Senin, 16 April 2018

Potret Penghambaan kepada ALLAH


Moh.In’ami |
Potret Penghambaan
Diriwayatkan dari ‘Umar ibn al-Khattab ra juga, ia berkata: “Ketika kami sedang duduk-duduk di dekat Rasulullah saw pada suatu hari, tiba-tiba muncul di hadapan kami seorang laki-laki dengan pakaian yang sangat putih, dan rambut yang sangat hitam. Tak tampak padanya bekas menempuh perjalanan dan tak seorangpun di antara kami yang mengenalnya, hingga ia duduk di hadapan Nabi saw. Ia menyandarkan lututnya ke lutut Nabi dan meletakkan tangannya di atas pahanya, dan berkata: “Hai Muhammad, Beritahukan kepadaku apa itu Islam!” Rasulullah saw berkata: “Islam adalah Anda bersaksi tiada Ilaah yang disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, tegakkan shalat, bayarkan zakat, puasakan Ramadhan, laksanakan haji jika Anda mampu berjalan ke sana.” Ia berkata: “Anda benar.” Kami heran, ia bertanya kemudian ia membenarkan. Ia berkata lagi: “Beritahukan kepadaku apa itu Iman!” Rasul menjawab: “Anda percaya kepada Allah, MalaikatNya, kitan-kitabNya, Rasul-rasulNya, hari Akhir, dan anda beriman kepada qadar baik dan buruk.” Ia menjawab: “Anda benar.” Ia berkata lagi: “Beritahu aku apa itu Ihsan!” Rasul berkata: “Anda sembah Allah seolah-olah melihatnya, dan jika Anda tidak dapat melihatnya, maka Ia pasti melihatmu.” Ia berkata: “Beritahu aku tentang Kiamat!” Nabi menjawab: “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.” Ia berkata lagi: “Maka beritahu aku tentang tanda-tandanya!” Ia menjawab: “Budak wanita melahirkan tuannya, dan Anda lihat orang-orang yang tak beralas kali, miskin, telanjang, penggembala kambing, berlomba-lomba membangun bangunan tinggi.” Kemudian laki-laki itu pergi dan kami terdiam. Kemudian Rasul berkata: “Hai Umar. Tahukah engkau siapa orang tadi?” Aku menjawab: “Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui.” Kata Nabi: “Ia adalah Jibril, datang kepada kamu untuk mengajari kamu tentang persoalan agamamu.”
(HR. Muslim)
T
S
udah menjadi kodrat manusia untuk menjadi 'abdullah dan khalifatullah. Kodrat sedemikian memiliki implikasi untuk berbuat dan berkarya sesuai dengan tatanan yang telah Allah tentukan dan mengikuti apa yang telah Rasul-Nya teladankan. Suatu keniscayaan.
Betapa posisi manusia dalam kehidupan ini sangat menjanjikan, baik jika dilihat secara lahir maupun batin; secara lahir, manusia dapat menemukan adanya banyak profit dan keistimewaan, banyak kewenangan yang diberikan kepadanya. Sementara, secara batin, manusia sangat jelas diberi ruang khusus untuk 'kembali' menemukan dirinya, jati dirinya, dan sekaligus hakekatnya.
Melalui dimensi lahir itu manusia dapat mewujudkan segala yang terpikir dalam batinnya, menunjukkan perilaku nyata yang bisa dicontoh, diakses atau bahkan disinergikan dengan individu lain untuk melahirkan kemaslahatan bersama. Sedangkan dimensi batin manusia memperkuat motif dan spirit yang dari keduanya potensi 'abdullah dan khalifatullah manusia itu dapat dinyatakan dan disalurkan.
Dalam menjalankan tugas di kantor atau di rumah, orang sering mengedepankan ego (keakuannya) dan mengenyampingkan dimensi lain yang semestinya menjadi bagian integral dan tak terpisahkan. Pada saat fungsi 'abdullah dan khalifatullah tidak lagi dapat dirasakan dan dihadirkan dalam kehidupan, maka silakan saja untuk menghuni dunia lain selain bumi Allah Ta'ala.
Sungguh pengharaan yang setinggi-tingginya dari Yang Maha Pencipta bahwa kita sebagai manusia sekaligus hamba-Nya yang sadar dan mampu menundukkan diri, taat dan berserah diri kepada-Nya dalam setiap perjalanan hidup kita.
Bagaimana masa depan kita (kelak di akhirat) jika Allah tak lagi memandang kita sebagai hamba-Nya? Adakah 'kavling' yang nyaman bagi manusia yang melupakan statusnya di dunia?

Menjadi Hamba

Firman Allah, “karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)
Bagaimana menjadi seorang hamba yang baik, itulah pertanyaan yang seharusnya kita jawab setiap saat dan waktu. Upaya memahami keberadaan kita sebagai manusia dan fungsinya bagi kehidupan ini adalah hendaknya terus menerus dilakukan. Hal ini akan menghindarkan kita dari perilaku yang berlebihan, tidak melekatkan sifat-sifat yang seharusnya bukan milik kita, atau apalagi berbuat yang di luar kapasitas dan kemampuan sebagai manusia.
Untuk itulah, pemahaman kita terhadap 'wilayah' yang menjadi wewenang Allah dan kekuasaan-Nya dalam kehidupan ini amatlah penting. Supaya manusia tetap berstatus sebagai makhluq. Agar, siapapun kita; penguasa, pengusaha, petani atau pelayan umat dan lainnya, bersikap sebagaimana manusia –adanya dan yang seharusnya– sekalipun merasa punya kewenangan dan kekuasaan. Ingat, yang menjadi penguasa jangan sok kuasa, mentang-mentang berkuasa yang kecil diinjak, yang lemah diabaikan dan ditindas. Hati-hati, yang jadi pengusaha ojo dumeh harta melimpah dan berpunya lantas 'membeli' undang-undang, bernego dengan penguasa untuk tujuan monopoli dan kepentingan sendiri. Bersabarlah, yang menjadi petani jangan merasa inferior, kecil hati, atau hina. Justru dengan bertani itulah bisa menjadi sarana untuk menemukan Allah Ta'ala. Dan pada puncak kesadaran seorang petani mampu menjadi manusia yang mulia, yang tahu akan fungsinya, dan bekerja sebagai 'abdullah dan khalifatullah dengan bercocok tanam.
Sungguh nikmat yang luar biasa ketika setiap saat dan waktu kita juga mampu menghambakan diri hanya kepada Allah, beribadah kepada-Nya semata, dan dengan segala kesadaran yang kita miliki hendaknya menjadikan Allah sebagai Tuhan.

Pragmatisme Seorang Hamba

Sekali lagi, kesadaran menjadi hamba adalah hal penting bagi manusia. Melalui kesadaran itu manusia bisa merealisasikan tugasnya secara nyata sebagai 'abdullah dan khalifatullah sekaligus. Di manapun berada dan kapan saja setiap orang hendaknya menunjukkan eksistensi kehambaan dan kekhalifahannya. Itulah yang seharusnya.
Lihat saja dalam aspek politik, hegemoni penguasa dengan kekuasaan dan kesewenangannya cenderung menyempitkan gerak kaum marginal, orang-orang tidak mampu dan mereka yang mustadh'afin. Pendapat, cara berpikir, dan sudut pandang didorong dan diarahkan untuk searah dengan kemauan penguasa. Apa saja yang dimiliki orang-orang kecil itu telah dibeli dan digantirugi oleh idealisme penguasa. Nyaris mereka tidak memiliki apapun. Bagaimana penguasa akan menemukan kesadarannya bila ia tak lagi mau dan mampu mendengar, melihat dan merasakan realitas masyarakat, sementara hidupnya diselimuti dominasi, pengokohan kursi kekuasaan, dan kabut tebal kepentingan kelompok. Padahal dengan menjadi penguasa pun kesadaran manusia sebagai hamba Allah dapat dimanifestasikan, dan hal itu akan terwujud dalam pemahaman yang inheren dalam mengambil setiap keputusan dan melaksanakan kewenangan yang merujuk pada apa yang diwahyukan dan bukan apa yang dibuat menurut keinginan dan keuntungan bersama.
Dalam aspek ekonomi, para konglomerat merasa memiliki segalanya. Padahal apa saja yang kita akui sebagai miliki kita, secara dejure maupun defacto, hakekatnya adalah milik Allah Ta'ala. Semua itu hanyalah titipan, dan niscaya akan kembali kepada-Nya. Jika kita yang merasa memiliki masih saja bersikukuh untuk menahan untuk tidak berbagi dengan sesama, lantas kemana rasa kepedulian kita.
Dalam aspek sosial, manusia mampu berinteraksi dan bergumul dengan komunitas di sekitarnya. Setiap hubungan sosial yang dilakukan selalu berangkat dari motif yang berbeda antara satu orang dengan lainnya. Sungguh ironis jika muara setiap aktivitas itu adalah keuntungan materi semata. Padahal orientasi non-fisik merupakan sarana untuk pemenuhan kebutuhan ruhani.
Dalam aspek budaya, orang mencampuradukkannya dengan agama, sehingga di kalangan masyarakat antara budaya dan agama menjadi tidak jelas batasannya. Jika demikian sudah seharusnya setiap Muslim kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah yang sahih. Dan pilihan kita secara tegas adalah mengikuti apa yang Rasul saw teladankan.
Dalam aspek relasi personal, orang yang individualis dan egois masih saja menjamur di sekitar kita. Mengajak mereka 'membuka mata' adalah tugas mulia yang mengantarkan pada kesamaan kewajiban dan hak. Adanya kesadaran bahwa masing-masing berstatus sama di hadapan Allah, maka asas egaliter ini lebih diutamakan. Hal itu berarti tidak ada yang merasa lebih pintar, lebih kuat atau lebih segalanya. Keberasamaan merupakan cermin ukhuwah antar individu dalam masyarakat.
Melalui aspek-aspek yang berbeda itu setidaknya saya, anda dan kita dapat melihat gaya dan sikap hidup yang akan dipilih. Apapun yang kita lakukan dalam berbagai disiplin keilmuan atau keterampilan yang kita tekuni merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pola pikir kita sebagai 'abdullah dan khalifatullah. Sehingga nampak jelas dan nyata adanya nilai pertanggungjawaban kini di dunia dan kelak di akhirat. Untuk itu, sebagai hamba sekaligus pengelola alam semesta hendaknya mendorong kita dapat berbuat yang lebih baik dan mewujudkan kebaikan itu bagi sesama dan alam sekitarnya.

Puncak Penghambaan

Setiap makhluq hendaknya menyadari adanya Khaliq. Sebagai hamba yang baik hendaknya sadar dan menjalankan setiap tugas dan kewajiban. Dan keberadaan setiap hamba di muka bumi merupakan wujud rahmat dan anugerah yang bersar dari Allah Ta'ala. Muaranya adalah menuju QS. Al-Dzariyat ayat 56:
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku."
Menjadi manusia adalah menyadari arti kemanusiaan dan menghargai setiap yang tercecer, memungut setiap yang terpinggir, mengayomi dan menolong setiap yang teraniaya. Adanya keutamaan yang mendapat perhatian, dan mewarnai setiap polah tingkah dan perilaku hidup menjadi citra diri seorang hamba yang selalu mendambakan adanya ma'unah dari Dzat Yang Maha Memberi.
Kesadaran seorang Muslim dalam memanusiakan diri sehingga mampu berperi- kemanusiaan dalam kehidupan ini merupakan jalan menuju upaya menjadi hamba Allah yang dengan tulus mau dan mampu mengamalkan ayat 5 surat Al-Bayyinah. Kesadaran yang mewujud dalam perilaku ini memperkuat penghambaan seorang manusia kepada Allah. Apapun pangkat dan jabatan seseorang tidak menjadikannya lalai dari hukum dan tatanan-Nya. Maknanya, dalam setiap aspek kehidupan tidak ada batasan atau sekat yang mampu menahan atau melepas apapun yang melekat pada setiap orang, apapun haknya selalu ditunaikan tanpa memangkas, apalagi menghapusnya. Seorang Muslim sedemikian telah memasuki level ihsan dalam menjalani kehidupan.
Dan ihsan adalah puncak penghambaan manusia terhadap Allah Ta'ala. Sebentuk keindahan dalam menghamba kepada-Nya akan terasakan. Melalui ihsan inilah seorang Muslim mempraktekkan keadilan dalam hidup, jujur karena Allah, amanah, dan cerdas dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan berbagai macam cobaan dan ujian.
Maka, beriman saja tidak cukup, mesti ditingkatkan menjadi berislam. Dan hanya berislam juga tidaklah cukup, diperlukan kesungguhan dan kesiapan untuk menggapai ihsan. Seorang Muslim hendaknya berjuang untuk menjadikan ihsan sebagai nafas kehidupannya.


2 komentar:

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...