Minggu, 15 April 2018

ِAktualisasi DOA


Aktualisasi Doa dalam Hidup Keseharian
Moh.In’ami

Dari sahabat Anas ra berkata, “Kebanyakan doa Rasulullah saw adalah Ya Allah, berilah kami di dunia kebaikan dan di akhirat kebaikan, serta peliharalah kami dari siksa api neraka.”
(HR. Albukhari dan Muslim)
T
H
adits Nabi saw di atas sangat relevan dengan surat Al-Baqarah ayat 201: Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.”
Menjadi bagian penting dalam kegiatan kita adalah memproyeksikan setiap yang kita baca dan kita mohon dalam doa sebagai langkah dan bentuk konkrit ikhtiar dalam kehidupan nyata.
Operasionalisasi doa yang kita panjatkan setiap kali berdoa merupakan tugas lanjutan dari upaya kita berdoa setiap hari. Kenyataannya doa masih menjadi bagian yang wajib kita lakukan ketimbang kita terpanggil untuk menjalaninya dan sadar sepenuh hati menikmatinya dalam upaya mendekatkan diri kepada Sang Khaliq, Allah Ta’ala.
Jika Allah telah membuka pintu rahmat bagi setiap hamba-Nya yang dengan sungguh-sungguh mau dan serius ingin mendapatkannya, tentu Dia Yang Maha Pengasih akan menunjukkan jalan ke arahnya.

Ikuti Tuntunan

Semua sisi kehidupan ini telah diatur oleh Allah Ta’ala. Tidak ada lagi ruang, waktu atau bagian lain dari yang disebut hidup, lepas dari aturan dan ketentuan yang pasti dari-Nya. Jika ada orang yang mencoba untuk berkelit, menghindar atau dengan sengaja tidak mengakui adanya aturan ilahi itu sungguh merupakan bentuk kebutaan yang nyata.
Adanya tuntunan yang datang dari Allah melalui rasul-Nya merupakan bukti bahwa Dia Yang Maha Pemurah tidak menciptakan apapun tanpa lisensi atau petunjuk pemakaian. Sebagaimana pada benda-benda yang dibuat manusia memiliki aturan yang hendaknya diikuti oleh pengguna, agar keawetan dan fungsi menjadi maksimal dan tidak membahayakan. Itulah hasil temuan manusia yang sering disebut teknologi. Lebih-lebih ciptaan Allah, Dialah Al-Badi’ dan Al-Mushawwir.
Setiap yang hidup memiliki tujuan, dan tujuan manusia yang hidup adalah mengabdi dan menyembah Allah Ta’ala. Orientasi sedemikian hendaknya kita bawa dalam berbagai ranah kehidupan, tidak ada ucap, kata atau perilaku yang bebas dari orientasi ini –menunjukkan bahwa diri kita adalah ‘abdullah. Tujuan hidup yang hakiki hanya dapat difokuskan bagi siapa saja yang mau memperjuangkannya, dan pertolongan Allah sajalah yang membimbing menujunya.

Sebuah Upaya

Sebagian individu dari kaum Muslim masih belum sepenuhnya menikmati statusnya sebagai orang Islam. Banyak doa yang dipanjatkan kepada Allah Ta’ala, tetapi orang buru-buru menagih dan meminta-Nya untuk segera dikabulkan semua permohonannya.
Sementara doa adalah kesadaran penting dari pribadi hamba Allah. Seorang Muslim begitu identik dengan jiwa santri –yang sebenarnya erat sekali dengan dunia pesantren. Santri telah banyak dijadikan label oleh berbagai kalangan, bahwa individu dan komunitas dikatakan ‘santri’ apabila memiliki perilaku hidup (suluk) islami. Meski pada saat ini predikat santri –dalam arti lebih luas– tersebut tidak didominasi oleh kalangan pesantren  saja. Hal ini dapat dicermati dalam relasi kehidupan individu dan sosial di mana seorang ‘santri’ menjadi barometer dalam setiap gerak dan perilaku kehidupan yang selalu mencerminkan pola hidup berkah dan bermanfaat bagi orang lain. Tegasnya, ia sangat konsisten dalam meniti jalan syari’at.
Sebuah upaya dan ikhtiar untuk mewujudkan doa dan mengejawantahkannya bisa dilakukan melalui terminologi ‘santri’ –yang terdiri dari huruf sin, nun, ta’, ra’ dan ya’. Implikasi maknanya sebagai berikut:
(1)  huruf sin, “satirun lil ‘uyub”, orang yang menutup segala cela; Sebagai konsekuensi, seorang santri adalah pribadi yang bertradisi dan membiasakan diri “menutup aib” saudaranya, sebab ia memandang bahwa cela saudaranya adalah cela bagi dirinya. Di mana hal tersebut menunjukkan bahwa seorang santri memiliki komitmen untuk menjaga nama baik saudaranya sesama Muslim, dengan tanpa mengabaikan unsur “wa tawashaw bil haq”. Demikian pula ajaran Rasulullah saw yang berkenaan dengan mensikapi aib orang lain.
Karakter yang hendak dibangun adalah jiwa santri yang memiliki spirit untuk meng-islah (baca: memperbaiki) diri sendiri dan –lebih-lebih jika berkenaan– dengan orang lain tanpa merugikan atau menjatuhkan martabat yang bersangkutan. Sebagaimana disinyalir dalam Alqur’an:
Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan”. (QS. Hud: 88)
(2) huruf nun, “naibul ‘ulama”, pengganti para ulama; Santri merupakan generasi penerus bagi perjuangan ulama. Betapapun kondisi keberadaan santri dan kemampuannya, tetap saja ia dituntut untuk mampu melanjutkan tongkat estafet perjuangan para ulama terdahulu (ingat hadits: al-‘ulamau waratsatul anbiya’). Semakin sadar seseorang akan kenyataan ini, semakin besar pula rasa tanggungjawabnya untuk menuntut ilmu dan serius membekali diri dalam menyongsong setiap tantangan dan persoalan yang menghadang. Akan menjadi mustahil untuk menggapai tingkatan pengganti para ulama tersebut tanpa adanya persiapan dan mujahadah (baca: kejuangan dan kesungguhan) dalam pengembangan diri secara emosional, intelektual dan spiritual.
Apa yang menjadi karakter seorang santri di sini lebih identik dengan firman Allah yang menyadarkan setiap insan Muslim: Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama”. (QS. Fathir: 28) Yang dimaksud karakter kedua adalah memiliki jiwa yang khosyah kepada Allah, sebab yang demikian pula yang dicontohkan oleh para ulama terdahulu. Tidak ada rasa takut kepada siapapun kecuali kepada Allah. Meski pada kenyataannya sekarang justru sebaliknya, orang lebih takut kehilangan ‘sesuatu’ ketimbang takut kepada-Nya. Jika demikian yang terjadi, seseorang malahan jauh dari yang dikehendaki oleh ayat tersebut.
(3) huruf ta’, “taibun ‘anidz dzunub”, bertaubat dari semua dosa. Santri memiliki karakter kuat dan berkesadaran tinggi untuk segera melakukan taubat atas segala dosa. Pada saat terjadi apa yang semestinya tidak boleh terjadi, karena terpaksa atau lalai, tergelincir atau tergoda, seorang santri tanpa menunda kesempatan yang ada, bersegera untuk ‘kembali’ ke jalan Allah Ta’ala. Maka taubat adalah satu-satunya jalan untuk menghapus segala dosa. Demikian juga halnya dengan setiap khilaf atau salah yang dilakukan terhadap sesama manusia, disengaja atau tidak, seorang santri berupaya untuk segera meminta maaf kepada orang yang didzalimi atau dirugikan. Sebab hanya dengan maaf dari yang bersangkutan, ia akan terbebas dari perilaku dzalim dan aniaya.
Karakter yang hendak dibangun, dalam konsep ini, mengakar pada kemauan diri untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf (dalam hubungan horizontal). Sedang dalam kaitannya dengan kesalahan terhadap Tuhan (dalam hubungan vertikal), oleh sebab pelanggaran terhadap larangan Allah, dosa dan maksiat, maka taubat adalah jalan yang tepat untuk penyelesaiannya. Allah memberikan solusi: Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya)”. (QS. At-Tahrim: 8)
Sehubungan dengan ayat di atas, seorang santri tidak mengenal istilah “menunda” dalam bertaubat. Motivasi yang kuat untuk melakukan taubat dengan segera adalah bagian dari karakter seorang santri.
(4) huruf ra’, “ragibun fil jihad”, suka berjuang; Seorang santri mengaktualisasikan diri sebagai manusia yang mempunyai kecintaan untuk berjuang di jalan yang diridhai Allah Ta‘ala. Betapapun eksistensi santri dalam berbagai kondisi maupun kemampuannya, tetap saja ia dituntut untuk mampu melanjutkan perjuangan para ulama. Perjuangan yang dimaksud adalah memperjuangkan agama Islam agar tetap survive (baca: bertahan hidup dan tegak di muka bumi) dan ‘diserap’ oleh masyarakat dan umat, sehingga tidak lagi timbul persepsi yang keliru tentang Islam. Perjuangan di setiap aspek kehidupan, sesuai dengan kompetensi dan potensi yang dimiliki oleh masing-masing insan Muslim, merupakan sebuah keharusan. Muara setiap perjuangan itu adalah menuju mardhatillah. Merengkuh keridhaan Allah Ta‘ala.
Santri yang berkarakter daya juang tinggi merasa terpanggil untuk tetap konsisten di jalur dakwah, meninggikan kalimat Allah dalam situasi dan kondisi apapun. Hal ini merupakan pemaknaan dari ayat berikut:
Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Al-Ankabut: 6)
Semakin besar keinsyafan seseorang untuk berjuang maka semakin kuat pula untuk mendedikasikan dirinya dalam perjuangan fi sabilillah.
(5) huruf ya’, “yahya bil ‘ilmi wal adabi”, menjalani hidup dengan bekal ilmu dan budi pekerti; Santri merupakan representasi dari karakter pribadi yang dapat hidup dengan ilmu dan budi pekerti. Sungguh berharganya ilmu dan budi pekerti bagi seorang santri. Keduanya merupakan perhiasan yang menyejukkan dalam kehidupan santri. Urgensi ilmu yang berdampingan dengan budi pekerti adalah suatu keniscayaan dan harus berjalan beriringan. Jika salah satu dari dua hal tersebut tidak ada, tentu jalannya akan menjadi pincang.
Nyatalah janji Allah Ta‘ala: Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadalah: 11),
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)
Kedua ayat di atas merupakan dalil untuk tercapainya ilmu dan budi pekerti yang menjadi karakter seorang santri. Integrasi keduanya dalam diri seorang santri akan melahirkan sosok yang maslahat secara individu maupun sosial.
Demikianlah cerminan pribadi seorang Muslim. Kehidupannya jauh dari pengaruh kapitalisme, liberalisme, materialisme dan hedonisme. Apresiasi seorang Muslim terhadap lima prinsip santri di atas dan aksentuasinya yang tulus –lillahi Ta’ala– dalam setiap amal lahiri dan batini sesuai dengan yang telah dituntunkan oleh Allah dan Rasul-Nya adalah sebuah manifestasi doa seorang hamba yang shaleh terhadap Rabb-nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...