Konsistensi dalam
Bersyahâdat | Moh.In'ami
Siapapun dari kalangan umat manusia yang
telah menemukan Islâm, sebagai pilihan, hendaknya segera melakukan
pensyahâdatan diri; menjadikan dirinya mengakui, dengan sadar dan tanpa
paksaan, bahwa Allâh SWT adalah sebagai Tuhan yang haq disembah
dan Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasûl-Nya.
Pengakuan ini
bukan berarti akhir dalam ber-Islâm, tetapi justru ia menjadi kata kunci bagi
setiap kegiatan, aktivitas, maupun amalan yang akan dilakukan dalam koridor
ajaran agama Islâm. Pengakuan ini menjadi dasar bagi seorang muslim dalam
setiap aspek kehidupan.
Tidak ada suatu
amalan, apapun amalan itu, yang menuntut seseorang untuk mengerjakannya
melainkan kesadaran dan kemampuan-lah yang menjadi pendorongnya. Kesadaran
untuk beramal itulah yang menjadi motivasi bagi seseorang untuk berbuat, lillâh.
Maka dengan
bersyahâdat seseorang telah memasuki pintu gerbang Islâm, dan tidak sekedar
masuk belaka, tetapi bersyahâdat merupakan momentum yang tepat untuk melakukan
perubahan 180 derajat. Tentunya perubahan ke arah yang lebih baik dan diridhâi
Allâh.
1. Pintu gerbang Islâm
Sebagian manusia berpikir serius ketika melihat pintu gerbang
Islâm. Hingga kemudian tanpa pikir panjang memasuki gerbang itu dengan penuh
pemaknaan, tanpa paksaan, tanpa intimidasi. Sebagian umat menyatakan, dengan
jujur, menolak untuk melihat apa di balik pintu gerbang Islâm itu.
Perasaan senang atau enggan untuk memilih, memasuki gerbang
atau tidak, merupakan suatu anugerah bagi masing-masing orang bahwa hidup dan
peri kehidupan ada yang mengatur, mengelola, membimbing, dan memberi petunjuk.
Jika seseorang telah menyatakan diri dengan jelas dan sepenuh
hati bahwa tiada ilâh selain Allâh dan Muhammad sebagai Rasûl-Nya
maka ia telah memasuki gerbang Islâm.
Begitu gerbang Islâm terbuka untuk diri seorang yang baru
saja bersyahâdat, begitu juga ia dapat mengakses pilar keislâman pada level
berikutnya, menapaki prinsip keîmânan
dan menangkap nilai-nilai Islâmi yang dapat direalisasikan dalam kehidupan
nyata.
Selanjutnya, tidak ada suatu pun yang dilakukan dalam Islâm
melainkan ia mengupayakan pengilmuannya. Tidak ada amal atau perilaku dalam
‘rumah besar’ Islâm itu yang tidak didahului dengan pertanyaan “Apakah yang
demikian ini dilakukan oleh Rasûlullâh saw?”
Tidak cukup dengan menjadikan Islâm sebagai simbol atau
sekedar atribut keseharian, akan tetapi Islâm hendaknya menemukan realisasi dan
usaha nyata menerjemahkannya dalam kehidupan nyata.
Pada segmen individu dan sosial, seorang muslim mempunyai
gerak, keluasan, dan dinamika untuk menjadikan Islâm sebagai identitas dan
unsur integral yang tidak dapat dipisahkan dari berbagai jenis dan aspek
kehidupan.
Pemaknaan Islâm dalam kedua segmen di atas akan mengantarkan
seorang muslim untuk mewujudkan keshâlihan secara universal, melampaui
sekat-sekat friksi, golongan dan aliran yang sejak dahulu tumbuh, berkembang
dan subur.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Âdam dari sulbi mereka dan Allâh mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul
(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi)”. (Kami lakukan yang demikian itu)
agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (bani Âdam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (QS. 7: 172)
2. Islâm itu nikmat
Seorang yang telah bersyahâdat berarti ia telah menjadi
muslim. Untuk menjadi muslim yang sempurna dan agar keislâman seseorang dapat
ditegakkan maka hendaknya menunaikan amalan yang telah disebutkan Nabi saw
dalam hadîtsnya: “Shalât adalah tiang agama. Siapa yang melaksanakannya
maka ia telah menegakkan agamanya, siapa yang meninggalkannya maka ia telah
meruntuhkan agamanya.”
Merasakan nikmat ber-Islâm berarti melaksanakan semua ajaran
Islâm dengan sepenuh hati, ikhlâs dan tidak ada paksaan. Dalam pelaksanaan
ajaran Islâm sebagaimana yang telah dicontohkan Nabi saw itulah indikator
seorang muslim menjalani ajaran Islâm dengan sepenuh hati, ikhlâs dan tidak ada
paksaan tersebut.
Seorang yang, dengan sepenuh hati, melaksanakan ajaran Islâm
berarti tidak ada lagi ruang dalam dirinya untuk berpikir yang lain, kecuali
`ibâdah. Hatinya dipenuhi perasaan yang tersambung dengan Allâh SWT. Ia
ber`ibâdah dengan sungguh-sungguh tanpa berpikir untuk menentang-Nya. Tidak
pula neko-neko.
Seorang yang dengan ikhlâs melaksanakan ajaran Islâm berarti
apapun perintah-Nya ia laksakan dengan tulus. Apa yang bukan perintah niscaya
ia tinggalkan. Tidak ada ruang baginya untuk membuat-buat suatu amalan yang
tanpa dasar dan tidak dicontohkan Nabi saw.
Seorang yang melaksanakan ajaran Islâm tanpa paksaan berarti
kesadaran jiwanya yang menuntun dirinya untuk berbuat dan beramal sesuai dengan
yang dicontohkan Nabi saw. Dalam upaya sedemikian itulah seorang muslim
merasakan bahwa Islâm itu nikmat.
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan
melainkan Allâh dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang
mukmin laki-laki dan perempuan. Dan Allâh mengetahui tempat kamu berusaha dan
tempat tinggalmu.” (QS. 47: 19)
3. Esensi ajaran Islâm
Seorang yang telah melakukan persyahâdatan berarti ia telah
memahami konsekuensinya; konsekuensi lahir dan batin, konsekuensi idiologis dan
praksis, konsekuensi idealis dan realis, serta konsekuensi apapun yang bisa
disandingkan. Pada taraf ini, seseorang telah memaknai intisari ajaran Islâm,
meski dalam lingkup yang cukup sederhana.
Meski sederhana, tidak ada kesempurnaan dalam memahami
intisari ajaran Islâm itu tanpa suatu kepasrahan kepada Allâh. Meski sederhana,
orang tidak mudah menerimanya kecuali yang telah Allâh buka hatinya. Lalu
bagaimana dengan orang yang telah bersyahâdat selama bertahun-tahun namun tidak
mampu menerapkannya dalam kehidupan nyata??
Mengakui dan bersaksi memang mudah –meski bagi sebagian orang
sangat sulit dan berat, padahal keshâlihan sosialnya sudah ‘tinggi’
namun satu saja yang belum hadir di hatinya, yaitu Îmân.
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasûlpun sebelum engkau
(Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. 21: 25)
Dengan mentauhidkan Allâh itulah ajaran Islâm
menemukan intinya. Dalam setiap `ibâdah, apapun sebutannya, jika belum
menegaskan bahwa Allâh itu Esa, apalagi nyata-nyata bukan Allâh yang
dituhankan, maka sungguh itu bukan ajaran Islâm.
Mengapa sebagian kaum muslim mengaku telah berpegang pada
ajaran Islâm, namun hanya berhenti pada lisan saja? Mengapa dalam praktek
bersyarî`at justru mereka jauh dari yang dituntunkan, atau mereka ‘mengaku’
atau tepatnya mengakui bahwa yang dilakukan adalah syarî`at yang harus
dijalankan?
Padahal Allâh SWT, dalam konteks dua soal aksiologis di atas,
dengan tegas telah menyebutkan,
“Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti
syarî`at (peraturan) dari agama itu, maka ikutilah (syarî`at itu) dan janganlah
engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. 45: 18)
4. Konsep dasar reformasi total
Untuk membuktikan bahwa dua syahâdat merupakan dasar
reformasi seorang muslim secara total, kita bisa melihat bagaimana seorang yang
berperadaban jahiliyah yang masuk Islâm. Dahulu ia menyembah berhala, sekarang
sejak syahâdat diucapkan ia berubah dan meyakini bahwa Allâh adalah Dzat yang haq
untuk disembah. Orang-orang yang menyembah Tuhan melalui manifestasi budaya
maupun kultur lokal, mau tidak mau, harus mengikuti ‘model’ menyembah yang
telah disebutkan dalam Alqurân dan sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi
saw.
Berbagai macam bentuk ‘menyembah’, penghormatan terhadap
Tuhan, ataupun ketaatan kepada-Nya hendaknya merujuk pada referensi yang jelas
dan tegas sebagaimana disebutkan dalam Alqurân dan As-Sunnah yang shahîh.
Inilah pilihan orang yang menyadari dan paham akan maksud daripada syahâdatain.
Demikianlah reformasi total itu dilakukan.
Sebagai wujud realisasi syahâdatain maka hanya
penjelasan dari Allâh dan Rasûl-Nya yang didengar dan ditaati. Jika masih ada
penyimpangan `ibâdah, atau ketundukan total kepada selain-Nya, dan segala macam
kesyirikan, maka akan berujung pada nihil amal shâlihnya di
âkhirat.
Dalam syahâdatain terdapat konsep dasar reformasi
diri; berubah ke arah yang lebih baik. Maka apapun jenis, macam dan model
kesyirikan yang mengakar dan melekat pada diri seseorang mesti ditinggalkan dan
dihentikan. Tidak ada alasan yang dibenarkan untuk kembali ke jalan syirik.
(Ummu Yasmin, 2003)
“Sesungguhnya Allâh tidak akan mengubah keadaan suatu kaum
sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. 13: 11)
Sungguh merupakan suatu kenikmatan yang besar manakala suatu
perubahan yang terjadi adalah dari keburukan ke kebaikan, dari mudharat ke
manfaat, dari kezhâliman menuju keadilan, dari marginalisasi menuju
penyejahteraan, dari pembelaan ‘kepentingan’ menuju pembelaan rakyat, dari
orientasi makhlûq menuju orientasi Khâliq.
5. Hakekat da`wah para rasûl
Sejatinya apa yang disebut dalam syahâdat merupakan misi yang
diperjuangkan oleh Nabi Muhammad saw. Melalui da`wah beliau secara
diam-diam dan terang-terangan, da`wah kepada tauhid adalah substansinya.
Dan dengan da`wah tauhid itulah beliau saw harus berhadapan dengan
keluarga (yang menentang), karib kerabat (yang belum terbuka hatinya), dan
masyarakat luas (yang masih bersikeras memegang kuat keyakinan para pendahulu
mereka).
Apa saja yang menjadi penghalang dan hambatan dalam
mensyiarkan tauhid dipandang sebagai bukan masalah. Pada saat umat
menentang, tidak mau mendengar seruan dan malah memusuhinya, beliau
hanya berdo’a “Allâhummahdi qaumî fainnahum lâ ya`lamûn.” Ya Allâh,
tunjukilah kaumku (jalan yang lurus)
karena sesungguhnya mereka tidak tahu dan tidak paham.
Meski Rasûlullâh juga ditolak mentah-mentah dan dilempari
batu hingga terluka dan berdarah di Thâif, beliau tidak marah –marah adalah
lawan kata dari ridhâ. (Muhammad bin `Ali, 2008). Bahkan ketika beliau saw
mendapat tawaran dari malâikat untuk melakukan balasan atas tindakan kaumnya,
beliau tidak mau menerimanya. Beliau justru memberi kesempatan kepada mereka
dan mendo’akan agar kelak mereka menjadi baik, menerima Islâm dan setidaknya
anak-cucu mereka.
Jika Rasûlullâh melakukan perjuangan yang berat seperti di
atas, lantas apa yang telah kaum muslim –hari ini– lakukan dan perjuangkan
untuk Islâm dan kejayaannya? Dan demikian pula yang dilakukan para rasûl
sebelum beliau saw.
Para pengikut Nabi Muhammad saw senantiasa diuji
loyalitasnya; apakah benar-benar taat kepada beliau, atau hanya sekedar
mengikuti formalitas lisan, atau mengakui dan berikrar atas kerasûlan beliau
saw namun sama sekali hatinya tidak pernah tergerak untuk mewujudkan Islâm yang
hadir dalam dirinya, jiwanya dan praktek kehidupan nyata.
“Katakanlah (Muhammad), jika kamu mencintai Allâh,
ikutilah aku, niscaya Allâh mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allâh Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 3: 31)
Maka persaksian pada kebenaran Allâh sebagai Tuhan Yang Esa,
dan Muhammad sebagai utusan Allâh merupakan suatu keniscayaan yang harus
dilakukan oleh para rasûl dan hal ini merupakan misi utama. Dalam mengemban
misi utama ini para rasûl mendapat perlakuan khusus dari Allâh SWT, meski pada
dataran kemanusiaan mereka tetap mendapat kesempatan dan peluang yang sama
dengan siapapun dari kalangan umatnya.
“Katakanlah (Muhammad), Siapa yang lebih kuat
kesaksiannya? Katakanlah, “Allâh, Dia menjadi saksi antara aku dan kamu.
Alqurân ini diwahyukan kepadaku agar dengan itu aku memberi peringatan
kepadamu dan orang yang sampai (Alqurân kepadanya). Dapatkah kamu benar-benar
bersaksi bahwa ada tuhan-tuhan lain bersama Allâh? Katakanlah, “Aku tidak dapat
bersaksi” Katakanlah, “Sesungguhnya hanya Dialah Yang Maha Esa dan aku berlepas
diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allâh).” (QS. 6: 19)
Siapapun rasûl
yang diutus oleh Allâh untuk menyampaikan risâlah, sesungguhnya yang
disampaikan adalah agama yang berbasis tauhid. Apakah umat manusia tidak
menyadari hal ini?
Tidak bisa tidak
siapapun hendaknya mengedepankan wahyu ketimbang rasio –karena inti
Islâm adalah adalah wahyu. (Atho Mudzhar, 2002: 19) Rasio mengikuti bimbingan wahyu dan bukan sebaliknya. Bahwa dalam
setiap umat ada seorang rasûl yang diutus untuk berda`wah dan menyampaikan ajaran
tauhîd. (Perhatikan QS. 16: 36).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar