Selasa, 22 Mei 2018

Menjadi Pemimpin


Moh.In'ami | Karakter Sang Pemimpin



Judul tulisan ini tidak sedang mengkritisi sebuah kepemimpinan dalam birokrasi, ataupun mengkritik siapapun yang saat ini sedang menjabat, atau dalam posisi sebagai pemimpin, baik perusahaan, lembaga pendidikan, perbankan, yayasan sosial keagamaan, atau institusi apapun. Tulisan ini berangkat dari persepsi imâm dan makmum yang bias.
Dalam sebuah shalât jamâ`ah, sebagian makmun dikagetkan oleh tindakan sang imâm saat memimpin shalât berjamâ`ah. Ia ‘keluar’ dari shalât pada saat jumlah raka`ât mencapai separoh dari keseluruhan. Sementara sebagian makmun yang bingung, tidak mengerti hal itu, merasa ada yang aneh dan ganjil dari shalât berjamâ`ah yang mereka lakukan bersama sang imâm.
Tepat di belakang sang imâm, terdapat seorang makmun yang ‘mengerti’, mengapa sang imâm mundur dari konsentrasi `ibâdahnya. Tanpa ragu lagi, ia melangkah maju dan menempati posisi imâm. Suatu tindakan penyelamatan ‘kebekuan’ berjamâ`ah, dan ia memimpin shalât itu hingga sempurna jumlah raka`ât shalât.
Menjadi imâm adalah tugas mulia. Tidak ada suatu aktivitas `ibâdah berjamâ`ah tanpa disertai imâm; yang memberi komando dari suatu gerakan ke gerakan yang lain, yang mengawali dan mengakhiri, menjadi panutan bagi siapa saja yang ‘siap’ mengikutinya.
Pun demikian, menjadi makmum adalah tugas mulia. Tiada suatu kegiatan yang terselenggara dalam praktek keagamaan yang dilaksanakan secara berjamâ`ah melainkan ia, tanpa dipaksa atau diintimidasi, mau dan mampu mengikuti komando, gerakan, dan tindakan apapun setelah sang imâm memberikan instruksinya; dengan takbîr atau ucapan lainnya.
Regulasi yang diterapkan dalam `ibâdah shalât sangat jelas dan gamblang. Imâm adalah yang mengawali segala tindakan ataupun gerak apapun dalam shalât, dan makmum tidak pernah melakukan kecuali imâm telah memulainya. Dalam diri sang makmum terdapat suatu kesadaran yang tinggi berkenaan dengan tidak diperbolehkannya makmum mendahului imâm. Apapun peluang yang ada, makmum tidak pernah berpikir untuk menggantikan imâm ataupun melakukan suatu tindakan yang mencederai status imâm.
Dalam kondisi imâm batal, mengundurkan diri dari posisi imâm adalah suatu keniscayaan yang harus dipilih sang imâm. Seorang makmum yang berada tepat di belakang imâm maju untuk memimpin jamâ`ah. Agar para makmum tidak kehilangan petunjuk, panutan ataupun komandan shalât berjamâ`ah. Agar makmum tetap stabil dan tidak kocar-kacir dalam menjalankan `ibâdahnya.
Demikianlah tatanan yang telah Allâh SWT tetapkan bagi hamba-hamba-Nya yang berîmân dan taat pada perintah-Nya. Masing-masing orang yang berîmân, apapun posisinya, sebagai imâm atau makmum, tunduk pada kesempurnaan hukum Allâh yang berlaku bagi makhlûq. Tanpa terkecuali.

1. Menjadi imâm

Sudah menjadi tabiat manusia bahwa dua orang yang berjalan kaki di sebuah jalan raya berjalan beriringan, dan bukannya depan-belakang. Berjalan beriringan mengandung arti bahwa masing-masing memiliki hak yang sama untuk menjadi yang di depan. Jika yang terjadi adalah adanya keharusan seseorang berjalan di depan sementara yang lain di belakang, tentu dan mungkin ada tuntutan sebuah skenario yang mesti dijalani oleh dua orang pejalan kaki tersebut.
Padahal jalan ini sangat ramai, padat dan sesak. Apa yang akan terjadi, dengan sikap bersikeras untuk tetap di depan, bagi salah satu dari dua pejalan kaki tersebut. Atau kerugian apakah yang muncul sebagai bentuk akibat dari polah tingkah dua orang pejalan kaki yang memaksakan diri berjalan beriringan, tanpa ada yang mau mengalah, yang satu tidak rela yang lain di depan.
Apa yang tersebut di atas hanyalah sebuah analog, perumpamaan atau sindiran. Dalam sebuah rumah tangga, keberadaan suami dan istri merupakan indikasi adanya posisi imâm dan makmum. Tanpa kita terjebak pada polemik gender atau teologi apapun. Bahwa suami dapat disebut sebagai imâm dalam tatanan rumah tangga, sedang istri bisa memposisikan diri sebagai makmum. Untuk aktualisasi posisi ini, masing-masing suami-istri hendaknya menjalankan tugas-tugas dengan baik sesuai posisinya dan menikmati segala hal yang berkenaan dengan posisi itu.
Dalam politik, misalnya. Dua orang yang berangkat menuju suatu tujuan, dengan kendaraan politik yang sama sekali berlawanan arah. Apakah terdapat titik temu antara dua orang ini? Jika masing-masing menyadari sisi kemanusiaannya, tentu tidak sulit untuk menemukannya. Apalagi jika yang disebut tujuan dalam ranah politik ini adalah mardhâtillâh. Menggapai keridhâan Allâh semata. Sebaliknya, jika dominasi kepentingan sangat kuat dan kebenaran berujung pada level relatif, maka untuk menjadi imâm dalam konstelasi politik akan menjadi berat. Pun menjadi makmum akan terasa hambar dan hampa dari nilai-nilai ilâhiyah, karena dominasi kepentingan itu mengarah pada suatu ketaatan pada manusia –baca: hawâ nafsunya.
Masih banyak lagi kenyataan yang, sejatinya dapat, diungkap. Dan sangat mungkin manusia terjebak pada ‘relasi kuasa’ dalam status imâm dan makmum ini. Padahal keberadaan imâm maupun makmum sama sekali bukan untuk menjadikan satu sebagai subordinat bagi yang lain. Atau ketika semua orang hendak menjadi imâm dapat berarti menerjang Sunnatullâh. Dan akan menjadi absurd manakala dalam suatu komunitas tidak ada seorangpun yang mau ditunjuk sebagai imâm.

2. Kembali ke (aturan) Allâh

Allâh SWT telah membuat ketetapan bagi makhlûq-Nya. Manusia. Ketetapan itulah yang menjadi sandaran dan acuan dalam setiap langkah kehidupannya. Mengapa orang tidak lagi peduli terhadap hukum Allâh ini, sementara hukum atau aturan yang dibuat oleh manusia lebih dijadikan sebagai pedoman melebihi yang telah di-nash dalam Alqurân?
Adakah kaum muslim merealisasikan tatanan yang telah Allâh tetapkan, sementara untuk mencapai suatu kedudukan, pangkat atau jabatan, harus menggunakan yang ‘umumnya’ orang melakukan? Mengikuti cara atau prosedur yang ‘umumnya’ orang menggunakan adalah jauh dari legalitas formal hukum Islâm.
Menjadi wajar di mata publik bahwa mengadopsi aspirasi anggota kelompok yang mendukung suatu kepemimpinan yang berjalan adalah prioritas ketimbang memperhatikan realitas yang sedang dialami orang lain atau fakta yang terjadi pada anggota kelompok lain. Maka pembelaan pemimpin terhadap para pendukungnya adalah tak terelakkan, sedangkan sikap kritis terhadap siapapun yang masuk kategori penentang pemimpin sering dimaknai sebagai bentuk balasan setimpal.
Jika manusia, yang memimpin maupun yang dipimpin, larut dalam kebenaran yang dipersepsi tanpa mau membuka diri untuk mengembalikan kepada hukum Allâh, maka tabuh genderang perseteruan tidak akan pernah padam. Terlebih jika syetan telah menguasai masing-masing imâm dan makmum. Orang menjadi lupa bahwa menjadi makmum dan imâm itu terdapat konsekuensi yang mesti dijalankan.
Pantas saja Allâh SWT berfirman,
Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang telah Allâh turunkan, maka janganlah kamu mengikuti hawâ nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS. 5: 48)
Sungguh ironis, seorang imâm yang batal wudhunya tidak mau mundur dan digantikan makmum yang berada di belakangnya. Sungguh, carut marut sistem ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya yang dibuat manusia berawal dari kondisi ‘batalnya wudhu’ seseorang, apakah ia berstatus makmum ataupun imâm.

3. Hanya fakta

Seorang imâm yang batal dan bersikeras untuk mengimâmi sebuah jamâ`ah hingga selesai adalah tidak benar. Pun tidak tepat jika seorang yang menjadi makmum memaksa imâm untuk mundur, oleh sebab yang seharusnya imâm tahu bahwa ia harus mundur.
Kesadaran manusia, sebagai hamba Allâh yang shâlih, akan memunculkan ketaatan pada hukum bahwa batal menjadikan siapapun tanpa terkecuali untuk menyegerakan berwudhu. Jika orang yang batal itu sedang menjalani tugas sebagai imâm, maka batalnya wudhu menjadi argumen bagi dirinya untuk keluar dari shalât, berapapun raka`at yang terlaksana. Sebagai imâm, tidak lagi ingin mencari atau membangun persepsi pada jamâ`ah akan keabsahan shalâtnya, padahal ia batal. Tidak ada lagi penggalangan jamâ`ah untuk mendukung kontinuitas statusnya sebagai imâm, meski ia batal. Pun tidak ada keinginan sang imâm untuk menjadi imâm abadi, karena ia sadar untuk melakukan kaderisasi.
Dalam konteks shalât, tidak ada seorang imâm yang meremehkan makmum; meluruskan setiap shaf, mengajak untuk merapatkan barisan, dan mempersilahkan siapa saja, di belakang, untuk mengisi shaf depan yang masih kosong. Tidak ada imâm yang memberikan kesempatan kepada makmum berdasarkan konsep like dan dislike. Sebagai imâm, ada kesadaran bahwa ia bukanlah penentu diterima atau ditolaknya `ibâdah seseorang.
Dalam ranah kepemimpinan, seorang pemimpin hendaknya peduli pada orang-orang yang berada di bawah kewenangan dan otoritasnya. Tak seorangpun yang terlewatkan dari perlakuan positif sang pemimpin. Keberadaan pemimpin bukan untuk sekelompok orang. Tanggungjawab pemimpin adalah terhadap seluruh rakyat yang dipimpinnya. Sabda Nabi saw, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin pasti akan dimintai pertanggungjawaban.” Adakah di sekitar kita seorang pemimpin yang (lebih) peduli (terhadap rakyat) sekaligus bertanggungjawab? ž












Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...