Aktualisasi Doa dalam Hidup Keseharian
Moh.In’ami
Dari
sahabat Anas ra berkata, “Kebanyakan doa Rasulullah saw adalah Ya Allah,
berilah kami di dunia kebaikan dan di akhirat kebaikan, serta peliharalah kami
dari siksa api neraka.”
(HR.
Albukhari dan Muslim)
T
H
|
adits
Nabi saw di atas sangat relevan dengan surat Al-Baqarah ayat 201: “Dan
di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami
kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa
neraka.”
Menjadi
bagian penting dalam kegiatan kita adalah memproyeksikan setiap yang kita baca
dan kita mohon dalam doa sebagai langkah dan bentuk konkrit ikhtiar
dalam kehidupan nyata.
Operasionalisasi
doa yang kita panjatkan setiap kali berdoa merupakan tugas lanjutan dari upaya
kita berdoa setiap hari. Kenyataannya doa masih menjadi bagian yang wajib kita
lakukan ketimbang kita terpanggil untuk menjalaninya dan sadar sepenuh hati
menikmatinya dalam upaya mendekatkan diri kepada Sang Khaliq, Allah Ta’ala.
Jika
Allah telah membuka pintu rahmat bagi setiap hamba-Nya yang dengan
sungguh-sungguh mau dan serius ingin mendapatkannya, tentu Dia Yang Maha
Pengasih akan menunjukkan jalan ke arahnya.
Ikuti
Tuntunan
Semua
sisi kehidupan ini telah diatur oleh Allah Ta’ala. Tidak ada lagi ruang, waktu
atau bagian lain dari yang disebut hidup, lepas dari aturan dan ketentuan yang
pasti dari-Nya. Jika ada orang yang mencoba untuk berkelit, menghindar atau
dengan sengaja tidak mengakui adanya aturan ilahi itu sungguh merupakan bentuk
kebutaan yang nyata.
Adanya
tuntunan yang datang dari Allah melalui rasul-Nya merupakan bukti bahwa Dia Yang
Maha Pemurah tidak menciptakan apapun tanpa lisensi atau petunjuk pemakaian.
Sebagaimana pada benda-benda yang dibuat manusia memiliki aturan yang hendaknya
diikuti oleh pengguna, agar keawetan dan fungsi menjadi maksimal dan tidak
membahayakan. Itulah hasil temuan manusia yang sering disebut teknologi.
Lebih-lebih ciptaan Allah, Dialah Al-Badi’ dan Al-Mushawwir.
Setiap
yang hidup memiliki tujuan, dan tujuan manusia yang hidup adalah mengabdi dan
menyembah Allah Ta’ala. Orientasi sedemikian hendaknya kita bawa dalam berbagai
ranah kehidupan, tidak ada ucap, kata atau perilaku yang bebas dari orientasi
ini –menunjukkan bahwa diri kita adalah ‘abdullah. Tujuan hidup yang
hakiki hanya dapat difokuskan bagi siapa saja yang mau memperjuangkannya, dan pertolongan
Allah sajalah yang membimbing menujunya.
Sebuah
Upaya
Sebagian
individu dari kaum Muslim masih belum sepenuhnya menikmati statusnya sebagai
orang Islam. Banyak doa yang dipanjatkan kepada Allah Ta’ala, tetapi orang
buru-buru menagih dan meminta-Nya untuk segera dikabulkan semua permohonannya.
Sementara
doa adalah kesadaran penting dari pribadi hamba Allah. Seorang Muslim begitu
identik dengan jiwa santri –yang sebenarnya erat sekali dengan dunia pesantren.
Santri telah banyak dijadikan label oleh berbagai kalangan, bahwa individu dan
komunitas dikatakan ‘santri’ apabila memiliki perilaku hidup (suluk)
islami. Meski pada saat ini predikat santri –dalam arti lebih luas– tersebut
tidak didominasi oleh kalangan pesantren
saja. Hal ini dapat dicermati dalam relasi kehidupan individu dan sosial
di mana seorang ‘santri’ menjadi barometer dalam setiap gerak dan perilaku
kehidupan yang selalu mencerminkan pola hidup berkah dan bermanfaat bagi orang
lain. Tegasnya, ia sangat konsisten dalam meniti jalan syari’at.
Sebuah
upaya dan ikhtiar untuk mewujudkan doa dan mengejawantahkannya bisa dilakukan
melalui terminologi ‘santri’ –yang terdiri dari huruf sin, nun, ta’,
ra’ dan ya’. Implikasi maknanya sebagai berikut:
(1) huruf sin, “satirun
lil ‘uyub”, orang yang menutup segala cela; Sebagai konsekuensi, seorang
santri adalah pribadi yang bertradisi dan membiasakan diri “menutup aib”
saudaranya, sebab ia memandang bahwa cela saudaranya adalah cela bagi dirinya.
Di mana hal tersebut menunjukkan bahwa seorang santri memiliki komitmen untuk
menjaga nama baik saudaranya sesama Muslim, dengan tanpa mengabaikan unsur “wa
tawashaw bil haq”. Demikian pula ajaran Rasulullah saw yang berkenaan
dengan mensikapi aib orang lain.
Karakter
yang hendak dibangun adalah jiwa santri yang memiliki spirit untuk meng-islah
(baca: memperbaiki) diri sendiri dan –lebih-lebih jika berkenaan– dengan orang
lain tanpa merugikan atau menjatuhkan martabat yang bersangkutan. Sebagaimana
disinyalir dalam Alqur’an:
“Aku tidak bermaksud
kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan”.
(QS. Hud: 88)
(2)
huruf nun, “naibul ‘ulama”, pengganti para ulama; Santri
merupakan generasi penerus bagi perjuangan ulama. Betapapun kondisi keberadaan
santri dan kemampuannya, tetap saja ia dituntut untuk mampu melanjutkan tongkat
estafet perjuangan para ulama terdahulu (ingat hadits: al-‘ulamau waratsatul
anbiya’). Semakin sadar seseorang akan kenyataan ini, semakin besar pula
rasa tanggungjawabnya untuk menuntut ilmu dan serius membekali diri dalam
menyongsong setiap tantangan dan persoalan yang menghadang. Akan menjadi
mustahil untuk menggapai tingkatan pengganti para ulama tersebut tanpa adanya
persiapan dan mujahadah (baca: kejuangan dan kesungguhan) dalam
pengembangan diri secara emosional, intelektual dan spiritual.
Apa
yang menjadi karakter seorang santri di sini lebih identik dengan firman Allah
yang menyadarkan setiap insan Muslim: “Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama”. (QS.
Fathir: 28) Yang dimaksud karakter kedua adalah memiliki jiwa yang khosyah
kepada Allah, sebab yang demikian pula yang dicontohkan oleh para ulama
terdahulu. Tidak ada rasa takut kepada siapapun kecuali kepada Allah. Meski
pada kenyataannya sekarang justru sebaliknya, orang lebih takut kehilangan
‘sesuatu’ ketimbang takut kepada-Nya. Jika demikian yang terjadi, seseorang
malahan jauh dari yang dikehendaki oleh ayat tersebut.
(3)
huruf ta’, “taibun ‘anidz dzunub”, bertaubat dari semua dosa.
Santri memiliki karakter kuat dan berkesadaran tinggi untuk segera melakukan
taubat atas segala dosa. Pada saat terjadi apa yang semestinya tidak boleh
terjadi, karena terpaksa atau lalai, tergelincir atau tergoda, seorang santri
tanpa menunda kesempatan yang ada, bersegera untuk ‘kembali’ ke jalan Allah
Ta’ala. Maka taubat adalah satu-satunya jalan untuk menghapus segala dosa.
Demikian juga halnya dengan setiap khilaf atau salah yang dilakukan terhadap
sesama manusia, disengaja atau tidak, seorang santri berupaya untuk segera
meminta maaf kepada orang yang didzalimi atau dirugikan. Sebab hanya dengan
maaf dari yang bersangkutan, ia akan terbebas dari perilaku dzalim dan aniaya.
Karakter
yang hendak dibangun, dalam konsep ini, mengakar pada kemauan diri untuk
mengakui kesalahan dan meminta maaf (dalam hubungan horizontal). Sedang dalam
kaitannya dengan kesalahan terhadap Tuhan (dalam hubungan vertikal), oleh sebab
pelanggaran terhadap larangan Allah, dosa dan maksiat, maka taubat adalah jalan
yang tepat untuk penyelesaiannya. Allah memberikan solusi: “Hai
orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat
yang semurni-murninya)”. (QS. At-Tahrim: 8)
Sehubungan
dengan ayat di atas, seorang santri tidak mengenal istilah “menunda” dalam
bertaubat. Motivasi yang kuat untuk melakukan taubat dengan segera adalah
bagian dari karakter seorang santri.
(4)
huruf ra’, “ragibun fil jihad”, suka berjuang; Seorang santri
mengaktualisasikan diri sebagai manusia yang mempunyai kecintaan untuk berjuang
di jalan yang diridhai Allah Ta‘ala. Betapapun eksistensi santri dalam berbagai
kondisi maupun kemampuannya, tetap saja ia dituntut untuk mampu melanjutkan
perjuangan para ulama. Perjuangan yang dimaksud adalah memperjuangkan agama
Islam agar tetap survive (baca: bertahan hidup dan tegak di muka bumi)
dan ‘diserap’ oleh masyarakat dan umat, sehingga tidak lagi timbul persepsi
yang keliru tentang Islam. Perjuangan di setiap aspek kehidupan, sesuai dengan
kompetensi dan potensi yang dimiliki oleh masing-masing insan Muslim, merupakan
sebuah keharusan. Muara setiap perjuangan itu adalah menuju mardhatillah.
Merengkuh keridhaan Allah Ta‘ala.
Santri
yang berkarakter daya juang tinggi merasa terpanggil untuk tetap konsisten di
jalur dakwah, meninggikan kalimat Allah dalam situasi dan kondisi
apapun. Hal ini merupakan pemaknaan dari ayat berikut:
“Dan barangsiapa
yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu)
dari semesta alam.” (QS. Al-Ankabut: 6)
Semakin
besar keinsyafan seseorang untuk berjuang maka semakin kuat pula untuk
mendedikasikan dirinya dalam perjuangan fi sabilillah.
(5)
huruf ya’, “yahya bil ‘ilmi wal adabi”, menjalani hidup dengan
bekal ilmu dan budi pekerti; Santri merupakan representasi dari karakter
pribadi yang dapat hidup dengan ilmu dan budi pekerti. Sungguh berharganya ilmu
dan budi pekerti bagi seorang santri. Keduanya merupakan perhiasan yang
menyejukkan dalam kehidupan santri. Urgensi ilmu yang berdampingan dengan budi
pekerti adalah suatu keniscayaan dan harus berjalan beriringan. Jika salah satu
dari dua hal tersebut tidak ada, tentu jalannya akan menjadi pincang.
Nyatalah
janji Allah Ta‘ala: “Niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadalah: 11),
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar
berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)
Kedua
ayat di atas merupakan dalil untuk tercapainya ilmu dan budi pekerti yang
menjadi karakter seorang santri. Integrasi keduanya dalam diri seorang santri
akan melahirkan sosok yang maslahat secara individu maupun sosial.
Demikianlah
cerminan pribadi seorang Muslim. Kehidupannya jauh dari pengaruh kapitalisme,
liberalisme, materialisme dan hedonisme. Apresiasi seorang Muslim terhadap lima
prinsip santri di atas dan aksentuasinya yang tulus –lillahi Ta’ala–
dalam setiap amal lahiri dan batini sesuai dengan yang telah dituntunkan oleh
Allah dan Rasul-Nya adalah sebuah manifestasi doa seorang hamba yang shaleh
terhadap Rabb-nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar