Hanya dengan Mengingat
Dari
Anas ra, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Allah berfirman: Keluarkanlah dari
neraka, orang yang ingat kepada-Ku pada suatu hari, atau takut kepada-Ku pada
suatu tempat.”
(HR. Tirmidzi)
T
D
|
alam
perilaku sehari-hari, kaum Muslim selalu dihadapkan pada aspek-aspek kehidupan
yang sering membutuhkan keberanian; keberanian untuk menyelesaikan, keberanian
untuk melakukan, keberanian untuk membuktikan, keberanian untuk menyatakan dan
seterusnya –yang ujungnya adalah lillah; karena Allah. Tidaklah
keberanian dalam pelbagai bidang kehidupan itu dapat direalisasikan secara
maksimal, memiliki multi-manfaat dan diridlai melainkan menemukan hakekat
hubungan antara hamba dan Sang Pencipta. Makhluk yang menghamba pada Allah
Ta’ala merasa terpanggil untuk menengadah dan merasa butuh pada-Nya. Tentunya,
suatu kenyataan dalam hidup, kita butuh pertolongan. Allah sebagai Dzat Yang
Maha Menolong bagi siapapun. Tanpa terkecuali.
Lebih
dari sekedar pemenuhan setiap hal yang menjadi kepentingan manusiawi, setiap
insan Muslim merasa terpanggil untuk selalu dan terus dekat kepada Dzat Yang
Maha Rahman dan Rahim, melalui dzikir. Berdzikir membuka sekat-sekat
kemanusiaan untuk dapat terbuka diri dan tercerahkan oleh cahaya ilahiyah.
Meski demikian adanya, sudahkah kita terpanggil untuk berdzikir?
Dzikir,
Ingat Allah
Dzikir
adalah semua yang berasal dari nash-nash yang jelas. Apa yang datang dari
Alqur’an dan As-Sunnah tidak dapat ditawar lagi. Ini adalah sebuah pilihan
mutlak. Sehingga dzikir dan doa sesorang betul-betul bersumber pada pokok
ajaran Islam yang valid dan shahih. Tidak ada keraguan tentang keabsahan
dzikir dimaksud.
Dzikir
dapat berupa istighfar (mohon ampun), isti’azah (mohon
perlindungan), basmalah, takbir, dzikir saat shalat, tasbih,
dan tahmid.
Penting
untuk diketahui bahwa nutrisi jiwa yang dahsyat adalah dzikir (biasanya selalu
dilekatkan dengan doa). Perbedaan ras, suku, ormas, jenis kelamin, umur,
kesemuanya tidak menjadi soal dalam kaitannya dengan kebutuhan nutrisi jiwa.
Meski sebagian kalangan Muslim beranggapan bahwa suatu pihak disebut ‘kering’
secara ruhani, atau kurang dalam hal ibadah. Apa yang muncul dari anggapan
tersebut belum tentu benar adanya. Sebab manusia tidak diperkenankan mengatakan
bahwa orang ini miskin nutrisi jiwa karena jauh kepada Allah, atau menganggap
orang lain lebih rendah dalam hal kedekatan dengan-Nya.
Ghalibnya,
setiap orang melihat perilaku keagamaan orang lain untuk mengatakan bahwa
seseorang itu mengalami peningkatan secara konstan. Namun di balik apa yang
nampak pada diri seseorang, adalah hati yang tidak bisa dibaca dan diselami
secara utuh, meski oleh keilmuan psikologis sekalipun. Kekuatan batin tetap
menjadi rahasia pribadi dan privasi seorang Muslim tanpa harus mengatakannya
pada orang lain bahwa ia telah sampai pada satu tingkat tertentu dalam
pengamalan keberagamaan.
Kepedulian
kaum Muslim dalam hal dzikir menjadi indikator bagi kekuatan dan kemantapannya
dalam menjalani keberagamaan Islam. Oleh sebab menjalani praktik dzikir sangat
diperlukan bagi jiwa dalam mengarungi bahtera kehidupan. Keberadaan dzikir lafdhi
dan maknawi merupakan pintu bagi jiwa dan raga untuk ‘berinteraksi’
secara total kepada Dzat Yang Maha Segalanya. Allah Ta’ala.
Pada
hakekatnya seorang Muslim yang sedang berdzikir hendak menegaskan bahwa muatan
dzikir begitu penting dalam kehidupannya. Aspek kejiwaan yang disentuh adalah
ketenangan, ketenteraman dan kedamaian. Betapa butuhnya setiap manusia akan
ketenangan dalam menjalani perjuangan hidupnya. Di sisi lain, raga menemukan
tempatnya yang tepat, dimana ketenteraman menjadi bagian yang direngkuh sisi
jiwa kemanusiaan seorang hamba Allah. Alqur’an menyebutkan secara nyata:
“(Yaitu) orang-orang yang beriman
dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Amalan
yang Disyari’atkan
Allah
telah memberikan tuntunan, dan Rasul-Nya menjadi contoh bagi setiap manusia
untuk beribadah dan bermu’amalat. Tidaklah ajaran agama Islam mempersulit
setiap penganutnya. Setiap hamba mempunyai kemampuan untuk menunaikan semua hal
yang menjadi kewajiban. Pelaksanaan kewajiban –yang secara sembunyi atau
terang-terangan– dilaksanakan dengan dasar ikhlas dan kesadaran. Jika ada suatu
pemahaman yang tidak jelas dalam agama, khususnya mengenai dzikir, siapapun
hendaknya merujuk kepada Alqur’an dan Sunnah yang sahih.
Tidak
ada lagi suatu amalan yang dilaksanakan oleh seorang hamba tanpa adanya dasar
dan tuntunan yang ada. Kemunculan amalan tanpa dasar dan tiadanya syari’at yang
jelas hanya akan mengantarkan seorang hamba kepada persoalan serius dan
berkepanjangan, yakni tertolaknya amal.
Begitu
tegas perintah Allah kepada hamba-Nya,
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#râè0ø$# ©!$# #[ø.Ï #ZÏVx. ÇÍÊÈ
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut
nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya.” (QS. Al-Ahzab: 41)
Multi-Manfaat
Dzikir
Jika
setiap insan Muslim masih merasa berat untuk berdzikir, ada baiknya untuk
memahami dan menyadari adanya multi-manfaat yang diperoleh dari dzikir,
sehingga tidak ada lagi alasan untuk malas dan kurang bersemangat dalam
berdzikir.
Menurut
Muhammad bin Alawi bin Abbas dalam Qul-Hadzihi Sabili menyebutkan bahwa
multi-faedah dalam berdzikir di antaranya: (a) Dzikir dapat mengusir syetan dan
menolaknya. Maka seorang hamba akan terjaga diri darinya. Jika setiap insan Muslim
menyadari hal ini, tidak seorangpun yang lalai terhadap dzikir, lidahnya selalu
berdzikir kepada Allah. Oleh sebab ia sadar bahwa tidak satu musuhpun akan
masuk melainkan dari pintu kelalaian dari dzikir kepada Allah Ta’ala; (b) Allah
Yang Maha Pengasih ridha kepada hamba-Nya yang berdzikir, melenyapkan kesedihan
dan kegundahan, memperoleh rasa senang dan gembira, menguatkan hati dan badan,
menerangi hati dan wajah, membuka jalan rizki, dan Dia akan menghias seorang
yang berdzikir dengan wibawa dan ketetapan hati; (c) Dzikir mengantarkan
seorang hamba menuju tingkatan (maqamat) yang tinggi. Seperti maqam cinta yang
menjadi kutub dari ruhnya agama dan poros kebahagiaan. Allah telah menjadikan
setiap sesuatu memiliki sebab, dan sebab adanya cinta adalah kontinuitas
dzikir. Sebagaimana belajar dan mengulangi pelajaran menjadi pintu ilmu, maka
dzikir adalah pintu cinta jalan yang utama menujunya; (d) Dzikir membuka dzikir
Allah kepada hamba-Nya, sebagaimana firman-Nya: “Karena itu, ingatlah kamu
kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu.” (QS. Al-Baqarah, 2: 152). Jika
dalam berdzikir hanya terdapat faedah ini saja, niscaya cukuplah dengannya
seorang hamba itu mendapatkan kemuliaan; (e) Hendaknya seorang hamba beriman
pada tindakan Allah yang melupakan seorang hamba, yang menjadi sebab jauhnya
manfaat di dunia dan akhirat. Sebab orang yang melupakan Allah niscaya Dia akan
melupakannya. Dan siapa yang dilupakan Allah, Dia akan melupakan diri dan
kemaslahatannya. Firman-Nya: “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa
kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka
itulah orang-orang yang fasik.” (QS. al-Hasyr, 19: 59). Jika seorang hamba
melupakan dirinya niscaya ia akan berpaling dari kemaslahatannya, maka dirinya
hancur (lihat dalam QS. Thaha, 20: 124-126); (f) Dzikir adalah sesuatu yang
ringan bagi seorang hamba, di tempat tidur, di pasar, atau di tempat lain, ia
bisa melakukannya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. (QS. Al-Hadid, 57: 21); (g) Dzikir merupakan jalan golongan
ahlullah dan terbuka pertolongan-Nya. Maka dzikir adalah pokok dari pertolongan
Allah Ta’ala, sebagaimana kelalaian adalah pangkal dari kebiasaan buruk.
Barangsiapa yang memperbanyak mengingat Allah niscaya Dia mencintainya.
Barangsiapa yang mencintai Allah niscaya Dia akan menjadi kekasihnya.
Barangsiapa yang menjadi kekasih Allah, maka pendengaran-Nya yang digunakan
untuk mendengar, penglihatan-Nya yang digunakan untuk melihat, dan lisan-Nya
yang digunakan untuk berbicara. Maka dia mendengar dengan Allah, melihat dengan
Allah, dan berbicara dengan Allah. Sebaliknya, barangsiapa yang lalai pada
Allah dan berpaling dari mengingat-Nya, hal ini menjadi penyebab benci dzikir
kepada Allah, jiwanya menjauh dari majelis dzikir dan orang-orang yang
berdzikir. Yang demikian itu merupakan tanda-tanda permusuhannya pada Allah
yang tidak disadari. Na’uzubillah; (h) Majelis-majelis dzikir merupakan
taman surga. Barangsiapa yang ingin menikmati indahnya taman surga hendaknya ia
berdzikir kepada Allah. Dalam Shahih Muslim disebutkan: “Tidaklah suatu kaum
berdzikir kepada Allah Ta’ala melainkan para Malaikat mengelilingi mereka.
Mereka dilingkupi rahmat, ketenangan bersemayam di hati mereka dan Allah
menyebut mereka di sisi-Nya”; (i) Semua amal itu disyari’atkan untuk mengingat
Allah. Firman-Nya: “Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (QS. Thaha: 14)
dan “Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya
dari ibadat-ibadat yang lain).” (QS. Al-‘Ankabut: 45).
Sebagai
kaum Muslim, dzikir adalah hiasan dalam setiap aspek kehidupan. Seorang Muslim
berkeyakinan bahwa dzikir memiliki peran bagi ketentraman batin. Dengan dzikir
seorang Muslim dapat memupuk rasa optimisme, memiliki nilai manfaat bagi
pembinaan dan peningkatan semangat hidup. Untuk itu, insan Muslim hendaknya
mengambil ‘ibrah dari
perjalanan dan pengalaman ahli dzikir.
Apapun
yang kita lakukan dalam kehidupan ini adalah wujud penghambaan kepada Allah, Ar-Rahman
dan Ar-Rahim, selayaknya kita –tanpa dalih apapun– mendekat, bermunajat
dan menggantungkan diri hanya kepada-Nya. Lain tidak. Melalui dzikir setiap
insan Muslim, tanpa membedakan jenis kelamin, gelar yang disandang, status
sosial maupun kekayaan yang dimiliki, berharap dapat melakukan banyak hal
ketimbang hanya pasrah tanpa suatu upaya apapun dalam menghadapi hidup. Memang
hidup penuh dengan ujian, cobaan dan bala’.
Kesemua
harapan dan cita-cita yang setiap insan Muslim menuju dan fokus –kepadanya–
sangat bergantung pada kasih dan sayang Allah, (yang dengannya) Dia memberikan
anugerah dan rahmat kepada siapapun dari hamba-hamba-Nya.
Jika
setiap insan Muslim memaksimalkan diri dalam berdzikir, mengingat Allah Ta’ala,
tentu Dia akan menunaikan janji-janji-Nya. Allah Dzat Yang Maha Mulia. Tatkala
seorang hamba mengingat Allah tidak akan bertambah kemuliaan-Nya, sebaliknya
jika tiada hamba-Nya yang berdzikir tidak akan berkurang pula kemuliaan-Nya.
Mengapa
kita masih ragu untuk berdzikir?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar