Moh.In’ami |
Membentuk
Perspektif Obyektif
“Jauhilah olehmu
prasangka. Karena sesungguhnya prasangka itu seburuk-buruk percakapan.”
(HR. Muttafaq Alaih)
T
D
|
engan ucapan “alhamdulillah” kita belajar untuk bersyukur kepada Allah Ta’ala.
Sebuah komitmen seorang Muslim terhadap realitas yang dihadapi setiap hari,
mulai dari yang dirasakan, didengar dan dikerjakan. Kesemuanya dalam rangka
pemenuhan diri terhadap kesyukuran kepada Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Banyak hal yang bisa dilakukan dalam rangka menjiwai dan menghayati makna
syukur. Meletakkan ‘kacamata’ kita secara tepat dan benar menjadikan kehidupan
kita ‘mapan’ dalam ketauhidan. ‘Kacamata’ yang mengantarkan setiap insan Muslim
mampu mengaktualisasikan diri dalam kenyataan hidup, kehidupan ber-syari’at.
Seberapa besar urgensi ‘kacamata’ ini perlu kita bahas sangat tergantung
kepada kemauan dan motivasi kita untuk memaksimalkan kekuatan dan kemampuan
yang ada dalam mencermati hal-hal, persoalan, fenomena dan problematika yang
ada pada wilayah sekitar kita.
Mengapa ‘kacamata’ menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam hidup kita? Bagaimana
memandang masa depan kita dengan ‘kacamata’ –yang menurut kita hanya–
hitam-putih, baik-buruk, benar-salah?
Dalam kajian kita saat ini, hanya sebagian aspek kehidupan yang dibahas
mengingat begitu luasnya persoalan yang mengitarinya. Siapapun kita
–seharusnya– menjadi subyek dalam segala hal; sebagai motor penggerak, pelaku,
pengamat, pemerhati, atau bahkan hanya sekedar menjadi komentator.
Yang Dimaksud ‘Kacamata’
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kacamata berarti lensa tipis untuk
mata guna menormalkan dan mempertajam penglihatan. Ketika saya masih kecil,
orang-orang di sekitar saya menyebut kacamata dengan bahasa Jawa, “tismak”.
Di kalangan orang sepuh terdapat kacamata-plus, yaitu kacamata dengan lensa
cembung yang khusus digunakan untuk membantu penglihatan jarak dekat, seperti
ketika membaca. Sedangkan di kalangan muda terdapat kacamata-minus, yaitu
kacamata dengan lensa cekung yang khusus digunakan untuk membantu penglihatan
jarak jauh.
Sementara yang kita maksud dengan ‘kacamata’ (dalam tanda petik) adalah
pandangan seseorang terhadap suatu hal yang ditinjau dari sudut (segi)
tertentu; juga berarti sudut pandang. Dalam hal ini, tentunya sudut pandang
yang berdasar pada pengetahuan dan ilmulah yang akan membawa dampak positif
bagi seseorang.
‘Kacamata’ dalam
Kehidupan Sehari-hari
Marilah kita perhatikan sejenak tentang beberapa hal yang ada dan menjadi
kenyataan di sekitar kita. Bagaimana masyarakat menggunakan ‘kacamata’ dan
memanfaatkannya sangat tergantung pada latar belakang pengalaman dan pengaruh
bentukan opini sekitar. Betapa tidak, ‘kacamata’ ini mudah terpengaruh oleh
‘debu’ dan ‘asap’ yang bertebaran di mana-mana. Oleh karena sedemikian kuat
pengaruh itu mestinya kita berhati-hati dalam ber-‘kacamata’.
Pada masa dahulu, ketika dokter belum banyak dikenal, nama penyakit belum
disebutkan, terdapat penyakit yang menjalar –yang lantas oleh ‘kacamata’
masyarakat– disebut pageblug. Padahal jika dilihat dengan ‘kacamata’
kini, tentunya dari sudut pandang kedokteran, itu hanya penyakit muntaber,
demam berdarah dan lain-lain.
Lagi, sebuah persoalan internasional, teroris. Sebagian kalangan Barat,
sebut saja negeri Paman Sam, memandang bahwa yang berbau terorisme itu sangat
‘kental’ sekali dengan Islam, sehingga garakan-gerakan Islam dalam bentuk apa
saja selalu ‘diwaspadai’. Sebut saja, Yayasan Al-Amin –sebuah lembaga yang
bergerak di bidang sosial keagamaan di wilayah Jawa Timur– ketika melakukan
aktivitas yang berhubungan dengan massa selalu dipandang dengan ‘kacamata’
hitam, hanya karena beberapa pengurus lembaga tersebut alumnus pesantren yang
dianggap sarang teroris. Padahal penggerakan massa dimaksud, tepatnya wa tawashaw bil haqq, lebih berorientasi
pada dakwah an sich. Namun, sedemikian khawatirkah negara itu terhadap
ancaman terorisme –yang notabene– mereka selalu mengkaitkan dengan
kelompok-kelompok yang bernuansa Islam. Mereka menganggap bahwa Islam
memproduksi teroris, sampai-sampai beberapa waktu yang lalu sebuah pesantren
dicurigai sebagai ladang teroris, hingga kemudian diadakan penelitian terhadap
pesantren tersebut –investigasi dilakukan, dicari-cari, jangan-jangan ada
materi terorisme dalam kurikulumnya. Kesimpulan akhirnya, nihil.
Dalam Islam-Jawa, ketika terdapat salah satu anggota keluarga yang
meninggal dunia, muncul tradisi ‘mbrosot’ –berjalan merunduk– di bawah
keranda mayat sebelum diberangkatkan ke makam. Menurut mereka hal ini
dimaksudkan supaya keluarga yang ditinggalkan tidak ‘eling-elingen’
–selalu teringat dan terbayang– almarhum dan bisa melupakannya. Sementara dalam
‘kacamata’ Islam, terdapat ajaran do’a, yang seharusnya ketika sebuah keluarga
ingat kepada yang telah wafat lantas mendo’akannya. Di sisi lain, salah satu
indikator anak saleh adalah yang selalu mendo’akan orang tuanya, meski telah
meninggal dunia. Ini merupakan wujud kesalehan seseorang –merujuk kepada hadits
shahih: “idza mata ibnu adama inqatha’a ‘amaluhu. . .”
Kadang kita memandang orang lain juga tidak melihatnya secara komprehensif.
Kita menilai secara sepihak. Tidak proporsional dan obyektif. Kadang kita
bersikap apriori terhadap suatu hal. Artinya, kita sudah beranggapan sebelum
mengetahui (melihat, menyelidiki dsb.) keadaan yang sebenarnya.
Lebih dari itu, sebuah ungkapan Arab menyatakan “ainur ridla ‘an kulli
‘aibin kalilatun kama anna ‘ainas sukhti tubdil masawiya”. Maksudnya, mata
yang ‘suka’ (terhadap suatu obyek) akan tumpul dalam melihat segala cela maupun
kekurangan. Sebaliknya, mata yang ‘benci’ akan selalu melihat segalanya menjadi
buruk dan cela, meski kenyataannya adalah baik.
‘Kacamata’ dalam Konteks
Islam
Setiap insan Muslim idealnya selalu kembali dan merujuk pada Alqur’an dan
as-Sunnah dalam berbagai hal dan masalah yang dihadapi. Tidak ada satupun
perilaku dan praktek hidup yang lepas dari petunjuk dan bimbingan dari Allah dan
Rasul-Nya.
Dalam kehidupan kita sehari-hari, dengan keadilan dan kebijaksanaan Allah,
telah dibagikan suatu ujian dan cobaan kepada setiap insan, siapapun tanpa
terkecuali. Mestinya kita segera sadar dan kembali membaca:
“Kami akan menguji
kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya).”
(QS. Al-Anbiya’, 21: 35)
Bagaimana kita memandang setiap ujian dan cobaan yang datang itu sangat
tergantung kepada ‘kacamata’ yang kita pakai. Bagaimana kita mengerti dan
memahami realitas diri kita secara obyektif itulah yang membawa kita pada
kesadaran ilahiyah yang tinggi.
Ingatlah sebuah matan hadits “innamal a’malu bin niyyat wa innama
likulli imri’in ma nawa” (dalam Shahih Albukhari), ini adalah idealitas
dalam ber-‘kacamata’. Suatu keniscayaan dalam memandang setiap ucap, tingkah
dan laku kita.
Allah Ta’ala menuntun setiap manusia dengan petunjuk-Nya untuk
berhati-hati:
“Hai orang-orang yang
beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari
prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al-Hujurat, 49: 12)
Problem Ber-‘Kacamata’
Berbicara kacamata sebenarnya tidak ada pemilahan barat dan timur. Tidak
ada korelasi antara keduanya. Namun demikian pada kenyataannya kita sering
mendapati orang lain atau –malahan– diri kita sendiri melakukan cara pandang
atau menggunakan ‘kacamata’ barat dan atau timur.
Ketika kita berupaya melihat realitas di depan kita, ada banyak pengaruh
yang menyelimuti daya-kritis kita, mungkin intelektual yang melatarbelakangi,
emosi yang menempel, atau maqam kita pada sisi religi. Hingga ‘kacamata’
yang kita gunakan untuk menangkap obyek tidak menjadi maksimal dan
proporsional, sebab nampaknya subyektivitas lebih mendominasi. Penglihatan dan
penilaian tidak lagi obyektif –cenderung jauh dari apa adanya.
Sebuah pertanyaan kemudian, “Mengapa muncul prasangka (buruk)?” Sebagaimana
disebutkan dalam QS. Al-Hujurat, 49: 12 di atas adalah sebuah bukti bahwa
adanya prasangka (buruk) itu terkait dengan mencari-cari keburukan orang.
Mencari keburukan orang lain akan mengantarkan seseorang pada perilaku
menggunjing. Yang demikian ini terjadi karena ketidakadilan sebuah ‘kacamata’.
Cara pandang yang tidak bijak.
Sebagai contoh nyata, seorang pemimpin yang melihat bawahannya dengan
‘kacamata’ hitam sering terjebak pada perilaku dislike, tidak menyukai
yang bersangkutan, yang berakibat pada perlakuan tidak fair, dipandang
sebelah mata. Sebaliknya, mungkin pula terjerumus pada perilaku like,
menyukai yang bersangkutan, apapun bentuknya meski buruk dan rendah mutunya
sekalipun. Dampaknya pada orang-orang yang –mestinya– mendapat kesempatan untuk
maju dan berkembang tak ada jalan untuknya, terkesan dikebiri dan dihalangi.
Lebih-lebih bila ‘kacamata’ yang sudah ‘berdebu’ itu tidak pernah dibersihkan
sehingga sulit untuk mengeja (baca: memaknai dan menerapkan) QS. Al-Hujurat
ayat 6 berikut:
“Hai orang-orang yang
beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah
dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Menyadari Kebutuhan
Menghargai Orang Lain
Kita mulai dari diri kita sendiri. Setiap hal yang kita anggap baik akan
berdampak baik pula pada diri kita. Sehingga wajar jika kita berharap kebaikan,
yang kita lakukan adalah menanam kebaikan itu –meskipun itu kecil di mata kita.
Kesadaran untuk menghargai orang lain adalah kebutuhan. Merupakan suatu
komitmen dalam hidup seorang Muslim yang paham dan sadar akan konsekuensi bahwa
perilaku kita menghargai orang lain sebenarnya adalah penghargaan pada diri
kita sendiri, bahkan orang lain menghargai kita tanpa kita meminta.
Terdapat formula khusus untuk meluruskan ‘kacamata’ yang tidak shahih
ini, yaitu: (a) ber-husnuzzan kepada Allah dan ciptaan-Nya; (b)
memandang segala sesuatu secara komprehensif, tidak ‘sebelah mata’; (c) tidak
setengah hati dalam menerapkan syari’at Allah. Ketiga hal tersebut setidaknya
mampu mengantarkan kita pada penglihatan obyektif (apa adanya) dan mengeliminir
pandangan subyektif (semau gue).
Berkacamata dalam arti sebenarnya bukan merupakan suatu keharusan bagi
setiap orang. ‘Kacamata’ (dalam tanda kutip, yang berarti cara pandang terhadap
sesuatu) adalah keniscayaan yang dimiliki setiap insan. Pada saat ‘kacamata’
kita salah dalam melihat dan mempersepsi obyek yang ada, hasilnya pun tidak
sebagaimana adanya, justru pemaknaan yang keliru dan jauh dari kenyataan yang
sebenarnya.
Akhirnya, marilah kita memohon kepada Allah agar ‘kacamata’ kita tetap
bersih dan berfungsi. Dengan pertolongan-Nya kita mampu membersihkan ‘kacamata’
kita dari ‘debu’ dan pengaruh negatif lainnya (nafsu, amarah), sehingga ia
mampu dan qualified dalam memandang secara jelas setiap persoalan yang
kita hadapi dalam perjalanan hidup kita. Semoga Allah meridlai aktivitas ‘mata’
kita. Kepada-Nya kita berlindung dari penglihatan yang dilarang. ♫
Tidak ada komentar:
Posting Komentar