Minggu, 24 Maret 2019

GURU: Potret Pribadi Mukhlish


Guru Mukhlish
T
ugas seorang guru adalah berat. Tanggungjawabnya juga besar dalam mendidik anak-anaknya. Di lembaga pendidikan manapun dan dengan sebutan apapun, seorang guru tetap saja menjadi parameter bagi para muridnya dalam berbagai hal. Bahkan seorang guru yang menjadi idola akan menjadi rujukan para murid dalam berucap, bersikap, berbuat, berpikir dan mengambil keputusan.
Namanya guru mukhlish. dipanggil demikian karena guru ini tidak menerima honor dari manapun, baik dalam bentuk insentif ataupun sertifikasi guru. Meski demikian, guru ini tidak pernah absen dalam tugasnya sebagai guru. Pun guru ini berkomitmen untuk terus menerus bekerja dalam ranah pendidikan ini hingga akhir hayat.
Di tengah tarik menarik kebutuhan, tuntutan, dan daftar keperluan hidup, berapa banyak dari kalangan guru yang dengan serius dan konsisten menjadi guru mukhlish? Jangan pernah menganggap guru mukhlish sebagai perusak penghasilan para guru lainnya, jangan juga mengolok-olok guru mukhlish yang tidak lagi berpikir materi –sebagaimana guru lainnya.
Tidak hanya guru mukhlish, siapapun yang telah menjadi guru di suatu bidang studi dapat mewujudkan potret diri sebagai seorang guru yang memiliki keikhlasan dan melakukan apa saja dalam konteks pendidikan dengan menjadikan keikhlasan sebagai basis dan landasan. Siapapun berkesempatan untuk merealisasikan keikhlasan itu sebagai manifestasi diri lahir dan batin.
Mungkin Anda seorang penjual kain di sebuah pasar tradisional, tidak ada halangan untuk selalu bertransaksi dan berjual beli secara ikhlas –dan memang agama mengajarkan suka sama suka sebagai bagian dari berdagang islami. Tidak ada paksaan.
Mungkin Anda seorang sopir angkot jurusan Lubuk Buaya-Pasar Raya, dalam setiap memacu mesin kendaraan sepanjang perjalanan ada prinsip keikhlasan yang juga bisa dipraktekkan. Dengan menyadari bahwa menjadi sopir adalah ketentuan yang mesti dijalani dengan baik dan profesional, dan penuh keikhlasan tentunya,
Dalam kehidupan yang serba memungkinkan bagi siapa saja untuk berbuat, bekerja dan berprofesi apa saja itu, manusia dapat memilih jalan hidupnya. Apapun mata pencahariannya orang dapat memposisikan keikhlasan itu dalam sendi-sendi kehidupannya.
Jangan pernah menganggap enteng keikhlasan. Keikhlasan merupakan soal hati, hubungan-nya bersifat vertikal. Dan hanya Allah SWT saja yang mengetahuinya. Untuk itulah tidak ada yang secara membabi buta meneriakkan keikhlasan dalam setiap hal yang dikerjakan, pun tidak ada yang menyebutkan keikhlasan itu di depan sesama manusia dalam membuat dan mewujudkan sebuah prestasi kerja dan finishing sebuah amanat yang diemban.
Profil seorang guru mukhlish adalah yang hanya berharap kepada Allah SWT atas apa yang dia usahakan. Haparan yang hanya ditujukan kepada-Nya inilah yang menjadi spirit, pendorong, sekaligus motivasi bagi setiap gerak dan kerja edukatif yang dilakukan. Mengutip sebuah ayat, “Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. 36: 21)
Persoalan yang hari ini banyak dihadapi oleh para pejuang pendidikan dan penyelenggara lembaga pendidikan adalah adanya kecenderungan sebagian orang pada orientasi materil ketimbang destinasi ukhrawi. Dalam ranah pendidikan, seringkali para guru menjadi tidak ikhlas karena ada pembagian yang tidak adil atau tidak seimbang; keikhlasan mereka menjadi terganggu oleh sebab godaan finansial, tuntutan belanja tertier, keperluan primer yang belum sepenuhnya memenuhi standar wajar, dan lainnya.
Keikhlasan seorang guru menjadi teruji oleh aspek-aspek kehidupan yang mengitarinya. Keikhlasan seorang guru dihadapkan pada kenyataan yang tidak dapat dihindari. Keikhlasan seorang guru secara terus menerus menemukan momentumnya untuk senantiasa eksis, komit, dan konsisten.
Bukankah seorang guru mukhlish hendak memberikan contoh sikap dan perilaku bersih dari pujian verbal, pamrih manusiawi, atau sederet motif materil lainnya?! Jika keikhlasan telah tergerus oleh debu hedonis, dan terbawa arus materialis, serta terhempaskan oleh air bah tamak duniawi, maka tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari ikhtiar-ikhtiar edukatif itu melainkan kesibukan dalam formalitas, rutinitas dan aktivitas yang terbungkus rapi dalam tampilan semu, jauh dari ridha Allah Ta’ala. Wal’iyadzu billah.
Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...