Minggu, 05 Agustus 2018

Membangun Relasi Personal


Menyapa

Seorang pimpinan di sebuah lembaga pendidikan menyapa saudaranya –siapa saja yang bekerja di dalam lembaga pendidikan itu, baik dari kalangan pendidik dan tenaga kependidikan, hingga jongos. Tidak seperti biasanya. Padahal selama ini sikapnya dingin, acuh tak acuh, dan cuek. Bukan karena apa, tetapi ada sesuatu yang diinginkan –sesuatu yang bersifat materi tentunya.
Bangunan relasi personal yang berdasar pada sel-sel materi tidaklah lama, dan tepat guna. Begitu materi habis dan punah, selesai pula relasi. Begitu materi tidak lagi mengalir, putus sudah hubungan. Suatu bangunan yang begitu lemah sangat.
Hubungan kemanusiaan antar sesama muslim sangatlah penting. Hubungan yang dimaksud adalah yang berdasar pada keridhaan Allah Ta’ala semata. Manakala hal itu sudah bercampur dengan ‘target’ duniawi, menjadi hilanglah makna hubungan itu. Dunia begitu remeh dan tidak berharga, sementara hubungan ‘maknawi’ adalah segalanya –hubungan yang bersifat manusiawi dan ilahiyah.
Dan, menyapa itu, meski kelihatan remeh dan simpel, namun sungguh membawa efek dan dampak luar biasa. Menyapa, apalagi dengan setetes keikhlasan dan sikap apa adanya, mampu mencairkan suasana.
Menyapa, bagi sebagian orang, merupakan perkara berat. Hal itu karena adanya keangkuhan dalam diri, kesombongan dalam pola pikir, dan over pede yang menganggap orang lain kecil dan rendah.
Atau jika tidak, ketidakmauan menyapa oleh sebab syetan telah berhasil membuat sekat dan stempel bahwa orang lain itu layak disebut musuh, atau rival yang hendaknya terus menerus dimusuhi.
Sangat kasihan sekali dengan upaya menyapa seseorang yang gagal menemukan momentumnya; hanya gara-gara diri ini merasa kuasa –sementara ia lupa siapa Yang Maha Kuasa sebenarnya; hanya karena diri ini menjadi lokomotif penggerak kewenangan –sehingga siapapun harus tunduk dan ‘nyembah’ padanya.
Sungguh, menyapa orang lain telah menjadi momok dan beban hidup yang berat.
Nurani, ketika seseorang berbuat salah, pasti akan mengingatkan diri supaya meminta maaf. Namun syetan telah berhasil membuat diri ini tertipu, bahwa hanya orang lain yang salah. “Kamu selalu benar”, dan menyapa tidak lagi mau muncul. Dan diri ini mulai acuh tak acuh lagi.
Kalau ada sapaan yang terjadi, oleh sebab berpapasan secara tidak sengaja, diri ini akan menunjukkan sedikit “say hello” atau cukup sebersit senyum “menipu” yang itu penuh kebohongan. Dan menyapa orang lain hanya sebatas kepentingan. Ironis.
Adakah menyapa yang tanpa tendensi itu dilakukan dalam interaksi individu dan sosial? Mungkinkah diri ini menyapa dengan sepenuh rasa kemanusiaan kepada orang lain?
Ataukah hanya karena diri ini mengendarai Lamborghini, sementara orang lain sepeda motor butut, dan menyapa menjadi tidak lagi maujud oleh perbedaan status sosial, level dan kepangkatan?
Ingatlah, ketika kematian ‘menyapa’mu, tak akan ada lagi kehidupan yang sudi menyapamu. Dan keangkuhan atau kesombongan akan menguburmu jauh dalam sejarah yang kelam.

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...