Moh.In’ami |Membangun Keberanian dalam Berbuat Kebaikan
“Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan maka
baginya pahala sebanyak yang mengerjakan.”
(HR. Muslim)
T
T
|
erdapat gejala (fenomena) baru di lingkungan masyarakat kita, orang sedikit
canggung (untuk tidak ingin mengatakan banyak) untuk mengajak berbuat baik
kepada orang lain. Yang lebih ekstrem, orang berbuat kebaikan tidak dipandang
sebagai sesuatu yang harus dicontoh –lebih dilihat sebagai hal biasa.Bayangkan,
apa yang bakal terjadi ketika kebaikan sudah tidak lagi diperjuangkan?
Bagaimana nalar orang yang menganggap bahwa kebaikan itu mengganggu kepentingan
orang lain? Benarkah kebaikan itu hanya boleh dilakukan oleh orang-orang
tertentu, sehingga orang pada umumnya tidak berkesempatan melakukannya?
Kebaikan: Potensi Positif
Setiap Insan
Setiap saat dan waktu manusia akan selalu hidup dalam dua ‘arus’ yang
sangat kuat, saling tarik-menarik, dan saling berpengaruh. Mana yang kuat, dia
akan menang, dan sebaliknya yang lemah akan kalah. Terhadap keberadaan dua
‘arus’ tersebut setiap orang berhak untuk memilih dan memiliki opsi untuk
menolak. Namun menghindar dari kedua ‘arus’ tersebut sangat tidak mungkin.
Kedua ‘arus’ itu adalah baik dan buruk.
Betapa adilnya Allah Ta’ala. Tanpa melihat status atau kedudukan, nasab
atau golongan, Allah memberikan potensi setiap insan secara egaliter, sama.
Allah berfirman:
“Dan Kami telah
menunjukkan kepadanya dua jalan.” (QS. al-Balad, 90: 10)
Yang dimaksud dengan dua jalan dalam ayat di atas adalah jalan kebajikan
dan jalan kejahatan. Di sinilah letak potensi baik dan buruk yang dimiliki
manusia. Untuk menjadi manusia yang baik, manusia berkesempatan untuk menggali
dan mengembangkan potensi baik yang ada pada dirinya. Hingga ia menjadi manusia
yang baik. Sebaliknya, bila potensi buruk yang dimaksimalkan dan mendapat
perhatian, tentu ia akan menjadi manusia jahat. Manusia tidak lagi dapat
menyalahkan Tuhan, oleh karena Dia telah memberikan petunjuk berupa jalan
kebaikan dan keburukan. Manusia diberi kemampuan dan kekuatan untuk
mempertimbangkan mana yang baik dan buruk. Dan tentunya masing-masing orang
dapat kembali kepada nuraninya yang bersih.
Berbuat kebaikan diperlukan keberanian. Keberanian untuk menunjukkan bahwa
kebaikan itu mendatangkan manfaat dan maslahat. Keberanian untuk mengamalkan
kebaikan sebagai sebuah keterpanggilan jiwa yang fitri. Intinya adalah berani
karena benar. Dan manusia yang memiliki jiwa yang baik tentu akan menebarkan kebaikan
sesuai kemampuan dan ranah spiritualnya. Semakin ia mampu berbuat kebaikan
semakin baik pula kualitas dirinya. Hal ini berlaku bagi orang-orang yang
mendapat pertolongan dari Allah Ta’ala. Dan atas izin-Nya pula setiap
orang dapat berbuat baik dan mampu mengejawantahkannya dalam setiap sudut dan lini
kehidupan.
Membangun Lingkungan yang
Baik
Sungguh manusia tidak hidup dalam kesendirian. Manusia memiliki keinginan
untuk bersosialisasi dengan sesamanya. Sebab yang menjadi salah satu kodrat
manusia adalah selalu ingin berhubungan dengan manusia lain. Hal ini
menunjukkan kondisi yang interdependensi. Di dalam kehidupan manusia
selanjutnya, ia selalu hidup sebagai warga suatu kesatuan hidup, warga
masyarakat, dan warga negara. Bahkan ia menjadi warga dari keseluruhan manusia
di antara makhluk dalam alam semesta—dunia.
Mestinya kita sadar bahwa setiap individu yang hidup dituntut untuk dapat
beradaptasi dengan lingkungan. Dalam istilah sosiologinya, manusia adalah
makhluk sosial – ‘zone politikon’. Interaksi individu dan sosial tidak dapat
dipisahkan dalam sebuah lingkungan kehidupan yang luas.
Setiap individu tentu membutuhkan individu lain dan sosial masyarakat.
Selalu ada perilaku timbal balik antara individu dan sosial. Karena tidak ada
sosial tanpa individu. Dan lingkungan yang baiklah tempat yang diharapkan untuk
mereka bernaung.
Orang yang berkebaikan biasanya mampu membuat atmosfir kebaikan di
lingkungannya. Menciptakan kebaikan sebagai bagian kehidupan adalah suatu
keniscayaan dalam kehidupan individu maupun sosial. Suasana lingkungan yang
penuh kebaikan akan mengandung magnet yang kuat untuk menarik dan mewarnai
setiap individu yang berada di dalamnya. Tentu kebaikan pula pengaruhnya.
Terciptanya suatu lingkungan yang baik tentu dibutuhhkan dasar dan pondasi
kuat berupa kebaikan yang tertanam dan mengakar, dan kebaikan menjadi kesadaran
yang nyata dalam berinteraksi individu maupun sosial.
Untuk itu, berhati-hati dalam memilih lingkungan, baik sebagai tempat
tinggal atau bergaul, patut menjadi perhatian. Sebab bagaimanapun lingkungan
akan membawa dampak positif maupun negatif bagi siapapun yang berada di
dalamnya.
Alqur’an sebagai Suluh
Kebaikan
Sebagai insan Muslim, kehidupan yang penuh dengan tantangan dan rintangan
ini, selalu memberikan pelajaran yang bermakna, sebab apapun yang dihadapi dan
dijalani setiap insan Muslim akan merujuk kepada Alqur’an sebagai pedoman hidup
tentunya. Cobalah simak dan perhatikan ayat berikut:
“Lalu di antara mereka
ada yang menganiaya diri mereka sendiri, dan di antara mereka ada yang
pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan
dengan izin Allah.” (QS. Fathir: 32)
Yang dimaksud dengan Orang yang menganiaya dirinya sendiri ialah orang yang
lebih banyak kesalahannya daripada kebaikannya, dan pertengahan ialah
orang-orang yang kebaikannya berbanding dengan kesalahannya, sedang yang
dimaksud dengan orang-orang yang lebih dahulu dalam berbuat kebaikan ialah
orang-orang yang kebaikannya amat banyak dan amat jarang berbuat kesalahan.
Untuk mewujudkan perbuatan baik, sehingga termasuk golongan orang-orang
yang kebaikannya amat banyak dan amat jarang berbuat kesalahan, adalah dengan
menjadikan Alqur’an sebagai pusaran kuat yang mampu mengendalikan ‘arus’ dalam
kehidupan. Alqur’an dijadikan sebagai suluh dalam setiap menapaki perjalanan
kehidupan.
“Kitab (Alqur’an) ini
tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (QS.
al-Baqarah: 2) Untuk mampu menerima sinyal petunjuk dari Allah diperlukan
kesiapan dan kemantapan hati yang dibarengi dengan pengamalan perintah Allah
secara menyeluruh tanpa ragu, sesuai dengan daya kemampuan diri, serta kerelaan
meninggalkan segala bentuk larangan-Nya tanpa prasangka apapun dan hendaknya
sadar bahwa hanya Dialah Yang Maha Kuasa, berhak mengatur dan menuntun seluruh
alam semesta.
Kebaikan membutuhkan orang-orang yang berani, dan mereka yang berani
menyatakan kebaikan termasuk golongan yang mendapatkan jaminan dari Allah Ta’ala.
“Sesungguhnya
Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.”
(QS. an-Nahl: 128)
Berkenaan dengan QS. an-Nahl ayat 128, Tafsir Ibnu Katsir menyebutkan bahwa
orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang meninggalkan segala larangan
Allah, sedang orang-orang yang berbuat kebaikan adalah mereka yang konsisten
menjalankan ketaatan kepada-Nya. Merekalah yang mendapatkan janji Allah berupa
penjagaan, pertolongan, penguatan, keberuntungan dalam bentuk kemenangan atas
musuh dan orang yang menentang agama Allah. Dalam sebuah hadits dari Ibnu Abi
Hatim disebutkan bahwa orang yang disinyalir dalam ayat di atas adalah Utsman
bin Affan ra.
Jika masih ada orang yang berbuat jahat, itu pertanda bahwa kebaikan perlu
diperjuangkan. Meski demikian, pelaku kejahatan sadar atau tidak, mengakui atau
tidak, kebaikan itu ada pada dirinya yang paling dalam. Dan boleh jadi kebaikan
yang ada pada nurani penjahat tersebut telah tertutup oleh nafsu dan amarah,
sehingga tidak dapat diejawantahkan di tengah-tengah kehidupan secara nyata.
Kebaikan untuk kebaikan dan bukan kebaikan untuk suatu kepentingan. Di
sinilah nampak bahwa kebaikan tanpa tendensi apapun, bebas motif ‘pamrih’.
Ikhlas berbuat. Artinya, meski kebaikan perlu keberanian untuk
mempraktekkannya, kebaikan yang telah diamalkan dalam kehidupan sehari-hari
hendaknya dibebaskan dari rasa ingin dipuji, dihargai atau disanjung. Allah
Ta’ala tidak menyukai hamba-hamba-Nya yang beramal tetapi tidak ikhlas.
Introspeksi
Tidak ada dominasi dalam berbuat kebaikan. Setiap yang hidup yang disebut
dan merasa sebagai makhluk Allah Ta’ala dipersilakan untuk melakukan ikhtiar
yang terbaik bagi dirinya. Tidak ada suatau perbuatan yang lepas dari tanggung
jawab. Pun tidak ada pula perbuatan yang bebas dari konsekuensi. Berbuat baik
pastinya kebaikan pula yang akan dipetik kelak di akhirat. Sebaliknya, berbuat
jahat tentunya kejahatan pula yang akan diterima sebagai balasan setimpal atas
perbuatan itu.
“Dan dikatakan kepada
orang-orang yang bertakwa: "Apakah yang telah diturunkan oleh
Tuhanmu?" Mereka menjawab: "(Allah telah menurunkan) kebaikan."
Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. Dan
sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat
bagi orang yang bertakwa.” (QS.an-Nahl: 30)
Masyarakat kita menyadari arti penting kebaikan. Dan ungkapan “becik
ketitik olo kethoro” merupakan dorongan positif dan semangat mulia yang
hendak ditumbuh-kembangkan dalam pribadi generasi mendatang.
Ingatlah bawa Rasulullah saw adalah guru yang terbaik bagi kaum Muslim
dalam kehidupan. Contoh laku dan perbuatan ada pada diri beliau saw. oleh sebab
beliau adalah “uswah hasanah” dalam kehidupan kita secara individu maupun
sosial. Beliaulah sosok yang paling santun dalam berinteraksi maupun ber-mu’amalah.
Dan beliau merupakan pribadi yang selalu menebarkan kebaikan tanpa memandang
batasan agama, suku maupun ras.
Lalu, masih adakah orang-orang di antara kita yang takut untuk berbuat
kebaikan? ♫
Tidak ada komentar:
Posting Komentar