Jumat, 27 April 2018

Ikhtiar Menjadikan Iman yang Aktual


Moh. In'ami | Aktualisasi Îmân



Suatu keharusan bagi kaum muslim untuk melakukan yang terbaik dalam agama. Tidak ada sesuatu yang membahagiakan melainkan Îmân yang telah tertanam dalam diri sanubari seseorang. Dan itulah suatu kebaikan yang besar.
Menjadi seorang yang mengaku berîmân, kepada Allâh dan Rasûl-Nya, adalah suatu opsi dalam menjalani kehidupan beragama. Pun seorang yang tidak memiliki keîmânan terhadap apapun adalah sebentuk kebebasan yang tidak boleh seorang tetangga, teman atau bahkan saudara untuk menentang atau memaksanya.
Jika Îmân telah menemukan tempatnya, maka siapapun tanpa terkecuali, akan menyiram, memupuk dan menjaganya agar menjadi subur dan tetap eksis di tengah terpaan dan badai angin kehidupan yang menerjang.
Apakah Îmân menjadi substansi dalam kehidupan atau hanya sekedar perkara artifisial, ia dikembalikan kepada sang pemilik nama, yang mengaku diri sebagai manusia. Bukan manusia berîmân jika keîmânan itu tidak tertanam secara baik dan kuat. Bukan orang berîmân jika kepercayaan terhadap Allâh itu berlawanan dengan tindakan dan perilaku kesehariannya.

1. Memiliki Îmân

Adalah manusia yang bernilai guna bagi kehidupan pribadi maupun kebermanfaatan bagi semesta selama Îmân menjadi dasar dan kekuatan yang paling dalam. Masih disebut manusia yang berîmân, siapapun, yang menjalani hidup dengan ketaatan dan kepatuhan kepada perintah Allâh dan Rasûl-Nya.
Sebuah keharusan bagi setiap insân muslim untuk memiliki keîmânan yang kokoh. Keharusan yang mengadakan adalah diri manusia itu sendiri, orang lain hanya mengingatkan, mengajak berlomba dalam kebenaran dan kebaikan, atau bahkan meneguhkannya.
Kepemilikan seseorang akan Îmân menunjukkan adanya nilai syukur dan apresiasi terhadap anugerah Allâh atasnya. Dengan Îmân yang bercokol itulah setiap orang mampu menjaga diri dan hatinya; diri kemanusiaan yang penuh godaan dan rintangan dalam perjalanan hidupnya sangat membutuhkan Îmân sebagai suluh dan navigator. 
Dalam sebuah hadîts disebutkan: “Ada tiga hal, yang jika tiga hal itu ada pada seseorang, maka dia akan merasakan manisnya Îmân. (Yaitu); Allâh dan Rasûl-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya; Mencintai seseorang, dia tidak mencintainya kecuali karena Allâh; Benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allâh menyelamatkan darinya, sebagaimana bencinya jika dicampakkan ke dalam api (neraka).” (HR. Muttafaq `Alaih)
Adakah kita menemukan orang yang menjadikan Allâh dan Rasûl-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya? Adakah orang yang mencintai atau membenci orang lain karena Allâh? Adakah orang yang benci kembali kepada kekufuran? Jika jawabannya ada dan benar-benar nyata adanya maka beruntunglah orang itu.

2. Pengokoh Îmân

Ikhtiar seorang muslim untuk senantiasa mengamankan keîmânan dalam dirinya menjadi tugas yang hendaknya mendapat prioritas. Tugas ini tidak perlu Surat Keputusan ataupun instruksi dari atasan, pimpinan atau siapapun. Kesadaran diri, untuk menjadikan Îmân agar tetap survive dan sustainable, itulah pemicunya.
Pertama, Memahami Alqurân. Kitâb ini membutuhkan perhatian kaum muslim untuk dijadikan sebagai pedoman hidup. Bagaimana akan dijadikan pedoman jika pemahaman terhadap kitâb ini lemah? Apa yang bisa diharapkan dari sebuah pengamalan ayat jika tidak ada pemahaman terhadapnya? Apakah kita tinggal diam bahwa kitâb suci kita dikaji oleh orientalis, sementara kita yang mengaku muslim malah jauh darinya?
Allâh memberikan peringatan keras kepada siapapun:
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alqurân ataukah hati mereka terkunci?” (QS. 47: 24).
Jika Allâh hendak membuka hati kita, tentu saja, akan dimudahkan dalam membaca, mengkaji, memahami dan mengamalkan ayat demi ayat. Dalam perspektif ini, Alqurân akan dapat ‘diasup dan dinikmati’ secara tekstual maupun konteksual.
Kedua, Memahami dan meneladani Rasûl. Kita tidak pernah bertemu dengan beliau saw dalam kehidupan nyata. Tetapi karena faktor keîmânan yang ada itulah kita mampu bersikap yakin bahwa Nabi Muhammad saw adalah Rasûlullâh. Melalui hadîts-hadîts kita mengenal dan akrab dengannya. Dari sanalah kita mencontoh dalam setiap aspek kehidupan beragama, bersosial dan lainnya. Beliau saw menjadi cermin bagi kaum muslim dalam setiap hal dan perkara.
Bagaimana mungkin kita akan bersitegang, berseberangan, berbeda, atau bahkan menentang beliau saw jika Allâh telah berfirman: “Barangsiapa yang mentaati Rasûl itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allâh. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS. 4: 80)
Berdasarkan ayat di atas, siapapun dari kalangan orang yang berîmân maupun kâfir, Rasûl saw tidak bertanggungjawab terhadap perbuatan-perbuatan mereka dan tidak menjamin agar mereka tidak berbuat kesalahan. Jadi, masing-masing kitalah yang bertanggungjawab atas apa yang kita lakukan di dunia. Tidak ada lempar tanggungjawab.
Ketiga, Mengikuti jejak sahabat dan salafus shâlih. Salafus shâlih adalah Rasûlullâh saw dan para sahabatnya.
Mereka adalah Ahli Sunnah wal Jamâ`ah, yaitu sekelompok orang yang mengikuti Sunnah Nabi dan guyub bersama komunitas kaum muslim. Merekalah golongan yang selamat yang disebutkan dalam sebuah hadîts Nabi.
Menurut Muhammad Jamîl Zainu, merekalah komunitas yang mempunyai perhatian sangat besar terhadap penerapan Alqurân dan Sunnah serta `aqîdah tauhid. Mereka memerintahkan kepada kaum muslim untuk mengulangi prinsip `aqîdah itu pada setiap raka`ât shalât mereka, yang semua itu secara implisit disebutkan dalam firman Allâh pada ayat
Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (QS. 1: 5)
Kaum salaf berpegang teguh kepada Sunnah. Mereka juga membedakan dengan nyata lagi jelas antara yang shahîh, dha`îf, dan terlebih maudhû`. Mereka hanya memerintahkan untuk menggunakan hadîts-hadîts shahîh dalam hal apapun dan meninggalkan hadîts dla`îf serta maudlû`. Rasûlullâh pernah bersabda, “Siapa saja yang mengatakan sesuatu dariku padahal aku tidak pernah mengatakannya, maka baginya disediakan tempat di neraka.” (HR. Ahmad)
Menjadi tugas setiap muslim untuk menjaga sunnah dan menghidupkannya, dengan bersungguh-sungguh pada penguatan hadîts shahîh dalam bentuk realisasi nyata –dalam kehidupan sehari-hari.
Jika, dalam hidup ini, seorang muslim tidak lagi mampu mengenal Rasûlullâh saw, membelanya, dan memperjuangkan (sunnah)nya, maka sebaiknya mengambil pelajaran dari ayat berikut:
Dan apabila mereka digulung ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allâh dengan tulus ikhlâs beragama kepada-Nya. Tetapi ketika Allâh menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Dan tidak ada yang mengingkari ayat- ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar.” (QS. 31: 32)
Oleh karena itu, satu-satunya opsi bagi orang yang berîmân adalah taat pada Allâh dan Rasûl-Nya, tanpa negosiasi. Apa saja perintah yang datang dari Allâh dan Rasûl-Nya adalah mutlak kebenarannya, tidak bisa ditawar. Allâh SWT memberikan janji bagi orang-orang yang sepenuh hati taat dan patuh itu dengan menyatakan:
Dan barangsiapa yang mentaati Allâh dan Rasûl(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allâh, yaitu: Nabi-nabi, para shiddîqîn, orang-orang yang mati syâhid, dan orang-orang shâlih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. 4: 69).

3. Jaga stamina Îmân

Menjadi seorang mukmin dengan Îmân yang kokoh hendaknya selalu diusahakan, dikhtiari, dan diprioritaskan. Seorang yang telah bersungguh-sungguh dalam berîmân, disebut nama Allâh saja, dengan menyebut sifat-sifat yang mengagungkan dan memuliakan-Nya, gemetarlah hatinya. Pun jika ayat-ayat Allâh dibacakan kepada mereka menjadi bertambah (kuat) Îmânnya. (Lihat dan pahami QS. 8: 2)
Untuk memiliki Îmân yang kokoh menjadi hak setiap kaum muslim. Disebut hak, di sini, oleh sebab untuk mendapatkannya diperlukan suatu pengorbanan dan perjuangan. Dipandang sebagai hak karena siapapun, tanpa terkecuali, diperkenankan untuk meraihnya. Dinamakan hak, oleh sebab untuk memiliki dan menanamkannya dalam diri pribadi siapapun tidak ada paksaan dan tanpa beban apapun. Justru dengan berîmân seseorang akan merasakan nikmatnya Îmân.
Yang memprihatinkan adalah bahwa Îmân hanya sebatas ungkapan lisan, nihil dari pembuktian dan perwujudan dalam praktek nyata. Meski sebagian orang melakukan demikian, tidak ada alasan untuk tidak mengamalkan Îmân, menerjemahkannya, dan mengaktualisasikan Îmân itu dalam setiap sudut kehidupan.
Pertanyaan kemudian adalah siapa yang bisa menjamin keîmânan ini tetap ‘tertanam dan tersimpan’ secara aman hingga akhir hayât? Apakah kategori Îmân yang selama ini kita tekuni hanya sebatas keyakinan bâtinî bahwa diri ini telah membenarkan dalam hati, atau mewujud dalam pernyataan lisan bahwa “Saya berîmân”, atau telah menjelma menjadi amal perbuatan –dalam amal shâlih?
Berdasarkan firman Allâh QS. 10: 57, “telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu” sebagai pengingat dari perkara yang buruk dan terlarang, dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada” yaitu dari segala keraguan dan syubhât, dengan menghilangkan kotoran dan daki, dan petunjuk serta rahmat” yang dengan Îmânlah keduanya dapat dicapai.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...