Senin, 30 April 2018

Mengambil Makna dari Syahadat


Konsistensi dalam Bersyahâdat | Moh.In'ami


Siapapun dari kalangan umat manusia yang telah menemukan Islâm, sebagai pilihan, hendaknya segera melakukan pensyahâdatan diri; menjadikan dirinya mengakui, dengan sadar dan tanpa paksaan, bahwa Allâh SWT adalah sebagai Tuhan yang haq disembah dan Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasûl-Nya.
Pengakuan ini bukan berarti akhir dalam ber-Islâm, tetapi justru ia menjadi kata kunci bagi setiap kegiatan, aktivitas, maupun amalan yang akan dilakukan dalam koridor ajaran agama Islâm. Pengakuan ini menjadi dasar bagi seorang muslim dalam setiap aspek kehidupan.
Tidak ada suatu amalan, apapun amalan itu, yang menuntut seseorang untuk mengerjakannya melainkan kesadaran dan kemampuan-lah yang menjadi pendorongnya. Kesadaran untuk beramal itulah yang menjadi motivasi bagi seseorang untuk berbuat, lillâh.
Maka dengan bersyahâdat seseorang telah memasuki pintu gerbang Islâm, dan tidak sekedar masuk belaka, tetapi bersyahâdat merupakan momentum yang tepat untuk melakukan perubahan 180 derajat. Tentunya perubahan ke arah yang lebih baik dan diridhâi Allâh.

1. Pintu gerbang Islâm

Sebagian manusia berpikir serius ketika melihat pintu gerbang Islâm. Hingga kemudian tanpa pikir panjang memasuki gerbang itu dengan penuh pemaknaan, tanpa paksaan, tanpa intimidasi. Sebagian umat menyatakan, dengan jujur, menolak untuk melihat apa di balik pintu gerbang Islâm itu.
Perasaan senang atau enggan untuk memilih, memasuki gerbang atau tidak, merupakan suatu anugerah bagi masing-masing orang bahwa hidup dan peri kehidupan ada yang mengatur, mengelola, membimbing, dan memberi petunjuk.
Jika seseorang telah menyatakan diri dengan jelas dan sepenuh hati bahwa tiada ilâh selain Allâh dan Muhammad sebagai Rasûl-Nya maka ia telah memasuki gerbang Islâm.
Begitu gerbang Islâm terbuka untuk diri seorang yang baru saja bersyahâdat, begitu juga ia dapat mengakses pilar keislâman pada level berikutnya,  menapaki prinsip keîmânan dan menangkap nilai-nilai Islâmi yang dapat direalisasikan dalam kehidupan nyata.
Selanjutnya, tidak ada suatu pun yang dilakukan dalam Islâm melainkan ia mengupayakan pengilmuannya. Tidak ada amal atau perilaku dalam ‘rumah besar’ Islâm itu yang tidak didahului dengan pertanyaan “Apakah yang demikian ini dilakukan oleh Rasûlullâh saw?”
Tidak cukup dengan menjadikan Islâm sebagai simbol atau sekedar atribut keseharian, akan tetapi Islâm hendaknya menemukan realisasi dan usaha nyata menerjemahkannya dalam kehidupan nyata.
Pada segmen individu dan sosial, seorang muslim mempunyai gerak, keluasan, dan dinamika untuk menjadikan Islâm sebagai identitas dan unsur integral yang tidak dapat dipisahkan dari berbagai jenis dan aspek kehidupan.
Pemaknaan Islâm dalam kedua segmen di atas akan mengantarkan seorang muslim untuk mewujudkan keshâlihan secara universal, melampaui sekat-sekat friksi, golongan dan aliran yang sejak dahulu tumbuh, berkembang dan subur.
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Âdam dari sulbi mereka dan Allâh mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi)”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (bani Âdam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (QS. 7: 172)

2. Islâm itu nikmat

Seorang yang telah bersyahâdat berarti ia telah menjadi muslim. Untuk menjadi muslim yang sempurna dan agar keislâman seseorang dapat ditegakkan maka hendaknya menunaikan amalan yang telah disebutkan Nabi saw dalam hadîtsnya: “Shalât adalah tiang agama. Siapa yang melaksanakannya maka ia telah menegakkan agamanya, siapa yang meninggalkannya maka ia telah meruntuhkan agamanya.”
Merasakan nikmat ber-Islâm berarti melaksanakan semua ajaran Islâm dengan sepenuh hati, ikhlâs dan tidak ada paksaan. Dalam pelaksanaan ajaran Islâm sebagaimana yang telah dicontohkan Nabi saw itulah indikator seorang muslim menjalani ajaran Islâm dengan sepenuh hati, ikhlâs dan tidak ada paksaan tersebut.
Seorang yang, dengan sepenuh hati, melaksanakan ajaran Islâm berarti tidak ada lagi ruang dalam dirinya untuk berpikir yang lain, kecuali `ibâdah. Hatinya dipenuhi perasaan yang tersambung dengan Allâh SWT. Ia ber`ibâdah dengan sungguh-sungguh tanpa berpikir untuk menentang-Nya. Tidak pula neko-neko.
Seorang yang dengan ikhlâs melaksanakan ajaran Islâm berarti apapun perintah-Nya ia laksakan dengan tulus. Apa yang bukan perintah niscaya ia tinggalkan. Tidak ada ruang baginya untuk membuat-buat suatu amalan yang tanpa dasar dan tidak dicontohkan Nabi saw.
Seorang yang melaksanakan ajaran Islâm tanpa paksaan berarti kesadaran jiwanya yang menuntun dirinya untuk berbuat dan beramal sesuai dengan yang dicontohkan Nabi saw. Dalam upaya sedemikian itulah seorang muslim merasakan bahwa Islâm itu nikmat.
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allâh dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan Allâh mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu.” (QS. 47: 19)

3. Esensi ajaran Islâm

Seorang yang telah melakukan persyahâdatan berarti ia telah memahami konsekuensinya; konsekuensi lahir dan batin, konsekuensi idiologis dan praksis, konsekuensi idealis dan realis, serta konsekuensi apapun yang bisa disandingkan. Pada taraf ini, seseorang telah memaknai intisari ajaran Islâm, meski dalam lingkup yang cukup sederhana.
Meski sederhana, tidak ada kesempurnaan dalam memahami intisari ajaran Islâm itu tanpa suatu kepasrahan kepada Allâh. Meski sederhana, orang tidak mudah menerimanya kecuali yang telah Allâh buka hatinya. Lalu bagaimana dengan orang yang telah bersyahâdat selama bertahun-tahun namun tidak mampu menerapkannya dalam kehidupan nyata??
Mengakui dan bersaksi memang mudah –meski bagi sebagian orang sangat sulit dan berat, padahal keshâlihan sosialnya sudah ‘tinggi’ namun satu saja yang belum hadir di hatinya, yaitu Îmân.
Dan Kami tidak mengutus seorang rasûlpun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. 21: 25)
Dengan mentauhidkan Allâh itulah ajaran Islâm menemukan intinya. Dalam setiap `ibâdah, apapun sebutannya, jika belum menegaskan bahwa Allâh itu Esa, apalagi nyata-nyata bukan Allâh yang dituhankan, maka sungguh itu bukan ajaran Islâm.
Mengapa sebagian kaum muslim mengaku telah berpegang pada ajaran Islâm, namun hanya berhenti pada lisan saja? Mengapa dalam praktek bersyarî`at justru mereka jauh dari yang dituntunkan, atau mereka ‘mengaku’ atau tepatnya mengakui bahwa yang dilakukan adalah syarî`at yang harus dijalankan?
Padahal Allâh SWT, dalam konteks dua soal aksiologis di atas, dengan tegas telah menyebutkan,
Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syarî`at (peraturan) dari agama itu, maka ikutilah (syarî`at itu) dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. 45: 18)

4. Konsep dasar reformasi total

Untuk membuktikan bahwa dua syahâdat merupakan dasar reformasi seorang muslim secara total, kita bisa melihat bagaimana seorang yang berperadaban jahiliyah yang masuk Islâm. Dahulu ia menyembah berhala, sekarang sejak syahâdat diucapkan ia berubah dan meyakini bahwa Allâh adalah Dzat yang haq untuk disembah. Orang-orang yang menyembah Tuhan melalui manifestasi budaya maupun kultur lokal, mau tidak mau, harus mengikuti ‘model’ menyembah yang telah disebutkan dalam Alqurân dan sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi saw.
Berbagai macam bentuk ‘menyembah’, penghormatan terhadap Tuhan, ataupun ketaatan kepada-Nya hendaknya merujuk pada referensi yang jelas dan tegas sebagaimana disebutkan dalam Alqurân dan As-Sunnah yang shahîh. Inilah pilihan orang yang menyadari dan paham akan maksud daripada syahâdatain. Demikianlah reformasi total itu dilakukan.
Sebagai wujud realisasi syahâdatain maka hanya penjelasan dari Allâh dan Rasûl-Nya yang didengar dan ditaati. Jika masih ada penyimpangan `ibâdah, atau ketundukan total kepada selain-Nya, dan segala macam kesyirikan, maka akan berujung pada nihil amal shâlihnya di âkhirat.
Dalam syahâdatain terdapat konsep dasar reformasi diri; berubah ke arah yang lebih baik. Maka apapun jenis, macam dan model kesyirikan yang mengakar dan melekat pada diri seseorang mesti ditinggalkan dan dihentikan. Tidak ada alasan yang dibenarkan untuk kembali ke jalan syirik. (Ummu Yasmin, 2003)
Sesungguhnya Allâh tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. 13: 11)
Sungguh merupakan suatu kenikmatan yang besar manakala suatu perubahan yang terjadi adalah dari keburukan ke kebaikan, dari mudharat ke manfaat, dari kezhâliman menuju keadilan, dari marginalisasi menuju penyejahteraan, dari pembelaan ‘kepentingan’ menuju pembelaan rakyat, dari orientasi makhlûq menuju orientasi Khâliq.

5. Hakekat da`wah para rasûl

Sejatinya apa yang disebut dalam syahâdat merupakan misi yang diperjuangkan oleh Nabi Muhammad saw. Melalui da`wah beliau secara diam-diam dan terang-terangan, da`wah kepada tauhid adalah substansinya. Dan dengan da`wah tauhid itulah beliau saw harus berhadapan dengan keluarga (yang menentang), karib kerabat (yang belum terbuka hatinya), dan masyarakat luas (yang masih bersikeras memegang kuat keyakinan para pendahulu mereka).
Apa saja yang menjadi penghalang dan hambatan dalam mensyiarkan tauhid dipandang sebagai bukan masalah. Pada saat umat menentang, tidak mau mendengar seruan dan malah memusuhinya, beliau hanya berdo’a “Allâhummahdi qaumî fainnahum lâ ya`lamûn.” Ya Allâh, tunjukilah kaumku (jalan yang  lurus) karena sesungguhnya mereka tidak tahu dan tidak paham.
Meski Rasûlullâh juga ditolak mentah-mentah dan dilempari batu hingga terluka dan berdarah di Thâif, beliau tidak marah –marah adalah lawan kata dari ridhâ. (Muhammad bin `Ali, 2008). Bahkan ketika beliau saw mendapat tawaran dari malâikat untuk melakukan balasan atas tindakan kaumnya, beliau tidak mau menerimanya. Beliau justru memberi kesempatan kepada mereka dan mendo’akan agar kelak mereka menjadi baik, menerima Islâm dan setidaknya anak-cucu mereka.
Jika Rasûlullâh melakukan perjuangan yang berat seperti di atas, lantas apa yang telah kaum muslim –hari ini– lakukan dan perjuangkan untuk Islâm dan kejayaannya? Dan demikian pula yang dilakukan para rasûl sebelum beliau saw.
Para pengikut Nabi Muhammad saw senantiasa diuji loyalitasnya; apakah benar-benar taat kepada beliau, atau hanya sekedar mengikuti formalitas lisan, atau mengakui dan berikrar atas kerasûlan beliau saw namun sama sekali hatinya tidak pernah tergerak untuk mewujudkan Islâm yang hadir dalam dirinya, jiwanya dan praktek kehidupan nyata.
Katakanlah (Muhammad), jika kamu mencintai Allâh, ikutilah aku, niscaya Allâh mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 3: 31)
Maka persaksian pada kebenaran Allâh sebagai Tuhan Yang Esa, dan Muhammad sebagai utusan Allâh merupakan suatu keniscayaan yang harus dilakukan oleh para rasûl dan hal ini merupakan misi utama. Dalam mengemban misi utama ini para rasûl mendapat perlakuan khusus dari Allâh SWT, meski pada dataran kemanusiaan mereka tetap mendapat kesempatan dan peluang yang sama dengan siapapun dari kalangan umatnya.
Katakanlah (Muhammad), Siapa yang lebih kuat kesaksiannya? Katakanlah, “Allâh, Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Alqurân ini diwahyukan kepadaku agar dengan itu aku memberi peringatan kepadamu dan orang yang sampai (Alqurân kepadanya). Dapatkah kamu benar-benar bersaksi bahwa ada tuhan-tuhan lain bersama Allâh? Katakanlah, “Aku tidak dapat bersaksi” Katakanlah, “Sesungguhnya hanya Dialah Yang Maha Esa dan aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allâh).” (QS. 6: 19)
Siapapun rasûl yang diutus oleh Allâh untuk menyampaikan risâlah, sesungguhnya yang disampaikan adalah agama yang berbasis tauhid. Apakah umat manusia tidak menyadari hal ini?
Tidak bisa tidak siapapun hendaknya mengedepankan wahyu ketimbang rasio –karena inti Islâm adalah adalah wahyu. (Atho Mudzhar, 2002: 19) Rasio mengikuti bimbingan wahyu dan bukan sebaliknya. Bahwa dalam setiap umat ada seorang rasûl yang diutus untuk berda`wah dan menyampaikan ajaran tauhîd. (Perhatikan QS. 16: 36).ž




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...