Ukhuwah Network
Moh.In’ami
“Seorang
mukmin itu menjadi cermin bagi saudaranya yang mukmin.”
(HR.
Abu Daud)
T
“Dan ingatlah akan
nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan,
maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah,
orang-orang yang bersaudara.” (QS. Ali Imron: 103)
F
|
irman
Allah Ta’ala sebagaimana disebutkan dalam ayat 103 di atas menyebutkan
nikmat-nikmat yang dikaruniakan-Nya kepada kaum Muslim. Artinya, salah satu
dari nikmat itu adalah nikmat ber-Islam, karena nikmat Islam-lah kaum Muslim
menjadi orang-orang yang bersaudara dalam agama.
Tidak
ada kata yang paling indah dalam kehidupan individu maupun sosial melainkan
silaturahim sebagai ‘penghubung’ yang paling kuat. Orang menjadi tidak memiliki
kesempatan untuk silaturahim pada saat kesibukan; mulai pekerjaan rutin, urusan
rumah tangga, hingga yang lebih formal –kerja kantoran. Seakan sulit sekali
mencari waktu yang tepat dan pas untuk melakukan kegiatan silaturahim. Pada
hari-hari libur orang cenderung mengisi waktu dengan prioritas
‘bersenang-senang’ dan alasan kepentingan keluarga. Sungguh padat sekali jadwal
keseharian kita.
Memang
tidak aneh bila individualitas dan egoisme orang per orang telah mengikis
tradisi silaturahim. Orang menjadi merasa lebih menghargai urusan pribadi
ketimbang urusan lainnya. Jika terpaksa harus berhubungan dengan orang lain,
orang cenderung ‘menghitung’. Jika hubungan itu menguntungkan lanjutkan,
sebaliknya jika kurang memberi yang lebih atau tidak sebagaimana yang
diharapkan tinggalkan. Kenyataan ini mulai banyak kita dapati di berbagai sudut
kehidupan.
Lalu,
bagaimana kita hendak mengunjungi saudara, keluarga, atau handai taulan?
Nampaknya perlu perencanaan yang matang dan punya keberanian untuk memangkas
kegiatan lain untuk digantikan dengan silaturahim.
Untuk
silaturahim tidak butuh banyak energi, jika orang punya komitmen untuk
berempati dan bersimpati. Empati itu menjadi penting karena setiap yang terjadi
pada orang lain mungkin saja akan terjadi pada kita, sehingga kita dengan
sepenuh hati mau dan peduli terhadap orang lain sebagaimana kita memperhatikan
anggota keluarga kita sendiri. Sementara simpati menjadi bermanfaat untuk
mewujudkan kepedulian dan rasa menghargai orang lain. Dan kehadiran seseorang
di rumah tetangganya dalam bentuk silaturahim merupakan jalinan yang berharga
baik di mata manusia maupun dalam pandangan agama.
Di
tengah ketidakpercayaan (untuk tidak mengatakan: mencurigai pihak lain) saat
ini, saya punya pengalaman berharga dalam hal silaturahim. Beberapa waktu yang
lalu saya silaturahim dengan orang yang selama satu tahun lebih kami berkenalan
via telepon dan sms. Saya mendapatkan nama dan nomor handphone-nya
melalui buku kenang-kenangan peserta pelatihan motivasi yang diikuti sahabat
saya. Ketika saya hendak silaturahim beliau mempersilakan saya untuk datang.
Meski keinginan kuat itu masih saja belum dapat terwujud karena soal waktu dan
kesempatan yang ada. Maklumlah jadwal mengajar anak-anak cukup padat sehingga
untuk meninggalkan rumah perlu strategi atau mencari hari libur. Pada saat
dimana Allah Ta’ala memberikan kelonggaran dan pertolongan untuk mewujudkan
niat saya silaturahim ke teman saya yang Muslim itu, Dia memberikan kemudahan.
Dan sungguh luar biasa, sambutan hangat dan wujud persaudaraan menjadi terasa,
padahal kami baru kali ini bertemu. Kami menyadari bahwa hal ini tidak mungkin
terjadi jika tidak ada tali ukhuwah yang Allah Ta’ala sambungkan melalui
agama-Nya, Islam. Dan sungguh terbukti bahwa sesama Muslim itu saudara. “Sesungguhnya
orang Muslim itu saudara (sesama Muslim lainnya)”.
Level
Ukhuwah
Ukhuwah
dalam Islam adalah ukhuwah karena Allah. Jalan menuju-Nya hanyalah satu, tidak
berbilang, tidak pula diperselisihkan, karena ia adalah shirath al-mustaqim
(jalan yang lurus) dan merupakan satu-satunya jalan yang wajib ditempuh, tiada
pilihan selainnya.
Ukhuwah
atau persaudaraan atas dasar agama ini telah menjadi mediasi yang sangat kuat
dalam membangun relasi individu yang bebas dari kesewenangan, kekuasaan ataupun
intrik-intrik negatif yang merugikan. Jika ukhuwah disebutkan maka
kepentingan-kepentingan manusiawi dipinggirkan, dan nilai-nilai keagamaan
dikedepankan.
Merujuk
Fiqh Ukhuwah, di sana terdapat beberapa tahapan menuju ukhuwah, yaitu ta’aruf,
ta’aluf, tafahum, ri’ayah, ta’awun, dan tanashur,
yang akhirnya berujung pada ukhuwah islamiyah yang kokoh.
a.
Ta’aruf
Kata ta’aruf
berarti saling mengenal sesama manusia. Sebagai contoh, saya memperkenalkan
diri kepada Ahmad. Dan tidak termasuk dalam pengertian ta’aruf jika konteksnya
membanggakan diri, baik dengan keturunan, pangkat, atau harta, karena semua itu
bukanlah ukuran yang tepat untuk mengenal manusia, sebab ukuran yang benar
adalah amal saleh dan ketaqwaan kepada Allah.
b.
Ta’aluf
Ta’aluf
berarti bersatunya seorang Muslim dengan Muslim lainnya, atau bersatunya
seseorang dengan orang lain. Salah satu kewajiban ukhuwah adalah hendaknya
seorang Muslim menyatu dengan saudaranya sesama Muslim. Sejalan dengan itu,
hendanya ia melakukan hal-hal yang dapat menyatukan dirinya dengan saudaranya.
c.
Tafahum
Hendaklah
terjalin sikap tafahum (saling memahami) antar sesama Muslim, yang
diawali dengan kesepahaman dalam prinsip-prinsip pokok ajaran islam, lalu dalam
masalah-masalah cabang yang juga perlu dipahami secara bersama. Prinsip-prinsip
yang harus dipahami oleh setiap Muslim adalah sebagaimana disebut dalam
Alqur’an surat An-Nisa’ ayat 175, surat Ali Imran ayat 101, surat Al-Mukminun
ayat 1-9, surat An-Nisa’ ayat 13, surat Muhammad ayat 7, dan surat Al-Anfal
ayat 46.
d.
Ri’ayah
Pengertian
ria’yah adalah hendaknya seorang Muslim memperhatikan keadaan saudaranya
agar ia bisa bersegera memberikan pertolongan sebelum saudaranya tersebut
meminta, karena pertolongan merupakan salah satu hak saudaranya yang harus
ditunaikan.
e.
Ta’awun
Ta’awun
berarti saling membantu. Allah Ta’ala telah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang
beriman untuk bantu-membantu dalam melaksanakan kebaikan dan dalam perilaku
meninggalkan kemungkaran. Ta’awun adalah buah dari ri’ayah. Ia bisa memperkokoh
ikatan antar orang-orang yang berukhuwah dalam islam, serta memperkuat pondasi
dan tiangnya.
f.
Tanashur
Ia
masih sejenis dengan ta’awun, tetapi memiliki pengertian yang lebih dalam,
lebih luas, dan lebih menggambarkan makna cinta dan loyalitas. Tanashur
di antara dua orang yang berukhuwah dalam islam memiliki banyak makna.
Adanya
level ukhuwah sebagaimana di atas sebenarnya menunjukkan kepada kita bahwa
relasi yang selama ini kita bangun dengan orang lain sudah sampai mana dan
sejauh mana. Kepedulian kita terhadap orang lain merupakan wujud dari
keberadaan kita sendiri yang tidak bisa lepas dan dipisahkan dari orang lain.
Penguatan
Ukhuwah
Menggalang
ukhuwah menjadi bagian penting dalam kehidupan setiap Muslim. Merajut tali
ukhuwah merupakan pekerjaan yang tidak ringan. Oleh sebab menyadarkan setiap
individu Muslim akan arti penting ukhuwah butuh kesabaran dan ketekunan.
Dalam
mewujudkan ukhuwah, komitmen saja belum cukup. Betapa rongrongan modernisasi
yang berupa provokasi, berita negatif, isu konfrontatif dan berbagai bentuk
perilaku destruktif telah mencoreng ukhuwah. Sehingga komitmen berukhuwah perlu
mendapatkan dukungan moril berupa sikap santun dan niat yang tulus. Dan
silaturahim menjadi salah penguat ukhuwah di antara kaum Muslim. Gerakan
memperkuat ukhuwah hendaknya dilakukan secara kontinu dan berkesinambungan.
Kekuatan
jaring-jaring ukhuwah yang telah terbina hingga kokoh akan memperkuat jalinan
antara masing-masing pribadi Muslim dalam menghadapi setiap badai kehidupan.
Betapa kerasnya ujian dan cobaan yang menghadang. Tanpa ukhuwah yang mendasari
setiap tingkah dan gerak, akan menjadi persoalan besar dalam mengarungi bahtera
kehidupan. Dan dengan berpegang pada kekuatan agama Islam, ukhuwah mampu
menjadi jalinan yang solid dalam berdakwah, menjaga kelurusan agama, membangun
kebersamaan, dan saling tolong menolong dalam kebaikan.
Mengapa
ukhuwah perlu diperkuat? Pertanyaan ini mesti kita ajukan pada diri kita
sendiri, sudahkah ada upaya untuk memperkuat ukhuwah, atau pernahkah kita
menyempatkan waktu luang untuk mengenal orang lain, bahkan membantunya.
Dari
Ukhuwah menuju Mardhatillah
Ukhuwah
sebagai anugerah yang besar dari Allah Ta’ala mengantarkan setiap insan Muslim
untuk saling asah, asih dan asuh. Tanpa melihat kepada tingkat dan status
sosial, tidak pula karena maksud dan kepentingan pribadi. Dan semestinya,
ukhuwah diwujudkan dalam semangat: “Yakni
mewujudkan upaya saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.” (Lihat
QS. Al-Ahsr: 3)
Ukhuwah
lillah yang dibangun antar individu memberikan sinyalemen bahwa hubungan
dan persaudaraan itu berdasar pada keadilan, keselarasan, dan kedamaian. Tidak
ada persaudaraan yang mengandung motif negatif, cari untung, atau memanfaatkan
orang lain. Karena Islam telah mengajarkan untuk saling berbagi, memberi yang
terbaik kepada orang lain, dan mendahulukan kepentingan orang lain daripada
diri sendiri.
Menjalin
ukhuwah yang berbasis pada rambu-rambu petunjuk Allah hendak menegaskan bahwa
setiap pribadi Muslim mampu menjadikan saudaranya sesama Muslim sebagai ‘ladang
amal’. Jiwa kedermawanan yang diwujudkan oleh seorang Muslim kepada saudaranya
lebih merupakan bentuk kesadaran bahwa Allah telah memberikan tuntunan untuk
berbagi. Jiwa ketulusan dalam menyapa, silaturahim, dan menolong adalah hiasan
pribadi Muslim yang sadar akan eksistensi orang lain. Oleh sebab tidak ada
seseorang yang tidak membutuhkan saudaranya. Pun demikian, rasa saling
membutuhkan menjadi bagian dari interaksi individu yang tak terelakkan.
Sehingga bangunan ukhuwah mesti ditegakkan, dan dasar yang utama dalam ukhuwah
adalah orientasi pada keridhaan Allah Ta’ala.
Jika
kita telah menemukan bahwa dalam ukhuwah itu terdapat manfaat yang besar dalam
kehidupan kita, niscaya kesadaran kita untuk memperkuat tali ukhuwah dan
merajutnya dalam setiap perjalanan hidup kita akan terasa semakin penting, dan
muncul dorongan yang kuat untuk menjalinnya. Konsekuensinya, keakraban dan
nuansa kekeluargaan menjadi indikasinya.
Merajut
ukhuwah sebagai bagian penting dalam ber-Islam adalah keniscayaan yang
hendaknya terus diperjuangkan dan dibangun secara kontinu dan meningkat.
Adakah
cerminan yang lebih indah dari aura ukhuwah antar sesama Muslim? Mungkinkah
ukhuwah itu tergantikan oleh rutinitas? Nampaknya ukhuwah tetap bertahan dan
eksis meski gerusan arus globalisasi begitu kuat menerpa. Dan kita mesti
mengupayakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar