Mendekat vs Menjauh
J
|
arak masih sering dijadikan alasan seseorang dalam membangun
komunikasi, melestarikan silaturahim, dan membina kebersamaan. Oleh karena asumsi jarak, ada yang sengaja tidak
mau menyambung jalinan dan ikatan yang sudang lama dirintis. Karena alasan
jarak pula, suatu hubungan putus.
Orang boleh saja menyebut jarak sebagai
suatu pagar yang tak mampu dilewati. Orang juga bisa mengatakan jarak sebagai
penghalang yang paling nyata untuk sebuah komunikasi intensif. Dan masih banyak lagi
alasan lainnya.
Betapa jarak, bagi sebagian orang, telah
menjadi suatu beban, halangan dan penyebab utama bagi berpisahnya jalinan
komunikasi antar dua pihak yang akrab; disebut beban, karena jarak yang jauh
telah mengakibatkan ongkos untuk bertemu
menjadi mahahl, dan keterkaitan menjadi renggang; disebut
halangan, karena komunikasi jarak jauh telah menjadi sekat bagi ‘kopi darat’,
tatap muka dan komunikasi langsung.
Tidak ada yang menghendaki bahwa komunikasi
dan silaturahim diniatkan untuk putus di tengah jalan. Tidak ada yang dengan
sengaja membangun jalinan silaturahim hanya untuk meruntuhkannya. Pun tak ada
yang tidak mengapresiasi upaya-upaya proaktif untuk aktivitas yang bermuara
pada komunikasi dan silaturahim.
Keinginan untuk berkomunikasi merupakan
i’tikad baik yang terus menerus dihadirkan dalam kehidupan bersama dan
interaksi yang positif. Keinginan untuk bersilaturahim juga menjadi prototipe
karakter bangsa Indonesia. Hal ini menjadi
indikator keramahan dan kesantunan bangsa kita.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang
berharkat dan bermartabat. Kekuatan dalam membangun komunikasi intensif menjadi
karakter bangsa ini. Demikian juga semangat dalam bersilaturahim telah
mencerminkan pribadi keindonesiaan yang berbasis budaya dan agama.
Indonesia, sebagai negara agama, telah
menjadikan kehidupan yang aman, nyaman dan damai sebagai identitas sekaligus
karakter bangsa. Dan untuk mewujudkan ketiga hal itu adalah melalui jalur
komunikasi yang baik dan silaturahim.
Terma ulama’ dan umara’, misalnya, telah
menegaskan adanya bidang garap dan tugas yang berbeda, namun keberadaan
keduanya menjadi sinyalemen konstruksi yang tak terpisahkan dan menjadi semakin
kokoh oleh inisiasi saling komunikasi dan silaturahim.
Dan sebagai warga negara yang baik,
komunikasi dan silaturahim yang terpatri dalam interaksi individu maupun sosial
menjadi pilihan prioritas dalam kehidupan untuk sebuah kebersamaan, persatuan
dan kesatuan.
Jika kebersamaan telah menjadi prioritas,
maka komunikasi aktif dan positif menjadi konsekuensinya. Jika persatuan dan kesatuan menjadi destinasi kehidupan bangsa, maka
silaturahim telah menetapkan pondasinya, dan dapat memperkuat solidaritas dan soliditasnya.
Bermula dari diri sendiri, komunikasi yang
bebas dari faktor jarak telah terbuka di depan mata,
melalui semesta global dan jaringan terbuka. Kecanggihan teknologi menjadi
sarana untuk mewujudkan komunikasi, sehingga silaturahim dapat terus menerus
terlaksana.
Silaturahim dan
komunikasi dapat dijadikan sebagai budaya progresif yang mampu mendekatkan yang
jauh dan mengakrabkan yang acuh.
Siapapun, tanpa
terkecuali, memiliki kesempatan yang sama dalam menjaga silaturahim dan menjalin
komunikasi yang efektif baik dalam aspek mikro maupun makro kehidupan manusia.
Keseriusan seseorang
untuk membangun silaturahim dengan orang lain merupakan upaya pendekatan
konstruktif dalam paradigma relasi kehidupan individu maupun sosial. Inilah
representasi dari adagium “Jika kamu mendekat padaku, maka akupun
akan mendekat padamu. Dan jika kamu menjauh dariku, kamu juga akan menemukanku
jauh darimu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar