Senin, 30 April 2018

Belajar Ikhlas,Jadikan Ikhlas sebagai Pembelajaran


Moh.In'ami | Membangun Spirit Keikhlâsan


Perhelatan pesta demokrasi sudah di ambang pintu. Semua orang, mulai dari rakyat jelata, staf kelurahan, petinggi partai di daerah, politisi, hingga kalangan elit yang berkepentingan mulai menampakkan frekuensi aktivitas politik.  
Apa saja yang bisa dikerjakan untuk mendulang suara, menarik simpati hingga mengambil hati masyarakat luas dilakukan terus menerus, tanpa henti. Mengingat, bulan-bulan ini merupakan injury time bagi para calon legislatif untuk tampil memperkenalkan diri, berbuat untuk ‘dikenal’ sehingga orang bersimpati, dan sosialisasi program untuk membentuk opini publik dan sebagainya.
Pun orang-orang yang merasa berkompeten, memiliki peluang, ataupun merasa diri layak, untuk menjadi presiden, terus-menerus melakukan propaganda, berkampanye di media massa maupun elektronik dan lainnya.
Mesin politik berputar tanpa peduli terhadap kebutuhan privasi umat. Kepedulian ini sering berhadapan dan beradu kekuatan dengan tembok besar yang bernama kepentingan.
Jika politik harus berhadapan dengan nilai-nilai agama, adakah kekuatan lain yang mampu menandingi semua itu? Mungkinkah kedua-duanya berjalan beriringan, sehingga terjadi sinkronisasi nilai agama dan politik? Atau yang terjadi adalah ‘mempermainkan’ nilai agama dalam praktek berpolitik?

1. Godaan iklan

Setiap hari, kita sadari ataupun tidak, di dalam rumah kita terdapat promosi dan kampanye besar-besaran melalui iklan di televisi. Apapun dapat diakses dengan bebas dan dengan mudah menghampiri kita manakala kita rajin memutar televisi.
Belum pernah kita temukan promosi obat-obatan, makanan, atau produk lainnya yang dengan jujur menyebutkan kelebihan dan kekurangan secara bersamaan. Setiap iklan yang lewat bisa dipastikan menyebut dirinya sebagai yang mujarab, yang top, yang hebat, yang bergizi dan seterusnya. Inilah iming-iming yang menggiurkan, bisa saja anak-anak bahkan orang dewasa yang turut ‘termakan’ iklan.
Lihat saja, jika anda ingin sehat minumlah obat “B”, maka anda akan dijamin sehat dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Makanlah “M” karena mengandung sekian vitamin dan mineral yang dibutuhkan tubuh. Minum dan makanlah ini dan itu niscaya anda akan merasakan ‘vitalitas’ hidup. Dan seterusnya. Padahal, publik tidak mendapat penjelasan bahwa dalam minuman dan makanan itu terdapat zat yang membahayakan bagi tubuh (jika dikonsumsi berlebihan, terus menerus dan dalam jangka panjang).
Hal ini diperparah oleh budaya kita yang cenderung instan, gak pake lama, dan serba siap saji. Makanan dan minuman yang alami telah berangsur-angsur ditinggalkan. Bisa saja orang makan dan minum itu lebih karena gengsi atau prestise daripada karena pertimbangan unsur kebutuhan dan pemenuhan gizi.

2. Jerat materialisme

Dari makanan dan minuman orang bergeser ke kebutuhan lain yang, kadang, cenderung sekedar memenuhi hasrat keinginan diri dan kebanggaan semata. Apa yang disebut kebutuhan telah bergeser menjadi nilai-nilai yang bebas dari manfaat dan maslahat yang masuk kategori prioritas, mendesak dan wajib.
Biasanya, jika uang sudah ada di tangan, keranjang belanja menjadi penuh berisi dengan barang-barang yang bukan (dalam) daftar belanja yang direncanakan akan dibeli. Sebuah kebiasaan baru, berangkat ke pasar modern (swalayan besar). Tempat sedemikian telah menjadi bagian tak terpisahkan bagi gaya hidup orang-orang yang berlebih secara finansial. Orang sudah mulai meninggalkan pos keamanan desa untuk berkumpul dan bersosialisasi, mereka berpindah ke mall, resto atau cafe.
Sungguh menarik dan menyenangkan; gaya hidup baru, akrab dengan troli, kartu kredit, gadget, dan aneka fun, fashion dan food. Lambat laun orang menjadi penikmat dan terjerat materialisme, tanpa terasa.
Dan demikianlah, setiap hal yang dianggap memuaskan diri dilegitimasi dan dijadikan sebagai atribut yang tidak bisa dipisahkan dari waktu ke waktu. Dan orang menutup mata terhadap peringatan Allâh SWT dalam QS. 3: 14:
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allâh-lah tempat kembali yang baik (surga).”
Jika orang telah menjadikan materi sebagai ukuran segala sesuatu dalam hidup ini; seberapa besar jumlah deposito, berapa jumlah kendaraan pribadi, rumah elit yang dikoleksi, besar penghasilan, kesuksesan berarti melimpah secara materi dan lainnya, sungguh ia telah menikmati jeratan materialisme dan tidak mengindahkan peringatan ayat di atas.
Meski demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian hajat hidup manusia harus diselesaikan dengan materi. Dan do’a seorang muslim dalam mengatasi kecintaan terhadap materi ini adalah, “...wa lâ taj`alid dunya akbaro hamminâ wa lâ mablaga `ilminâ”. Yâ Allâh, Janganlah Engkau jadikan urusan dunia sebagai cita-cita terbesar kami dan tidak pula kapasitas pengetahuan kami.

3. Kesenjangan teori & praktek

Hampir semua orang pernah mendengar istilah ikhlâs. Setidaknya, sebagian orang mengerti dan memahami bahwa ikhlâs merupakan pekerjaan hati. meski sebagian yang lain hanya mengikuti saja dengan mengatakan yang penting ikhlâs. Atau setidaknya orang berucap, “Ikhlâskan saja!”.
Jika seseorang melakukan suatu amal atau sebentuk kebaikan, orang tersebut bisa saja menyebut, “Saya ikhlâs, kok”. Bahwa apa yang dilakukan (dengan mengatakan ikhlâs itu) boleh menurut hak asasi masing-masing individu yang mengerjakan suatu amal. Namun, sadar atau tidak, pelaku masih berhenti pada pengakuan lisân. Selebihnya, siapapun dari kalangan sesamanya tidak akan tahu sama sekali apa yang tersimpan di hati sang pelaku. Maka, pernyataan ikhlâs saja tidak cukup.
Apa yang disebut ikhlâs merupakan rûh daripada amal. Jika suatu perbuatan tidak didasari keikhlâsan maka ibarat manusia yang tidak memiliki rûh. Untuk itu, amal yang dilakukan oleh siapapun, berdasarkan perintah Allâh dan Rasûl-Nya, hendaknya ‘menafasi’ setiap gerak dan laku dari amal itu dengan ikhlâs.
Sayangnya, antara lahir dan batin seorang manusia selalu mengalami tarik-menarik, mengikuti kecenderungannya; jika yang lahir lebih dominan maka fokus perhatiannya hanya sebatas dunia saja dan menafikan âkhirat. Jika yang batin lebih kuat maka orang menjadi menganggap perkara dunia sebagai hal yang sepele. Sedangkan agama mengajarkan untuk seimbang, mendahulukan âkhirat daripada urusan dunia.
walal âkhiratu khairul laka minal ûlâ”, “dan sungguh âkhirat itu lebih baik bagimu ketimbang dunia” (QS. 93: 4),
meski demikian Islâm mengingatkan untuk “wabtagi fîmâ âtâkallâh addâral âkhirata walâ tansa nashîbaka minad dunyâ”, “dan carilah apa yang bisa kamu unduh di negeri âkhirat, tapi jangan lupa bagianmu daripada dunia” (QS. 28: 77).
Di sinilah âkhirat mendapat prioritas. Pengutamaan âkhirat mengindikasikan arti penting, penguatan dan keabadian. Namun jika yang terjadi sebaliknya, dunia (materi) yang menjadi pilihan, maka hal ini hanya berpangkal pada kekuatan rasio dan keinginan manusia belaka. Tegasnya, sangat bertentangan dengan wahyu.

4. Mengajak ikhlâs

Memurnikan setiap amal perbuatan yang dilakukan merupakan wujud pengembalian amal kepada Allâh SWT. Ikhlâs itu murni, lillâh. Jika ada pihak yang menunggangi (sehingga orang menjadi tidak ikhlâs) pasti itu adalah nafsu yang meminta ‘bagian’nya. Jika nafsu diikuti, maka orang berpenampilan amal baik dan riyâ’ yang menjadi hiasan pribadinya.
Menuju keikhlâsan yang telah dituntunkan Allâh dan Rasûl-Nya adalah dengan mengoptimalkan setiap amal dengan mewujudkan kesadaran bahwa orang mampu beramal itu merupakan izin, anugerah dan pertolongan-Nya. Itu pasti.
Saya, anda, kita dan orang-orang yang mengaku diri berîmân hendaknya meminimalisir dan menihilkan motivasi lain dalam beramal maupun bekerja; supaya dipuji, mendapat perhatian orang, menjilat, atau kepentingan rendahan temporer –harus jauh-jauh disingkirkan dari mindset pribadi. Maka, menjadi penting untuk memperhatikan substansi QS. 9: 105.
Untuk itulah, menggapai ridhâ Allâh dalam segala hal menjadi arus utama pemikiran dan tindakan seorang muslim. Melalui kesadaran pemerolehan ridhâ itulah seorang muslim menjadi harap-cemas dalam setiap amal perbuatan. Kesadaran yang berbasis harap-cemas ini mengantarkan pribadi seorang muslim untuk bertawakkal dan tulus dalam mengerjakan setiap kebaikan.
QS. 11: 15 menegaskan
Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.”
Mengucapkan ikhlâs sangatlah mudah. Tak seorangpun yang kesulitan. Hanya saja ucapan itu belum memberi bekas apapun bagi pengucap sendiri, apalagi bagi orang lain. Maka ikhlâs hendaknya dibarengi dengan suatu wujud amal nyata.
Merealisasikan ikhlâs itu dalam setiap amal merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar oleh siapapun. Oleh sebab, tidak ada suatu amal perbuatan yang dilakukan tanpa keikhlâsan. Padahal untuk diterimanya suatu amal adalah (salah satunya) adanya wujud dan perasaan ikhlâs dalam mengerjakannya. Tanpa pamrih apapun.
Pernahkah anda menyumbang suatu pembangunan masjid atau lainnya tanpa menyebut nama anda? Atau, mampukah anda bersedekah dengan tangan kanan, sementara tangan kiri anda tidak tahu apa yang dikerjakan tangan kanan anda?
Untuk ikhlâs, kerjakan amal itu dengan hanya berfokus padanya, mengkhususkan harapan hanya kepada Allâh SWT, tidak menjadikan hati berpaling dari amal, memurnikan setiap amal berdasar pada bimbingan Allâh dan Rasûl-Nya.
Jadi, ikhlâs itu terwujud dalam bentuk amal nyata yang berdasarkan pada ketaatan pada perintah, baik dari Allâh maupun Rasûl-Nya. Bukan malah mengada-ada dalam lingkup praktek beragama.
Firman Allâh: “Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. 36: 21)
Siapakah di antara kita yang telah mampu mendidik dengan penuh penuh keikhlâsan? ž





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...