Moh. In'ami | Aktualisasi Îmân
Suatu keharusan bagi kaum muslim untuk
melakukan yang terbaik dalam agama. Tidak ada sesuatu yang membahagiakan
melainkan Îmân yang telah tertanam dalam diri sanubari seseorang. Dan itulah
suatu kebaikan yang besar.
Menjadi seorang
yang mengaku berîmân, kepada Allâh dan Rasûl-Nya, adalah suatu opsi dalam
menjalani kehidupan beragama. Pun seorang yang tidak memiliki keîmânan terhadap
apapun adalah sebentuk kebebasan yang tidak boleh seorang tetangga, teman atau
bahkan saudara untuk menentang atau memaksanya.
Jika Îmân telah
menemukan tempatnya, maka siapapun tanpa terkecuali, akan menyiram, memupuk dan
menjaganya agar menjadi subur dan tetap eksis di tengah terpaan dan badai angin
kehidupan yang menerjang.
Apakah Îmân
menjadi substansi dalam kehidupan atau hanya sekedar perkara artifisial, ia
dikembalikan kepada sang pemilik nama, yang mengaku diri sebagai manusia. Bukan
manusia berîmân jika keîmânan itu tidak tertanam secara baik dan kuat. Bukan
orang berîmân jika kepercayaan terhadap Allâh itu berlawanan dengan tindakan
dan perilaku kesehariannya.
1. Memiliki Îmân
Adalah manusia yang bernilai guna bagi kehidupan pribadi
maupun kebermanfaatan bagi semesta selama Îmân menjadi dasar dan kekuatan yang
paling dalam. Masih disebut manusia yang berîmân, siapapun, yang menjalani
hidup dengan ketaatan dan kepatuhan kepada perintah Allâh dan Rasûl-Nya.
Sebuah keharusan bagi setiap insân muslim untuk memiliki
keîmânan yang kokoh. Keharusan yang mengadakan adalah diri manusia itu sendiri,
orang lain hanya mengingatkan, mengajak berlomba dalam kebenaran dan kebaikan,
atau bahkan meneguhkannya.
Kepemilikan seseorang akan Îmân menunjukkan adanya nilai
syukur dan apresiasi terhadap anugerah Allâh atasnya. Dengan Îmân yang bercokol
itulah setiap orang mampu menjaga diri dan hatinya; diri kemanusiaan yang penuh
godaan dan rintangan dalam perjalanan hidupnya sangat membutuhkan Îmân sebagai
suluh dan navigator.
Dalam sebuah hadîts disebutkan: “Ada tiga hal, yang
jika tiga hal itu ada pada seseorang, maka dia akan merasakan manisnya Îmân.
(Yaitu); Allâh dan Rasûl-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya;
Mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allâh; Benci untuk
kembali kepada kekufuran setelah Allâh menyelamatkan darinya, sebagaimana
bencinya jika dicampakkan ke dalam api (neraka).” (HR. Muttafaq `Alaih)
Adakah kita menemukan orang yang menjadikan Allâh dan
Rasûl-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya? Adakah orang yang
mencintai atau membenci orang lain karena Allâh? Adakah orang yang benci
kembali kepada kekufuran? Jika jawabannya ada dan benar-benar nyata adanya maka
beruntunglah orang itu.
2. Pengokoh Îmân
Ikhtiar seorang muslim untuk senantiasa mengamankan keîmânan
dalam dirinya menjadi tugas yang hendaknya mendapat prioritas. Tugas ini tidak
perlu Surat Keputusan ataupun instruksi dari atasan, pimpinan atau siapapun.
Kesadaran diri, untuk menjadikan Îmân agar tetap survive dan sustainable,
itulah pemicunya.
Pertama, Memahami Alqurân. Kitâb ini membutuhkan
perhatian kaum muslim untuk dijadikan sebagai pedoman hidup. Bagaimana akan
dijadikan pedoman jika pemahaman terhadap kitâb ini lemah? Apa yang bisa
diharapkan dari sebuah pengamalan ayat jika tidak ada pemahaman terhadapnya?
Apakah kita tinggal diam bahwa kitâb suci kita dikaji oleh orientalis,
sementara kita yang mengaku muslim malah jauh darinya?
Allâh memberikan peringatan keras kepada siapapun:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alqurân ataukah
hati mereka terkunci?” (QS. 47: 24).
Jika Allâh hendak membuka hati kita, tentu saja, akan
dimudahkan dalam membaca, mengkaji, memahami dan mengamalkan ayat demi ayat.
Dalam perspektif ini, Alqurân akan dapat ‘diasup dan dinikmati’ secara tekstual
maupun konteksual.
Kedua, Memahami dan meneladani Rasûl. Kita tidak
pernah bertemu dengan beliau saw dalam kehidupan nyata. Tetapi karena faktor
keîmânan yang ada itulah kita mampu bersikap yakin bahwa Nabi Muhammad
saw adalah Rasûlullâh. Melalui hadîts-hadîts kita mengenal
dan akrab dengannya. Dari sanalah kita mencontoh dalam setiap aspek kehidupan
beragama, bersosial dan lainnya. Beliau saw menjadi cermin bagi kaum muslim
dalam setiap hal dan perkara.
Bagaimana mungkin kita akan bersitegang, berseberangan,
berbeda, atau bahkan menentang beliau saw jika Allâh telah berfirman: “Barangsiapa
yang mentaati Rasûl itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allâh. Dan barangsiapa
yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka.” (QS. 4: 80)
Berdasarkan ayat di atas, siapapun dari kalangan orang yang
berîmân maupun kâfir, Rasûl saw tidak bertanggungjawab terhadap
perbuatan-perbuatan mereka dan tidak menjamin agar mereka tidak berbuat
kesalahan. Jadi, masing-masing kitalah yang bertanggungjawab atas apa yang kita
lakukan di dunia. Tidak ada lempar tanggungjawab.
Ketiga, Mengikuti jejak sahabat dan salafus shâlih.
Salafus shâlih adalah Rasûlullâh saw dan para sahabatnya.
Mereka adalah Ahli Sunnah wal Jamâ`ah, yaitu sekelompok orang
yang mengikuti Sunnah Nabi dan guyub bersama komunitas kaum muslim. Merekalah
golongan yang selamat yang disebutkan dalam sebuah hadîts Nabi.
Menurut Muhammad Jamîl Zainu, merekalah komunitas yang
mempunyai perhatian sangat besar terhadap penerapan Alqurân dan Sunnah serta
`aqîdah tauhid. Mereka memerintahkan kepada kaum muslim untuk mengulangi
prinsip `aqîdah itu pada setiap raka`ât shalât mereka, yang semua itu secara
implisit disebutkan dalam firman Allâh pada ayat
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada
Engkaulah kami meminta pertolongan.” (QS. 1: 5)
Kaum salaf berpegang teguh kepada Sunnah. Mereka juga
membedakan dengan nyata lagi jelas antara yang shahîh, dha`îf,
dan terlebih maudhû`. Mereka hanya memerintahkan untuk menggunakan hadîts-hadîts
shahîh dalam hal apapun dan meninggalkan hadîts dla`îf
serta maudlû`. Rasûlullâh pernah bersabda, “Siapa saja yang mengatakan sesuatu
dariku padahal aku tidak pernah mengatakannya, maka baginya disediakan tempat
di neraka.” (HR. Ahmad)
Menjadi tugas setiap muslim untuk menjaga sunnah dan
menghidupkannya, dengan bersungguh-sungguh pada penguatan hadîts shahîh
dalam bentuk realisasi nyata –dalam kehidupan sehari-hari.
Jika, dalam hidup ini, seorang muslim tidak lagi mampu
mengenal Rasûlullâh saw, membelanya, dan memperjuangkan (sunnah)nya, maka
sebaiknya mengambil pelajaran dari ayat berikut:
“Dan apabila mereka digulung ombak yang besar seperti
gunung, mereka menyeru Allâh dengan tulus ikhlâs beragama kepada-Nya. Tetapi
ketika Allâh menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap
menempuh jalan yang lurus. Dan tidak ada yang mengingkari ayat- ayat Kami
selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar.” (QS. 31: 32)
Oleh karena itu, satu-satunya opsi bagi orang yang berîmân
adalah taat pada Allâh dan Rasûl-Nya, tanpa negosiasi. Apa saja perintah yang
datang dari Allâh dan Rasûl-Nya adalah mutlak kebenarannya, tidak bisa ditawar.
Allâh SWT memberikan janji bagi orang-orang yang sepenuh hati taat dan patuh
itu dengan menyatakan:
“Dan barangsiapa yang mentaati Allâh dan Rasûl(Nya),
mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh
Allâh, yaitu: Nabi-nabi, para shiddîqîn, orang-orang yang mati syâhid, dan
orang-orang shâlih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”
(QS. 4: 69).
3. Jaga stamina Îmân
Menjadi seorang mukmin dengan Îmân yang kokoh hendaknya
selalu diusahakan, dikhtiari, dan diprioritaskan. Seorang yang telah
bersungguh-sungguh dalam berîmân, disebut nama Allâh saja, dengan menyebut
sifat-sifat yang mengagungkan dan memuliakan-Nya, gemetarlah hatinya. Pun jika
ayat-ayat Allâh dibacakan kepada mereka menjadi bertambah (kuat) Îmânnya.
(Lihat dan pahami QS. 8: 2)
Untuk memiliki Îmân yang kokoh menjadi hak setiap kaum
muslim. Disebut hak, di sini, oleh sebab untuk mendapatkannya diperlukan suatu
pengorbanan dan perjuangan. Dipandang sebagai hak karena siapapun, tanpa
terkecuali, diperkenankan untuk meraihnya. Dinamakan hak, oleh sebab untuk
memiliki dan menanamkannya dalam diri pribadi siapapun tidak ada paksaan dan
tanpa beban apapun. Justru dengan berîmân seseorang akan merasakan nikmatnya
Îmân.
Yang memprihatinkan adalah bahwa Îmân hanya sebatas ungkapan
lisan, nihil dari pembuktian dan perwujudan dalam praktek nyata. Meski sebagian
orang melakukan demikian, tidak ada alasan untuk tidak mengamalkan Îmân,
menerjemahkannya, dan mengaktualisasikan Îmân itu dalam setiap sudut kehidupan.
Pertanyaan kemudian adalah siapa yang bisa menjamin keîmânan
ini tetap ‘tertanam dan tersimpan’ secara aman hingga akhir hayât?
Apakah kategori Îmân yang selama ini kita tekuni hanya sebatas keyakinan bâtinî
bahwa diri ini telah membenarkan dalam hati, atau mewujud dalam pernyataan
lisan bahwa “Saya berîmân”, atau telah menjelma menjadi amal perbuatan –dalam
amal shâlih?
Berdasarkan
firman Allâh QS. 10: 57, “telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu”
sebagai pengingat dari perkara yang buruk dan terlarang, “dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada” yaitu dari
segala keraguan dan syubhât, dengan menghilangkan kotoran dan daki, “dan
petunjuk serta rahmat” yang dengan Îmânlah keduanya dapat dicapai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar