Antisipasi terhadap Sikap
Permisif
Moh. In’ami
Nabi saw: “Sebaik-baik Islam seseorang
adalah meninggalkan apa yang tiada berguna baginya.”
T
S
|
Suatu sore di sebuah kampung terdapat seorang gadis yang
bercengkerama dengan tetangganya, dua orang ibu. Seorang ibu mengomentari apa
yang dilakukan anak gadis itu berkenaan dengan pacaran yang sedang dijalaninya.
Ibu pertama berkata, “Mbak, kamu masih sekolah, baru saja kelas XII. Kok,
pacaran terus.” Anak gadis itu hanya senyum dan tidak membalas apa yang
disampaikan kepadanya, seakan tidak ada ungkapan apa-apa. Sementara ibu kedua
menimpali, “Pacaran itu biasa, bu. Dulu saya juga begitu.”
Percakapan
di atas bisa ditemukan di sekitar kita, kadang dengan bahasa yang lebih halus,
kadang dengan bahasa yang sungguh apa adanya. Percakapan yang menunjukkan
adanya perhatian terhadap sesuatu yang dipandang memiliki kemungkinan dan
resiko.
Betapa
tidak, pacaran adalah hal yang menarik bagi kalangan muda. Disebut menarik
karena gelora semangat muda yang serba ingin tahu. Disebut menarik karena
adanya daya tarik dari kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang memberi
ruang atas daya tarik itu.
Namun,
apakah yang salah dengan pacaran? Adakah orangtua yang diam dan tidak peduli
ketika anak sedang pacaran? Atau malah sebagai orangtua mempersilakan, hanya
karena dahulu orangtua juga menjalani apa yang disebut pacaran?
Sayang
Sejatinya
orangtua telah mendapat titipan rasa sayang kepada anak-anak. Bahkan Allah
Ta’ala telah memberikan amanat, kepada kedua orangtua, dengan kehadiran anak.
Kesadaran orangtua akan amanat ini sangatlah positif dan baik bagi anak, bahwa
ada kasih, ada sayang dan ada perhatian yang senantiasa orangtua berikan secara
proporsional.
Namun,
dalam hal sayang ini, mungkin juga karena saking sayangnya –berlebihan–
orangtua kadang tidak berani, ewuh pakewuh, atau yang sepadan dengan
kedua kata itu. Orangtua bisa terjebak pada sikap sayang yang keliru. Apa saja
yang menjadi keinginan, atau tuntutan anak selalu dituruti, dilayani.
Lebih-lebih jika anak itu semata wayang.
Sayang
orangtua yang berlebihan ini akan berdampak negatif bagi psikologis anak.
Sayang orangtua yang over ini bisa mengakibatkan sifat manja pada anak.
Bahkan, lebih dari itu, orangtua telah mendidik keliru dalam hal sayang yang
sebenarnya.
Orangtua
yang berada, dapat bertindak sayang kepada anak dengan tidak menuruti semua
keinginan anak. Karena orangtua sadar dan paham bahwa menuruti semua keinginan
tidak berarti sayang. Justru dengan tidak memenuhi semua keinginan itulah wujud
nyata sayang orangtua yang berarti di kehidupan anak. Tentunya, orangtua harus
memiliki cara tersendiri dalam menjelaskan berbagai hal dan alasannya mengapa
tidak semua keinginan anak harus diwujudkan semua.
Orangtua
yang sayang pada anaknya akan memberikan ruang yang seimbang, perhatian yang
proporsional, dan pendidikan yang optimal. Ruang yang seimbang dapat berwujud
kesempatan orangtua untuk mendengar apa yang sesungguhnya anak ingin sampaikan.
Orangtua menegaskan mana kebutuhan dan mana keinginan.
Perhatian
yang proporsional dapat berupa pemenuhan kebutuhan lahir dan batin yang sesuai
dengan kadar umur anak. Orangtua menjelaskan bahwa tidak ada kebutuhan lahir
yang dipenuhi melainkan kebutuhan batin juga diwujudkan.
Pendidikan
yang optimal dapat diwujudkan dengan pemenuhan hak belajar; baik belajar formal
di sekolah maupun non formal di rumah (melalui privat atau lainnya). Orangtua
sadar bahwa anak merupakan investasi dunia-akhirat yang harus mendapatkan pendidikan
sebaik-baiknya.
Permisif
Permisif
adalah bersifat terbuka (serba membolehkan; suka mengizinkan). Apa saja yang
diinginkan anak, orangtua membolehkan. Mungkin karena kasihan pada anak, atau
karena sayang yang berlebihan. Bahkan, atas sikap orangtua lain yang tidak
mengabulkan permintaan anaknya, ada orangtua yang berkomentar, “Memangnya bapak
bekerja seharian itu untuk siapa? Untuk anak juga, kan!” Suatu komentar
yang tidak memberikan petunjuk pada kebaikan.
Sikap
permisif adalah sifat yang berbahaya; siapapun tanpa peduli terhadap aturan
syari’at, dilarang saja diterjang, diperintah pun diabaikan, diberi peringatan
oleh agama tidak lagi dihiraukan.
Jika
sifat permisif ini menjadi bagian dari kehidupan seorang muslim, apa artinya
berakidah, bersyari’at, dan beramal baik lagi shaleh? Sifat permisif telah
menjerumuskan pemiliknya pada jurang yang dalam dari kehidupan kemanusiaan yang
berbasis tatanan ilahiyah.
Jangan
pernah anggap enteng sikap permisif ini, karena apapun akan menjadi boleh.
Siapapun mengingatkan menjadi tidak berarti. Seakan-akan aturan manapun menjadi
tidak penting baginya. Orang mau melakukan apa saja merupakan hak asasi dan
boleh saja. Tidak peduli mengganggu kebebasan atau hak orang lain, yang penting
apa yang menjadi keinginan tercapai, apa yang menjadi ambisi terpenuhi.
Jika
manusia sudah sampai titik ini, peringatan Allah Ta’ala adalah “Apakah hukum
Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada
(hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Almaidah: 50).
Peran
Orangtua
Orangtua
merupakan garda depan dan utama dalam berbagai hal yang berhubungan dengan
anak-anak. Dalam lingkup keluarga, orangtua menjadi pendidik pertama dan cermin
bagi anak dalam ucap, sikap dan perilaku. Tidak ada yang lebih berpengaruh
dalam diri anak melainkan orangtua yang dominan dan menjadi idolanya. Ketiadaan
dominasi orangtua (dalam hal positif dan shaleh) dan hilangnya rasa
mengidolakan orangtua pada diri anak boleh jadi karena tidak adanya kedekatan
orangtua-anak. Meski serumah, masing-masing anggota keluarga berjalan
sendiri-sendiri, tidak ada komunikasi efektif yang dibangun dalam rangka
kebaikan, perkembangan dan kemajuan bersama.
Sebagai
contoh nyata, orangtua yang membiarkan pacaran yang dilakukan anaknya merupakan
kondisi lemahnya kesadaran orangtua bahwa anak adalah kekayaan yang harus
diasuh, dijaga, dan dibekali; anak diasuh dengan kasih sayang yang benar, tidak
menyimpang dari fitrah, dan mengikuti pola asuh yang baik; anak dijaga dengan
pemahaman agama bahwa ada perintah yang harus dijalankan dan ada larangan yang
harus dijauhi; anak dibekali dengan pengetahuan yang mengantarkan pada
kehidupan yang diridhai.
Dalam
lingkup masyarakat, orangtua menjadi murobbi yang mengenalkan adab dan
tata krama dalam berinteraksi dengan siapapun. Orangtua tidak menunggu anaknya
diingatkan tetangga atau orang lain yang membuatnya merasa sakit hati. Inilah
kesalahan berpikir bahwa anak, jika berbuat salah, orang lain tidak boleh
mengingatkan. Padahal orangtualah yang terlambat mengingatkan anaknya.
Mestinya, dengan kepedulian tetangga, akan kebaikan yang harus diikuti,
hendaknya orangtua berterima kasih. Bukannya marah atau bersikap acuh.
Mengapa
orangtua diam dan tidak peduli ketika anak sedang pacaran? Bukankah pacaran
merupakan hal yang tabu, yang dilarang oleh agama, dan berdampak negatif?
Diamnya orangtua dalam hal pacaran yang dilakukan anak merupakan legitimasi
bahwa pacaran adalah sesuatu yang diperbolehkan. Buktinya, orangtua diam, atau malah
bersikap baik terhadap laki-laki yang datang kepada anak perempuannya; hanya
karena laki-laki itu (secara lahiri) bertata krama baik, membawa kendaraan yang
baru, atau hal lain yang memikat orangtua si perempuan.
Sangat
ironis, orangtua memuji laki-laki yang datang berkunjung ke rumahnya untuk
berkencan, atau hal lain yang bertentangan dengan agama.
Sebaik
apapun remaja laki-laki yang datang kepada remaja perempuan tetap saja
merupakan tindakan yang secara normatif tidak patut. Dan tindakan itu
memberikan contoh negatif kepada anak-anak sekitarnya bahwa seakan-akan seorang
laki-laki itu sah saja dan boleh berkunjung ke rumah perempuan –hanya karena
orangtua diam.
Mengapa
Orangtua muslim merelakan terjadinya kemungkaran di rumahnya? Mengapa anak-anak
yang masih memiliki masa depan yang jauh, harus berhadapan dengan kasih
mengasihi yang tidak benar, tidak pula fokus pada thalabul ‘ilmi,
mengembangkan bakat atau keterampilan lainnya?
Sungguh,
orangtua bertanggungjawab atas apa yang dilakukan anak-anaknya; orangtua
mengajarkan tauhid, halal dan haram, perintah dan larangan, dan lainnya yang
mendukung kebaikan anak dan keshalehannya.
Orangtua
memiliki peran besar dalam membentuk anak yang kelak menjadi investasi
dunia-akhirat. Orangtua memiliki andil dalam baik dan buruknya anak. Sudah
menjadi kewajiban orangtua untuk memberikan pengertian, pemahaman, dan contoh
nyata dalam kehidupan sebagai Muslim yang taat.
Adapun
orangtua yang mendiamkan dan yang membolehkan perilaku pacaran anak-anaknya
adalah kekeliruan besar. Bukankah Allah Ta’ala telah mengingatkan, “Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (Attahrim: 6)
Orangtua
yang mengetahui perannya adalah orangtua yang bersungguh-sungguh untuk
memberikan yang terbaik kepada anaknya; memperhatikan lahir-batinnya, gizi
jasmani-ruhaninya, akhlak-tauhidnya, intelektualitas-sopan santunnya, dan seterusnya.
Sungguh berat tugas orangtua ini.
Menjadi
orangtua tidak sekedar berhenti pada memberi materi, asupan gizi, makanan
sehari-hari, namun juga sangat peduli pada hati, ‘ubudiyah, dan sikap
hidupnya yang islami.
Dari
lingkup keluarga inilah orangtua membangun kesadaran beramar ma’ruf nahi
munkar, yang dengan demikian muncul kewaspadaan terhadap sikap permisif dalam
lingkup yang lebih luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar