Empowering of Social Sense
Moh.In’ami
Dari Abdullah bin Umar ra, Rasulullah saw bersabda, “Yang disebut dengan muslim sejati adalah orang yang selamat orang muslim lainnya dari lisan dan tangannya. Dan orang yang berhijrah adalah orang yang berhijrah dari perkara yang dilarang oleh Allah.”
(HR. Albukhari dan Muslim)
T
K
|
ehidupan, yang Allah Ta’ala anugerahkan kepada manusia,
adalah sesuatu yang besar. Tidak pernah dalam kehidupan seorang muslim saleh
yang memaknai kehidupan ini sebagai sesuatu yang remeh, kecil atau bahkan
menyebut tidak berguna. Jika ada makhluk, yang bernama manusia, mengatakan
demikian berarti tidak memahami bahwa ada hal besar yang dititipkan pada
dirinya. Jika ada orang yang tidak mengenal potensi, yang terinstall
dalam dirinya, berarti ada ketidakmampun pada diri orang itu untuk menyelami
kedalaman dirinya.
Mari buka mata dan hati! Adalah perasaan yang Allah
Ta’ala sematkan pada diri manusia. Perasaan yang mengantarkan seseorang pada
kemanusiaannya; yang dengan itu manusia menyadari bahwa dirinya adalah makhluk
sosial, zoon politikon, butuh berinteraksi dengan orang lain dan
lingkungannya.
Survive
Dengan perasaan itulah manusia hidup. Dan dengan
perasaan itu pula ia mengoptimalkan diri untuk mengapresiasi eksistensinya
dalam kehidupan pribadi maupun sosial.
Perasaan sosial merupakan kesadaran adanya
tanggungjawab, jujur dalam pertumbuhan, dan ada realisasi setiap individu
terhadap kewajibanya terhadap masyarakat. Masing-masing menunaikannya sesuai
dengan posisi dan tugasnya.
Rasulullah saw bersabda: “Setiap kalian adalah
pemimpin, dan setiap kalian bertanggungjawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang
imam adalah pemimpin, dan bertanggungjawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang
suami adalah pemimpin dalam keluarganya, dan bertanggungjawab terhadap yang
dipimpinnya. Seorang istri adalah pemimpin di rumah suaminya, dan
bertanggungjawab terhadap yang dipimpinnya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Apa yang disebut perasaan sosial ini adalah hal urgen
bagi hidupnya seorang manusia. Perasaan sosial mampu mengantarkan setiap orang
untuk memikul beban tanggungjawab, menunaikan amanah yang diembannya dengan
segala kompetensi, kemampuan dan kreativitas, yang mendorongnya adalah keimanan
kepada Allah Ta’ala dan keinginan yang jujur dalam berkhidmat kepada
masyarakat, membangun dan memajukannya. Nabi saw pernah bersabda: “Setiap
muslim itu harus bersedekah.” Para sahabat bertanya: “Bagaimana jika dia tidak
memiliki sesuatu (harta) yang akan disedekahkan?” Beliau menjawab: “Hendaklah
ia bekerja hingga memperoleh hasil yang bermanfaat bagi dirinya dan dengannya
ia dapat bersedekah.” Mereka bertanya lagi: “Jika ia tidak sanggup melakukannya?”
Rasulullah bersabda: “Hendaklah ia membantu orang yang membutuhkan
pertolongan.” Mereka kembali bertanya: “Jika hal itu tidak sanggup ia lakukan?”
Rasulullah bersabda: “Hendaklah ia memerintahkan suatu kebaikan.” Mereka
bertanya: Jika itupun tidak sanggup ia lakukan?” Rasulullah menjawab:
“Hendaklah ia menahan diri dari berbuat munkar dan itu merupakan sedekah
baginya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Hadits di atas memberikan motivasi dan anjuran untuk
merasakan apa yang dirasakan orang lain, (bersimpati dan berempati), yang hidup
bersama kita di masyarakat. Hadits tersebut juga memberikan semangat untuk
bersungguh-sungguh dalam menolong mereka.
Realisasi
Sebagai konsekuensi, jika setiap orang melakukan
kewajibannya dengan sebaik-baiknya dan memprioritaskannya, maka sungguh ia
berpartisipasi dalam membangun masyarakatnya, dan memperkuat peradaban
negerinya secara aktif.
Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya seorang mukmin bagi
mukmin yang lain adalah bagaikan bangunan, sebagian memperkuat sebagian yang
lain.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Maknanya, seorang muslim itu kuat karena keberadaan
yang lain, berkontribusi nyata dalam menolong anak-anak dalam masyarakatnya,
saling membantu antara satu dengan lainnya, dan saling bahu membahu dalam
kebaikan dan yang ma’ruf. Allah Ta’ala berfirman: “Dan tolong menolonglah
kalian dalam hal kebaikan dan ketaqwaan.” (QS. Almaidah: 2) Dengan sikap tolong
menolong, bantu membantu, dan perasaan saling merasakan inilah masyarakat akan
maju, konstruknya akan meningkat, dan kemakmuran akan bertambah.
Jika ada yang bertanya, “Dari mana memulai perasaan
sosial itu?”
Siapapun dapat memulai; berangkat dari menjalankan
kewajiban yang paling penting; maka seseorang memperhatikan keluarganya, yang
merupakan unsur masyarakat. Ia berbakti kepada kedua orangtua dan berbuat baik
kepada keduanya. Allah berfirman: “Dan Kami wajibkan manusia (berbuat)
kebaikan kepada dua orang ibu- bapaknya.” (QS. Alankabut: 8)
Maka wujud perasaan seseorang terhadap hak kedua
orangtuanya merupakan sinyal bagus dan pendorong kuat bagi upaya memelihara dan
berkhidmat kepada keduanya, karena ridha Allah terletak pada berbakti kepada
kedua orangtua dan memenuhi hak-hak keduanya. Kemudian seseorang menunaikan hak
istri dan anaknya.
Sabda Nabi saw: “Sesungguhnya Allah Ta’ala bertanya
kepada setiap pemimpim tentang yang dipimpinnya, apakah ia menjaganya atau
menyia-nyiakannya, hingga seorang suami dimintai pertanggungjawaban terhadap
keluarganya.” (HR. Ibnu Hibban)
Ruang lingkup perasaan sosial ini bisa lebih luas,
maka seseorang menjaga hak tetangganya, menjaga kehormatannya. Firman Allah: “Dan
berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman
sejawat.” (QS. Annisa’: 36)
Demikianlah perasaan
sosial memberikan kepada manusia keinginan untuk hidup bersama masyarakatnya,
optimis aktif bersama dalam perbedaan agama, keyakinan, ras, dan madzhab. Maka
budi pekerti yang baik, interaksi yang progresif dengan orang lain, saling
menghormati, berbakti dan berbuat baik kepada mereka, baik terhadap tetangga,
membangun hubungan konstrutif dengan orang lain, mencintai kebaikan bagi
mereka, meniadakan perilaku menyakiti, menjaga kehormatan dan harta mereka,
sebagaimana agama kita telah memerintahkan.
Nabi saw bersabda: “Seorang muslim adalah yang orang lain bisa selamat
dari ucapan dan tindakannya.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Setiap perangai sosial yang tinggi ini memperkuat
hubungan, kedekatan, dan hidup yang berbaur, membuka peluang yang luas dan keceriaan dalam interaksi
proaktif antar individu dalam masyarakat.
Kuatkan
Sesungguhnya perasaan manusia terhadap masyarakat
mendorongnya untuk mengikuti aturan dan disiplin yang menata jalannya kehidupan
di masyarakat. Aturan dan disiplin yang dibuat itu adalah untuk menjaga
kemaslahatan negeri dan manusia, menegakkan manfaat dan menjauhkan madharat,
melestarikan norma dan tatanan luhur, menjaga spirit dan kerja, agar kebaikan
dapat dirasakan secara umum oleh masyarakat, dan orang yang berbuat mendapat
balasan sesuai dengan orientasi dan usahanya, dan mendapat pahala atas amalnya
yang terselenggara.
Untuk apa yang disebut manfaat dan kebaikan dari hal di atas menghajatkan penguatan
untuk secara kontinu dan proaktif terselenggara, meski tantangan dan rintangan
sudah menanti.
Untuk apa yang disebut madharat dan keburukan dari
hal di atas memerlukan penguatan diri untuk mampu meminimalisir dan mencegah
secara aktif maupun pasif, meski godaan dan ‘bisikan’ akan terus mencecar.
Kemampuan untuk mengasah diri melalui optimalisasi
manfaat dan antisipasi madharat akan mengantarkan pada sinyalemen keberadaan
perasaan sosial seseorang bahwa dirinya telah menerima amanat dan anugerah
besar yang siapapun, tanpa terkecuali, dapat ikut ‘menikmati’nya sebagai wujud
kehadiran dan kebersamaan dalam hidup bersosial.
Allah berfirman: “Pada hari ketika tiap-tiap diri
mendapati segala kebajikan dihadapkan (di mukanya).” (QS. Ali Imran: 30).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar