Transformasi Budaya Mulia
Moh. In’ami
“Seorang mukmin itu adalah orang yang bisa menerima dan
diterima orang lain, dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak bisa diterima
orang lain. Dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia
lainnya.”
(HR. Ahmad).
T
H
|
ubungan
sosial berdasarkan pada sikap saling menghormati antar semua pihak, sedangkan
budaya memuliakan merupakan dasar hubungan dan interaksi antar manusia.
Masing-masing dimuliakan. Allah Ta’ala menegaskan: “Dan sesungguhnya
telah Kami muliakan anak-anak Adam.” (QS. Alisra’: 70).
Dan
sikap memuliakan
itu menunjukkan adanya peningkatan dan keberadaban pada diri seseorang. Itulah
budaya yang bangsa mana saja terdidik dengannya, maka berapa banyak budaya atau
negeri yang memiliki keistimewaan dengan sikap memuliakan di antara sesamanya,
dan memuliakan orang lain. Dengan itu, seseorang dikenal.
Budaya
memuliakan dimulai dengan mengagungkan syiar agama Allah, menghormati RasulNya,
mengamalkan petunjuk beliau saw, dan mengikuti model budi pekertinya. Allah
berfirman: “supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,
menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi
dan petang.”(QS. Alfath: 9)
Sebagaimana
agama kita yang lurus telah mewajibkan untuk memuliakan tatanan dan aturan; tatanan
ditetapkan untuk menegakkan kemaslahatan, memelihara kemampuan, dan menjaga
eksistensi jiwa serta hasil kerja. Sebagai contoh adalah hukum lalu lintas;
menghormatinya (mentaatinya) akan memastikan aman dalam mengemudi, bebas dari
resiko, jauh dari gangguan orang lain. Ini merupakan wujud pengamalan sabda
Nabi saw: “Tidak boleh (ada) bahaya dan menimbulkan bahaya.” (HR. Ibnu
Majah)
Memuliakan
Dan yang
termasuk tanda-tanda adanya budaya memuliakan di dalam hidup bermasyarakat
adalah menghormati yang tua dan memberikan perhatian pada mereka. Rasullah saw
pernah bersabda: “Bukan tergolong ummatku, yaitu orang yang tidak mengagungkan
orangtua kita, tidak menyayangi anak kecil kita, dan tidak mengetahui hak orang
‘alim kita.” (HR. Ahmad) Maka memuliakan orangtua termasuk memuliakan Allah
Ta’ala dan mengagungkanNya. Sabda Nabi saw: “Sesungguhnya yang termasuk
mengagungkan Allah adalah memuliakan orang muslim yang berumur.” (HR. Abu
Dawud). Maka memuliakan orangtua termasuk ketaatan yang besar, yang dengan itu
keberkahan akan terurai dan tersebar. Kata Nabi saw: “Keberkahan itu bersama
upaya pemuliaan orangtua di antara kalian.” (HR. Ibnu Hibban)
Menghormati
orangtua dapat dengan memuliakan mereka dan menjaga tempat di mana mereka
berada, mendengarkan ucapan bila mereka berbicara, tidak memutus pembicaraan
mereka. Adalah Nabi saw bila hendak berbicara tentang suatu hal di antara dua
orang, beliau saw memulai denga yang lebih tua daripada keduanya, sabda beliau:
“Muliakan yang tua. Muliakan yang tua.” (HR. Muttafaq ‘alaih). Maka orang yang
lebih tua memulai pembicaraan sebelum yang muda, sebagai wujud penghormatan dan
apresiasi atas kedudukannya, dan wujud transfer pengetahuan dan pengalaman
kepada yang muda.
Dan termasuk
budaya memuliakan adalah menghormati kaum perempuan, menghargai dan
memuliakannya. Sungguh agama Islam telah mengangkat kedudukan kaum perempuan,
yang memerintahkan kepada pemeluknya untuk menjaganya dari perselisihan
hubungan kekerabatan dan senantiasa berbuat baik kepadanya. Jika seorang perempuan
itu adalah ibu maka wajiblah untuk mentaati dan mengabdi kepadanya. Allah
Ta’ala telah menjadikan keridlaanNya dalam keridhaan ibu dan berbakti
kepadanya. Ketika Rasulullah saw ditanya, “Siapakah manusia yang paling berhak
dengan persahabatanku?” Beliau menjawab: “Ibumu.” “kemudian siapa?” Beliau
menjawab: “Ibumu.” “Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab: “Ibumu.” “Kemudian
siapa lagi?” Beliau menjawab: “Kemudian bapakmu.” (HR. Muttafaq ‘alaih dan Ibnu
Hibban). Demikianlah puncak dalam
berbakti dan memuliakan.
Kisah
Dalam Faidhul
Qadir disebutkan bahwa jika perempuan itu adalah seorang anak, Rasulullah
saw memberi kabar gembira bahwa siapa yang memeliharanya dan menyelenggarakan
semua urusannya maka akan menjadi temannya di surga. Sabda Nabi saw: “Siapa
yang mencukupi belanja dua budak perempuan, aku dan dia masuk surga seperti
ini.” (HR. Muslim dan Attirmidzi).
Sungguh
memuliakan manusia secara keseluruhan menurut perbedaan negara, darah, agama,
dan keyakinan mereka maka termasuk mendapat bimbingan dari Rasulullah saw.
Disebutkan bahwa ada jenazah yang diusung sedang lewat. Maka beliau saw
berdiri. Seseorang berkata: “Dia itu seorang Yahudi.” Nabi saw bersabda:
“Bukankah itu juga jiwa.” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Siapa saja,
tanpa terkecuali, dapat mengambil ‘ibrah dari para pendahulu dalam hal
memuliakan orang lain. Dari sinilah upaya transformasi budaya mulia dan
memuliakan itu dapat direalisasikan; dari diri sendiri, keluarga, teman dekat,
dan orang lain, sesama manusia.
Sudahkah kita
memuliakan orang lain? Ataukah kita terlanjur merasa mulia sehingga merasa
tidak perlu memuliakan orang lain sebagaimana diri ini ingin dimuliakan?
Dengan budaya
memulikan orang lain niscaya diri ini menjadi mulia.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar