Minggu, 15 April 2018

Membangun Jaringan Ukhuwah


Ukhuwah Network
Moh.In’ami

“Seorang mukmin itu menjadi cermin bagi saudaranya yang mukmin.”
(HR. Abu Daud)
T
Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara.” (QS. Ali Imron: 103)
F
irman Allah Ta’ala sebagaimana disebutkan dalam ayat 103 di atas menyebutkan nikmat-nikmat yang dikaruniakan-Nya kepada kaum Muslim. Artinya, salah satu dari nikmat itu adalah nikmat ber-Islam, karena nikmat Islam-lah kaum Muslim menjadi orang-orang yang bersaudara dalam agama.
Tidak ada kata yang paling indah dalam kehidupan individu maupun sosial melainkan silaturahim sebagai ‘penghubung’ yang paling kuat. Orang menjadi tidak memiliki kesempatan untuk silaturahim pada saat kesibukan; mulai pekerjaan rutin, urusan rumah tangga, hingga yang lebih formal –kerja kantoran. Seakan sulit sekali mencari waktu yang tepat dan pas untuk melakukan kegiatan silaturahim. Pada hari-hari libur orang cenderung mengisi waktu dengan prioritas ‘bersenang-senang’ dan alasan kepentingan keluarga. Sungguh padat sekali jadwal keseharian kita.
Memang tidak aneh bila individualitas dan egoisme orang per orang telah mengikis tradisi silaturahim. Orang menjadi merasa lebih menghargai urusan pribadi ketimbang urusan lainnya. Jika terpaksa harus berhubungan dengan orang lain, orang cenderung ‘menghitung’. Jika hubungan itu menguntungkan lanjutkan, sebaliknya jika kurang memberi yang lebih atau tidak sebagaimana yang diharapkan tinggalkan. Kenyataan ini mulai banyak kita dapati di berbagai sudut kehidupan.
Lalu, bagaimana kita hendak mengunjungi saudara, keluarga, atau handai taulan? Nampaknya perlu perencanaan yang matang dan punya keberanian untuk memangkas kegiatan lain untuk digantikan dengan silaturahim.
Untuk silaturahim tidak butuh banyak energi, jika orang punya komitmen untuk berempati dan bersimpati. Empati itu menjadi penting karena setiap yang terjadi pada orang lain mungkin saja akan terjadi pada kita, sehingga kita dengan sepenuh hati mau dan peduli terhadap orang lain sebagaimana kita memperhatikan anggota keluarga kita sendiri. Sementara simpati menjadi bermanfaat untuk mewujudkan kepedulian dan rasa menghargai orang lain. Dan kehadiran seseorang di rumah tetangganya dalam bentuk silaturahim merupakan jalinan yang berharga baik di mata manusia maupun dalam pandangan agama.
Di tengah ketidakpercayaan (untuk tidak mengatakan: mencurigai pihak lain) saat ini, saya punya pengalaman berharga dalam hal silaturahim. Beberapa waktu yang lalu saya silaturahim dengan orang yang selama satu tahun lebih kami berkenalan via telepon dan sms. Saya mendapatkan nama dan nomor handphone-nya melalui buku kenang-kenangan peserta pelatihan motivasi yang diikuti sahabat saya. Ketika saya hendak silaturahim beliau mempersilakan saya untuk datang. Meski keinginan kuat itu masih saja belum dapat terwujud karena soal waktu dan kesempatan yang ada. Maklumlah jadwal mengajar anak-anak cukup padat sehingga untuk meninggalkan rumah perlu strategi atau mencari hari libur. Pada saat dimana Allah Ta’ala memberikan kelonggaran dan pertolongan untuk mewujudkan niat saya silaturahim ke teman saya yang Muslim itu, Dia memberikan kemudahan. Dan sungguh luar biasa, sambutan hangat dan wujud persaudaraan menjadi terasa, padahal kami baru kali ini bertemu. Kami menyadari bahwa hal ini tidak mungkin terjadi jika tidak ada tali ukhuwah yang Allah Ta’ala sambungkan melalui agama-Nya, Islam. Dan sungguh terbukti bahwa sesama Muslim itu saudara. “Sesungguhnya orang Muslim itu saudara (sesama Muslim lainnya)”.

Level Ukhuwah

Ukhuwah dalam Islam adalah ukhuwah karena Allah. Jalan menuju-Nya hanyalah satu, tidak berbilang, tidak pula diperselisihkan, karena ia adalah shirath al-mustaqim (jalan yang lurus) dan merupakan satu-satunya jalan yang wajib ditempuh, tiada pilihan selainnya.
Ukhuwah atau persaudaraan atas dasar agama ini telah menjadi mediasi yang sangat kuat dalam membangun relasi individu yang bebas dari kesewenangan, kekuasaan ataupun intrik-intrik negatif yang merugikan. Jika ukhuwah disebutkan maka kepentingan-kepentingan manusiawi dipinggirkan, dan nilai-nilai keagamaan dikedepankan.
Merujuk Fiqh Ukhuwah, di sana terdapat beberapa tahapan menuju ukhuwah, yaitu ta’aruf, ta’aluf, tafahum, ri’ayah, ta’awun, dan tanashur, yang akhirnya berujung pada ukhuwah islamiyah yang kokoh.
a.    Ta’aruf
Kata ta’aruf berarti saling mengenal sesama manusia. Sebagai contoh, saya memperkenalkan diri kepada Ahmad. Dan tidak termasuk dalam pengertian ta’aruf jika konteksnya membanggakan diri, baik dengan keturunan, pangkat, atau harta, karena semua itu bukanlah ukuran yang tepat untuk mengenal manusia, sebab ukuran yang benar adalah amal saleh dan ketaqwaan kepada Allah.
b.    Ta’aluf
Ta’aluf berarti bersatunya seorang Muslim dengan Muslim lainnya, atau bersatunya seseorang dengan orang lain. Salah satu kewajiban ukhuwah adalah hendaknya seorang Muslim menyatu dengan saudaranya sesama Muslim. Sejalan dengan itu, hendanya ia melakukan hal-hal yang dapat menyatukan dirinya dengan saudaranya.
c.    Tafahum
Hendaklah terjalin sikap tafahum (saling memahami) antar sesama Muslim, yang diawali dengan kesepahaman dalam prinsip-prinsip pokok ajaran islam, lalu dalam masalah-masalah cabang yang juga perlu dipahami secara bersama. Prinsip-prinsip yang harus dipahami oleh setiap Muslim adalah sebagaimana disebut dalam Alqur’an surat An-Nisa’ ayat 175, surat Ali Imran ayat 101, surat Al-Mukminun ayat 1-9, surat An-Nisa’ ayat 13, surat Muhammad ayat 7, dan surat Al-Anfal ayat 46.
d.    Ri’ayah
Pengertian ria’yah adalah hendaknya seorang Muslim memperhatikan keadaan saudaranya agar ia bisa bersegera memberikan pertolongan sebelum saudaranya tersebut meminta, karena pertolongan merupakan salah satu hak saudaranya yang harus ditunaikan.
e.    Ta’awun
Ta’awun berarti saling membantu. Allah Ta’ala telah memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk bantu-membantu dalam melaksanakan kebaikan dan dalam perilaku meninggalkan kemungkaran. Ta’awun adalah buah dari ri’ayah. Ia bisa memperkokoh ikatan antar orang-orang yang berukhuwah dalam islam, serta memperkuat pondasi dan tiangnya.
f.     Tanashur
Ia masih sejenis dengan ta’awun, tetapi memiliki pengertian yang lebih dalam, lebih luas, dan lebih menggambarkan makna cinta dan loyalitas. Tanashur di antara dua orang yang berukhuwah dalam islam memiliki banyak makna.
Adanya level ukhuwah sebagaimana di atas sebenarnya menunjukkan kepada kita bahwa relasi yang selama ini kita bangun dengan orang lain sudah sampai mana dan sejauh mana. Kepedulian kita terhadap orang lain merupakan wujud dari keberadaan kita sendiri yang tidak bisa lepas dan dipisahkan dari orang lain.

Penguatan Ukhuwah

Menggalang ukhuwah menjadi bagian penting dalam kehidupan setiap Muslim. Merajut tali ukhuwah merupakan pekerjaan yang tidak ringan. Oleh sebab menyadarkan setiap individu Muslim akan arti penting ukhuwah butuh kesabaran dan ketekunan.
Dalam mewujudkan ukhuwah, komitmen saja belum cukup. Betapa rongrongan modernisasi yang berupa provokasi, berita negatif, isu konfrontatif dan berbagai bentuk perilaku destruktif telah mencoreng ukhuwah. Sehingga komitmen berukhuwah perlu mendapatkan dukungan moril berupa sikap santun dan niat yang tulus. Dan silaturahim menjadi salah penguat ukhuwah di antara kaum Muslim. Gerakan memperkuat ukhuwah hendaknya dilakukan secara kontinu dan berkesinambungan.
Kekuatan jaring-jaring ukhuwah yang telah terbina hingga kokoh akan memperkuat jalinan antara masing-masing pribadi Muslim dalam menghadapi setiap badai kehidupan. Betapa kerasnya ujian dan cobaan yang menghadang. Tanpa ukhuwah yang mendasari setiap tingkah dan gerak, akan menjadi persoalan besar dalam mengarungi bahtera kehidupan. Dan dengan berpegang pada kekuatan agama Islam, ukhuwah mampu menjadi jalinan yang solid dalam berdakwah, menjaga kelurusan agama, membangun kebersamaan, dan saling tolong menolong dalam kebaikan.
Mengapa ukhuwah perlu diperkuat? Pertanyaan ini mesti kita ajukan pada diri kita sendiri, sudahkah ada upaya untuk memperkuat ukhuwah, atau pernahkah kita menyempatkan waktu luang untuk mengenal orang lain, bahkan membantunya.

Dari Ukhuwah menuju Mardhatillah

Ukhuwah sebagai anugerah yang besar dari Allah Ta’ala mengantarkan setiap insan Muslim untuk saling asah, asih dan asuh. Tanpa melihat kepada tingkat dan status sosial, tidak pula karena maksud dan kepentingan pribadi. Dan semestinya, ukhuwah diwujudkan dalam semangat: Yakni mewujudkan upaya saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.” (Lihat QS. Al-Ahsr: 3) 
Ukhuwah lillah yang dibangun antar individu memberikan sinyalemen bahwa hubungan dan persaudaraan itu berdasar pada keadilan, keselarasan, dan kedamaian. Tidak ada persaudaraan yang mengandung motif negatif, cari untung, atau memanfaatkan orang lain. Karena Islam telah mengajarkan untuk saling berbagi, memberi yang terbaik kepada orang lain, dan mendahulukan kepentingan orang lain daripada diri sendiri.
Menjalin ukhuwah yang berbasis pada rambu-rambu petunjuk Allah hendak menegaskan bahwa setiap pribadi Muslim mampu menjadikan saudaranya sesama Muslim sebagai ‘ladang amal’. Jiwa kedermawanan yang diwujudkan oleh seorang Muslim kepada saudaranya lebih merupakan bentuk kesadaran bahwa Allah telah memberikan tuntunan untuk berbagi. Jiwa ketulusan dalam menyapa, silaturahim, dan menolong adalah hiasan pribadi Muslim yang sadar akan eksistensi orang lain. Oleh sebab tidak ada seseorang yang tidak membutuhkan saudaranya. Pun demikian, rasa saling membutuhkan menjadi bagian dari interaksi individu yang tak terelakkan. Sehingga bangunan ukhuwah mesti ditegakkan, dan dasar yang utama dalam ukhuwah adalah orientasi pada keridhaan Allah Ta’ala. 
Jika kita telah menemukan bahwa dalam ukhuwah itu terdapat manfaat yang besar dalam kehidupan kita, niscaya kesadaran kita untuk memperkuat tali ukhuwah dan merajutnya dalam setiap perjalanan hidup kita akan terasa semakin penting, dan muncul dorongan yang kuat untuk menjalinnya. Konsekuensinya, keakraban dan nuansa kekeluargaan menjadi indikasinya. 
Merajut ukhuwah sebagai bagian penting dalam ber-Islam adalah keniscayaan yang hendaknya terus diperjuangkan dan dibangun secara kontinu dan meningkat.
Adakah cerminan yang lebih indah dari aura ukhuwah antar sesama Muslim? Mungkinkah ukhuwah itu tergantikan oleh rutinitas? Nampaknya ukhuwah tetap bertahan dan eksis meski gerusan arus globalisasi begitu kuat menerpa. Dan kita mesti mengupayakannya. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...