Kehidupan manusia tidak bisa lepas dari keterhubungan dan keterikatan, antara orang tua dan anak, antara guru dan murid, antara makhluk dan Sang Khalik, antara representasi kehidupan dan tatanan yang berlaku baginya.
APAPUN status dan kedudukan seorang dalam suatu organisasi; organisasi masyarakat, sekolah, madrasah, pesantren, atau lainnya, membutuhkan kompetensi persuasif-interaktif. Suatu keahlian yang menunjukkan realisasi penghubung antara yang di atas dengan yang di bawab, yang berkuasa dengan jelata, yang legislatif dengan yudikatif.
Siapa yang mengaku menjadi pemimpin pada suatu organisasi sosial atau keagamaan berarti telah memasukkan diri pada lingkaran kemajemukan. Tidak ada laki-laki melainkan perempuan ada di sampingnya. Tidak ada rakyat, melainkan pemimpin selalu di garda depan. Tidak ada anak buah, melainkan juragan yang mengatur lalu lintas pekerjaan dan mengendalikannya.
Dalam konteks pendidikan, seorang guru tidak dapat berdiri, berorasi, berceramah, atau menyampaikan materi pelajaran, di hadapan para murid melainkan kemampuan komunikasi mengantarkannya menjadi seorang guru yang penjelasan dan keterangannya dapat dipahami dan diterima oleh mereka.
Dalam sebuah pesantren, pengasuh memiliki kewenangan yang luas dalam mengembang dan memajukan lembaga pendidikan dengan kepiawaiannya mengatur strategi, merencana, dan membuat inovasi dinamis-konstruktif bagi seluruh elemen di pesantren.
Tidak ada suatu kegiatan yang diadakan oleh pesantren kecuali pengasuh telah membuat nota kesepahaman dan kesepakatan untuk melakukan hal itu dengan segala potensi yang ada. Jika ada keberatan atau tantangan yang muncul dan menghadang, pengasuh segera membuat langkah cepat-solutif bagi terciptanya lingkungan pesantren yang dinamis, kondusif dan berkemajuan.
Kenyataan di atas tidak serta merta lahir dan muncul dari seorang pengasuh begitu saja. Kemampuan seorang pengasuh dalam hal komunikasi dua arah (dialogis) yang menjadikan setiap elemen dari pesantren mendukung, dan bersepakat dalam merealisasikan kegiatan yang telah direncanakan.
Seorang pemimpin, baik direktur, pengasuh, kepala sekolah, atau lainnya, yang hanya mengedepankan gagasannya sendiri tanpa mau mengajak berbicara dari hati ke hati orang-orang penting yang ada di sekitarnya, akan merasakan hambarnya sebuah kebijakan atau kegetiran kegiatan yang dilaksanakan tanpa ruh persatuan dan jiwa kebersamaan.
Kemampuan berkomunikasi yang dimiliki oleh seorang pemimpin dalam suatu komunitas kehidupan telah mampu menjembatani dua kekuatan yang berbeda, menghubungkan dua pihak yang berlawanan arah, dan memperjelas fungsi masing-masing pihak dalam konteks etape perjalanan sebuah perjuangan yang tak pernah pupus.
Jangan pernah menganggap remeh apa yang disebut komunikasi. Oleh sebab komunikasi membuka kran kekakuan, melancarkan jalur interaksi, dan mensukseskan program kerja serta memperbaiki relasi personal secara horizontal.
Sungguh kasihan dengan seorang pemimpin yang tidak peduli pada komunikasi, hingga abai pada bawahan, lalai terhadap empati dan simpati pada mitra yang bekerjasama dalam sebuah korps pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar