Senin, 30 April 2018

Memuliakan Diri


Menuju Jalan Kemuliaan | Moh.In'ami


Dalam hidup manusia sering memburu kemuliaan. Manusia selalu mengejar kemuliaan tanpa henti. Bahkan setiap saat, orang-orang yang ‘mawas diri’, tidak pernah lepas dari upaya mewujudkan kemuliaan pada diri mereka. Mulai dari yang terbetik dalam hati, yang tersampaikan dalam ucap maupun yang terrealisasikan dalam suatu tindakan. Kesemuanya mengarah pada kemuliaan yang diharap dan inginkan.
Jika anda seorang muslim sejati, anda sungguh mulia. Jika anda seorang mukmin yang kuat, anda tergolong manusia mulia. Jika anda menyadari potensi diri dan mau mengembangkannya untuk sebuah cita-cita menuju ridhâ Allâh semata, anda termasuk orang mulia.
Sungguh Allâh SWT telah memberikan jalan bagi siapapun untuk menjadi mulia dan mampu menebar kemuliaan itu di antara sesama; tanpa pilih kasih, tanpa mengucilkan, tanpa kesewenangan.
Manusia mulia dilahirkan untuk menjadi khalîfah sekaligus `abdullâh yang memiliki asas dan prinsip bermanfaat bagi sesama makhlûq.
Idealnya, di manapun posisi dan kapanpun waktunya, manusia memiliki kesempatan yang sama untuk mengaktualisasikan diri dan memaknai statusnya –sebagai khalîfah maupun `abdullâh.
Status khalîfah mengantarkan manusia pada optimalisasi diri dan pengembangannya dalam mengolah, mengelola, dan memanfaatkan anugerah Allâh SWT untuk sepenuhnya dijadikan sarana dan orientasi kemaslahatan bersama.
Status `abdullâh menyadarkan manusia bahwa dirinya hanyalah makhlûq dan hanya mendapat amânah. Kesadaran pada eksistensi kemakhlûqan dan penerimaan amânah telah menghadirkan manusia yang bertanggungjawab atas segala hal yang dilakukannya.

1. Fatamorgana ‘menyapa’

Sudut pandang dan persepsi manusia ternyata berbeda dalam memaknai kemuliaan. Orang menyebut mulia jika ia berada pada posisi top; di atas orang-orang pada umumnya. Menjadi bos, pimpinan, ketua, kepala divisi atau sejenisnya. Dengan berada pada level itu, semua orang, baik anak buah, bawahan atau mitra kerja sekalipun, akan memberi hormat, respek, atau hormat.
Sementara, ada seorang yang sukses di mata teman seperjuangannya, oleh karena ia telah berhasil menoreh sejarah dengan tinta emas. Atau setidaknya ia telah menjadi lokomotif bagi gerbong teman-teman yang butuh aktualisasi diri. Meski, tanpa disadari atau memang dengan segala penuh kesadaran, prestasi dan kesuksesan itu hanya mendapat pengakuan teman yang mengitarinya saja. Oleh karena prestasi yang dibanggakan itu ternyata diperoleh dengan cara ‘menginjak’ teman rivalnya. Kesuksesan yang dibanggakan di media itu adalah hasil dari ‘membunuh’ karakter teman sekerjanya.
Ada lagi yang merasa bahwa popularitas adalah kemuliaan. Menjadi orang yang populer sungguh menakjubkan. Di manapun ia disanjung, dipuja, bahkan ‘diangkat’ tinggi-tinggi. Orang lantas berpresepsi, bahwa dengan popularitas, segala bentuk kesejahteraan dan fasilitas hidup bisa diraih.
Faktanya, seorang pejabat memberi nasehat kepada anak buahnya untuk senantiasa menyadari sepak terjang dan berhati-hati. Wajar sekali, seorang atasan menyampaikan pesan tersebut kepada sang anak buah. Bukan karena apa, tetapi suasana politik di tempat kerja telah membuat dan menggiring orang ke arah yang tidak kondusif. Maka, sikap kehati-hatian dan sadar perilaku menjadi hal penting yang perlu diperhatikan.
Dan letak kemuliaan sang pejabat adalah seberapa sering ia bertanya dan membantu kesulitan yang dihadapi anak buahnya, atau masalah apa yang belum terselesaikan berkenaan dengan tanggungjawabnya sebagai atasan yang membawahinya langsung.
Padahal Allâh SWT telah mewahyukan kepada Rasûl-Nya,
Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. (QS. 89: 15)
Ternyata kesenangan hidup, kekayaan, pangkat, kedudukan, bahkan kenikmatan merupakan sarana untuk manusia dalam mendekat kepada Allâh, Sang Pencipta. ‘Penglihatan’ manusia terhadap apa yang dihadapi dan diterimanya adalah menjadi jalan untuk memaknai semuanya.
Orang menjadi kurang selektif dalam mengidentifikasi kemuliaan. Sesuatu yang menjadikannya senang, mudah dan memuaskan cenderung dimaknai sebagai kemuliaan. Jarang sekali, orang yang berada di tengah-tengah melimpahnya harta dan tingginya jabatan lantas memaknai sebagai kehinaan.
Lantas orang yang merasa terjepit, tidak ada jalan keluar, dan kesulitan ekonomi menghadang, hal itu cenderung dimaknai sebagai bentuk kehinaan. Padahal, kondisi orang yang berada pada posisi sedemikian dapat menjadi sarana untuk meraih rahmat dan kemuliaan itu sendiri. Kemuliaan yang hakiki. Kebanyakan merasakan sebagaimana yang difirmankan dalam QS. 89: 16,
Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: Tuhanku menghinakanku.”
Sejatinya maksud ayat di atas ialah bahwa Allâh menyalahkan orang-orang yang mengatakan bahwa kekayaan itu adalah suatu kemuliaan dan kemiskinan adalah suatu kehinaan seperti yang tersebut pada ayat 15 dan 16. Tetapi, mesti dimaklumi oleh setiap kaum muslim, bahwa sebenarnya kekayaan dan kemiskinan adalah ujian Tuhan bagi hamba-hamba-Nya.

2. Seharusnya mulia

Apa yang disebut sebagai kemuliaan oleh manusia ternyata sirna. Demikianlah sebagaimana yang dituturkan oleh Syekh `Aidh Al-Qarni, bahwa seorang Syah `Irân yang sedang merayakan 2.500 tahun berdirinya kerajaan Persia. Dia merencanakan ekspansi kekuasaan dan wilayahnya. Namun secara tiba-tiba kekuasaannya justru ‘dicabut’ hanya dalam hitungan malam. (2012)
Dalam QS. 3: 26 disebutkan,
Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki.”
Nasibnya kemudian sangat mengenaskan; diusir dari istananya, rumah-rumah mewahnya, dan kenikmatan dunia miliknya. Dia mati merana jauh dari negerinya, dalam keadaan bangkrut dan tidak ada seorang pun menangisi kematiannya.
Jika manusia menghendaki kemuliaan, pada dirinya ada kemuliaan. Allâh telah menciptakan manusia fî ahsani taqwîm. Dengan modal itulah manusia berupaya dan berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan sebagai pribadi yang paling bertaqwâ dalam kehidupan. Demikianlah Allâh menyebutnya: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertaqwâ.”
Dan sebagai muslim yang sungguh-sungguh adalah merealisasikan nilai dan prinsip keislâman dalam kehidupan nyata, menerjemahkan setiap jurisprudensi dan tatanan ilâhiyah sebagaimana mestinya tanpa mengurangi atau menambahnya, dan menunaikan setiap hak orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya. Tanpa terkecuali. Perhatikan hadîts “setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban.”

3. Menembus hikmah

Hidup mulia atau mati syahîd itulah pilihan seorang muslim. Kehidupan tanpa kemuliaan berarti tidak menghidupkan Islâm dalam setiap bidang kehidupan. Kehidupan tanpa kemuliaan berarti telah mengabaikan saudaranya sesama muslim yang berada di bawah kekuasaan dan kepemimpinannya.
Jika seorang muslim hendak menikmati kemuliaan, maka ber-Islâm secara kâffah itulah kemuliaan sejati. Jika manusia hendak memaknai kemuliaan hidup, maka totalitas dalam ketaatan dan `ibâdah hanya kepada Allâh SWT itulah sebuah kemuliaan.
Apakah merupakan sebuah kemuliaan orang yang berlindung di bawah kekuatan, arogansi dan kepiawaian pemimpin, dengan mengamini setiap kebijakan yang diambil tanpa reserve dan kritik apapun? Padahal ada segelintir orang yang, dengan sengaja, dilupakan hanya karena sebuah dosa politik.
Mengapa orang mengejar (yang dianggap sebagai) kemuliaan, padahal yang bersangkutan tidak mampu memuliakan saudaranya sesama muslim? Kemuliaan macam apakah yang melegitimasi kepala rumah tangga yang menginjak harkat dan martabat anak, istri dan keluarganya?
Untuk menjadi mulia dapat meneladani Rasûlullâh saw. Beliau mendidik kaum muslim untuk memuliakan tetangga, memberikan yang terbaik kepada tamu, dan peduli terhadap orang-orang yang lemah dan mustadh`afîn. Bahkan, dengan tauhîd, beliau telah mengentaskan kaumnya dari kehinaan syirik dan jâhiliyah.
Melalui sebuah pemerintahan yang mengantarkan kaum muslim pada sebuah peradaban Islâm, lahirlah masyarakat madani yang egaliter, berakhlâq kuat, berpegang pada syarî`at, dan toleran.
Mewujudkan sebuah kemuliaan pada diri sendiri berarti adanya kemampuan untuk memuliakan orang lain, tanpa diminta. Menginginkan sebuah kemuliaan dari Allâh SWT berarti diri ini telah berikhtiar untuk memantaskan diri dan memenuhi kelayakan diri untuk dimuliakan-Nya. Allâh mengingatkan:
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allâh ialah orang yang paling taqwâ di antara kamu.” (QS. 49: 13)
Tidak mungkin seorang muslim mengejar kemuliaan, tetapi yang dibangun adalah kehinaan; menghinakan teman, pesaing, apalagi lawan. Tidak mungkin seorang yang mengaku mulia tetapi menebarkan kebusukan; senantiasa menganggap orang yang bersalah itu salah selamanya (tidak pernah memberi kesempatan atau ruang untuk bertaubat dan memperbaiki diri), apalagi hanya memberi punishment tanpa melakukan tindakan kuratif.
Sebuah adagium menyebutkan: Kemuliaan itu dengan budi pekerti, bukan karena keturunan (nasab). Jadi, sudahkah kita berperilaku sesuai dengan budi pekerti yang Rasûlullâh teladankan? ž






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...