Senin, 16 April 2018

Cara Pandang Manusia terhadap Sesuatu


Moh.In’ami |
Membentuk Perspektif Obyektif
“Jauhilah olehmu prasangka. Karena sesungguhnya prasangka itu seburuk-buruk percakapan.”
(HR. Muttafaq Alaih)
T

D
engan ucapan “alhamdulillah” kita belajar untuk bersyukur kepada Allah Ta’ala. Sebuah komitmen seorang Muslim terhadap realitas yang dihadapi setiap hari, mulai dari yang dirasakan, didengar dan dikerjakan. Kesemuanya dalam rangka pemenuhan diri terhadap kesyukuran kepada Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Banyak hal yang bisa dilakukan dalam rangka menjiwai dan menghayati makna syukur. Meletakkan ‘kacamata’ kita secara tepat dan benar menjadikan kehidupan kita ‘mapan’ dalam ketauhidan. ‘Kacamata’ yang mengantarkan setiap insan Muslim mampu mengaktualisasikan diri dalam kenyataan hidup, kehidupan ber-syari’at.
Seberapa besar urgensi ‘kacamata’ ini perlu kita bahas sangat tergantung kepada kemauan dan motivasi kita untuk memaksimalkan kekuatan dan kemampuan yang ada dalam mencermati hal-hal, persoalan, fenomena dan problematika yang ada pada wilayah sekitar kita.
Mengapa ‘kacamata’ menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam hidup kita? Bagaimana memandang masa depan kita dengan ‘kacamata’ –yang menurut kita hanya– hitam-putih, baik-buruk, benar-salah?
Dalam kajian kita saat ini, hanya sebagian aspek kehidupan yang dibahas mengingat begitu luasnya persoalan yang mengitarinya. Siapapun kita –seharusnya– menjadi subyek dalam segala hal; sebagai motor penggerak, pelaku, pengamat, pemerhati, atau bahkan hanya sekedar menjadi komentator.

Yang Dimaksud ‘Kacamata’

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kacamata berarti lensa tipis untuk mata guna menormalkan dan mempertajam penglihatan. Ketika saya masih kecil, orang-orang di sekitar saya menyebut kacamata dengan bahasa Jawa, “tismak”. Di kalangan orang sepuh terdapat kacamata-plus, yaitu kacamata dengan lensa cembung yang khusus digunakan untuk membantu penglihatan jarak dekat, seperti ketika membaca. Sedangkan di kalangan muda terdapat kacamata-minus, yaitu kacamata dengan lensa cekung yang khusus digunakan untuk membantu penglihatan jarak jauh.
Sementara yang kita maksud dengan ‘kacamata’ (dalam tanda petik) adalah pandangan seseorang terhadap suatu hal yang ditinjau dari sudut (segi) tertentu; juga berarti sudut pandang. Dalam hal ini, tentunya sudut pandang yang berdasar pada pengetahuan dan ilmulah yang akan membawa dampak positif bagi seseorang.

‘Kacamata’ dalam Kehidupan Sehari-hari

Marilah kita perhatikan sejenak tentang beberapa hal yang ada dan menjadi kenyataan di sekitar kita. Bagaimana masyarakat menggunakan ‘kacamata’ dan memanfaatkannya sangat tergantung pada latar belakang pengalaman dan pengaruh bentukan opini sekitar. Betapa tidak, ‘kacamata’ ini mudah terpengaruh oleh ‘debu’ dan ‘asap’ yang bertebaran di mana-mana. Oleh karena sedemikian kuat pengaruh itu mestinya kita berhati-hati dalam ber-‘kacamata’.
Pada masa dahulu, ketika dokter belum banyak dikenal, nama penyakit belum disebutkan, terdapat penyakit yang menjalar –yang lantas oleh ‘kacamata’ masyarakat– disebut pageblug. Padahal jika dilihat dengan ‘kacamata’ kini, tentunya dari sudut pandang kedokteran, itu hanya penyakit muntaber, demam berdarah dan lain-lain.
Lagi, sebuah persoalan internasional, teroris. Sebagian kalangan Barat, sebut saja negeri Paman Sam, memandang bahwa yang berbau terorisme itu sangat ‘kental’ sekali dengan Islam, sehingga garakan-gerakan Islam dalam bentuk apa saja selalu ‘diwaspadai’. Sebut saja, Yayasan Al-Amin –sebuah lembaga yang bergerak di bidang sosial keagamaan di wilayah Jawa Timur– ketika melakukan aktivitas yang berhubungan dengan massa selalu dipandang dengan ‘kacamata’ hitam, hanya karena beberapa pengurus lembaga tersebut alumnus pesantren yang dianggap sarang teroris. Padahal penggerakan massa dimaksud, tepatnya  wa tawashaw bil haqq, lebih berorientasi pada dakwah an sich. Namun, sedemikian khawatirkah negara itu terhadap ancaman terorisme –yang notabene– mereka selalu mengkaitkan dengan kelompok-kelompok yang bernuansa Islam. Mereka menganggap bahwa Islam memproduksi teroris, sampai-sampai beberapa waktu yang lalu sebuah pesantren dicurigai sebagai ladang teroris, hingga kemudian diadakan penelitian terhadap pesantren tersebut –investigasi dilakukan, dicari-cari, jangan-jangan ada materi terorisme dalam kurikulumnya. Kesimpulan akhirnya, nihil.
Dalam Islam-Jawa, ketika terdapat salah satu anggota keluarga yang meninggal dunia, muncul tradisi ‘mbrosot’ –berjalan merunduk– di bawah keranda mayat sebelum diberangkatkan ke makam. Menurut mereka hal ini dimaksudkan supaya keluarga yang ditinggalkan tidak ‘eling-elingen’ –selalu teringat dan terbayang– almarhum dan bisa melupakannya. Sementara dalam ‘kacamata’ Islam, terdapat ajaran do’a, yang seharusnya ketika sebuah keluarga ingat kepada yang telah wafat lantas mendo’akannya. Di sisi lain, salah satu indikator anak saleh adalah yang selalu mendo’akan orang tuanya, meski telah meninggal dunia. Ini merupakan wujud kesalehan seseorang –merujuk kepada hadits shahih: “idza mata ibnu adama inqatha’a ‘amaluhu. . .
Kadang kita memandang orang lain juga tidak melihatnya secara komprehensif. Kita menilai secara sepihak. Tidak proporsional dan obyektif. Kadang kita bersikap apriori terhadap suatu hal. Artinya, kita sudah beranggapan sebelum mengetahui (melihat, menyelidiki dsb.) keadaan yang sebenarnya.
Lebih dari itu, sebuah ungkapan Arab menyatakan “ainur ridla ‘an kulli ‘aibin kalilatun kama anna ‘ainas sukhti tubdil masawiya”. Maksudnya, mata yang ‘suka’ (terhadap suatu obyek) akan tumpul dalam melihat segala cela maupun kekurangan. Sebaliknya, mata yang ‘benci’ akan selalu melihat segalanya menjadi buruk dan cela, meski kenyataannya adalah baik.

‘Kacamata’ dalam Konteks Islam

Setiap insan Muslim idealnya selalu kembali dan merujuk pada Alqur’an dan as-Sunnah dalam berbagai hal dan masalah yang dihadapi. Tidak ada satupun perilaku dan praktek hidup yang lepas dari petunjuk dan bimbingan dari Allah dan Rasul-Nya.
Dalam kehidupan kita sehari-hari, dengan keadilan dan kebijaksanaan Allah, telah dibagikan suatu ujian dan cobaan kepada setiap insan, siapapun tanpa terkecuali. Mestinya kita segera sadar dan kembali membaca:
Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya).” (QS. Al-Anbiya’, 21: 35)
Bagaimana kita memandang setiap ujian dan cobaan yang datang itu sangat tergantung kepada ‘kacamata’ yang kita pakai. Bagaimana kita mengerti dan memahami realitas diri kita secara obyektif itulah yang membawa kita pada kesadaran ilahiyah yang tinggi.
Ingatlah sebuah matan hadits “innamal a’malu bin niyyat wa innama likulli imri’in ma nawa” (dalam Shahih Albukhari), ini adalah idealitas dalam ber-‘kacamata’. Suatu keniscayaan dalam memandang setiap ucap, tingkah dan laku kita.
Allah Ta’ala menuntun setiap manusia dengan petunjuk-Nya untuk berhati-hati:
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat, 49: 12)

Problem Ber-‘Kacamata’

Berbicara kacamata sebenarnya tidak ada pemilahan barat dan timur. Tidak ada korelasi antara keduanya. Namun demikian pada kenyataannya kita sering mendapati orang lain atau –malahan– diri kita sendiri melakukan cara pandang atau menggunakan ‘kacamata’ barat dan atau timur.
Ketika kita berupaya melihat realitas di depan kita, ada banyak pengaruh yang menyelimuti daya-kritis kita, mungkin intelektual yang melatarbelakangi, emosi yang menempel, atau maqam kita pada sisi religi. Hingga ‘kacamata’ yang kita gunakan untuk menangkap obyek tidak menjadi maksimal dan proporsional, sebab nampaknya subyektivitas lebih mendominasi. Penglihatan dan penilaian tidak lagi obyektif –cenderung jauh dari apa adanya.
Sebuah pertanyaan kemudian, “Mengapa muncul prasangka (buruk)?” Sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Hujurat, 49: 12 di atas adalah sebuah bukti bahwa adanya prasangka (buruk) itu terkait dengan mencari-cari keburukan orang. Mencari keburukan orang lain akan mengantarkan seseorang pada perilaku menggunjing. Yang demikian ini terjadi karena ketidakadilan sebuah ‘kacamata’. Cara pandang yang tidak bijak.
Sebagai contoh nyata, seorang pemimpin yang melihat bawahannya dengan ‘kacamata’ hitam sering terjebak pada perilaku dislike, tidak menyukai yang bersangkutan, yang berakibat pada perlakuan tidak fair, dipandang sebelah mata. Sebaliknya, mungkin pula terjerumus pada perilaku like, menyukai yang bersangkutan, apapun bentuknya meski buruk dan rendah mutunya sekalipun. Dampaknya pada orang-orang yang –mestinya– mendapat kesempatan untuk maju dan berkembang tak ada jalan untuknya, terkesan dikebiri dan dihalangi. Lebih-lebih bila ‘kacamata’ yang sudah ‘berdebu’ itu tidak pernah dibersihkan sehingga sulit untuk mengeja (baca: memaknai dan menerapkan) QS. Al-Hujurat ayat 6 berikut:
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Menyadari Kebutuhan Menghargai Orang Lain

Kita mulai dari diri kita sendiri. Setiap hal yang kita anggap baik akan berdampak baik pula pada diri kita. Sehingga wajar jika kita berharap kebaikan, yang kita lakukan adalah menanam kebaikan itu –meskipun itu kecil di mata kita.
Kesadaran untuk menghargai orang lain adalah kebutuhan. Merupakan suatu komitmen dalam hidup seorang Muslim yang paham dan sadar akan konsekuensi bahwa perilaku kita menghargai orang lain sebenarnya adalah penghargaan pada diri kita sendiri, bahkan orang lain menghargai kita tanpa kita meminta.
Terdapat formula khusus untuk meluruskan ‘kacamata’ yang tidak shahih ini, yaitu: (a) ber-husnuzzan kepada Allah dan ciptaan-Nya; (b) memandang segala sesuatu secara komprehensif, tidak ‘sebelah mata’; (c) tidak setengah hati dalam menerapkan syari’at Allah. Ketiga hal tersebut setidaknya mampu mengantarkan kita pada penglihatan obyektif (apa adanya) dan mengeliminir pandangan subyektif (semau gue).
Berkacamata dalam arti sebenarnya bukan merupakan suatu keharusan bagi setiap orang. ‘Kacamata’ (dalam tanda kutip, yang berarti cara pandang terhadap sesuatu) adalah keniscayaan yang dimiliki setiap insan. Pada saat ‘kacamata’ kita salah dalam melihat dan mempersepsi obyek yang ada, hasilnya pun tidak sebagaimana adanya, justru pemaknaan yang keliru dan jauh dari kenyataan yang sebenarnya.
Akhirnya, marilah kita memohon kepada Allah agar ‘kacamata’ kita tetap bersih dan berfungsi. Dengan pertolongan-Nya kita mampu membersihkan ‘kacamata’ kita dari ‘debu’ dan pengaruh negatif lainnya (nafsu, amarah), sehingga ia mampu dan qualified dalam memandang secara jelas setiap persoalan yang kita hadapi dalam perjalanan hidup kita. Semoga Allah meridlai aktivitas ‘mata’ kita. Kepada-Nya kita berlindung dari penglihatan yang dilarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...