Senin, 16 April 2018

Hikmah dari Sebuah Musibah


Moh.In’ami |
Mengambil Pelajaran dari Musibah Kematian
 “Cukuplah kematian bagi seorang Muslim itu sebagai pelajaran.”
(HR. Thobroni)
T
S
ebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri oleh setiap yang hidup adalah kematian yang selalu mengintai siapapun, tanpa pandang bulu. Hamba Allah yang bernama makhluk akan merasakan mati. Itu keniscayaan. Dan mati merupakan sunnatullah dalam kehidupan bahwa setiap yang hidup akan mengalami mati. Inilah ketentuan dan kepastian ilahiyah terhadap semua makhluk. Tanpa terkecuali.
Kenyataan yang sulit dihadapi dalam kehidupan kita adalah pada saat musibah kematian itu benar-benar menimpa. Menerima dan menyadari bahwa kematian yang terjadi adalah kehendak Allah merupakan hal yang alot dan berat untuk diterima. Meskipun secara keilmuan siapapun paham dan tahu. Lebih-lebih jika yang meninggal adalah orang yang paling dicintai dalam hidupnya. Mengapa hal demikian terjadi? Bagaimana setiap orang menyikapi musibah kematian? Sungguhkah kita menyadari takdir Ilahi?

Hidup dan Mati

Adalah anugerah Allah Ta’ala yang luar biasa diberikan kepada setiap makhluk-Nya, yang bernama “hidup”. Dengan hidup, setiap makhluk, khususnya manusia, dapat berbuat dan bergerak sesuai dengan hati nurani dan tuntunan hidup yang dipegangi secara kuat. Hidup yang berdasarkan tuntunan ilahiyah tentu menjadi keniscayaan dalam kehidupan setiap insan Muslim. Oleh sebab hidup yang merupakan pemberian Allah Ta’ala ini menjadikan setiap yang “diberi hidup” menyadari sepenuh hati makna dan pentingnya pemberian yang berharga tersebut. Ini adalah amanat. Bagi siapapun yang menerima, konsekuensinya adalah beribadah kepada-Nya. Namun sebaliknya, bagi yang acuh tak acuh, tidak peduli dan tidak pula menghargai hidup, suasana yang penuh kesadaran sedemikian itu sangat sulit muncul dalam kehidupannya.
Seperangkat nilai dan norma Islami yang bersumber pada Alqur’an dan Sunnah menjadi pola bagi tingkah laku kalangan Muslim dalam menjalani kehidupan sehari-hari sehingga tercermin kepribadian Islami menuju terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Sebagai wujud realisasi nilai dan norma ini kita menjadikannya pedoman untuk menjalani kehidupan dalam lingkup pribadi, keluarga, bermasyarakat, berorganisasi, mengelola amal usaha, berbisnis, mengembangkan profesi, berbangsa dan bernegara, melestarikan lingkungan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan mengembangkan seni dan budaya yang menunjukkan perilaku uswah hasanah (teladan yang baik).
Sebagaimana halnya dengan hidup, mati juga menjadi wilayah ketuhanan, hak prerogatif Allah. Mutlak menjadi rahasia-Nya. Siapapun yang telah mendapat vonis ‘ajal’ tidak dapat menolak dan menghindar darinya. Mustahil pula untuk di-‘nego’, agar dapat diundur atau dimajukan dari waktu yang telah ditentukan.
Kematian, meski ditakuti oleh sebagian orang, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan, hingga menjadi jelas pengertian hidup dan mati. Jika salah satu dari keduanya tidak ada, sangat sulit menjelaskan apa itu “hidup” dan apa sesungguhnya yang bernama “mati”.
Alqur’an memberikan pencerahan kepada setiap insan Muslim: “Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh mahfuzh).” (QS. Yasin: 12)
Berkenaan dengan ayat di atas, Tafsir At-Thabari menjelaskan bahwa sesungguhnya Allah telah menghidupkan yang mati dari apa yang telah Dia ciptakan. Dia menuliskan apa yang telah mereka lakukan di (semasa hidup) dunia berupa kebaikan dan keburukan, kesalehan amal dan kejahatannya. Semua ‘tinggalan dan bekasan’, sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir, berupa bekas-bekas langkah setiap insan menuju ketaatan ataupun kemaksiatan. Semua itu direkam dan dicatat secara sistematis oleh Malaikat Raqib dan Atid, sehingga kelak di akhirat dapat dilihat oleh masing-masing pelakunya.
Demikianlah, Allah dengan kekuasan dan kehendak-Nya menghidupkan dan mematikan.

Islam Berbicara tentang Kematian

Agama memberikan tuntunan yang tegas tentang bagaimana setiap insan Muslim dapat menjalani hidup. Karena hidup membawa konsekuensi terhadap apa yang kita lakukan dan perbuat. Kewajiban manusia adalah berusaha, meski mereka tidak dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya besok atau yang akan diperolehnya. Allah menyatakan:
Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Luqman: 34)
Islam sungguh mengatur segala aspek kehidupan, hatta kematian sekalipun. Dalam hidup itulah siapapun diberi kesempatan yang sama untuk berusaha dan berupaya dalam mencari penghidupan. Meski mencari penghidupan ini menjadi sarana dan alat untuk menyambung hidup, kadang di sebagian manusia melupakan bahwa ada terminal terakhir yang harus dilampaui, negeri akhirat. Aturan yang bersifat Qur’ani menyebutkan:
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur”. (QS. at-Takatsur: 1-2).
Ayat tersebut mengingatkan bahwa berlomba-lomba dalam mengumpulkan harta, anak, pengikut, bermegah-megahan dengan kemuliaan dan sebagainya  telah melalaikan orang dari ketaatan. Kenyataan ini banyak terjadi di sebagian kaum Muslim, oleh karena tidak ada kesadaran dan pemahaman yang benar tentang Garis-garis Besar Haluan Islam (Alqur’an dan As-Sunnah). Yang pada akhirnya kematian merenggut nyawa dan tidak ada lagi suatu perbaikan yang dapat dilakukan. Oleh sebab kesadaran di saat ajal menjelang tak ada guna.

Problem yang Sering Terjadi

Meski musibah kematian banyak terjadi di sekitar kita, atau bahkan dari kalangan keluarga kita sendiri yang mengalaminya, masih saja ada anggapan sebagian insan Muslim bahwa kematian memang sudah seharusnya –sudah saatnya ia meninggal. Mati adalah akhir perjalanannya. Yang lain menganggap, “Wah, itu hal biasa”. Ada pula yang mengatakan, “Itu sudah takdir”.
Permasalahannya adalah ketika musibah kematian terjadi berulang-ulang, adakah kita mampu mengambil intisari pelajaran dari musibah tersebut? Cukupkah kita memaknai musibah kematian sebagai bagian dari takdir tanpa ada respon atau penyadaran apapun yang dapat kita temukan? Mampukah kita menangkap sesuatu atau banyak hal dari peringatan –musibah kematian– tersebut? Lalu, bagaimana aksi yang harus dilakukan seorang Muslim dalam menghadapi kematian? Patutkah kita yang mengatasnamakan diri sebagai hamba Allah berbuat baik ketika hari tua, padahal tak satupun yang tahu kapan ajal menghampiri?

Memaknai Setiap Musibah Kematian

Tidak seorangpun yang mengetahui kapan dan di mana ia akan mengalami kematian. Jika ada yang mampu menginformasikan hal ini, sungguh merupakan kebohongan yang besar.
Musibah kematian yang dihadapi oleh setiap manusia membuka setiap indera kita untuk melihat, mendengar, merasakan dan memaknai bahwa terbentang seribu satu jalan menuju kematian. Melalui kesadaran ruhani kita mencoba merefleksikan diri, introspeksi diri, dan menemukan kondisi kita pada titik mana, kedekatan pada Allah atau sebaliknya –menjauh. Maknanya, kita fokus, sadar dan bersemangat untuk melakukan kesiapan diri dalam kesalehan dan ketaatan, hingga kapanpun ‘panggilan’ itu datang, kita telah siaga dan siap segalanya. Bukankah sebaik-baik bekal menuju akhirat adalah taqwa?
Allah mensinyalir dalam Alqur’an: “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. (QS. Al-Mulk: 2)
Ayat di atas perlu kita renungkan, mengapa Allah tidak menghendaki ‘yang lebih banyak amalnya’, namun yang Dia pilih adalah ‘yang lebih baik amalnya’. Rahasia apakah di balik itu?
Demikian pula hadits tentang semua amal terputus kecuali tiga perkara (HR. Muslim); ayat yang memberi peringatan kepada kita agar tidak mati melainkan dalam keadaan Islam (QS. Al-Baqarah: 132); ayat tentang soal puaskah kita dengan kehidupan dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat (QS. At-Taubah: 38); kesemuanya adalah rambu-rambu setiap insan Muslim dalam mengarungi bahtera kehidupan. Tentunya jaminan keselamatanlah yang Allah berikan.

PadaNya Kamu Dikembalikan

Keinginan manusia untuk bermegah-megahan dalam soal duniawi, sering melalaikan manusia dari tujuan hidupnya. Dia baru menyadari kesalahannya itu setelah maut mendatanginya; manusia akan ditanya di akhirat tentang nikmat yang dibangga-banggakannya.
Hanya pertolongan Allah sajalah yang mampu membuka mata hati manusia untuk membaca setiap musibah kematian, dan dengan ‘pisau’ kritislah yang mampu menganalisis dan mengambil hikmah dari hal tersebut. Mereka yang mampu mengeja ayat berikut dalam kehidupan:
Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir”. (QS. az-Zumar: 42)
Dari sinyal keagamaan di atas dan ketulusan memaknainya akan mengantarkan setiap insan Muslim pada martabat kemanusiaan yang dekat dengan Allah, sehingga ia akan kembali kepada-Nya dengan keadaan sebagaimana disebutkan dalam Alqur’an:
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam syurga-Ku”. (QS. Al-Fajr: 27-30)
Mestinya kita menyadari ayat di atas dalam setiap langkah kehidupan ini. Dan tentunya tidak ada lagi ketakutan menghadapi kematian, karena semua adalah milik Allah dan kembali kepadaNya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...