Senin, 18 Februari 2019

Membangun Kedekatan Individu


Mendekat vs Menjauh
J
arak masih sering dijadikan alasan seseorang dalam membangun komunikasi, melestarikan silaturahim, dan membina kebersamaan. Oleh karena asumsi jarak, ada yang sengaja tidak mau menyambung jalinan dan ikatan yang sudang lama dirintis. Karena alasan jarak pula, suatu hubungan putus.
Orang boleh saja menyebut jarak sebagai suatu pagar yang tak mampu dilewati. Orang juga bisa mengatakan jarak sebagai penghalang yang paling nyata untuk sebuah komunikasi intensif. Dan masih banyak lagi alasan lainnya.
Betapa jarak, bagi sebagian orang, telah menjadi suatu beban, halangan dan penyebab utama bagi berpisahnya jalinan komunikasi antar dua pihak yang akrab; disebut beban, karena jarak yang jauh telah mengakibatkan ongkos untuk bertemu menjadi mahahl, dan keterkaitan menjadi renggang; disebut halangan, karena komunikasi jarak jauh telah menjadi sekat bagi ‘kopi darat’, tatap muka dan komunikasi langsung.
Tidak ada yang menghendaki bahwa komunikasi dan silaturahim diniatkan untuk putus di tengah jalan. Tidak ada yang dengan sengaja membangun jalinan silaturahim hanya untuk meruntuhkannya. Pun tak ada yang tidak mengapresiasi upaya-upaya proaktif untuk aktivitas yang bermuara pada komunikasi dan silaturahim.
Keinginan untuk berkomunikasi merupakan i’tikad baik yang terus menerus dihadirkan dalam kehidupan bersama dan interaksi yang positif. Keinginan untuk bersilaturahim juga menjadi prototipe karakter bangsa Indonesia. Hal ini menjadi indikator keramahan dan kesantunan bangsa kita.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berharkat dan bermartabat. Kekuatan dalam membangun komunikasi intensif menjadi karakter bangsa ini. Demikian juga semangat dalam bersilaturahim telah mencerminkan pribadi keindonesiaan yang berbasis budaya dan agama.
Indonesia, sebagai negara agama, telah menjadikan kehidupan yang aman, nyaman dan damai sebagai identitas sekaligus karakter bangsa. Dan untuk mewujudkan ketiga hal itu adalah melalui jalur komunikasi yang baik dan silaturahim.
Terma ulama’ dan umara’, misalnya, telah menegaskan adanya bidang garap dan tugas yang berbeda, namun keberadaan keduanya menjadi sinyalemen konstruksi yang tak terpisahkan dan menjadi semakin kokoh oleh inisiasi saling komunikasi dan silaturahim.
Dan sebagai warga negara yang baik, komunikasi dan silaturahim yang terpatri dalam interaksi individu maupun sosial menjadi pilihan prioritas dalam kehidupan untuk sebuah kebersamaan, persatuan dan kesatuan.
Jika kebersamaan telah menjadi prioritas, maka komunikasi aktif dan positif menjadi konsekuensinya. Jika persatuan dan kesatuan menjadi destinasi kehidupan bangsa, maka silaturahim telah menetapkan pondasinya, dan dapat memperkuat solidaritas dan soliditasnya.
Bermula dari diri sendiri, komunikasi yang bebas dari faktor jarak telah terbuka di depan mata, melalui semesta global dan jaringan terbuka. Kecanggihan teknologi menjadi sarana untuk mewujudkan komunikasi, sehingga silaturahim dapat terus menerus terlaksana.
Silaturahim dan komunikasi dapat dijadikan sebagai budaya progresif yang mampu mendekatkan yang jauh dan mengakrabkan yang acuh.
Siapapun, tanpa terkecuali, memiliki kesempatan yang sama dalam menjaga silaturahim dan menjalin komunikasi yang efektif baik dalam aspek mikro maupun makro kehidupan manusia.
Keseriusan seseorang untuk membangun silaturahim dengan orang lain merupakan upaya pendekatan konstruktif dalam paradigma relasi kehidupan individu maupun sosial. Inilah representasi dari adagium “Jika kamu mendekat padaku, maka akupun akan mendekat padamu. Dan jika kamu menjauh dariku, kamu juga akan menemukanku jauh darimu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...