Minggu, 15 April 2018

Menghidupkan Perasaan Sosial


Empowering of Social Sense
Moh.In’ami

Dari Abdullah bin Umar ra, Rasulullah saw bersabda, “Yang disebut dengan muslim sejati adalah orang yang selamat orang muslim lainnya dari lisan dan tangannya. Dan orang yang berhijrah adalah orang yang berhijrah dari perkara yang dilarang oleh Allah.”
(HR. Albukhari dan Muslim)
 T
K
ehidupan, yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada manusia, adalah sesuatu yang besar. Tidak pernah dalam kehidupan seorang muslim saleh yang memaknai kehidupan ini sebagai sesuatu yang remeh, kecil atau bahkan menyebut tidak berguna. Jika ada makhluk, yang bernama manusia, mengatakan demikian berarti tidak memahami bahwa ada hal besar yang dititipkan pada dirinya. Jika ada orang yang tidak mengenal potensi, yang terinstall dalam dirinya, berarti ada ketidakmampun pada diri orang itu untuk menyelami kedalaman dirinya.
Mari buka mata dan hati! Adalah perasaan yang Allah Ta’ala sematkan pada diri manusia. Perasaan yang mengantarkan seseorang pada kemanusiaannya; yang dengan itu manusia menyadari bahwa dirinya adalah makhluk sosial, zoon politikon, butuh berinteraksi dengan orang lain dan lingkungannya.

Survive

Dengan perasaan itulah manusia hidup. Dan dengan perasaan itu pula ia mengoptimalkan diri untuk mengapresiasi eksistensinya dalam kehidupan pribadi maupun sosial.
Perasaan sosial merupakan kesadaran adanya tanggungjawab, jujur dalam pertumbuhan, dan ada realisasi setiap individu terhadap kewajibanya terhadap masyarakat. Masing-masing menunaikannya sesuai dengan posisi dan tugasnya.
Rasulullah saw bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggungjawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin, dan bertanggungjawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin dalam keluarganya, dan bertanggungjawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang istri adalah pemimpin di rumah suaminya, dan bertanggungjawab terhadap yang dipimpinnya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Apa yang disebut perasaan sosial ini adalah hal urgen bagi hidupnya seorang manusia. Perasaan sosial mampu mengantarkan setiap orang untuk memikul beban tanggungjawab, menunaikan amanah yang diembannya dengan segala kompetensi, kemampuan dan kreativitas, yang mendorongnya adalah keimanan kepada Allah Ta’ala dan keinginan yang jujur dalam berkhidmat kepada masyarakat, membangun dan memajukannya. Nabi saw pernah bersabda: “Setiap muslim itu harus bersedekah.” Para sahabat bertanya: “Bagaimana jika dia tidak memiliki sesuatu (harta) yang akan disedekahkan?” Beliau menjawab: “Hendaklah ia bekerja hingga memperoleh hasil yang bermanfaat bagi dirinya dan dengannya ia dapat bersedekah.” Mereka bertanya lagi: “Jika ia tidak sanggup melakukannya?” Rasulullah bersabda: “Hendaklah ia membantu orang yang membutuhkan pertolongan.” Mereka kembali bertanya: “Jika hal itu tidak sanggup ia lakukan?” Rasulullah bersabda: “Hendaklah ia memerintahkan suatu kebaikan.” Mereka bertanya: Jika itupun tidak sanggup ia lakukan?” Rasulullah menjawab: “Hendaklah ia menahan diri dari berbuat munkar dan itu merupakan sedekah baginya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Hadits di atas memberikan motivasi dan anjuran untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, (bersimpati dan berempati), yang hidup bersama kita di masyarakat. Hadits tersebut juga memberikan semangat untuk bersungguh-sungguh dalam menolong mereka.

Realisasi

Sebagai konsekuensi, jika setiap orang melakukan kewajibannya dengan sebaik-baiknya dan memprioritaskannya, maka sungguh ia berpartisipasi dalam membangun masyarakatnya, dan memperkuat peradaban negerinya secara aktif.
Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya seorang mukmin bagi mukmin yang lain adalah bagaikan bangunan, sebagian memperkuat sebagian yang lain.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Maknanya, seorang muslim itu kuat karena keberadaan yang lain, berkontribusi nyata dalam menolong anak-anak dalam masyarakatnya, saling membantu antara satu dengan lainnya, dan saling bahu membahu dalam kebaikan dan yang ma’ruf. Allah Ta’ala berfirman: “Dan tolong menolonglah kalian dalam hal kebaikan dan ketaqwaan.” (QS. Almaidah: 2) Dengan sikap tolong menolong, bantu membantu, dan perasaan saling merasakan inilah masyarakat akan maju, konstruknya akan meningkat, dan kemakmuran akan bertambah.
Jika ada yang bertanya, “Dari mana memulai perasaan sosial itu?”
Siapapun dapat memulai; berangkat dari menjalankan kewajiban yang paling penting; maka seseorang memperhatikan keluarganya, yang merupakan unsur masyarakat. Ia berbakti kepada kedua orangtua dan berbuat baik kepada keduanya. Allah berfirman: “Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu- bapaknya.” (QS. Alankabut: 8)
Maka wujud perasaan seseorang terhadap hak kedua orangtuanya merupakan sinyal bagus dan pendorong kuat bagi upaya memelihara dan berkhidmat kepada keduanya, karena ridha Allah terletak pada berbakti kepada kedua orangtua dan memenuhi hak-hak keduanya. Kemudian seseorang menunaikan hak istri dan anaknya.
Sabda Nabi saw: “Sesungguhnya Allah Ta’ala bertanya kepada setiap pemimpim tentang yang dipimpinnya, apakah ia menjaganya atau menyia-nyiakannya, hingga seorang suami dimintai pertanggungjawaban terhadap keluarganya.” (HR. Ibnu Hibban)
Ruang lingkup perasaan sosial ini bisa lebih luas, maka seseorang menjaga hak tetangganya, menjaga kehormatannya. Firman Allah: “Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat.” (QS. Annisa’: 36)
Demikianlah perasaan sosial memberikan kepada manusia keinginan untuk hidup bersama masyarakatnya, optimis aktif bersama dalam perbedaan agama, keyakinan, ras, dan madzhab. Maka budi pekerti yang baik, interaksi yang progresif dengan orang lain, saling menghormati, berbakti dan berbuat baik kepada mereka, baik terhadap tetangga, membangun hubungan konstrutif dengan orang lain, mencintai kebaikan bagi mereka, meniadakan perilaku menyakiti, menjaga kehormatan dan harta mereka, sebagaimana agama kita telah memerintahkan.
Nabi saw bersabda: “Seorang muslim adalah yang orang lain bisa selamat dari ucapan dan tindakannya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Setiap perangai sosial yang tinggi ini memperkuat hubungan, kedekatan, dan hidup yang berbaur, membuka peluang yang luas dan keceriaan dalam interaksi proaktif antar individu dalam masyarakat.

Kuatkan

Sesungguhnya perasaan manusia terhadap masyarakat mendorongnya untuk mengikuti aturan dan disiplin yang menata jalannya kehidupan di masyarakat. Aturan dan disiplin yang dibuat itu adalah untuk menjaga kemaslahatan negeri dan manusia, menegakkan manfaat dan menjauhkan madharat, melestarikan norma dan tatanan luhur, menjaga spirit dan kerja, agar kebaikan dapat dirasakan secara umum oleh masyarakat, dan orang yang berbuat mendapat balasan sesuai dengan orientasi dan usahanya, dan mendapat pahala atas amalnya yang terselenggara.
Untuk apa yang disebut manfaat dan kebaikan dari hal di atas menghajatkan penguatan untuk secara kontinu dan proaktif terselenggara, meski tantangan dan rintangan sudah menanti.
Untuk apa yang disebut madharat dan keburukan dari hal di atas memerlukan penguatan diri untuk mampu meminimalisir dan mencegah secara aktif maupun pasif, meski godaan dan ‘bisikan’ akan terus mencecar.
Kemampuan untuk mengasah diri melalui optimalisasi manfaat dan antisipasi madharat akan mengantarkan pada sinyalemen keberadaan perasaan sosial seseorang bahwa dirinya telah menerima amanat dan anugerah besar yang siapapun, tanpa terkecuali, dapat ikut ‘menikmati’nya sebagai wujud kehadiran dan kebersamaan dalam hidup bersosial.
Allah berfirman: “Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (di mukanya).” (QS. Ali Imran: 30).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...