Sabtu, 14 April 2018

Konsep Bertauhid dalam Bekerja

Konsep Bertauhid dalam Bekerja Dari Ibnu Abbas ra, dari Nabi saw bersabda dalam apa yang diriwayatkan dari Tuhan Yang Maha Mulia dan Maha Besar, “Sesungguhnya Allah mencatat kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan.” Kemudian beliau menjelaskan hal itu, “Barangsiapa yang bermaksud melakukan kebaikan namun tidak mengamalkannya, maka Allah mencatat di sisi-Nya sebagai kebaikan yang sempurna untuknya. Jika ia bermaksud baik lalu mengamalkannya, maka Allah mencatat di sisi-Nya sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus kali lipat hingga lebih. Barangsiapa yang bermaksud buruk namun tidak mengamalkannya, maka Allah mencatat di sisi-Nya suatu kebaikan yang sempurna. Jika ia bermaksud buruk lalu mengamalkannya, maka Allah mencatatnya sebagai satu keburukan. (HR. Albukhari)
Sejak pagi hingga sore setiap yang hidup mencari rezeki. Sesuatu yang sebenarnya telah Allah janjikan. Karena daya dorong dan daya saing yang tinggi orang-orang mencoba untuk mendapatkan rezeki dengan seribu satu cara. Dan mata pencaharian yang berbeda-beda pun menjadikan penghasilan tidak bisa disamakan antara satu dengan yang lain. Bahkan pagi, siang, sore hingga malam dihabiskan untuk memburu dan mengejar sesuatu yang secara implisit telah disebutkan pembagiannya oleh Allah sejak yang bernama manusia itu lahir. Bahkan sebelum itu telah ditetapkan. Orang mulai mengenal istilah kerja sejak kecil. Bahkan kaum laki-laki yang telah menikahpun diingatkan oleh Orangtua mereka agar bekerja. Pertanyaan yang diajukan selalu berupa “Akan kau kasih makan apa anak-istrimu?”
Siapapun menjadi sadar bahwa bekerja adalah bagian yang tak terpisahkan dari hidup. Bahkan menuntut ilmu sekalipun harus dipikirkan apakah jurusan atau konsentrasi yang diambil kelak akan mendatangkan kesempatan untuk mendapatkan profesi, kerja layak atau malah sebaliknya akan kesulitan mencari kerja.
Saat ini amat jarang ditemukan, melanjutkan studi ke perguruan tinggi sekedar menuntut ilmu semata tanpa orientasi pekerjaan di masa depan. Setting lingkungan dan masyarakat telah memberikan pengaruh yang luar biasa dalam cara berpikir dan berperilaku. Teori-teori yang selama ini dikaji dan dipelajari di kampus sungguh-sungguh berhadapan dengan realita dalam kehidupan yang cenderung praktis, profit-oriented dan pragmatis. Jadi wajar bila demikian yang terjadi.
Dan jika di sana masih terdapat beberapa gelintir orang dari suatu masyarakat yang punya komitmen dan konsisten untuk thalabul ‘ilmi serta menjadikan pekerjaan sebagai sesuatu yang mesti dilakukan dan dikerjakan kelak, merupakan komunitas yang sungguh-sungguh melaksanakan perintah tafaqquh fiddin (lihat QS. Attaubah: 122) dan menjadikan kerja sebagai kewajiban yang mesti ditunaikan (QS. Aljum’ah: 10). Karena bekerja merupakan fitrah manusia, jika terdapat orang yang enggan dan malas bekerja sesungguhnya hal itu melawan fitrahnya sendiri sebagai manusia. Maka manifestasi potensi yang Allah berikan pada diri manusia menjadi modal yang sangat luar biasa untuk dapat dioptimalkan, dikembangkan dan difungsikan sebagaimana mestinya sesuai dengan rambu-rambu kehidupan yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai sesuatu yang asasi.
Bekerjalah Adalah kerja merupakan segala aktivitas dinamis, mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani), dan di dalam mencapai tujuan tesebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian dirinya kepada Allah Ta’ala. (Toto Tasmara dalam Etos Kerja Pribadi Muslim)
Mulailah berpikir bahwa bekerja itu perintah. Kesadaran untuk melaksanakan perintah mengantarkan diri menuju perbuatan dengan motivasi yang tinggi dan berharap ridla ilahi.
Bekerjalah. Dengan bekerja orang menjadi mulia. Dengan bekerja orang dapat mengaktualisasikan diri dan menunjukkan bahwa dirinya ada. Sebagai bukti bahwa ia hadir di tengah-tengah keluarganya dan wujud manfaat bagi diri dan sesama. Rasul saw pernah bersabda: “Tiada seorangpun memakan makanan yang lebih baik daripada memakan yang diperoleh dari hasil keringatnya sendiri. Sesungguhnya Nabiyullah Daud as itupun memakan dari hasil karyanya sendiri.” (HR. Albukhari) Selanjutnya dalam hadits lain beliau bersabda: “Bahwasanya Allah itu cinta kepada seorang mukmin yang bekerja.” (diriwayatkan oleh Thabrani dan Baihaqi)
Apabila orang bekerja hanya mencari keuntungan semata niscaya akan merugi. Betapa bekerja yang telah diperintahkan itu bukan sekedar memiliki muatan materialis, namun lebih dari itu, muatan ibadah dan orientasi ukhrowi menjadi bagian yang tak terpisahkan. Kedua sisi yang nampak dan tidak kelihatan inilah yang mesti mendapat perhatian, sehingga orang bekerja tidak dis-orientasi dan masuk dalam jerat kapitalisme.
Bekerja dan atau Beramal Setiap orang memiliki bidang keahlian yang berbeda. Ada yang berketerampilan dalam berbahasa sehingga menjadi penerjemah. Yang lain terampil di bidang mesin dan terjun di perbengkelan. Ada lagi yang keahliannya hanya kekuatan otot saja sehingga hanya menggunakan daya otot itu untuk menjadi kuli batu dan kadang bekerja serabutan. Apapun bentuk pekerjaan tidak perlu menjadikan orang minder atau berkecil hati. Meski orang sering melihat kemampuan modalitas dan kekuatan finansial. Kita perlu memahami bahwa setiap kerja yang kita lakukan hendaknya menjadi amal. Maka starting point penting dalam bekerja adalah membangun niat yang tulus dan motif yang positif. Banyak orang bekerja tetapi belum tentu ia beramal. Sebaliknya banyak orang beramal dan tentu saja mereka bekerja. Orang yang beramal mampu mewujudkan kerja dalam praktek amal saleh, sikap dan perilaku yang mendatangkan manfaat, atau bahkan mampu memberikan profit yang diharapkan. Hampir bisa dipastikan jika ada sebab tentu ada akibat. Orang sering bekerja keras dan berharap dengan bekerja keras itu akan mendapatkan hasil yang lebih dan keuntungan yang banyak. Jika pandangan kita selama ini dalam bekerja hanya soal keuntungan, meraih profit dan pendapatan yang lebih dari biasanya, hal ini berarti ada sesuatu yang tidak pernah kita soroti sebagai yang penting dalam bekerja, sesuatu yang hakiki yang sering ditinggalkan –manifestasi kerja, esensinya adalah amal. Cobalah melihat sesuatu dari arah yang berbeda dari biasanya. Tinggalkan kebiasaan melihat sesuatu hitam-putih, salah-benar, atau untung-rugi. Jika demikian yang kita telaah hanya dua dimensi. Silakan membuka mata untuk menangkap dibalik yang nampak. Awalnya kita memahami bahwa yang memunculkan sebab bukan akibat. Ini berbeda dari biasanya, jika ada sebab pasti ada akibat. Menurut pendekatan keimanan “lâ ilâha illallâh” bahwa sebab itu yang menciptakan adalah Allah dan akibat pun demikian, Allah Penciptanya. Keduanya dijadikan bersandingan. Pemaknaan yang sedemikian ini mengantarkan setiap umat muslim untuk tidak gampang putus asa, patah arang, dan frustasi. Berapa banyak orang yang bekerja keras, banting tulang, merencanakan secara sistematis dan njlimet, namun pada akhirnya gagal. Pun berapa banyak orang yang meraih sukses dengan bekerja tulus dan penuh makna. Disinilah kesulitan yang sering ditemukan oleh pelaku berbagai bidang usaha, bahwa Allah Ta’ala ikut ‘bermain’ dan menentukan apakah seseorang sukses atau gagal dalam bekerja. Jika orang keliru dalam memaknai perspektif di atas, orang lantas salah dengan menyatakan, “Jika sudah saya rencanakan begini pasti berhasil”, atau “Kalau begitu tidak usah kerja saja, kan segalanya Allah yang ngatur”. Yang pertama, berimplikasi pada ketidakmampuan manusia dalam memahami bahwa Allah Ta’ala turut campur tangan dalam setiap urusan hamba-Nya. Jika ada yang menganggap bahwa keberhasilan sangat ditentukan oleh perencanaan yang matang adalah salah kaprah. Sementara pernyataan kedua, mengandung arti bahwa orang yang tidak mau bekerja berarti tidak mau diperintah.  Orientasi Kerja Mengajukan pertanyaan pribadi dalam setiap gerak dan langkah adalah penting. Sebagaimana pentingnya gerak dan langkah itu dilakukan, pertanyaan itu menjadi daya kontrol yang mengingatkan setiap hal yang dikerjakan, menuju dan bermuara ke mana akhirnya. Jika orang bekerja masih membutuhkan pengakuan dari pihak lain bahwa ia telah bekerja, maka bekerjalah tanpa berharap apapun. Ingatlah konsep ikhlas beramal. Dalam konteks kerja formal, berbuatlah sesuai tugas pokok dan fungsi (tupoksi). Dalam ranah sosial keagamaan, bekerjalah bersama orang yang anda ajak untuk berbakti, mengabdi dan mengamalkan kemampuan ilmu dalam kehidupan beragama di masyarakat. Dalam budaya organisasi, berbuatlah untuk kesejahteraan dan kemaslahatan banyak orang yang menjadi tanggungjawab dan kendali anda, tanpa meninggalkan rasa keadilan dan kejernihan dalam berpikir dan bertindak, tidak mudah percaya oleh ucapan buruk dari satu sumber sebelum mengecek dan mengkonfirmasi data lainnya yang bisa dipercaya. Jika menggantungkan segala sesuatu mestinya jangan kepada selain Allah. Bergantung hendaknya langsung kepada Allah. Termasuk selain Allah itu adalah amal. Jika orang bergantung pada amal, maka ia akan terombang-ambing oleh amal itu sendiri. Jika amal itu sukses, sesuai dengan rencana, dia merasa pasti jadi. Namun jika rancangan amal itu melenceng dari rencana, orang lalu ‘nglokro’, dan akhirnya berkesimpulan “Wah gagal ini.” Seakan-akan tidak ada harapan dan solusi lagi, karena menurutnya jalan satu-satunya sukses adalah melalui rancangan yang dibuat. Jika rancangan tersebut gagal maka gagal pula hasilnya. Padahal ada kekuasaan Allah Ta’ala yang bisa menarik seseorang untuk mendapatkan kesuksesan tanpa melalui sebab yang ‘dilakoni’ itu. Bagaimana manusia menganggap kerja adanya akan berarti dan sangat menentukan kualitas kerja. Orang bergantung pada kerja keras untuk sebuah kesuksesan. Orang menganggap setidaknya dengan bekerja keras kesuksesan dapat diraih. Yang lain berpendapat, “Jika saya beramal pasti saya akan masuk surga.” Masih banyak lagi persepsi orang mengenai kerja. Ingatlah bahwa amal adalah makhluk. Artinya, ia diciptakan. Makhluk bukan Kholiq. Maka, amal tidak bisa berbuat apa-apa. Bila orang sudah tidak mampu beramal atau bekerja, seakan-akan buntu dan putus segalanya, sudah tidak ada lagi jalan untuk menembus solusi hidup. Padahal Allah memiliki rahmat dan taqdir yang berlaku untuk setiap hamba-Nya. Mewujudkan tauhid dalam bekerja merupakan sebuah tantangan dalam kerja atau amal, bahwa bukan hanya kerja saja yang dilakukan. Orang yang bekerja hendaknya menikmati statusnya sebagai pekerja. Status pekerja adalah penghargaan yang luar biasa. Apalagi pekerjaan atau amal itu datangnya dari Tuhan Yang Maha Esa, Allah Ta’ala. Kesadaran manusia dengan pangkat menjadi pekerja itulah yang mampu mengangkat derajatnya menjadi mulia. Inilah yang disebut bertauhid. Bila manusia mengingkari statusnya dan tidak mau bekerja berarti ia telah menghinakan diri, dan konsekuensi logisnya ia bukan lagi hamba Allah. Dan nyatalah petunjuk Allah: “Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Attaubah: 105). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...