Merajut Optimisme | Moh.In'ami
Pernahkah kita berpikir di setiap
kenyataan hidup yang kita hadapi, tentang faedah, pelajaran, atau hikmah?
Sebuah pertanyaan, yang belum tentu, kita sempat mengajukannya pada diri kita
dan mencari jawabannya sekaligus.
Seringkali orang
menghadapi suatu kepahitan hidup, kesulitan hingga penderitaan sebagai
ketidakberuntungan. Orang, menjadikan dirinya, merasa rendah, tidak berharga
dan jatuh manakala mengalami masa-masa yang tidak baik –menurut pandangan
manusia.
Adalah untuk
dihadapi setiap yang ada di depan manusia. Adalah untuk diselesaikan apa yang
disebut sebagai permasalahan. Yang disebut susah atau senang dalam menghadapi
perjalanan hidup sangat bergantung pada cara pandang seseorang.
Mengapa kita
tidak berpikir bahwa tidak ada suatu ujianpun yang tidak akan membawa kenaikan
tingkat? Belum pernah dalam sistem kehidupan; sekolah, seni beladiri, urusan
bisnis, membangun kepercayaan publik, hingga mengatur negara di tingkat
nasional, yang itu bebas dari ujian dan cobaan.
Jika mau membuka
mata (hati) kita akan sampai pada suatu kesadaran bahwa yang kita hadapi
bukanlah kemauan kita, yang kita alami bukan pula paksaan, yang menjadi pilihan
kita adalah bimbingan dan garis yang kita lewati dari Dzat Yang Maha Mengatur.
Dialah Allâh SWT.
1. Selalu ada dan tersedia
Manusia sering
mengeluh terkait persoalan hidup yang dialami. Manusia menjadi berkecil hati
pada saat menemukan jalan buntu bagi upaya rekonsiliasi atas kelompok-kelompok
yang berbeda dan bertentangan (konflik terus menerus). Pun sebaliknya, manusia
juga sangat mudah untuk menahan apa saja yang telah diamânahkan dan, harusnya,
segera ditunaikan kepada yang berhak. Allâh telah mensinyalir dalam QS. 70:
19-21,
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi
kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat
kebaikan ia amat kikir.”
Manusia kikir
adalah orang yang menahan hak saudaranya sesama muslim, memboikot perkara yang
nyata haq, menutup pintu kebaikan bagi orang lain.
Dalam sejarah
kehidupan manusia, gambaran orang-orang yang berkarakter kikir dan berkeluh
kesah selalu ada di setiap perjalanan zaman. Padahal amat mudah sekali untuk
menebar kebaikan. Jalan terbuka lebar bagi siapa saja yang berkuasa untuk
berlaku adil dan bijak.
Meski Allâh SWT
telah membuka pintu-pintu rahmat-Nya, masih ada saja orang selalu
berpikir tentang diri sendiri, kepentingan kelompok atau melupakan hak-hak
individu dan sosial di sekitarnya. Orang menjadi tidak berpikir rasional, meski
tahu tentang petunjuk Ilâhi tetapi ia tertutup oleh gerusan nafsu, keinginan
yang berlebih terhadap duniawi.
Sekuat apapun
ajakan, untuk kebaikan, belum tentu mendapat sambutan positif. Sebaik apapun
motivasi untuk keshâlihan tak kunjung menemukan tempatnya. Orang sering
merasakan yang baik dan yang shâlih sebagai perkara berat. Orang tidak
lagi mau mendengar nuraninya berbicara, oleh sebab kerasnya benturan peradaban
yang dialami, beratnya pertentangan batin, dan problematika yang tak kunjung
usai menerpa, sehingga orang menjadi frustasi.
Dengan sudut
padang yang jernih, setiap kesulitan yang Allâh berikan pasti di sisi lain
terdapat kemudahan, persoalannya hanyalah kita yang belum mampu melihatnya. Di
lingkar masalah yang melilit pasti ada jalan keluarnya. Di setiap keruwetan
selalu berpasangan dengan kelancaran. Selalu saja ada jalan untuk melihat dan
menyelesaikan masalah dan soal-soal kehidupan. Tidak ada yang sulit kecuali
Allâh memberi kemudahan. Tidak ada yang buntu melainkan Allâh buka pintu solusi
yang terbaik.
Akankah kita
diam, apatis dalam menyongsong pesan Allâh: “Karena sesungguhnya
sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. 94: 5), atau proaktif dan
kreatif, semuanya kembali ke sikap kita terhadap masalah yang ada.
2. Ingat tujuan (hidup)
Mengarungi kehidupan adalah sebuah keharusan bagi setiap
orang yang diberi hidup. Ia harus berjalan dan berputar sesuai kodrat dan
taqdîr masing-masing yang berlaku bagi siapapun, yang disebut dan merasa
sebagai makhlûq. (Lihat QS. 54: 49, 87: 2-3, 25: 2) (Aris Gunawan Hasyim, 2015)
Berbagai macam wahana, sumber daya alam, dan semesta,
kesemuanya disediakan untuk kebutuhan dan kepentingan manusia. Manusia bertugas
mengelola, memanfaatkan, menjaga dan merawatnya. Masalahnya, jika terjadi ekplorasi
hingga eksploitasi pasti muaranya adalah keinginan manusia untuk
‘menguasai.’ Waspadalah terhadap
peringatan Allâh! (Lihat QS. 30: 41)
Di tengah-tengah kesibukan dan rutinitas manusia yang padat
itulah kadang terjadi penyimpangan, hingga orang lupa dan lalai akan tujuan
hidup. Orang menjadikan alat sebagai tujuan. Orang melihat kedudukan yang
sementara sebagai tujuan. Dunia dipandang sebagai terminal terakhir, padahal
jalan masih panjang. Dan setelah fase dunia, sungguh fase âkhirat sangat
panjang dan tidak ada seorangpun yang tahu.
Dengan berbagai pilihan yang ada, setiap orang dapat memilih
dan menjadikan hidup ini sebagai sarana; untuk berkarya, mengejar cita-cita,
beramal shâlih, ikhtiar manusiawi, dan semua itu dilakukan dengan penuh
semangat dan motivasi.
Gemerlapnya hidup sering melupakan orang pada tujuan. Banyak
orang yang lalai pada tujuan hidup. Padahal dengan mengingat tujuan hidup
itulah orang menjadi optimis, tidak pernah putus asa menghadapi apapun. Sesulit
dan seberat apapun masalah yang dihadapi tetap saja sadar bahwa ada masalah
pasti ada yang membuatnya. Maka ketika orang sadar bahwa ia selalu dekat dengan
Sang Pengatur semesta, tentu masalah tidak ada masalah. Semua kesulitan menjadi
tidak berarti. Karena Allâh satu-satunya tempat untuk bergantung segala
sesuatu. (Lihat QS. 112: 2)
Berharap (yang positif) tentu tidaklah berlebihan. Justru
yang tidak berharap itulah yang sedang dalam persoalan. Tugas kita adalah
merealisasikan harapan, dan landasan ikhlâs menjadikan setiap capaian menjadi
pemicu untuk syukur. Dan kesadaran akan tujuan hidup dapat meluruskan setiap
langkah kita dan mengawal setiap upaya kita dalam berbagai bidang kehidupan.
3. Wujudkan kebaikan!
Kata seorang teman, “Yang lalu, biarlah berlalu.” Apapun yang
telah terlewatkan akan menjadi sejarah dan pengalaman yang berharga bagi setiap
pelakunya. Tidak ada suatu keburukan, bagi seorang yang mengaku dirinya berîmân
kepada Allâh dan Rasûl-Nya, melainkan ia segera menutupnya dengan berbagai
macam amal kebaikan. Pun tidak ada suatu kebaikan melainkan seorang mukmin
telah mengupayakannya untuk konsisten dan kontinu.
Membangun pribadi yang optimis dapat dilakukan dengan menatap
masa depan. Bahwa di depan selalu ada yang lebih baik dan belum tergapai. Dan
ini menjadi peluang sekaligus kesempatan bagi siapapun yang mau bergerak,
berkembang dan maju.
Lalu, layakkah seorang mukmin lantas pesimis? Bukankah
orang-orang yang berîmân termasuk golongan yang beruntung? Mengapa setiap
menghadapi persoalan hidup lantas berputus asa? Akankah optimisme menjadi
hiasan yang melekat di hati orang-orang yang berîmân?
Untuk mewujudkan rasa optimis dalam kehidupan yang penuh
pancaroba ini diperlukan kepercayaan kepada Allâh SWT yang dilandasi dengan
pembuktian. Intinya, percaya saja tidak cukup. Buktikan jika kita berîmân
dengan menebar amal-amal shâlih dan kebermanfaatan bagi sesama.
Melalui Îmân itulah aspek-aspek kehidupan dijalani secara
nyata dan ditekuni (bukan sekedar
impian), hingga seseorang expert dalam suatu bidang, dan seseorang mâhir
dalam keterampilan yang lain. Dengan demikian, seorang mukmin menjadi berdaya.
(ingat hadîts “seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai
dari seorang mukmin yang lemah”).
Untuk orang yang berharap pada yang lebih baik, misalnya, ia
akan optimis menyongsong hari esok. Bagaimanapun keadaan diri dan keluarganya.
Jika ada orang optimis tetapi tidak berharap apapun, bisa jadi ia sangat tinggi
kualitas keikhlâsannya. Lebih dari itu, orang dapat berharap hanya kepada Dzat
Yang Memiliki segalanya.
Mafhûmnya, seorang
yang optimis dalam setiap keadaan adalah orang yang menyadari bahwa Allâh SWT
Maha Kuasa. Jika orang berharap keadilan pada manusia, dan tidak
mendapatkannya, maka ia yakin bahwa kelak akan ada pengadilan yang
seadil-adilnya.
“Bukankah Allâh hakim yang seadil-adilnya?” (QS. 95:
8)
Jika kita terlalu banyak berharap pada orang untuk berubah
(ke arah yang lebih baik), pada akhirnya kita yang akan kecewa. Orang sering
tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Jauh dari harapan kita. Lebih baik kita
saja yang berubah dan berharap ada kebaikan dari perubahan positif itu. Dan
satu-satunya harapan yang tidak pernah mengecewakan dan selalu membuat kita
optimis adalah Allâh.
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang shâlih dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. 18: 110)
Pernahkah kita berpikir di setiap kenyataan hidup yang kita
hadapi, tentang faedah, pelajaran, atau hikmah? Sebuah pertanyaan, yang
belum tentu, kita sempat mengajukannya pada diri kita dan mencari jawabannya
sekaligus.
Seringkali orang menghadapi suatu kepahitan hidup, kesulitan
hingga penderitaan sebagai ketidakberuntungan. Orang, menjadikan dirinya,
merasa rendah, tidak berharga dan jatuh manakala mengalami masa-masa yang tidak
baik –menurut pandangan manusia.
Adalah untuk dihadapi setiap yang ada di depan manusia.
Adalah untuk diselesaikan apa yang disebut sebagai permasalahan. Yang disebut
susah atau senang dalam menghadapi perjalanan hidup sangat bergantung pada cara
pandang seseorang.
Mengapa kita
tidak berpikir bahwa tidak ada suatu ujianpun yang tidak akan membawa kenaikan
tingkat? Belum pernah dalam sistem kehidupan; sekolah, seni beladiri, urusan
bisnis, membangun kepercayaan publik, hingga mengatur negara di tingkat
nasional, yang itu bebas dari ujian dan cobaan.
Jika kita mau
membuka mata (hati) kita akan sampai pada suatu kesadaran bahwa yang kita
hadapi bukanlah kemauan kita, yang kita alami bukan pula paksaan, yang menjadi
pilihan kita adalah bimbingan dan garis yang kita lewati dari Dzat Yang Maha
Mengatur. Dialah Allâh SWT.
Firman-Nya, “Barangsiapa mengharap
perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shâlih
dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.”
(QS. 18: 110) Apakah kita juga berharap bertemu Gusti Allâh?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar