirkan. Banyak sumber nilai di dunia yang telah coba
dijadikan manusia sebagai pegangan hidup. Tidak juga semua itu memenuhi
harapan-harapan kemanusiaan secara kontinu. Ketika di banyak ruang dan waktu Islam
diwacanakan sebagai sumber-sumber nilai itu bukan sesuatu yang bersifat
penawaran baru tetapi lebih kepada pentingnya memberi penguatan-penguatan di
titik persoalan ini mengingat kebutuhan dunia akan sumber-sumber nilai yang
tepat, yang dapat diharapkan mampu menjawab persoalan-persoalan hidup nyata
terasa dari waktu ke waktu. Itu di satu segi. Segi lainnya, belum semua
individu manusia melihat pentingnya penguatan nilai-nilai Islam untuk menjawab
persoalan hidup yang selalu kompleks setiap waktu.
Manusia tidak bisa hidup
hanya dengan otaknya. Tidak bisa hidup hanya dengan hatinya. Manusia hanya bisa
hidup dengan kedua-duanya. Masing-masing otak dan hati membutuhkan ’makanan’
disamping perawatan/pemeliharaan teratur dan berkesinambungan. Manusia berhajat
pada agama. Mungkin ada orang yang acuh bisa mengatakan mampu hidup tanpa agama
tetapi sulit menghindari adanya saat-saat tertentu merindukan sentuhan rohani
di tingkat tinggi. Atau setidaknya ada sesuatu yang kurang dalam dirinya
–walaupun tidak diakui.
Suatu sistem nilai yang
handal, kokoh, tetap, stabil, tidak berubah-ubah oleh sedotan ruang dan waktu,
bisa dijadikan pegangan hidup, bersifat universal sehingga bisa berlaku
universal, memiliki komitmen kebaikan dan perbaikan kemanusiaan adalah sesuatu yang
dibutuhkan setiap individu di manapun ia menghadirkan diri. Baldatun
thoyyibatun wa Robbun Ghofur bisa digagas dari titik berangkat sistem nilai
tersebut agar semua apa yang ’min adzdzulumaat’ dapat terdorong
sejauh-jauhnya menuju ’ila an-nuur’. Dan Islam adalah jawaban terdekat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar