Kamis, 19 April 2018

Hati-hati dengan Virus yang Bernama Permisif


Antisipasi terhadap Sikap Permisif
Moh. In’ami

Nabi saw: “Sebaik-baik Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tiada berguna baginya.”
T

S
Suatu sore di sebuah kampung terdapat seorang gadis yang bercengkerama dengan tetangganya, dua orang ibu. Seorang ibu mengomentari apa yang dilakukan anak gadis itu berkenaan dengan pacaran yang sedang dijalaninya. Ibu pertama berkata, “Mbak, kamu masih sekolah, baru saja kelas XII. Kok, pacaran terus.” Anak gadis itu hanya senyum dan tidak membalas apa yang disampaikan kepadanya, seakan tidak ada ungkapan apa-apa. Sementara ibu kedua menimpali, “Pacaran itu biasa, bu. Dulu saya juga begitu.”
Percakapan di atas bisa ditemukan di sekitar kita, kadang dengan bahasa yang lebih halus, kadang dengan bahasa yang sungguh apa adanya. Percakapan yang menunjukkan adanya perhatian terhadap sesuatu yang dipandang memiliki kemungkinan dan resiko.
Betapa tidak, pacaran adalah hal yang menarik bagi kalangan muda. Disebut menarik karena gelora semangat muda yang serba ingin tahu. Disebut menarik karena adanya daya tarik dari kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang memberi ruang atas daya tarik itu.
Namun, apakah yang salah dengan pacaran? Adakah orangtua yang diam dan tidak peduli ketika anak sedang pacaran? Atau malah sebagai orangtua mempersilakan, hanya karena dahulu orangtua juga menjalani apa yang disebut pacaran?

Sayang

Sejatinya orangtua telah mendapat titipan rasa sayang kepada anak-anak. Bahkan Allah Ta’ala telah memberikan amanat, kepada kedua orangtua, dengan kehadiran anak. Kesadaran orangtua akan amanat ini sangatlah positif dan baik bagi anak, bahwa ada kasih, ada sayang dan ada perhatian yang senantiasa orangtua berikan secara proporsional.
Namun, dalam hal sayang ini, mungkin juga karena saking sayangnya –berlebihan– orangtua kadang tidak berani, ewuh pakewuh, atau yang sepadan dengan kedua kata itu. Orangtua bisa terjebak pada sikap sayang yang keliru. Apa saja yang menjadi keinginan, atau tuntutan anak selalu dituruti, dilayani. Lebih-lebih jika anak itu semata wayang.
Sayang orangtua yang berlebihan ini akan berdampak negatif bagi psikologis anak. Sayang orangtua yang over ini bisa mengakibatkan sifat manja pada anak. Bahkan, lebih dari itu, orangtua telah mendidik keliru dalam hal sayang yang sebenarnya.
Orangtua yang berada, dapat bertindak sayang kepada anak dengan tidak menuruti semua keinginan anak. Karena orangtua sadar dan paham bahwa menuruti semua keinginan tidak berarti sayang. Justru dengan tidak memenuhi semua keinginan itulah wujud nyata sayang orangtua yang berarti di kehidupan anak. Tentunya, orangtua harus memiliki cara tersendiri dalam menjelaskan berbagai hal dan alasannya mengapa tidak semua keinginan anak harus diwujudkan semua.
Orangtua yang sayang pada anaknya akan memberikan ruang yang seimbang, perhatian yang proporsional, dan pendidikan yang optimal. Ruang yang seimbang dapat berwujud kesempatan orangtua untuk mendengar apa yang sesungguhnya anak ingin sampaikan. Orangtua menegaskan mana kebutuhan dan mana keinginan.
Perhatian yang proporsional dapat berupa pemenuhan kebutuhan lahir dan batin yang sesuai dengan kadar umur anak. Orangtua menjelaskan bahwa tidak ada kebutuhan lahir yang dipenuhi melainkan kebutuhan batin juga diwujudkan.
Pendidikan yang optimal dapat diwujudkan dengan pemenuhan hak belajar; baik belajar formal di sekolah maupun non formal di rumah (melalui privat atau lainnya). Orangtua sadar bahwa anak merupakan investasi dunia-akhirat yang harus mendapatkan pendidikan sebaik-baiknya.

Permisif

Permisif adalah bersifat terbuka (serba membolehkan; suka mengizinkan). Apa saja yang diinginkan anak, orangtua membolehkan. Mungkin karena kasihan pada anak, atau karena sayang yang berlebihan. Bahkan, atas sikap orangtua lain yang tidak mengabulkan permintaan anaknya, ada orangtua yang berkomentar, “Memangnya bapak bekerja seharian itu untuk siapa? Untuk anak juga, kan!” Suatu komentar yang tidak memberikan petunjuk pada kebaikan.
Sikap permisif adalah sifat yang berbahaya; siapapun tanpa peduli terhadap aturan syari’at, dilarang saja diterjang, diperintah pun diabaikan, diberi peringatan oleh agama tidak lagi dihiraukan.
Jika sifat permisif ini menjadi bagian dari kehidupan seorang muslim, apa artinya berakidah, bersyari’at, dan beramal baik lagi shaleh? Sifat permisif telah menjerumuskan pemiliknya pada jurang yang dalam dari kehidupan kemanusiaan yang berbasis tatanan ilahiyah.
Jangan pernah anggap enteng sikap permisif ini, karena apapun akan menjadi boleh. Siapapun mengingatkan menjadi tidak berarti. Seakan-akan aturan manapun menjadi tidak penting baginya. Orang mau melakukan apa saja merupakan hak asasi dan boleh saja. Tidak peduli mengganggu kebebasan atau hak orang lain, yang penting apa yang menjadi keinginan tercapai, apa yang menjadi ambisi terpenuhi.
Jika manusia sudah sampai titik ini, peringatan Allah Ta’ala adalah “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Almaidah: 50).

Peran Orangtua

Orangtua merupakan garda depan dan utama dalam berbagai hal yang berhubungan dengan anak-anak. Dalam lingkup keluarga, orangtua menjadi pendidik pertama dan cermin bagi anak dalam ucap, sikap dan perilaku. Tidak ada yang lebih berpengaruh dalam diri anak melainkan orangtua yang dominan dan menjadi idolanya. Ketiadaan dominasi orangtua (dalam hal positif dan shaleh) dan hilangnya rasa mengidolakan orangtua pada diri anak boleh jadi karena tidak adanya kedekatan orangtua-anak. Meski serumah, masing-masing anggota keluarga berjalan sendiri-sendiri, tidak ada komunikasi efektif yang dibangun dalam rangka kebaikan, perkembangan dan kemajuan bersama.
Sebagai contoh nyata, orangtua yang membiarkan pacaran yang dilakukan anaknya merupakan kondisi lemahnya kesadaran orangtua bahwa anak adalah kekayaan yang harus diasuh, dijaga, dan dibekali; anak diasuh dengan kasih sayang yang benar, tidak menyimpang dari fitrah, dan mengikuti pola asuh yang baik; anak dijaga dengan pemahaman agama bahwa ada perintah yang harus dijalankan dan ada larangan yang harus dijauhi; anak dibekali dengan pengetahuan yang mengantarkan pada kehidupan yang diridhai.
Dalam lingkup masyarakat, orangtua menjadi murobbi yang mengenalkan adab dan tata krama dalam berinteraksi dengan siapapun. Orangtua tidak menunggu anaknya diingatkan tetangga atau orang lain yang membuatnya merasa sakit hati. Inilah kesalahan berpikir bahwa anak, jika berbuat salah, orang lain tidak boleh mengingatkan. Padahal orangtualah yang terlambat mengingatkan anaknya. Mestinya, dengan kepedulian tetangga, akan kebaikan yang harus diikuti, hendaknya orangtua berterima kasih. Bukannya marah atau bersikap acuh.
Mengapa orangtua diam dan tidak peduli ketika anak sedang pacaran? Bukankah pacaran merupakan hal yang tabu, yang dilarang oleh agama, dan berdampak negatif? Diamnya orangtua dalam hal pacaran yang dilakukan anak merupakan legitimasi bahwa pacaran adalah sesuatu yang diperbolehkan. Buktinya, orangtua diam, atau malah bersikap baik terhadap laki-laki yang datang kepada anak perempuannya; hanya karena laki-laki itu (secara lahiri) bertata krama baik, membawa kendaraan yang baru, atau hal lain yang memikat orangtua si perempuan.
Sangat ironis, orangtua memuji laki-laki yang datang berkunjung ke rumahnya untuk berkencan, atau hal lain yang bertentangan dengan agama.
Sebaik apapun remaja laki-laki yang datang kepada remaja perempuan tetap saja merupakan tindakan yang secara normatif tidak patut. Dan tindakan itu memberikan contoh negatif kepada anak-anak sekitarnya bahwa seakan-akan seorang laki-laki itu sah saja dan boleh berkunjung ke rumah perempuan –hanya karena orangtua diam.
Mengapa Orangtua muslim merelakan terjadinya kemungkaran di rumahnya? Mengapa anak-anak yang masih memiliki masa depan yang jauh, harus berhadapan dengan kasih mengasihi yang tidak benar, tidak pula fokus pada thalabul ‘ilmi, mengembangkan bakat atau keterampilan lainnya?
Sungguh, orangtua bertanggungjawab atas apa yang dilakukan anak-anaknya; orangtua mengajarkan tauhid, halal dan haram, perintah dan larangan, dan lainnya yang mendukung kebaikan anak dan keshalehannya.
Orangtua memiliki peran besar dalam membentuk anak yang kelak menjadi investasi dunia-akhirat. Orangtua memiliki andil dalam baik dan buruknya anak. Sudah menjadi kewajiban orangtua untuk memberikan pengertian, pemahaman, dan contoh nyata dalam kehidupan sebagai Muslim yang taat.
Adapun orangtua yang mendiamkan dan yang membolehkan perilaku pacaran anak-anaknya adalah kekeliruan besar. Bukankah Allah Ta’ala telah mengingatkan, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (Attahrim: 6)
Orangtua yang mengetahui perannya adalah orangtua yang bersungguh-sungguh untuk memberikan yang terbaik kepada anaknya; memperhatikan lahir-batinnya, gizi jasmani-ruhaninya, akhlak-tauhidnya, intelektualitas-sopan santunnya, dan seterusnya. Sungguh berat tugas orangtua ini.
Menjadi orangtua tidak sekedar berhenti pada memberi materi, asupan gizi, makanan sehari-hari, namun juga sangat peduli pada hati, ‘ubudiyah, dan sikap hidupnya yang islami.
Dari lingkup keluarga inilah orangtua membangun kesadaran beramar ma’ruf nahi munkar, yang dengan demikian muncul kewaspadaan terhadap sikap permisif dalam lingkup yang lebih luas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...