Moh.In'ami | Disfungsionalisasi
Benalu Tauhîd
Setiap orang Islâm mengakui bahwa tiada ilâh
yang wajib disembah kecuali Allâh, dan Nabi Muhammad saw adalah
Rasûl-Nya. Persaksian yang mesti dilakukan oleh setiap muslim. Pengakuan
semacam ini menjadi keharusan dalam kehidupan beragama Islâm. Untuk menguatkan
persaksian dan menegaskan pengakuan tersebut, maka setiap muslim –tanpa ada
unsur paksaan, sadar ataupun tidak– menyebutnya sebanyak 9 kali dalam aktivitas
`ibâdah (shalât fardhu) dan lebih dari 19 kali (shalât sunnah) dalam sehari
semalam. (lebih lanjut lihat Sayyid Shaleh Al-Jafari, 2007)
Penyebutan
kata-kata pengakuan pada diri seorang muslim merupakan indikasi bahwa ada
kewajiban dalam menegakkan dua kalimat syahâdat tersebut dalam terjemah nyata
di kehidupan individu maupun sosial. Pengakuan itu menuntut realisasi faktual
dan bukan pikiran imajinatif belaka. Suatu konsekuensi logis yang memberikan
kesempatan kepada ‘sang pengaku’ (umat muslim) untuk menjaga eksistensi
pengakuan itu dengan menegaskan pada setiap ucapan, sikap dan perilaku hidup
sehari-hari.
Fungsionalisasi
syahâdat memberikan penegasan pada diri seorang muslim untuk senantiasa dan
terus menerus berpegang teguh pada apa saja yang menjadi perintah Allâh SWT dan
menjauhi setiap larangan-Nya (baik dianggap berat ataupun ringan), serta mau
dan sungguh-sungguh dalam menjalankan ajaran agama Islâm berdasarkan pada apa
yang telah beliau saw contohkan.
Jika setiap
muslim mau introspeksi, sudahkah kehidupan privatnya terbebas dari jerat-jerat
benalu tauhîd? Lantas persoalannya adalah, mengapa memurnikan tauhîd
menjadi suatu keniscayaan yang tidak dapat ditawar oleh setiap muslim?
1. Memperkuat tauhîd
Pintu gerbang yang harus dimasuki oleh siapapun yang sadar
dan ingin memeluk agama Islâm adalah syahâdat tauhîd dan syahâdat
risâlah. Tidak ada suatu amalan yang diwajibkan melainkan pelakunya telah
secara benar dan bersih memasuki altar Islâm tanpa unsur paksaan dan jauh dari
intimidasi.
Melalui syahâdat tauhîd setiap muslim, dengan
segala penuh kesadaran, mau meninggalkan apa saja yang bukan mengagungkan Allâh
SWT dan mengesakan-Nya. Mindset seorang muslim telah mengalami perubahan
drastis sebelum dan sesudah masuk Islâm. Jika sebelum ber-Islâm, orang mungkin
masih menyukai klenik, perdukunan, pengagungan nenek moyang, dan ritual yang
tidak dibenarkan dalam Islâm, sedangkan sesudah Islâm menjadi keyakinan dirinya
dan pandangan hidupnya maka tidak ada lagi perbuatan-perbuatan yang mengarah
pada kesyirikan itu dan tidak pula toleran terhadap hal tersebut.
Melalui syahâdat risâlah seorang muslim sepenuhnya
taat dan patuh pada dawuh, sabda, dan instruksi Rasûlullâh dalam setiap
nada hati, tutur lisân, dan perilaku yang senantiasa dicocokkan dengan
kehidupan beliau saw, dengan segala kesadaran. Implikasinya pada dunia nyata
adalah seorang muslim tidak akan berani menyimpang, dalam setiap ucapan dan
perbuatannya. Tidak pula seseorang mengelak dari tuntunan dan ajaran yang
dibawa Rasûlullâh.
2. Menyaingi Tuhan
Allâh SWT membuat aturan hidup (baca: syarî`at) untuk
kebaikan dan kemaslahatan manusia. Jika manusia tidak mau menerapkan aturan
itu, Allâh tidak akan menjadi hina. Pun jika seluruh manusia mengikuti aturan
yang ditetapkan-Nya tidak akan menjadikan-Nya menjadi mulia. Menjadi aneh lagi
bila manusia malah membikin aturan sendiri. Hampir bisa dipastikan, jika
demikian, ada unsur kepentingan yang ‘bermain’.
Jika manusia telah menguasai ‘cara main’ dalam peri kehidupan
dan peri kemanusiaan, hingga mampu mengontrol, mendikte, dan mengekang orang
lain atas nama aturan atau dengan dalih loyalitas, maka menjadi wajar orang
menguasai orang (baca: atasan memerintah, mendikte dan ‘mempermainkan’
bawahan).
Para senator berkumpul untuk membuat regulasi, yang mampu
meruntuhkan hukum Allâh, untuk mengatur tatanan kehidupan manusia di dalam
suatu komunitas tertentu dengan menjadikan aturan manusia ‘melebihi’ aturan
Allâh SWT. Pada saat itulah manusia menyaingi Tuhannya. Suatu keanehan makhlûq
yang melampaui otoritas Sang Khâliq. Sungguh suatu sû’ul adab yang
sangat.
Jika hal di atas yang terjadi dan membumi, tidak bisa
dipungkiri adanya kenyataan yang sungguh berlawanan dengan maksud penciptaan,
kodrat kemanusiaan, dan tatanan kehidupan. Dan orang menjadi terbiasa dengan kefâsiqan.
Biasanya aturan Allâh sering dilanggar dengan dalih kepentingan kelompok,
golongan dan bahkan individu sekalipun.
Dari eksplanasi di atas yang patut diwaspadai adalah adanya
Fir`aun kontemporer, yang dengan kekuasaan dan kewenangannya, memaksa orang
lain (bawahan, anak buah atau anggota kelompok) untuk manut, patuh dan
loyal tanpa menyanggah atau mengkritik sekalipun. Bahkan orang diperlakukan
seperti robot, dan siapapun yang respek, mengikuti, dan tunduk pada penguasa
(yang berkarakter Fir`aun kontemporer) itu akan mendapatkan apa saja yang
diinginkan dari ‘kue’ kekuasaan.
3. Waspadai benalu
Sebuah
pertanyaan singkat yang mesti diajukan kepada masing-masing diri seorang muslim
adalah, adakah rajah di atas pintu rumah, jendela atau bahkan di leher anak?
Pertanyaan sederhana ini tidak membutuhkan jawaban langsung, tetapi setiap
muslim hendaknya melihat sendiri, adakah benda itu di tempat-tempat yang
tersebut. Sebaiknya dilakukan pengecekan. Jika benda itu benar-benar ada di
tempat tinggal kita, maka ia merupakan indikasi adanya benalu pada pemahaman
dan konsep sekaligus penerapan tauhîd kita.
Apa yang disebut
dengan jimat, haikal jaljalut, tathayyur, sialan, tanjîm, hari
na’as dan wali syetan merupakan kebâthilan. Keyakinan, persepsi, maupun
prasangka terhadap hal-hal itu merupakan jebakan syirik. Sehingga, apapun
alasan yang dimunculkan dan diajukan sebagai bentuk argumen dan alasan untuk
membenarkan penggunaannya, hanya merupakan bentuk nyata pembelaan terhadap
kebâthilan itu sendiri.
Tentang jimat, Rasûl
saw pernah bersabda, “Sesungguhnya jampi-jampi, jimat-jimat dan guna-guna itu
adalah syirik.” (HR. Ahmad dan Abû Dâwûd)
Tentang
tathayyur, Rasûl saw bersabda, “Jangan menularkan penyakit, jangan
bertathayyur, menganggap sial burung malam dan bulan Shafar.” (HR. Bukhâri dan
Muslim)
Tentang sial,
Rasûl saw bersabda, “Sial itu pada wanita, rumah dan kuda tunggangan.” (HR.
Bukhâri)
Tentang tanjîm
atau perbintangan, Rasûl saw bersabda, “Siapapun yang menerima ramalan bintang,
maka sungguh ia telah mengambil bagian dari sihir, bertambah menurut
tambahnya.” (HR. Abû Dâwûd, Ahmad & Ibnu Mâjah)
Jimat,
tathayyur, sial, dan tanjîm merupakan perkara-perkara yang menganggu tauhîd
dan menyebabkan korosi pada dinding keîmânan seseorang. Efek dari semua perkara
di atas pada diri seorang muslim adalah adanya ketergantungan pada selain Allâh
dan adanya penafian terhadap konsep tawakkal. (As’ad, 1990)
Orang yang
meyakini adanya kekuatan jimat, misalnya, menjadi tidak yakin terhadap daya dan
kekuatan Allâh. Lebih ironis lagi, jimat telah menggeser sebagian pilar-pilar
keîmânan seseorang.
Orang yang
menggunakan jimat dapat saja mengatakan bahwa keberadaan benda itu pada dirinya
adalah sebentuk ikhtiar; penjagaan diri, upaya membentengi diri, dan sebentuk
pengamanan. Argumen itu mungkin benar –menurut akalnya. Tetapi hal itu justru
akan merugikan dirinya, dunia- âkhirat.
Kenyataan
seperti di atas dapat saja terjadi karena adanya kelemahan konstruksi berpikir
dan rendahnya kemampuan menangkap petunjuk qauliyah dan kauniyah.
Penyebabnya adalah di antaranya:
Pertama, tidak
adanya kemampuan memahami sekaligus mempraktekkan konsep tauhîdî
dalam aspek kehidupan; Seorang muslim hendaknya tetap berpegang teguh pada
`aqîdah yang lurus. Dalam bidang kehidupan apa saja yang ditekuni, seseorang
dituntut untuk mengindahkan pengesaan Allâh dan menjaga sifat wahdâniyah-Nya.
Kedua, dominasi
penglihatan pada aspek materi dan menafikan aspek batin; Capaian-capaian materi
sering menjadi prioritas manusia seiring dengan hadirnya kekuatan kapitalisme
dan materialisme yang mulai menggusur rasa Îmân, Islâm dan Ihsân.
Ketiga rasa ini dipandang sebagai proporsi sekunder dan tidak mendapat
perhatian serius, dan bahkan orang cenderung melupakannya.
Ketiga, adanya
kecenderungan pengguna jimat terhadap hal-hal yang berbau mistik, yang jauh
dari ajaran agama; Perkara mistik yang lebih dekat dengan klenik ini telah
menjadikan manusia melanggar ajaran Allâh dan mengorbankan kepentingan âkhirat
dengan mengejar keuntungan dunia. Maka mistik telah menyeret pengguna jimat
pada upaya-upaya yang bâthil, tujuan-tujuan profan, dan mengutamakan
kebahagiaan semu.
Keempat,
putusnya realisasi tawakkal (pasrah) dan i`timâd (bergantung)
kepada Allâh SWT; penggunaan jimat atau apapun, yang sepadan dengannya,
mengantarkan seseorang pada pengukuhan adanya kekuatan baru dalam setiap aspek
kehidupan dan penolong cepat dalam segala hajat hidup. Orang yang sedemikian
telah menjadikan rasa pasrah dan bergantungnya pada Allâh tercerabut, terhempas
dan akhirnya punah.
Dalam kehidupan beragama,
seberapapun amalan dan sebenar apapun pengamalan, jika masih berkutat pada
keyakinan bâthil dan membela thâgût, amal tidak akan membawa manfaat bagi
kehidupan di âkhirat. Allâh menegaskan: “Sesungguhnya barangsiapa yang
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allâh, maka sungguh Allâh mengharamkan
surga baginya dan tempatnya adalah neraka. Dan tidak ada seorang penolong pun
bagi orang-orang zhâlim.” (QS. 5: 72)
Berapa banyak
orang di sekitar kita yang menggapai suatu kesuksesan duniawi dengan menempuh jalan
hina dan bâthil. Berapa banyak orang yang menghalâlkan segala cara untuk
meraih kemenangan dan kesejahteraan hidup. Padahal dalam menjalani hidup
manusia akan dimintai pertanggungjawaban kelak di âkhirat.
Maka bukan
merupakan suatu keberuntungan sejati jika glamornya hidup berbasis pada
kesyirikan. Apa saja yang mengarah pada syirik akan melahirkan kepedihan dan
kesengsaraan berkepanjangan di âkhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar