Sabtu, 14 April 2018

Hanya dengan Mengingat


Hanya dengan Mengingat
Dari Anas ra, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Allah berfirman: Keluarkanlah dari neraka, orang yang ingat kepada-Ku pada suatu hari, atau takut kepada-Ku pada suatu tempat.”
(HR. Tirmidzi)
T
D
alam perilaku sehari-hari, kaum Muslim selalu dihadapkan pada aspek-aspek kehidupan yang sering membutuhkan keberanian; keberanian untuk menyelesaikan, keberanian untuk melakukan, keberanian untuk membuktikan, keberanian untuk menyatakan dan seterusnya –yang ujungnya adalah lillah; karena Allah. Tidaklah keberanian dalam pelbagai bidang kehidupan itu dapat direalisasikan secara maksimal, memiliki multi-manfaat dan diridlai melainkan menemukan hakekat hubungan antara hamba dan Sang Pencipta. Makhluk yang menghamba pada Allah Ta’ala merasa terpanggil untuk menengadah dan merasa butuh pada-Nya. Tentunya, suatu kenyataan dalam hidup, kita butuh pertolongan. Allah sebagai Dzat Yang Maha Menolong bagi siapapun. Tanpa terkecuali.
Lebih dari sekedar pemenuhan setiap hal yang menjadi kepentingan manusiawi, setiap insan Muslim merasa terpanggil untuk selalu dan terus dekat kepada Dzat Yang Maha Rahman dan Rahim, melalui dzikir. Berdzikir membuka sekat-sekat kemanusiaan untuk dapat terbuka diri dan tercerahkan oleh cahaya ilahiyah. Meski demikian adanya, sudahkah kita terpanggil untuk berdzikir?

Dzikir, Ingat Allah

Dzikir adalah semua yang berasal dari nash-nash yang jelas. Apa yang datang dari Alqur’an dan As-Sunnah tidak dapat ditawar lagi. Ini adalah sebuah pilihan mutlak. Sehingga dzikir dan doa sesorang betul-betul bersumber pada pokok ajaran Islam yang valid dan shahih. Tidak ada keraguan tentang keabsahan dzikir dimaksud.
Dzikir dapat berupa istighfar (mohon ampun), isti’azah (mohon perlindungan), basmalah, takbir, dzikir saat shalat, tasbih, dan tahmid.
Penting untuk diketahui bahwa nutrisi jiwa yang dahsyat adalah dzikir (biasanya selalu dilekatkan dengan doa). Perbedaan ras, suku, ormas, jenis kelamin, umur, kesemuanya tidak menjadi soal dalam kaitannya dengan kebutuhan nutrisi jiwa. Meski sebagian kalangan Muslim beranggapan bahwa suatu pihak disebut ‘kering’ secara ruhani, atau kurang dalam hal ibadah. Apa yang muncul dari anggapan tersebut belum tentu benar adanya. Sebab manusia tidak diperkenankan mengatakan bahwa orang ini miskin nutrisi jiwa karena jauh kepada Allah, atau menganggap orang lain lebih rendah dalam hal kedekatan dengan-Nya.
Ghalibnya, setiap orang melihat perilaku keagamaan orang lain untuk mengatakan bahwa seseorang itu mengalami peningkatan secara konstan. Namun di balik apa yang nampak pada diri seseorang, adalah hati yang tidak bisa dibaca dan diselami secara utuh, meski oleh keilmuan psikologis sekalipun. Kekuatan batin tetap menjadi rahasia pribadi dan privasi seorang Muslim tanpa harus mengatakannya pada orang lain bahwa ia telah sampai pada satu tingkat tertentu dalam pengamalan keberagamaan.
Kepedulian kaum Muslim dalam hal dzikir menjadi indikator bagi kekuatan dan kemantapannya dalam menjalani keberagamaan Islam. Oleh sebab menjalani praktik dzikir sangat diperlukan bagi jiwa dalam mengarungi bahtera kehidupan. Keberadaan dzikir lafdhi dan maknawi merupakan pintu bagi jiwa dan raga untuk ‘berinteraksi’ secara total kepada Dzat Yang Maha Segalanya. Allah Ta’ala.
Pada hakekatnya seorang Muslim yang sedang berdzikir hendak menegaskan bahwa muatan dzikir begitu penting dalam kehidupannya. Aspek kejiwaan yang disentuh adalah ketenangan, ketenteraman dan kedamaian. Betapa butuhnya setiap manusia akan ketenangan dalam menjalani perjuangan hidupnya. Di sisi lain, raga menemukan tempatnya yang tepat, dimana ketenteraman menjadi bagian yang direngkuh sisi jiwa kemanusiaan seorang hamba Allah. Alqur’an menyebutkan secara nyata:
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)

Amalan yang Disyari’atkan

Allah telah memberikan tuntunan, dan Rasul-Nya menjadi contoh bagi setiap manusia untuk beribadah dan bermu’amalat. Tidaklah ajaran agama Islam mempersulit setiap penganutnya. Setiap hamba mempunyai kemampuan untuk menunaikan semua hal yang menjadi kewajiban. Pelaksanaan kewajiban –yang secara sembunyi atau terang-terangan– dilaksanakan dengan dasar ikhlas dan kesadaran. Jika ada suatu pemahaman yang tidak jelas dalam agama, khususnya mengenai dzikir, siapapun hendaknya merujuk kepada Alqur’an dan Sunnah yang sahih.
Tidak ada lagi suatu amalan yang dilaksanakan oleh seorang hamba tanpa adanya dasar dan tuntunan yang ada. Kemunculan amalan tanpa dasar dan tiadanya syari’at yang jelas hanya akan mengantarkan seorang hamba kepada persoalan serius dan berkepanjangan, yakni tertolaknya amal.
Begitu tegas perintah Allah kepada hamba-Nya,
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#râè0øŒ$# ©!$# #[ø.ÏŒ #ZŽÏVx. ÇÍÊÈ
Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya.” (QS. Al-Ahzab: 41)

Multi-Manfaat Dzikir

Jika setiap insan Muslim masih merasa berat untuk berdzikir, ada baiknya untuk memahami dan menyadari adanya multi-manfaat yang diperoleh dari dzikir, sehingga tidak ada lagi alasan untuk malas dan kurang bersemangat dalam berdzikir.
Menurut Muhammad bin Alawi bin Abbas dalam Qul-Hadzihi Sabili menyebutkan bahwa multi-faedah dalam berdzikir di antaranya: (a) Dzikir dapat mengusir syetan dan menolaknya. Maka seorang hamba akan terjaga diri darinya. Jika setiap insan Muslim menyadari hal ini, tidak seorangpun yang lalai terhadap dzikir, lidahnya selalu berdzikir kepada Allah. Oleh sebab ia sadar bahwa tidak satu musuhpun akan masuk melainkan dari pintu kelalaian dari dzikir kepada Allah Ta’ala; (b) Allah Yang Maha Pengasih ridha kepada hamba-Nya yang berdzikir, melenyapkan kesedihan dan kegundahan, memperoleh rasa senang dan gembira, menguatkan hati dan badan, menerangi hati dan wajah, membuka jalan rizki, dan Dia akan menghias seorang yang berdzikir dengan wibawa dan ketetapan hati; (c) Dzikir mengantarkan seorang hamba menuju tingkatan (maqamat) yang tinggi. Seperti maqam cinta yang menjadi kutub dari ruhnya agama dan poros kebahagiaan. Allah telah menjadikan setiap sesuatu memiliki sebab, dan sebab adanya cinta adalah kontinuitas dzikir. Sebagaimana belajar dan mengulangi pelajaran menjadi pintu ilmu, maka dzikir adalah pintu cinta jalan yang utama menujunya; (d) Dzikir membuka dzikir Allah kepada hamba-Nya, sebagaimana firman-Nya: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu.” (QS. Al-Baqarah, 2: 152). Jika dalam berdzikir hanya terdapat faedah ini saja, niscaya cukuplah dengannya seorang hamba itu mendapatkan kemuliaan; (e) Hendaknya seorang hamba beriman pada tindakan Allah yang melupakan seorang hamba, yang menjadi sebab jauhnya manfaat di dunia dan akhirat. Sebab orang yang melupakan Allah niscaya Dia akan melupakannya. Dan siapa yang dilupakan Allah, Dia akan melupakan diri dan kemaslahatannya. Firman-Nya: “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. al-Hasyr, 19: 59). Jika seorang hamba melupakan dirinya niscaya ia akan berpaling dari kemaslahatannya, maka dirinya hancur (lihat dalam QS. Thaha, 20: 124-126); (f) Dzikir adalah sesuatu yang ringan bagi seorang hamba, di tempat tidur, di pasar, atau di tempat lain, ia bisa melakukannya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. (QS. Al-Hadid, 57: 21); (g) Dzikir merupakan jalan golongan ahlullah dan terbuka pertolongan-Nya. Maka dzikir adalah pokok dari pertolongan Allah Ta’ala, sebagaimana kelalaian adalah pangkal dari kebiasaan buruk. Barangsiapa yang memperbanyak mengingat Allah niscaya Dia mencintainya. Barangsiapa yang mencintai Allah niscaya Dia akan menjadi kekasihnya. Barangsiapa yang menjadi kekasih Allah, maka pendengaran-Nya yang digunakan untuk mendengar, penglihatan-Nya yang digunakan untuk melihat, dan lisan-Nya yang digunakan untuk berbicara. Maka dia mendengar dengan Allah, melihat dengan Allah, dan berbicara dengan Allah. Sebaliknya, barangsiapa yang lalai pada Allah dan berpaling dari mengingat-Nya, hal ini menjadi penyebab benci dzikir kepada Allah, jiwanya menjauh dari majelis dzikir dan orang-orang yang berdzikir. Yang demikian itu merupakan tanda-tanda permusuhannya pada Allah yang tidak disadari. Na’uzubillah; (h) Majelis-majelis dzikir merupakan taman surga. Barangsiapa yang ingin menikmati indahnya taman surga hendaknya ia berdzikir kepada Allah. Dalam Shahih Muslim disebutkan: “Tidaklah suatu kaum berdzikir kepada Allah Ta’ala melainkan para Malaikat mengelilingi mereka. Mereka dilingkupi rahmat, ketenangan bersemayam di hati mereka dan Allah menyebut mereka di sisi-Nya”; (i) Semua amal itu disyari’atkan untuk mengingat Allah. Firman-Nya: “Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (QS. Thaha: 14) dan “Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain).” (QS. Al-‘Ankabut: 45).
Sebagai kaum Muslim, dzikir adalah hiasan dalam setiap aspek kehidupan. Seorang Muslim berkeyakinan bahwa dzikir memiliki peran bagi ketentraman batin. Dengan dzikir seorang Muslim dapat memupuk rasa optimisme, memiliki nilai manfaat bagi pembinaan dan peningkatan semangat hidup. Untuk itu, insan Muslim hendaknya mengambil ‘ibrah dari perjalanan dan pengalaman ahli dzikir.
Apapun yang kita lakukan dalam kehidupan ini adalah wujud penghambaan kepada Allah, Ar-Rahman dan Ar-Rahim, selayaknya kita –tanpa dalih apapun– mendekat, bermunajat dan menggantungkan diri hanya kepada-Nya. Lain tidak. Melalui dzikir setiap insan Muslim, tanpa membedakan jenis kelamin, gelar yang disandang, status sosial maupun kekayaan yang dimiliki, berharap dapat melakukan banyak hal ketimbang hanya pasrah tanpa suatu upaya apapun dalam menghadapi hidup. Memang hidup penuh dengan ujian, cobaan dan bala’.
Kesemua harapan dan cita-cita yang setiap insan Muslim menuju dan fokus –kepadanya– sangat bergantung pada kasih dan sayang Allah, (yang dengannya) Dia memberikan anugerah dan rahmat kepada siapapun dari hamba-hamba-Nya.
Jika setiap insan Muslim memaksimalkan diri dalam berdzikir, mengingat Allah Ta’ala, tentu Dia akan menunaikan janji-janji-Nya. Allah Dzat Yang Maha Mulia. Tatkala seorang hamba mengingat Allah tidak akan bertambah kemuliaan-Nya, sebaliknya jika tiada hamba-Nya yang berdzikir tidak akan berkurang pula kemuliaan-Nya.
Mengapa kita masih ragu untuk berdzikir? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...