Menuju Jalan Kemuliaan | Moh.In'ami
Dalam hidup manusia sering memburu
kemuliaan. Manusia selalu mengejar kemuliaan tanpa henti. Bahkan setiap saat,
orang-orang yang ‘mawas diri’, tidak pernah lepas dari upaya mewujudkan
kemuliaan pada diri mereka. Mulai dari yang terbetik dalam hati, yang
tersampaikan dalam ucap maupun yang terrealisasikan dalam suatu tindakan.
Kesemuanya mengarah pada kemuliaan yang diharap dan inginkan.
Jika anda
seorang muslim sejati, anda sungguh mulia. Jika anda seorang mukmin yang kuat,
anda tergolong manusia mulia. Jika anda menyadari potensi diri dan mau
mengembangkannya untuk sebuah cita-cita menuju ridhâ Allâh semata, anda
termasuk orang mulia.
Sungguh Allâh
SWT telah memberikan jalan bagi siapapun untuk menjadi mulia dan mampu menebar
kemuliaan itu di antara sesama; tanpa pilih kasih, tanpa mengucilkan, tanpa
kesewenangan.
Manusia mulia
dilahirkan untuk menjadi khalîfah sekaligus `abdullâh yang
memiliki asas dan prinsip bermanfaat bagi sesama makhlûq.
Idealnya, di
manapun posisi dan kapanpun waktunya, manusia memiliki kesempatan yang sama
untuk mengaktualisasikan diri dan memaknai statusnya –sebagai khalîfah
maupun `abdullâh.
Status khalîfah
mengantarkan manusia pada optimalisasi diri dan pengembangannya dalam
mengolah, mengelola, dan memanfaatkan anugerah Allâh SWT untuk sepenuhnya
dijadikan sarana dan orientasi kemaslahatan bersama.
Status `abdullâh
menyadarkan manusia bahwa dirinya hanyalah makhlûq dan hanya mendapat amânah.
Kesadaran pada eksistensi kemakhlûqan dan penerimaan amânah telah menghadirkan
manusia yang bertanggungjawab atas segala hal yang dilakukannya.
1. Fatamorgana ‘menyapa’
Sudut pandang dan persepsi manusia ternyata berbeda dalam
memaknai kemuliaan. Orang menyebut mulia jika ia berada pada posisi top; di
atas orang-orang pada umumnya. Menjadi bos, pimpinan, ketua, kepala divisi atau
sejenisnya. Dengan berada pada level itu, semua orang, baik anak buah, bawahan
atau mitra kerja sekalipun, akan memberi hormat, respek, atau hormat.
Sementara, ada seorang yang sukses di mata teman
seperjuangannya, oleh karena ia telah berhasil menoreh sejarah dengan tinta
emas. Atau setidaknya ia telah menjadi lokomotif bagi gerbong teman-teman yang
butuh aktualisasi diri. Meski, tanpa disadari atau memang dengan segala penuh
kesadaran, prestasi dan kesuksesan itu hanya mendapat pengakuan teman yang
mengitarinya saja. Oleh karena prestasi yang dibanggakan itu ternyata diperoleh
dengan cara ‘menginjak’ teman rivalnya. Kesuksesan yang dibanggakan di media
itu adalah hasil dari ‘membunuh’ karakter teman sekerjanya.
Ada lagi yang merasa bahwa popularitas adalah kemuliaan.
Menjadi orang yang populer sungguh menakjubkan. Di manapun ia disanjung,
dipuja, bahkan ‘diangkat’ tinggi-tinggi. Orang lantas berpresepsi, bahwa dengan
popularitas, segala bentuk kesejahteraan dan fasilitas hidup bisa diraih.
Faktanya, seorang pejabat memberi nasehat kepada anak buahnya
untuk senantiasa menyadari sepak terjang dan berhati-hati. Wajar sekali,
seorang atasan menyampaikan pesan tersebut kepada sang anak buah. Bukan karena
apa, tetapi suasana politik di tempat kerja telah membuat dan menggiring orang
ke arah yang tidak kondusif. Maka, sikap kehati-hatian dan sadar perilaku
menjadi hal penting yang perlu diperhatikan.
Dan letak kemuliaan sang pejabat adalah seberapa sering ia
bertanya dan membantu kesulitan yang dihadapi anak buahnya, atau masalah apa
yang belum terselesaikan berkenaan dengan tanggungjawabnya sebagai atasan yang
membawahinya langsung.
Padahal Allâh SWT telah mewahyukan kepada Rasûl-Nya,
“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu
dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah
memuliakanku”. (QS. 89: 15)
Ternyata kesenangan hidup, kekayaan, pangkat, kedudukan,
bahkan kenikmatan merupakan sarana untuk manusia dalam mendekat kepada Allâh,
Sang Pencipta. ‘Penglihatan’ manusia terhadap apa yang dihadapi dan diterimanya
adalah menjadi jalan untuk memaknai semuanya.
Orang menjadi kurang selektif dalam mengidentifikasi
kemuliaan. Sesuatu yang menjadikannya senang, mudah dan memuaskan cenderung
dimaknai sebagai kemuliaan. Jarang sekali, orang yang berada di tengah-tengah
melimpahnya harta dan tingginya jabatan lantas memaknai sebagai kehinaan.
Lantas orang yang merasa terjepit, tidak ada jalan keluar,
dan kesulitan ekonomi menghadang, hal itu cenderung dimaknai sebagai bentuk
kehinaan. Padahal, kondisi orang yang berada pada posisi sedemikian dapat
menjadi sarana untuk meraih rahmat dan kemuliaan itu sendiri. Kemuliaan
yang hakiki. Kebanyakan merasakan sebagaimana yang difirmankan dalam QS. 89:
16,
“Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya
maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku.”
Sejatinya maksud ayat di atas ialah bahwa Allâh menyalahkan
orang-orang yang mengatakan bahwa kekayaan itu adalah suatu kemuliaan dan
kemiskinan adalah suatu kehinaan seperti yang tersebut pada ayat 15 dan 16.
Tetapi, mesti dimaklumi oleh setiap kaum muslim, bahwa sebenarnya kekayaan dan
kemiskinan adalah ujian Tuhan bagi hamba-hamba-Nya.
2. Seharusnya mulia
Apa yang disebut sebagai kemuliaan oleh manusia ternyata
sirna. Demikianlah sebagaimana yang dituturkan oleh Syekh `Aidh Al-Qarni, bahwa
seorang Syah `Irân yang sedang merayakan 2.500 tahun berdirinya kerajaan
Persia. Dia merencanakan ekspansi kekuasaan dan wilayahnya. Namun secara
tiba-tiba kekuasaannya justru ‘dicabut’ hanya dalam hitungan malam. (2012)
Dalam QS. 3: 26 disebutkan,
“Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau
kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau
muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau
kehendaki.”
Nasibnya kemudian sangat mengenaskan; diusir dari istananya,
rumah-rumah mewahnya, dan kenikmatan dunia miliknya. Dia mati merana jauh dari
negerinya, dalam keadaan bangkrut dan tidak ada seorang pun menangisi
kematiannya.
Jika manusia menghendaki kemuliaan, pada dirinya ada
kemuliaan. Allâh telah menciptakan manusia fî ahsani taqwîm.
Dengan modal itulah manusia berupaya dan berusaha sekuat tenaga untuk
mewujudkan sebagai pribadi yang paling bertaqwâ dalam kehidupan. Demikianlah
Allâh menyebutnya: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah
yang paling bertaqwâ.”
Dan sebagai muslim yang sungguh-sungguh adalah merealisasikan
nilai dan prinsip keislâman dalam kehidupan nyata, menerjemahkan setiap
jurisprudensi dan tatanan ilâhiyah sebagaimana mestinya tanpa mengurangi atau
menambahnya, dan menunaikan setiap hak orang-orang yang menjadi
tanggungjawabnya. Tanpa terkecuali. Perhatikan hadîts “setiap kalian
adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban.”
3. Menembus hikmah
Hidup mulia atau mati syahîd itulah pilihan seorang muslim.
Kehidupan tanpa kemuliaan berarti tidak menghidupkan Islâm dalam setiap bidang
kehidupan. Kehidupan tanpa kemuliaan berarti telah mengabaikan saudaranya
sesama muslim yang berada di bawah kekuasaan dan kepemimpinannya.
Jika seorang muslim hendak menikmati kemuliaan, maka
ber-Islâm secara kâffah itulah kemuliaan sejati. Jika manusia hendak
memaknai kemuliaan hidup, maka totalitas dalam ketaatan dan `ibâdah hanya
kepada Allâh SWT itulah sebuah kemuliaan.
Apakah merupakan sebuah kemuliaan orang yang berlindung di
bawah kekuatan, arogansi dan kepiawaian pemimpin, dengan mengamini setiap
kebijakan yang diambil tanpa reserve dan kritik apapun? Padahal ada
segelintir orang yang, dengan sengaja, dilupakan hanya karena sebuah dosa
politik.
Mengapa orang mengejar (yang dianggap sebagai) kemuliaan,
padahal yang bersangkutan tidak mampu memuliakan saudaranya sesama muslim?
Kemuliaan macam apakah yang melegitimasi kepala rumah tangga yang menginjak
harkat dan martabat anak, istri dan keluarganya?
Untuk menjadi mulia dapat meneladani Rasûlullâh saw. Beliau
mendidik kaum muslim untuk memuliakan tetangga, memberikan yang terbaik kepada
tamu, dan peduli terhadap orang-orang yang lemah dan mustadh`afîn. Bahkan,
dengan tauhîd, beliau telah mengentaskan kaumnya dari kehinaan syirik
dan jâhiliyah.
Melalui sebuah pemerintahan yang mengantarkan kaum muslim
pada sebuah peradaban Islâm, lahirlah masyarakat madani yang egaliter,
berakhlâq kuat, berpegang pada syarî`at, dan toleran.
Mewujudkan sebuah kemuliaan pada diri sendiri berarti adanya
kemampuan untuk memuliakan orang lain, tanpa diminta. Menginginkan sebuah
kemuliaan dari Allâh SWT berarti diri ini telah berikhtiar untuk memantaskan
diri dan memenuhi kelayakan diri untuk dimuliakan-Nya. Allâh mengingatkan:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi
Allâh ialah orang yang paling taqwâ di antara kamu.” (QS. 49: 13)
Tidak mungkin
seorang muslim mengejar kemuliaan, tetapi yang dibangun adalah kehinaan;
menghinakan teman, pesaing, apalagi lawan. Tidak mungkin seorang yang mengaku
mulia tetapi menebarkan kebusukan; senantiasa menganggap orang yang bersalah
itu salah selamanya (tidak pernah memberi kesempatan atau ruang untuk bertaubat
dan memperbaiki diri), apalagi hanya memberi punishment tanpa melakukan
tindakan kuratif.
Sebuah adagium
menyebutkan: Kemuliaan itu dengan budi pekerti, bukan karena keturunan (nasab).
Jadi, sudahkah kita berperilaku sesuai dengan budi pekerti yang Rasûlullâh
teladankan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar