Menyapa
Seorang pimpinan di sebuah lembaga pendidikan menyapa
saudaranya –siapa saja yang bekerja di
dalam lembaga pendidikan itu, baik dari kalangan pendidik dan tenaga kependidikan,
hingga jongos. Tidak seperti
biasanya. Padahal selama ini sikapnya dingin, acuh tak acuh, dan cuek.
Bukan karena apa, tetapi ada sesuatu yang diinginkan –sesuatu yang bersifat
materi tentunya.
Bangunan
relasi personal yang berdasar pada sel-sel materi tidaklah lama, dan tepat guna.
Begitu materi habis dan punah, selesai pula relasi. Begitu materi tidak lagi mengalir,
putus sudah hubungan. Suatu bangunan yang begitu lemah sangat.
Hubungan kemanusiaan antar sesama muslim sangatlah
penting. Hubungan yang dimaksud adalah yang berdasar pada keridhaan Allah
Ta’ala semata. Manakala hal itu sudah bercampur dengan ‘target’ duniawi,
menjadi hilanglah makna hubungan itu. Dunia begitu remeh dan tidak berharga,
sementara hubungan ‘maknawi’ adalah segalanya –hubungan
yang bersifat manusiawi dan ilahiyah.
Dan,
menyapa itu, meski kelihatan remeh dan simpel, namun sungguh membawa efek dan dampak
luar biasa. Menyapa, apalagi dengan setetes keikhlasan dan sikap apa adanya, mampu
mencairkan suasana.
Menyapa,
bagi sebagian orang, merupakan perkara berat. Hal itu karena adanya keangkuhan dalam
diri, kesombongan dalam pola pikir, dan over pede yang menganggap orang lain kecil
dan rendah.
Atau
jika tidak, ketidakmauan menyapa oleh sebab syetan telah berhasil membuat sekat
dan stempel bahwa orang lain itu layak disebut musuh, atau rival yang hendaknya
terus menerus dimusuhi.
Sangat
kasihan sekali dengan upaya menyapa seseorang yang gagal menemukan momentumnya;
hanya gara-gara diri ini merasa kuasa –sementara ia lupa siapa Yang Maha Kuasa sebenarnya;
hanya karena diri ini menjadi lokomotif penggerak kewenangan –sehingga siapapun
harus tunduk dan ‘nyembah’ padanya.
Sungguh,
menyapa orang lain telah menjadi momok dan beban hidup yang berat.
Nurani,
ketika seseorang berbuat salah, pasti akan mengingatkan diri supaya meminta maaf.
Namun syetan telah berhasil membuat diri ini tertipu, bahwa hanya orang lain yang
salah. “Kamu selalu benar”, dan menyapa tidak lagi mau muncul. Dan diri ini mulai
acuh tak acuh lagi.
Kalau
ada sapaan yang terjadi, oleh sebab berpapasan secara tidak sengaja, diri ini akan
menunjukkan sedikit “say hello” atau cukup sebersit senyum “menipu” yang itu penuh
kebohongan. Dan menyapa orang lain hanya sebatas kepentingan. Ironis.
Adakah
menyapa yang tanpa tendensi itu dilakukan dalam interaksi individu dan sosial? Mungkinkah
diri ini menyapa dengan sepenuh rasa kemanusiaan kepada orang lain?
Ataukah
hanya karena diri ini mengendarai Lamborghini, sementara orang lain sepeda motor
butut, dan menyapa menjadi tidak lagi maujud oleh perbedaan status sosial, level
dan kepangkatan?
Ingatlah,
ketika kematian ‘menyapa’mu, tak akan ada lagi kehidupan yang sudi menyapamu. Dan
keangkuhan atau kesombongan akan menguburmu jauh dalam sejarah yang kelam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar