Moh.In'ami | Membangun Spirit Keikhlâsan
Perhelatan pesta demokrasi sudah di
ambang pintu. Semua orang, mulai dari rakyat jelata, staf kelurahan, petinggi
partai di daerah, politisi, hingga kalangan elit yang berkepentingan mulai
menampakkan frekuensi aktivitas politik.
Apa saja yang
bisa dikerjakan untuk mendulang suara, menarik simpati hingga mengambil hati
masyarakat luas dilakukan terus menerus, tanpa henti. Mengingat, bulan-bulan
ini merupakan injury time bagi para calon legislatif untuk tampil
memperkenalkan diri, berbuat untuk ‘dikenal’ sehingga orang bersimpati, dan
sosialisasi program untuk membentuk opini publik dan sebagainya.
Pun orang-orang
yang merasa berkompeten, memiliki peluang, ataupun merasa diri layak, untuk
menjadi presiden, terus-menerus melakukan propaganda, berkampanye di media
massa maupun elektronik dan lainnya.
Mesin politik
berputar tanpa peduli terhadap kebutuhan privasi umat. Kepedulian ini sering
berhadapan dan beradu kekuatan dengan tembok besar yang bernama kepentingan.
Jika politik
harus berhadapan dengan nilai-nilai agama, adakah kekuatan lain yang mampu
menandingi semua itu? Mungkinkah kedua-duanya berjalan beriringan, sehingga
terjadi sinkronisasi nilai agama dan politik? Atau yang terjadi adalah
‘mempermainkan’ nilai agama dalam praktek berpolitik?
1. Godaan iklan
Setiap hari, kita sadari ataupun tidak, di dalam rumah kita
terdapat promosi dan kampanye besar-besaran melalui iklan di televisi. Apapun
dapat diakses dengan bebas dan dengan mudah menghampiri kita manakala kita
rajin memutar televisi.
Belum pernah kita temukan promosi obat-obatan, makanan, atau
produk lainnya yang dengan jujur menyebutkan kelebihan dan kekurangan secara
bersamaan. Setiap iklan yang lewat bisa dipastikan menyebut dirinya sebagai
yang mujarab, yang top, yang hebat, yang bergizi dan seterusnya. Inilah iming-iming
yang menggiurkan, bisa saja anak-anak bahkan orang dewasa yang turut ‘termakan’
iklan.
Lihat saja, jika anda ingin sehat minumlah obat “B”, maka
anda akan dijamin sehat dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Makanlah “M”
karena mengandung sekian vitamin dan mineral yang dibutuhkan tubuh. Minum dan
makanlah ini dan itu niscaya anda akan merasakan ‘vitalitas’ hidup. Dan
seterusnya. Padahal, publik tidak mendapat penjelasan bahwa dalam minuman dan
makanan itu terdapat zat yang membahayakan bagi tubuh (jika dikonsumsi
berlebihan, terus menerus dan dalam jangka panjang).
Hal ini diperparah oleh budaya kita yang cenderung instan, gak
pake lama, dan serba siap saji. Makanan dan minuman yang alami telah
berangsur-angsur ditinggalkan. Bisa saja orang makan dan minum itu lebih karena
gengsi atau prestise daripada karena pertimbangan unsur kebutuhan dan pemenuhan
gizi.
2. Jerat materialisme
Dari makanan dan minuman orang bergeser ke kebutuhan lain
yang, kadang, cenderung sekedar memenuhi hasrat keinginan diri dan kebanggaan
semata. Apa yang disebut kebutuhan telah bergeser menjadi nilai-nilai yang
bebas dari manfaat dan maslahat yang masuk kategori prioritas, mendesak
dan wajib.
Biasanya, jika uang sudah ada di tangan, keranjang belanja
menjadi penuh berisi dengan barang-barang yang bukan (dalam) daftar belanja
yang direncanakan akan dibeli. Sebuah kebiasaan baru, berangkat ke pasar modern
(swalayan besar). Tempat sedemikian telah menjadi bagian tak terpisahkan bagi
gaya hidup orang-orang yang berlebih secara finansial. Orang sudah mulai
meninggalkan pos keamanan desa untuk berkumpul dan bersosialisasi, mereka
berpindah ke mall, resto atau cafe.
Sungguh menarik dan menyenangkan; gaya hidup baru, akrab
dengan troli, kartu kredit, gadget, dan aneka fun, fashion
dan food. Lambat laun orang menjadi penikmat dan terjerat materialisme,
tanpa terasa.
Dan demikianlah, setiap hal yang dianggap memuaskan diri
dilegitimasi dan dijadikan sebagai atribut yang tidak bisa dipisahkan dari
waktu ke waktu. Dan orang menutup mata terhadap peringatan Allâh SWT dalam QS.
3: 14:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada
apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari
jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang.
Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allâh-lah tempat kembali yang
baik (surga).”
Jika orang telah menjadikan materi sebagai ukuran segala
sesuatu dalam hidup ini; seberapa besar jumlah deposito, berapa jumlah
kendaraan pribadi, rumah elit yang dikoleksi, besar penghasilan, kesuksesan
berarti melimpah secara materi dan lainnya, sungguh ia telah menikmati jeratan
materialisme dan tidak mengindahkan peringatan ayat di atas.
Meski demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian hajat
hidup manusia harus diselesaikan dengan materi. Dan do’a seorang muslim dalam
mengatasi kecintaan terhadap materi ini adalah, “...wa lâ taj`alid dunya
akbaro hamminâ wa lâ mablaga `ilminâ”. Yâ Allâh, Janganlah Engkau
jadikan urusan dunia sebagai cita-cita terbesar kami dan tidak pula kapasitas
pengetahuan kami.
3. Kesenjangan teori & praktek
Hampir semua orang pernah mendengar istilah ikhlâs.
Setidaknya, sebagian orang mengerti dan memahami bahwa ikhlâs merupakan
pekerjaan hati. meski sebagian yang lain hanya mengikuti saja dengan mengatakan
yang penting ikhlâs. Atau setidaknya orang berucap, “Ikhlâskan saja!”.
Jika seseorang melakukan suatu amal atau sebentuk kebaikan,
orang tersebut bisa saja menyebut, “Saya ikhlâs, kok”. Bahwa apa yang
dilakukan (dengan mengatakan ikhlâs itu) boleh menurut hak asasi masing-masing
individu yang mengerjakan suatu amal. Namun, sadar atau tidak, pelaku masih
berhenti pada pengakuan lisân. Selebihnya, siapapun dari kalangan sesamanya
tidak akan tahu sama sekali apa yang tersimpan di hati sang pelaku. Maka,
pernyataan ikhlâs saja tidak cukup.
Apa yang disebut ikhlâs merupakan rûh daripada amal. Jika
suatu perbuatan tidak didasari keikhlâsan maka ibarat manusia yang tidak
memiliki rûh. Untuk itu, amal yang dilakukan oleh siapapun, berdasarkan
perintah Allâh dan Rasûl-Nya, hendaknya ‘menafasi’ setiap gerak dan laku dari
amal itu dengan ikhlâs.
Sayangnya, antara lahir dan batin seorang manusia selalu
mengalami tarik-menarik, mengikuti kecenderungannya; jika yang lahir lebih dominan
maka fokus perhatiannya hanya sebatas dunia saja dan menafikan âkhirat. Jika
yang batin lebih kuat maka orang menjadi menganggap perkara dunia sebagai hal
yang sepele. Sedangkan agama mengajarkan untuk seimbang, mendahulukan
âkhirat daripada urusan dunia.
“walal âkhiratu khairul laka minal ûlâ”, “dan
sungguh âkhirat itu lebih baik bagimu ketimbang dunia” (QS. 93: 4),
meski demikian Islâm mengingatkan untuk “wabtagi fîmâ
âtâkallâh addâral âkhirata walâ tansa nashîbaka minad dunyâ”, “dan
carilah apa yang bisa kamu unduh di negeri âkhirat, tapi jangan lupa bagianmu
daripada dunia” (QS. 28: 77).
Di sinilah âkhirat mendapat prioritas. Pengutamaan âkhirat
mengindikasikan arti penting, penguatan dan keabadian. Namun jika yang terjadi
sebaliknya, dunia (materi) yang menjadi pilihan, maka hal ini hanya berpangkal
pada kekuatan rasio dan keinginan manusia belaka. Tegasnya, sangat bertentangan
dengan wahyu.
4. Mengajak ikhlâs
Memurnikan setiap amal perbuatan yang dilakukan merupakan
wujud pengembalian amal kepada Allâh SWT. Ikhlâs itu murni, lillâh. Jika
ada pihak yang menunggangi (sehingga orang menjadi tidak ikhlâs) pasti itu
adalah nafsu yang meminta ‘bagian’nya. Jika nafsu diikuti, maka orang
berpenampilan amal baik dan riyâ’ yang menjadi hiasan pribadinya.
Menuju keikhlâsan yang telah dituntunkan Allâh dan Rasûl-Nya
adalah dengan mengoptimalkan setiap amal dengan mewujudkan kesadaran bahwa
orang mampu beramal itu merupakan izin, anugerah dan pertolongan-Nya. Itu
pasti.
Saya, anda, kita dan orang-orang yang mengaku diri berîmân
hendaknya meminimalisir dan menihilkan motivasi lain dalam beramal maupun
bekerja; supaya dipuji, mendapat perhatian orang, menjilat, atau kepentingan
rendahan temporer –harus jauh-jauh disingkirkan dari mindset pribadi. Maka,
menjadi penting untuk memperhatikan substansi QS. 9: 105.
Untuk itulah, menggapai ridhâ Allâh dalam segala hal menjadi
arus utama pemikiran dan tindakan seorang muslim. Melalui kesadaran pemerolehan
ridhâ itulah seorang muslim menjadi harap-cemas dalam setiap amal perbuatan.
Kesadaran yang berbasis harap-cemas ini mengantarkan pribadi seorang muslim
untuk bertawakkal dan tulus dalam mengerjakan setiap kebaikan.
QS. 11: 15 menegaskan
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan
perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di
dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.”
Mengucapkan
ikhlâs sangatlah mudah. Tak seorangpun yang kesulitan. Hanya saja ucapan itu
belum memberi bekas apapun bagi pengucap sendiri, apalagi bagi orang lain. Maka
ikhlâs hendaknya dibarengi dengan suatu wujud amal nyata.
Merealisasikan
ikhlâs itu dalam setiap amal merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar
oleh siapapun. Oleh sebab, tidak ada suatu amal perbuatan yang dilakukan tanpa
keikhlâsan. Padahal untuk diterimanya suatu amal adalah (salah satunya) adanya
wujud dan perasaan ikhlâs dalam mengerjakannya. Tanpa pamrih apapun.
Pernahkah anda
menyumbang suatu pembangunan masjid atau lainnya tanpa menyebut nama anda?
Atau, mampukah anda bersedekah dengan tangan kanan, sementara tangan kiri anda
tidak tahu apa yang dikerjakan tangan kanan anda?
Untuk ikhlâs,
kerjakan amal itu dengan hanya berfokus padanya, mengkhususkan harapan hanya
kepada Allâh SWT, tidak menjadikan hati berpaling dari amal, memurnikan setiap
amal berdasar pada bimbingan Allâh dan Rasûl-Nya.
Jadi, ikhlâs itu
terwujud dalam bentuk amal nyata yang berdasarkan pada ketaatan pada perintah,
baik dari Allâh maupun Rasûl-Nya. Bukan malah mengada-ada dalam lingkup
praktek beragama.
Firman Allâh: “Ikutilah
orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (QS. 36: 21)
Siapakah di
antara kita yang telah mampu mendidik dengan penuh penuh keikhlâsan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar