Senin, 16 April 2018

Berani Berbuat BAIK


Moh.In’ami |Membangun Keberanian dalam Berbuat Kebaikan

“Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan maka baginya pahala sebanyak yang mengerjakan.”
(HR. Muslim)
T
T
erdapat gejala (fenomena) baru di lingkungan masyarakat kita, orang sedikit canggung (untuk tidak ingin mengatakan banyak) untuk mengajak berbuat baik kepada orang lain. Yang lebih ekstrem, orang berbuat kebaikan tidak dipandang sebagai sesuatu yang harus dicontoh –lebih dilihat sebagai hal biasa.Bayangkan, apa yang bakal terjadi ketika kebaikan sudah tidak lagi diperjuangkan? Bagaimana nalar orang yang menganggap bahwa kebaikan itu mengganggu kepentingan orang lain? Benarkah kebaikan itu hanya boleh dilakukan oleh orang-orang tertentu, sehingga orang pada umumnya tidak berkesempatan melakukannya?

Kebaikan: Potensi Positif Setiap Insan

Setiap saat dan waktu manusia akan selalu hidup dalam dua ‘arus’ yang sangat kuat, saling tarik-menarik, dan saling berpengaruh. Mana yang kuat, dia akan menang, dan sebaliknya yang lemah akan kalah. Terhadap keberadaan dua ‘arus’ tersebut setiap orang berhak untuk memilih dan memiliki opsi untuk menolak. Namun menghindar dari kedua ‘arus’ tersebut sangat tidak mungkin. Kedua ‘arus’ itu adalah baik dan buruk.
Betapa adilnya Allah Ta’ala. Tanpa melihat status atau kedudukan, nasab atau golongan, Allah memberikan potensi setiap insan secara egaliter, sama. Allah berfirman:
Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.” (QS. al-Balad, 90: 10)
Yang dimaksud dengan dua jalan dalam ayat di atas adalah jalan kebajikan dan jalan kejahatan. Di sinilah letak potensi baik dan buruk yang dimiliki manusia. Untuk menjadi manusia yang baik, manusia berkesempatan untuk menggali dan mengembangkan potensi baik yang ada pada dirinya. Hingga ia menjadi manusia yang baik. Sebaliknya, bila potensi buruk yang dimaksimalkan dan mendapat perhatian, tentu ia akan menjadi manusia jahat. Manusia tidak lagi dapat menyalahkan Tuhan, oleh karena Dia telah memberikan petunjuk berupa jalan kebaikan dan keburukan. Manusia diberi kemampuan dan kekuatan untuk mempertimbangkan mana yang baik dan buruk. Dan tentunya masing-masing orang dapat kembali kepada nuraninya yang bersih.
Berbuat kebaikan diperlukan keberanian. Keberanian untuk menunjukkan bahwa kebaikan itu mendatangkan manfaat dan maslahat. Keberanian untuk mengamalkan kebaikan sebagai sebuah keterpanggilan jiwa yang fitri. Intinya adalah berani karena benar. Dan manusia yang memiliki jiwa yang baik tentu akan menebarkan kebaikan sesuai kemampuan dan ranah spiritualnya. Semakin ia mampu berbuat kebaikan semakin baik pula kualitas dirinya. Hal ini berlaku bagi orang-orang yang mendapat pertolongan dari Allah Ta’ala. Dan atas izin-Nya pula setiap orang dapat berbuat baik dan mampu mengejawantahkannya dalam setiap sudut dan lini kehidupan.

Membangun Lingkungan yang Baik

Sungguh manusia tidak hidup dalam kesendirian. Manusia memiliki keinginan untuk bersosialisasi dengan sesamanya. Sebab yang menjadi salah satu kodrat manusia adalah selalu ingin berhubungan dengan manusia lain. Hal ini menunjukkan kondisi yang interdependensi. Di dalam kehidupan manusia selanjutnya, ia selalu hidup sebagai warga suatu kesatuan hidup, warga masyarakat, dan warga negara. Bahkan ia menjadi warga dari keseluruhan manusia di antara makhluk dalam alam semesta—dunia.
Mestinya kita sadar bahwa setiap individu yang hidup dituntut untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan. Dalam istilah sosiologinya, manusia adalah makhluk sosial – ‘zone politikon’. Interaksi individu dan sosial tidak dapat dipisahkan dalam sebuah lingkungan kehidupan yang luas.
Setiap individu tentu membutuhkan individu lain dan sosial masyarakat. Selalu ada perilaku timbal balik antara individu dan sosial. Karena tidak ada sosial tanpa individu. Dan lingkungan yang baiklah tempat yang diharapkan untuk mereka bernaung.
Orang yang berkebaikan biasanya mampu membuat atmosfir kebaikan di lingkungannya. Menciptakan kebaikan sebagai bagian kehidupan adalah suatu keniscayaan dalam kehidupan individu maupun sosial. Suasana lingkungan yang penuh kebaikan akan mengandung magnet yang kuat untuk menarik dan mewarnai setiap individu yang berada di dalamnya. Tentu kebaikan pula pengaruhnya.
Terciptanya suatu lingkungan yang baik tentu dibutuhhkan dasar dan pondasi kuat berupa kebaikan yang tertanam dan mengakar, dan kebaikan menjadi kesadaran yang nyata dalam berinteraksi individu maupun sosial.
Untuk itu, berhati-hati dalam memilih lingkungan, baik sebagai tempat tinggal atau bergaul, patut menjadi perhatian. Sebab bagaimanapun lingkungan akan membawa dampak positif maupun negatif bagi siapapun yang berada di dalamnya.

Alqur’an sebagai Suluh Kebaikan

Sebagai insan Muslim, kehidupan yang penuh dengan tantangan dan rintangan ini, selalu memberikan pelajaran yang bermakna, sebab apapun yang dihadapi dan dijalani setiap insan Muslim akan merujuk kepada Alqur’an sebagai pedoman hidup tentunya. Cobalah simak dan perhatikan ayat berikut:
Lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.” (QS. Fathir: 32)
Yang dimaksud dengan Orang yang menganiaya dirinya sendiri ialah orang yang lebih banyak kesalahannya daripada kebaikannya, dan pertengahan ialah orang-orang yang kebaikannya berbanding dengan kesalahannya, sedang yang dimaksud dengan orang-orang yang lebih dahulu dalam berbuat kebaikan ialah orang-orang yang kebaikannya amat banyak dan amat jarang berbuat kesalahan.
Untuk mewujudkan perbuatan baik, sehingga termasuk golongan orang-orang yang kebaikannya amat banyak dan amat jarang berbuat kesalahan, adalah dengan menjadikan Alqur’an sebagai pusaran kuat yang mampu mengendalikan ‘arus’ dalam kehidupan. Alqur’an dijadikan sebagai suluh dalam setiap menapaki perjalanan kehidupan.
Kitab (Alqur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 2) Untuk mampu menerima sinyal petunjuk dari Allah diperlukan kesiapan dan kemantapan hati yang dibarengi dengan pengamalan perintah Allah secara menyeluruh tanpa ragu, sesuai dengan daya kemampuan diri, serta kerelaan meninggalkan segala bentuk larangan-Nya tanpa prasangka apapun dan hendaknya sadar bahwa hanya Dialah Yang Maha Kuasa, berhak mengatur dan menuntun seluruh alam semesta.
Kebaikan membutuhkan orang-orang yang berani, dan mereka yang berani menyatakan kebaikan termasuk golongan yang mendapatkan jaminan dari Allah Ta’ala.
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. an-Nahl: 128)
Berkenaan dengan QS. an-Nahl ayat 128, Tafsir Ibnu Katsir menyebutkan bahwa orang-orang yang bertakwa adalah mereka yang meninggalkan segala larangan Allah, sedang orang-orang yang berbuat kebaikan adalah mereka yang konsisten menjalankan ketaatan kepada-Nya. Merekalah yang mendapatkan janji Allah berupa penjagaan, pertolongan, penguatan, keberuntungan dalam bentuk kemenangan atas musuh dan orang yang menentang agama Allah. Dalam sebuah hadits dari Ibnu Abi Hatim disebutkan bahwa orang yang disinyalir dalam ayat di atas adalah Utsman bin Affan ra.
Jika masih ada orang yang berbuat jahat, itu pertanda bahwa kebaikan perlu diperjuangkan. Meski demikian, pelaku kejahatan sadar atau tidak, mengakui atau tidak, kebaikan itu ada pada dirinya yang paling dalam. Dan boleh jadi kebaikan yang ada pada nurani penjahat tersebut telah tertutup oleh nafsu dan amarah, sehingga tidak dapat diejawantahkan di tengah-tengah kehidupan secara nyata.
Kebaikan untuk kebaikan dan bukan kebaikan untuk suatu kepentingan. Di sinilah nampak bahwa kebaikan tanpa tendensi apapun, bebas motif ‘pamrih’. Ikhlas berbuat. Artinya, meski kebaikan perlu keberanian untuk mempraktekkannya, kebaikan yang telah diamalkan dalam kehidupan sehari-hari hendaknya dibebaskan dari rasa ingin dipuji, dihargai atau disanjung. Allah Ta’ala tidak menyukai hamba-hamba-Nya yang beramal tetapi tidak ikhlas.

Introspeksi

Tidak ada dominasi dalam berbuat kebaikan. Setiap yang hidup yang disebut dan merasa sebagai makhluk Allah Ta’ala dipersilakan untuk melakukan ikhtiar yang terbaik bagi dirinya. Tidak ada suatau perbuatan yang lepas dari tanggung jawab. Pun tidak ada pula perbuatan yang bebas dari konsekuensi. Berbuat baik pastinya kebaikan pula yang akan dipetik kelak di akhirat. Sebaliknya, berbuat jahat tentunya kejahatan pula yang akan diterima sebagai balasan setimpal atas perbuatan itu.
Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: "Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?" Mereka menjawab: "(Allah telah menurunkan) kebaikan." Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan) yang baik. Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa.” (QS.an-Nahl: 30)
Masyarakat kita menyadari arti penting kebaikan. Dan ungkapan “becik ketitik olo kethoro” merupakan dorongan positif dan semangat mulia yang hendak ditumbuh-kembangkan dalam pribadi generasi mendatang.
Ingatlah bawa Rasulullah saw adalah guru yang terbaik bagi kaum Muslim dalam kehidupan. Contoh laku dan perbuatan ada pada diri beliau saw. oleh sebab beliau adalah “uswah hasanah” dalam kehidupan kita secara individu maupun sosial. Beliaulah sosok yang paling santun dalam berinteraksi maupun ber-mu’amalah. Dan beliau merupakan pribadi yang selalu menebarkan kebaikan tanpa memandang batasan agama, suku maupun ras.
Lalu, masih adakah orang-orang di antara kita yang takut untuk berbuat kebaikan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...