Minggu, 29 April 2018

Menyemai ASA


Merajut Optimisme | Moh.In'ami


Pernahkah kita berpikir di setiap kenyataan hidup yang kita hadapi, tentang faedah, pelajaran, atau hikmah? Sebuah pertanyaan, yang belum tentu, kita sempat mengajukannya pada diri kita dan mencari jawabannya sekaligus.
Seringkali orang menghadapi suatu kepahitan hidup, kesulitan hingga penderitaan sebagai ketidakberuntungan. Orang, menjadikan dirinya, merasa rendah, tidak berharga dan jatuh manakala mengalami masa-masa yang tidak baik –menurut pandangan manusia.
Adalah untuk dihadapi setiap yang ada di depan manusia. Adalah untuk diselesaikan apa yang disebut sebagai permasalahan. Yang disebut susah atau senang dalam menghadapi perjalanan hidup sangat bergantung pada cara pandang seseorang.
Mengapa kita tidak berpikir bahwa tidak ada suatu ujianpun yang tidak akan membawa kenaikan tingkat? Belum pernah dalam sistem kehidupan; sekolah, seni beladiri, urusan bisnis, membangun kepercayaan publik, hingga mengatur negara di tingkat nasional, yang itu bebas dari ujian dan cobaan.
Jika mau membuka mata (hati) kita akan sampai pada suatu kesadaran bahwa yang kita hadapi bukanlah kemauan kita, yang kita alami bukan pula paksaan, yang menjadi pilihan kita adalah bimbingan dan garis yang kita lewati dari Dzat Yang Maha Mengatur. Dialah Allâh SWT.

1. Selalu ada dan tersedia

Manusia sering mengeluh terkait persoalan hidup yang dialami. Manusia menjadi berkecil hati pada saat menemukan jalan buntu bagi upaya rekonsiliasi atas kelompok-kelompok yang berbeda dan bertentangan (konflik terus menerus). Pun sebaliknya, manusia juga sangat mudah untuk menahan apa saja yang telah diamânahkan dan, harusnya, segera ditunaikan kepada yang berhak. Allâh telah mensinyalir dalam QS. 70: 19-21,
Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.”
Manusia kikir adalah orang yang menahan hak saudaranya sesama muslim, memboikot perkara yang nyata haq, menutup pintu kebaikan bagi orang lain.
Dalam sejarah kehidupan manusia, gambaran orang-orang yang berkarakter kikir dan berkeluh kesah selalu ada di setiap perjalanan zaman. Padahal amat mudah sekali untuk menebar kebaikan. Jalan terbuka lebar bagi siapa saja yang berkuasa untuk berlaku adil dan bijak.
Meski Allâh SWT telah membuka pintu-pintu rahmat-Nya, masih ada saja orang selalu berpikir tentang diri sendiri, kepentingan kelompok atau melupakan hak-hak individu dan sosial di sekitarnya. Orang menjadi tidak berpikir rasional, meski tahu tentang petunjuk Ilâhi tetapi ia tertutup oleh gerusan nafsu, keinginan yang berlebih terhadap duniawi.
Sekuat apapun ajakan, untuk kebaikan, belum tentu mendapat sambutan positif. Sebaik apapun motivasi untuk keshâlihan tak kunjung menemukan tempatnya. Orang sering merasakan yang baik dan yang shâlih sebagai perkara berat. Orang tidak lagi mau mendengar nuraninya berbicara, oleh sebab kerasnya benturan peradaban yang dialami, beratnya pertentangan batin, dan problematika yang tak kunjung usai menerpa, sehingga orang menjadi frustasi.
Dengan sudut padang yang jernih, setiap kesulitan yang Allâh berikan pasti di sisi lain terdapat kemudahan, persoalannya hanyalah kita yang belum mampu melihatnya. Di lingkar masalah yang melilit pasti ada jalan keluarnya. Di setiap keruwetan selalu berpasangan dengan kelancaran. Selalu saja ada jalan untuk melihat dan menyelesaikan masalah dan soal-soal kehidupan. Tidak ada yang sulit kecuali Allâh memberi kemudahan. Tidak ada yang buntu melainkan Allâh buka pintu solusi yang terbaik.
Akankah kita diam, apatis dalam menyongsong pesan Allâh: “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. 94: 5), atau proaktif dan kreatif, semuanya kembali ke sikap kita terhadap masalah yang ada.

2. Ingat tujuan (hidup)

Mengarungi kehidupan adalah sebuah keharusan bagi setiap orang yang diberi hidup. Ia harus berjalan dan berputar sesuai kodrat dan taqdîr masing-masing yang berlaku bagi siapapun, yang disebut dan merasa sebagai makhlûq. (Lihat QS. 54: 49, 87: 2-3, 25: 2) (Aris Gunawan Hasyim, 2015)
Berbagai macam wahana, sumber daya alam, dan semesta, kesemuanya disediakan untuk kebutuhan dan kepentingan manusia. Manusia bertugas mengelola, memanfaatkan, menjaga dan merawatnya. Masalahnya, jika terjadi ekplorasi hingga eksploitasi pasti muaranya adalah keinginan manusia untuk ‘menguasai.’  Waspadalah terhadap peringatan Allâh! (Lihat QS. 30: 41)
Di tengah-tengah kesibukan dan rutinitas manusia yang padat itulah kadang terjadi penyimpangan, hingga orang lupa dan lalai akan tujuan hidup. Orang menjadikan alat sebagai tujuan. Orang melihat kedudukan yang sementara sebagai tujuan. Dunia dipandang sebagai terminal terakhir, padahal jalan masih panjang. Dan setelah fase dunia, sungguh fase âkhirat sangat panjang dan tidak ada seorangpun yang tahu.
Dengan berbagai pilihan yang ada, setiap orang dapat memilih dan menjadikan hidup ini sebagai sarana; untuk berkarya, mengejar cita-cita, beramal shâlih, ikhtiar manusiawi, dan semua itu dilakukan dengan penuh semangat dan motivasi.
Gemerlapnya hidup sering melupakan orang pada tujuan. Banyak orang yang lalai pada tujuan hidup. Padahal dengan mengingat tujuan hidup itulah orang menjadi optimis, tidak pernah putus asa menghadapi apapun. Sesulit dan seberat apapun masalah yang dihadapi tetap saja sadar bahwa ada masalah pasti ada yang membuatnya. Maka ketika orang sadar bahwa ia selalu dekat dengan Sang Pengatur semesta, tentu masalah tidak ada masalah. Semua kesulitan menjadi tidak berarti. Karena Allâh satu-satunya tempat untuk bergantung segala sesuatu. (Lihat QS. 112: 2)
Berharap (yang positif) tentu tidaklah berlebihan. Justru yang tidak berharap itulah yang sedang dalam persoalan. Tugas kita adalah merealisasikan harapan, dan landasan ikhlâs menjadikan setiap capaian menjadi pemicu untuk syukur. Dan kesadaran akan tujuan hidup dapat meluruskan setiap langkah kita dan mengawal setiap upaya kita dalam berbagai bidang kehidupan.

3. Wujudkan kebaikan!

Kata seorang teman, “Yang lalu, biarlah berlalu.” Apapun yang telah terlewatkan akan menjadi sejarah dan pengalaman yang berharga bagi setiap pelakunya. Tidak ada suatu keburukan, bagi seorang yang mengaku dirinya berîmân kepada Allâh dan Rasûl-Nya, melainkan ia segera menutupnya dengan berbagai macam amal kebaikan. Pun tidak ada suatu kebaikan melainkan seorang mukmin telah mengupayakannya untuk konsisten dan kontinu.
Membangun pribadi yang optimis dapat dilakukan dengan menatap masa depan. Bahwa di depan selalu ada yang lebih baik dan belum tergapai. Dan ini menjadi peluang sekaligus kesempatan bagi siapapun yang mau bergerak, berkembang dan maju.
Lalu, layakkah seorang mukmin lantas pesimis? Bukankah orang-orang yang berîmân termasuk golongan yang beruntung? Mengapa setiap menghadapi persoalan hidup lantas berputus asa? Akankah optimisme menjadi hiasan yang melekat di hati orang-orang yang berîmân?
Untuk mewujudkan rasa optimis dalam kehidupan yang penuh pancaroba ini diperlukan kepercayaan kepada Allâh SWT yang dilandasi dengan pembuktian. Intinya, percaya saja tidak cukup. Buktikan jika kita berîmân dengan menebar amal-amal shâlih dan kebermanfaatan bagi sesama.
Melalui Îmân itulah aspek-aspek kehidupan dijalani secara nyata  dan ditekuni (bukan sekedar impian), hingga seseorang expert dalam suatu bidang, dan seseorang mâhir dalam keterampilan yang lain. Dengan demikian, seorang mukmin menjadi berdaya. (ingat hadîts “seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai dari seorang mukmin yang lemah”).
Untuk orang yang berharap pada yang lebih baik, misalnya, ia akan optimis menyongsong hari esok. Bagaimanapun keadaan diri dan keluarganya. Jika ada orang optimis tetapi tidak berharap apapun, bisa jadi ia sangat tinggi kualitas keikhlâsannya. Lebih dari itu, orang dapat berharap hanya kepada Dzat Yang Memiliki segalanya.
Mafhûmnya, seorang yang optimis dalam setiap keadaan adalah orang yang menyadari bahwa Allâh SWT Maha Kuasa. Jika orang berharap keadilan pada manusia, dan tidak mendapatkannya, maka ia yakin bahwa kelak akan ada pengadilan yang seadil-adilnya.
Bukankah Allâh hakim yang seadil-adilnya?” (QS. 95: 8)
Jika kita terlalu banyak berharap pada orang untuk berubah (ke arah yang lebih baik), pada akhirnya kita yang akan kecewa. Orang sering tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Jauh dari harapan kita. Lebih baik kita saja yang berubah dan berharap ada kebaikan dari perubahan positif itu. Dan satu-satunya harapan yang tidak pernah mengecewakan dan selalu membuat kita optimis adalah Allâh.
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shâlih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. 18: 110)
Pernahkah kita berpikir di setiap kenyataan hidup yang kita hadapi, tentang faedah, pelajaran, atau hikmah? Sebuah pertanyaan, yang belum tentu, kita sempat mengajukannya pada diri kita dan mencari jawabannya sekaligus.
Seringkali orang menghadapi suatu kepahitan hidup, kesulitan hingga penderitaan sebagai ketidakberuntungan. Orang, menjadikan dirinya, merasa rendah, tidak berharga dan jatuh manakala mengalami masa-masa yang tidak baik –menurut pandangan manusia.
Adalah untuk dihadapi setiap yang ada di depan manusia. Adalah untuk diselesaikan apa yang disebut sebagai permasalahan. Yang disebut susah atau senang dalam menghadapi perjalanan hidup sangat bergantung pada cara pandang seseorang.
Mengapa kita tidak berpikir bahwa tidak ada suatu ujianpun yang tidak akan membawa kenaikan tingkat? Belum pernah dalam sistem kehidupan; sekolah, seni beladiri, urusan bisnis, membangun kepercayaan publik, hingga mengatur negara di tingkat nasional, yang itu bebas dari ujian dan cobaan.
Jika kita mau membuka mata (hati) kita akan sampai pada suatu kesadaran bahwa yang kita hadapi bukanlah kemauan kita, yang kita alami bukan pula paksaan, yang menjadi pilihan kita adalah bimbingan dan garis yang kita lewati dari Dzat Yang Maha Mengatur. Dialah Allâh SWT.
Firman-Nya, “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shâlih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. 18: 110) Apakah kita juga berharap bertemu Gusti Allâh? ž







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...