Sabtu, 28 April 2018

Menyemai Tauhid dalam Kehidupan





Moh.In'ami | Disfungsionalisasi Benalu Tauhîd


Setiap orang Islâm mengakui bahwa tiada ilâh yang wajib disembah kecuali Allâh, dan Nabi Muhammad saw adalah Rasûl-Nya. Persaksian yang mesti dilakukan oleh setiap muslim. Pengakuan semacam ini menjadi keharusan dalam kehidupan beragama Islâm. Untuk menguatkan persaksian dan menegaskan pengakuan tersebut, maka setiap muslim –tanpa ada unsur paksaan, sadar ataupun tidak– menyebutnya sebanyak 9 kali dalam aktivitas `ibâdah (shalât fardhu) dan lebih dari 19 kali (shalât sunnah) dalam sehari semalam. (lebih lanjut lihat Sayyid Shaleh Al-Jafari, 2007)
Penyebutan kata-kata pengakuan pada diri seorang muslim merupakan indikasi bahwa ada kewajiban dalam menegakkan dua kalimat syahâdat tersebut dalam terjemah nyata di kehidupan individu maupun sosial. Pengakuan itu menuntut realisasi faktual dan bukan pikiran imajinatif belaka. Suatu konsekuensi logis yang memberikan kesempatan kepada ‘sang pengaku’ (umat muslim) untuk menjaga eksistensi pengakuan itu dengan menegaskan pada setiap ucapan, sikap dan perilaku hidup sehari-hari.
Fungsionalisasi syahâdat memberikan penegasan pada diri seorang muslim untuk senantiasa dan terus menerus berpegang teguh pada apa saja yang menjadi perintah Allâh SWT dan menjauhi setiap larangan-Nya (baik dianggap berat ataupun ringan), serta mau dan sungguh-sungguh dalam menjalankan ajaran agama Islâm berdasarkan pada apa yang telah beliau saw contohkan.
Jika setiap muslim mau introspeksi, sudahkah kehidupan privatnya terbebas dari jerat-jerat benalu tauhîd? Lantas persoalannya adalah, mengapa memurnikan tauhîd menjadi suatu keniscayaan yang tidak dapat ditawar oleh setiap muslim?

1. Memperkuat tauhîd

Pintu gerbang yang harus dimasuki oleh siapapun yang sadar dan ingin memeluk agama Islâm adalah syahâdat tauhîd dan syahâdat risâlah. Tidak ada suatu amalan yang diwajibkan melainkan pelakunya telah secara benar dan bersih memasuki altar Islâm tanpa unsur paksaan dan jauh dari intimidasi.
Melalui syahâdat tauhîd setiap muslim, dengan segala penuh kesadaran, mau meninggalkan apa saja yang bukan mengagungkan Allâh SWT dan mengesakan-Nya. Mindset seorang muslim telah mengalami perubahan drastis sebelum dan sesudah masuk Islâm. Jika sebelum ber-Islâm, orang mungkin masih menyukai klenik, perdukunan, pengagungan nenek moyang, dan ritual yang tidak dibenarkan dalam Islâm, sedangkan sesudah Islâm menjadi keyakinan dirinya dan pandangan hidupnya maka tidak ada lagi perbuatan-perbuatan yang mengarah pada kesyirikan itu dan tidak pula toleran terhadap hal tersebut.
Melalui syahâdat risâlah seorang muslim sepenuhnya taat dan patuh pada dawuh, sabda, dan instruksi Rasûlullâh dalam setiap nada hati, tutur lisân, dan perilaku yang senantiasa dicocokkan dengan kehidupan beliau saw, dengan segala kesadaran. Implikasinya pada dunia nyata adalah seorang muslim tidak akan berani menyimpang, dalam setiap ucapan dan perbuatannya. Tidak pula seseorang mengelak dari tuntunan dan ajaran yang dibawa Rasûlullâh.

2. Menyaingi Tuhan

Allâh SWT membuat aturan hidup (baca: syarî`at) untuk kebaikan dan kemaslahatan manusia. Jika manusia tidak mau menerapkan aturan itu, Allâh tidak akan menjadi hina. Pun jika seluruh manusia mengikuti aturan yang ditetapkan-Nya tidak akan menjadikan-Nya menjadi mulia. Menjadi aneh lagi bila manusia malah membikin aturan sendiri. Hampir bisa dipastikan, jika demikian, ada unsur kepentingan yang ‘bermain’.
Jika manusia telah menguasai ‘cara main’ dalam peri kehidupan dan peri kemanusiaan, hingga mampu mengontrol, mendikte, dan mengekang orang lain atas nama aturan atau dengan dalih loyalitas, maka menjadi wajar orang menguasai orang (baca: atasan memerintah, mendikte dan ‘mempermainkan’ bawahan).
Para senator berkumpul untuk membuat regulasi, yang mampu meruntuhkan hukum Allâh, untuk mengatur tatanan kehidupan manusia di dalam suatu komunitas tertentu dengan menjadikan aturan manusia ‘melebihi’ aturan Allâh SWT. Pada saat itulah manusia menyaingi Tuhannya. Suatu keanehan makhlûq yang melampaui otoritas Sang Khâliq. Sungguh suatu sû’ul adab yang sangat.
Jika hal di atas yang terjadi dan membumi, tidak bisa dipungkiri adanya kenyataan yang sungguh berlawanan dengan maksud penciptaan, kodrat kemanusiaan, dan tatanan kehidupan. Dan orang menjadi terbiasa dengan kefâsiqan. Biasanya aturan Allâh sering dilanggar dengan dalih kepentingan kelompok, golongan dan bahkan individu sekalipun.
Dari eksplanasi di atas yang patut diwaspadai adalah adanya Fir`aun kontemporer, yang dengan kekuasaan dan kewenangannya, memaksa orang lain (bawahan, anak buah atau anggota kelompok) untuk manut, patuh dan loyal tanpa menyanggah atau mengkritik sekalipun. Bahkan orang diperlakukan seperti robot, dan siapapun yang respek, mengikuti, dan tunduk pada penguasa (yang berkarakter Fir`aun kontemporer) itu akan mendapatkan apa saja yang diinginkan dari ‘kue’ kekuasaan.

3. Waspadai benalu

Sebuah pertanyaan singkat yang mesti diajukan kepada masing-masing diri seorang muslim adalah, adakah rajah di atas pintu rumah, jendela atau bahkan di leher anak? Pertanyaan sederhana ini tidak membutuhkan jawaban langsung, tetapi setiap muslim hendaknya melihat sendiri, adakah benda itu di tempat-tempat yang tersebut. Sebaiknya dilakukan pengecekan. Jika benda itu benar-benar ada di tempat tinggal kita, maka ia merupakan indikasi adanya benalu pada pemahaman dan konsep sekaligus penerapan tauhîd kita.
Apa yang disebut dengan jimat, haikal jaljalut, tathayyur, sialan, tanjîm, hari na’as dan wali syetan merupakan kebâthilan. Keyakinan, persepsi, maupun prasangka terhadap hal-hal itu merupakan jebakan syirik. Sehingga, apapun alasan yang dimunculkan dan diajukan sebagai bentuk argumen dan alasan untuk membenarkan penggunaannya, hanya merupakan bentuk nyata pembelaan terhadap kebâthilan itu sendiri.
Tentang jimat, Rasûl saw pernah bersabda, “Sesungguhnya jampi-jampi, jimat-jimat dan guna-guna itu adalah syirik.” (HR. Ahmad dan Abû Dâwûd)
Tentang tathayyur, Rasûl saw bersabda, “Jangan menularkan penyakit, jangan bertathayyur, menganggap sial burung malam dan bulan Shafar.” (HR. Bukhâri dan Muslim)
Tentang sial, Rasûl saw bersabda, “Sial itu pada wanita, rumah dan kuda tunggangan.” (HR. Bukhâri)
Tentang tanjîm atau perbintangan, Rasûl saw bersabda, “Siapapun yang menerima ramalan bintang, maka sungguh ia telah mengambil bagian dari sihir, bertambah menurut tambahnya.” (HR. Abû Dâwûd, Ahmad & Ibnu Mâjah)
Jimat, tathayyur, sial, dan tanjîm merupakan perkara-perkara yang menganggu tauhîd dan menyebabkan korosi pada dinding keîmânan seseorang. Efek dari semua perkara di atas pada diri seorang muslim adalah adanya ketergantungan pada selain Allâh dan adanya penafian terhadap konsep tawakkal. (As’ad, 1990)
Orang yang meyakini adanya kekuatan jimat, misalnya, menjadi tidak yakin terhadap daya dan kekuatan Allâh. Lebih ironis lagi, jimat telah menggeser sebagian pilar-pilar keîmânan seseorang.
Orang yang menggunakan jimat dapat saja mengatakan bahwa keberadaan benda itu pada dirinya adalah sebentuk ikhtiar; penjagaan diri, upaya membentengi diri, dan sebentuk pengamanan. Argumen itu mungkin benar –menurut akalnya. Tetapi hal itu justru akan merugikan dirinya, dunia- âkhirat.
Kenyataan seperti di atas dapat saja terjadi karena adanya kelemahan konstruksi berpikir dan rendahnya kemampuan menangkap petunjuk qauliyah dan kauniyah. Penyebabnya adalah di antaranya:
Pertama, tidak adanya kemampuan memahami sekaligus mempraktekkan konsep tauhîdî dalam aspek kehidupan; Seorang muslim hendaknya tetap berpegang teguh pada `aqîdah yang lurus. Dalam bidang kehidupan apa saja yang ditekuni, seseorang dituntut untuk mengindahkan pengesaan Allâh dan menjaga sifat wahdâniyah-Nya.
Kedua, dominasi penglihatan pada aspek materi dan menafikan aspek batin; Capaian-capaian materi sering menjadi prioritas manusia seiring dengan hadirnya kekuatan kapitalisme dan materialisme yang mulai menggusur rasa Îmân, Islâm dan Ihsân. Ketiga rasa ini dipandang sebagai proporsi sekunder dan tidak mendapat perhatian serius, dan bahkan orang cenderung melupakannya.
Ketiga, adanya kecenderungan pengguna jimat terhadap hal-hal yang berbau mistik, yang jauh dari ajaran agama; Perkara mistik yang lebih dekat dengan klenik ini telah menjadikan manusia melanggar ajaran Allâh dan mengorbankan kepentingan âkhirat dengan mengejar keuntungan dunia. Maka mistik telah menyeret pengguna jimat pada upaya-upaya yang bâthil, tujuan-tujuan profan, dan mengutamakan kebahagiaan semu.
Keempat, putusnya realisasi tawakkal (pasrah) dan i`timâd (bergantung) kepada Allâh SWT; penggunaan jimat atau apapun, yang sepadan dengannya, mengantarkan seseorang pada pengukuhan adanya kekuatan baru dalam setiap aspek kehidupan dan penolong cepat dalam segala hajat hidup. Orang yang sedemikian telah menjadikan rasa pasrah dan bergantungnya pada Allâh tercerabut, terhempas dan akhirnya punah.
Dalam kehidupan beragama, seberapapun amalan dan sebenar apapun pengamalan, jika masih berkutat pada keyakinan bâthil dan membela thâgût, amal tidak akan membawa manfaat bagi kehidupan di âkhirat. Allâh menegaskan: “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allâh, maka sungguh Allâh mengharamkan surga baginya dan tempatnya adalah neraka. Dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang zhâlim.” (QS. 5: 72)
Berapa banyak orang di sekitar kita yang menggapai suatu kesuksesan duniawi dengan menempuh jalan hina dan bâthil. Berapa banyak orang yang menghalâlkan segala cara untuk meraih kemenangan dan kesejahteraan hidup. Padahal dalam menjalani hidup manusia akan dimintai pertanggungjawaban kelak di âkhirat. 
Maka bukan merupakan suatu keberuntungan sejati jika glamornya hidup berbasis pada kesyirikan. Apa saja yang mengarah pada syirik akan melahirkan kepedihan dan kesengsaraan berkepanjangan di âkhirat.ž

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...