Selasa, 24 April 2018

Mentransformasikan Budaya yang Mulia


Transformasi Budaya Mulia

Moh. In’ami

“Seorang mukmin itu adalah orang yang bisa menerima dan diterima orang lain, dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak bisa diterima orang lain. Dan sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”
(HR. Ahmad).
T
H
ubungan sosial berdasarkan pada sikap saling menghormati antar semua pihak, sedangkan budaya memuliakan merupakan dasar hubungan dan interaksi antar manusia. Masing-masing dimuliakan. Allah Ta’ala menegaskan: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam.” (QS. Alisra’: 70).
Dan sikap memuliakan itu menunjukkan adanya peningkatan dan keberadaban pada diri seseorang. Itulah budaya yang bangsa mana saja terdidik dengannya, maka berapa banyak budaya atau negeri yang memiliki keistimewaan dengan sikap memuliakan di antara sesamanya, dan memuliakan orang lain. Dengan itu, seseorang dikenal.
Budaya memuliakan dimulai dengan mengagungkan syiar agama Allah, menghormati RasulNya, mengamalkan petunjuk beliau saw, dan mengikuti model budi pekertinya. Allah berfirman: “supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.”(QS. Alfath: 9)
Sebagaimana agama kita yang lurus telah mewajibkan untuk memuliakan tatanan dan aturan; tatanan ditetapkan untuk menegakkan kemaslahatan, memelihara kemampuan, dan menjaga eksistensi jiwa serta hasil kerja. Sebagai contoh adalah hukum lalu lintas; menghormatinya (mentaatinya) akan memastikan aman dalam mengemudi, bebas dari resiko, jauh dari gangguan orang lain. Ini merupakan wujud pengamalan sabda Nabi saw: “Tidak boleh (ada) bahaya dan menimbulkan bahaya.”  (HR. Ibnu Majah)

Memuliakan

Dan yang termasuk tanda-tanda adanya budaya memuliakan di dalam hidup bermasyarakat adalah menghormati yang tua dan memberikan perhatian pada mereka. Rasullah saw pernah bersabda: “Bukan tergolong ummatku, yaitu orang yang tidak mengagungkan orangtua kita, tidak menyayangi anak kecil kita, dan tidak mengetahui hak orang ‘alim kita.” (HR. Ahmad) Maka memuliakan orangtua termasuk memuliakan Allah Ta’ala dan mengagungkanNya. Sabda Nabi saw: “Sesungguhnya yang termasuk mengagungkan Allah adalah memuliakan orang muslim yang berumur.” (HR. Abu Dawud). Maka memuliakan orangtua termasuk ketaatan yang besar, yang dengan itu keberkahan akan terurai dan tersebar. Kata Nabi saw: “Keberkahan itu bersama upaya pemuliaan orangtua di antara kalian.” (HR. Ibnu Hibban)
Menghormati orangtua dapat dengan memuliakan mereka dan menjaga tempat di mana mereka berada, mendengarkan ucapan bila mereka berbicara, tidak memutus pembicaraan mereka. Adalah Nabi saw bila hendak berbicara tentang suatu hal di antara dua orang, beliau saw memulai denga yang lebih tua daripada keduanya, sabda beliau: “Muliakan yang tua. Muliakan yang tua.” (HR. Muttafaq ‘alaih). Maka orang yang lebih tua memulai pembicaraan sebelum yang muda, sebagai wujud penghormatan dan apresiasi atas kedudukannya, dan wujud transfer pengetahuan dan pengalaman kepada yang muda.
Dan termasuk budaya memuliakan adalah menghormati kaum perempuan, menghargai dan memuliakannya. Sungguh agama Islam telah mengangkat kedudukan kaum perempuan, yang memerintahkan kepada pemeluknya untuk menjaganya dari perselisihan hubungan kekerabatan dan senantiasa berbuat baik kepadanya. Jika seorang perempuan itu adalah ibu maka wajiblah untuk mentaati dan mengabdi kepadanya. Allah Ta’ala telah menjadikan keridlaanNya dalam keridhaan ibu dan berbakti kepadanya. Ketika Rasulullah saw ditanya, “Siapakah manusia yang paling berhak dengan persahabatanku?” Beliau menjawab: “Ibumu.” “kemudian siapa?” Beliau menjawab: “Ibumu.” “Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab: “Ibumu.” “Kemudian siapa lagi?” Beliau menjawab: “Kemudian bapakmu.” (HR. Muttafaq ‘alaih dan Ibnu Hibban).  Demikianlah puncak dalam berbakti dan memuliakan.

Kisah

Dalam Faidhul Qadir disebutkan bahwa jika perempuan itu adalah seorang anak, Rasulullah saw memberi kabar gembira bahwa siapa yang memeliharanya dan menyelenggarakan semua urusannya maka akan menjadi temannya di surga. Sabda Nabi saw: “Siapa yang mencukupi belanja dua budak perempuan, aku dan dia masuk surga seperti ini.” (HR. Muslim dan Attirmidzi).
Sungguh memuliakan manusia secara keseluruhan menurut perbedaan negara, darah, agama, dan keyakinan mereka maka termasuk mendapat bimbingan dari Rasulullah saw. Disebutkan bahwa ada jenazah yang diusung sedang lewat. Maka beliau saw berdiri. Seseorang berkata: “Dia itu seorang Yahudi.” Nabi saw bersabda: “Bukankah itu juga jiwa.” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Siapa saja, tanpa terkecuali, dapat mengambil ‘ibrah dari para pendahulu dalam hal memuliakan orang lain. Dari sinilah upaya transformasi budaya mulia dan memuliakan itu dapat direalisasikan; dari diri sendiri, keluarga, teman dekat, dan orang lain, sesama manusia.
Sudahkah kita memuliakan orang lain? Ataukah kita terlanjur merasa mulia sehingga merasa tidak perlu memuliakan orang lain sebagaimana diri ini ingin dimuliakan?
Dengan budaya memulikan orang lain niscaya diri ini menjadi mulia.
Wallahu a’lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...