Guru Mukhlish
T
|
ugas seorang guru adalah berat.
Tanggungjawabnya juga besar dalam mendidik anak-anaknya. Di lembaga pendidikan
manapun dan dengan sebutan apapun, seorang guru tetap saja menjadi parameter
bagi para muridnya dalam berbagai hal. Bahkan seorang guru yang menjadi idola
akan menjadi rujukan para murid dalam berucap, bersikap, berbuat, berpikir dan
mengambil keputusan.
Namanya guru mukhlish. dipanggil demikian
karena guru ini tidak menerima honor dari manapun, baik dalam bentuk insentif
ataupun sertifikasi guru. Meski demikian, guru ini tidak pernah absen dalam
tugasnya sebagai guru. Pun guru ini berkomitmen untuk terus menerus bekerja
dalam ranah pendidikan ini hingga akhir hayat.
Di tengah tarik menarik
kebutuhan, tuntutan, dan daftar keperluan hidup, berapa banyak dari kalangan
guru yang dengan serius dan konsisten menjadi guru mukhlish? Jangan pernah
menganggap guru mukhlish sebagai perusak penghasilan para guru lainnya, jangan
juga mengolok-olok guru mukhlish yang tidak lagi berpikir materi –sebagaimana
guru lainnya.
Tidak hanya guru mukhlish,
siapapun yang telah menjadi guru di suatu bidang studi dapat mewujudkan potret
diri sebagai seorang guru yang memiliki keikhlasan dan melakukan apa saja dalam
konteks pendidikan dengan menjadikan keikhlasan sebagai basis dan landasan.
Siapapun berkesempatan untuk merealisasikan keikhlasan itu sebagai manifestasi
diri lahir dan batin.
Mungkin Anda seorang penjual kain
di sebuah pasar tradisional, tidak ada halangan untuk selalu bertransaksi dan
berjual beli secara ikhlas –dan memang agama mengajarkan suka sama suka sebagai
bagian dari berdagang islami. Tidak ada paksaan.
Mungkin Anda seorang sopir angkot
jurusan Lubuk Buaya-Pasar Raya, dalam setiap memacu mesin kendaraan sepanjang
perjalanan ada prinsip keikhlasan yang juga bisa dipraktekkan. Dengan menyadari
bahwa menjadi sopir adalah ketentuan yang mesti dijalani dengan baik dan
profesional, dan penuh keikhlasan tentunya,
Dalam kehidupan yang serba
memungkinkan bagi siapa saja untuk berbuat, bekerja dan berprofesi apa saja
itu, manusia dapat memilih jalan hidupnya. Apapun mata pencahariannya orang
dapat memposisikan keikhlasan itu dalam sendi-sendi kehidupannya.
Jangan pernah menganggap enteng
keikhlasan. Keikhlasan merupakan soal hati, hubungan-nya bersifat vertikal. Dan
hanya Allah SWT saja yang mengetahuinya. Untuk itulah tidak ada yang secara
membabi buta meneriakkan keikhlasan dalam setiap hal yang dikerjakan, pun tidak
ada yang menyebutkan keikhlasan itu di depan sesama manusia dalam membuat dan
mewujudkan sebuah prestasi kerja dan finishing sebuah amanat yang
diemban.
Profil seorang guru mukhlish
adalah yang hanya berharap kepada Allah SWT atas apa yang dia usahakan. Haparan
yang hanya ditujukan kepada-Nya inilah yang menjadi spirit, pendorong,
sekaligus motivasi bagi setiap gerak dan kerja edukatif yang dilakukan. Mengutip
sebuah ayat, “Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka
adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. 36: 21)
Persoalan yang hari ini banyak
dihadapi oleh para pejuang pendidikan dan penyelenggara lembaga pendidikan
adalah adanya kecenderungan sebagian orang pada orientasi materil ketimbang
destinasi ukhrawi. Dalam ranah pendidikan, seringkali para guru menjadi tidak
ikhlas karena ada pembagian yang tidak adil atau tidak seimbang; keikhlasan
mereka menjadi terganggu oleh sebab godaan finansial, tuntutan belanja tertier,
keperluan primer yang belum sepenuhnya memenuhi standar wajar, dan lainnya.
Keikhlasan seorang guru menjadi
teruji oleh aspek-aspek kehidupan yang mengitarinya. Keikhlasan seorang guru
dihadapkan pada kenyataan yang tidak dapat dihindari. Keikhlasan seorang guru
secara terus menerus menemukan momentumnya untuk senantiasa eksis, komit, dan
konsisten.
Bukankah seorang guru mukhlish
hendak memberikan contoh sikap dan perilaku bersih dari pujian verbal, pamrih
manusiawi, atau sederet motif materil lainnya?! Jika keikhlasan telah tergerus
oleh debu hedonis, dan terbawa arus materialis, serta terhempaskan oleh air bah
tamak duniawi, maka tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari ikhtiar-ikhtiar
edukatif itu melainkan kesibukan dalam formalitas, rutinitas dan aktivitas yang
terbungkus rapi dalam tampilan semu, jauh dari ridha Allah Ta’ala. Wal’iyadzu
billah.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar