Moh.In'ami | Karakter Sang Pemimpin
Judul tulisan ini tidak sedang
mengkritisi sebuah kepemimpinan dalam birokrasi, ataupun mengkritik siapapun
yang saat ini sedang menjabat, atau dalam posisi sebagai pemimpin, baik
perusahaan, lembaga pendidikan, perbankan, yayasan sosial keagamaan, atau
institusi apapun. Tulisan ini berangkat dari persepsi imâm dan makmum yang
bias.
Dalam sebuah
shalât jamâ`ah, sebagian makmun dikagetkan oleh tindakan sang imâm saat
memimpin shalât berjamâ`ah. Ia ‘keluar’ dari shalât pada saat jumlah raka`ât
mencapai separoh dari keseluruhan. Sementara sebagian makmun yang bingung,
tidak mengerti hal itu, merasa ada yang aneh dan ganjil dari shalât berjamâ`ah
yang mereka lakukan bersama sang imâm.
Tepat di
belakang sang imâm, terdapat seorang makmun yang ‘mengerti’, mengapa sang imâm
mundur dari konsentrasi `ibâdahnya. Tanpa ragu lagi, ia melangkah maju dan
menempati posisi imâm. Suatu tindakan penyelamatan ‘kebekuan’ berjamâ`ah, dan
ia memimpin shalât itu hingga sempurna jumlah raka`ât shalât.
Menjadi imâm
adalah tugas mulia. Tidak ada suatu aktivitas `ibâdah berjamâ`ah tanpa disertai
imâm; yang memberi komando dari suatu gerakan ke gerakan yang lain, yang
mengawali dan mengakhiri, menjadi panutan bagi siapa saja yang ‘siap’
mengikutinya.
Pun demikian,
menjadi makmum adalah tugas mulia. Tiada suatu kegiatan yang terselenggara
dalam praktek keagamaan yang dilaksanakan secara berjamâ`ah melainkan ia, tanpa
dipaksa atau diintimidasi, mau dan mampu mengikuti komando, gerakan, dan
tindakan apapun setelah sang imâm memberikan instruksinya; dengan takbîr atau
ucapan lainnya.
Regulasi yang
diterapkan dalam `ibâdah shalât sangat jelas dan gamblang. Imâm adalah yang
mengawali segala tindakan ataupun gerak apapun dalam shalât, dan makmum tidak
pernah melakukan kecuali imâm telah memulainya. Dalam diri sang makmum terdapat
suatu kesadaran yang tinggi berkenaan dengan tidak diperbolehkannya makmum
mendahului imâm. Apapun peluang yang ada, makmum tidak pernah berpikir untuk
menggantikan imâm ataupun melakukan suatu tindakan yang mencederai status imâm.
Dalam kondisi
imâm batal, mengundurkan diri dari posisi imâm adalah suatu keniscayaan yang
harus dipilih sang imâm. Seorang makmum yang berada tepat di belakang imâm maju
untuk memimpin jamâ`ah. Agar para makmum tidak kehilangan petunjuk, panutan
ataupun komandan shalât berjamâ`ah. Agar makmum tetap stabil dan tidak kocar-kacir
dalam menjalankan `ibâdahnya.
Demikianlah
tatanan yang telah Allâh SWT tetapkan bagi hamba-hamba-Nya yang berîmân dan
taat pada perintah-Nya. Masing-masing orang yang berîmân, apapun posisinya,
sebagai imâm atau makmum, tunduk pada kesempurnaan hukum Allâh yang berlaku
bagi makhlûq. Tanpa terkecuali.
1. Menjadi imâm
Sudah menjadi tabiat manusia bahwa dua orang yang berjalan
kaki di sebuah jalan raya berjalan beriringan, dan bukannya depan-belakang.
Berjalan beriringan mengandung arti bahwa masing-masing memiliki hak yang sama
untuk menjadi yang di depan. Jika yang terjadi adalah adanya keharusan
seseorang berjalan di depan sementara yang lain di belakang, tentu dan mungkin
ada tuntutan sebuah skenario yang mesti dijalani oleh dua orang pejalan kaki
tersebut.
Padahal jalan ini sangat ramai, padat dan sesak. Apa yang akan
terjadi, dengan sikap bersikeras untuk tetap di depan, bagi salah satu dari dua
pejalan kaki tersebut. Atau kerugian apakah yang muncul sebagai bentuk akibat
dari polah tingkah dua orang pejalan kaki yang memaksakan diri berjalan
beriringan, tanpa ada yang mau mengalah, yang satu tidak rela yang lain di
depan.
Apa yang tersebut di atas hanyalah sebuah analog, perumpamaan
atau sindiran. Dalam sebuah rumah tangga, keberadaan suami dan istri merupakan
indikasi adanya posisi imâm dan makmum. Tanpa kita terjebak pada polemik gender
atau teologi apapun. Bahwa suami dapat disebut sebagai imâm dalam tatanan rumah
tangga, sedang istri bisa memposisikan diri sebagai makmum. Untuk aktualisasi
posisi ini, masing-masing suami-istri hendaknya menjalankan tugas-tugas dengan
baik sesuai posisinya dan menikmati segala hal yang berkenaan dengan posisi
itu.
Dalam politik, misalnya. Dua orang yang berangkat menuju
suatu tujuan, dengan kendaraan politik yang sama sekali berlawanan arah. Apakah
terdapat titik temu antara dua orang ini? Jika masing-masing menyadari sisi
kemanusiaannya, tentu tidak sulit untuk menemukannya. Apalagi jika yang disebut
tujuan dalam ranah politik ini adalah mardhâtillâh. Menggapai keridhâan
Allâh semata. Sebaliknya, jika dominasi kepentingan sangat kuat dan kebenaran
berujung pada level relatif, maka untuk menjadi imâm dalam konstelasi
politik akan menjadi berat. Pun menjadi makmum akan terasa hambar dan hampa
dari nilai-nilai ilâhiyah, karena dominasi kepentingan itu mengarah pada suatu
ketaatan pada manusia –baca: hawâ nafsunya.
Masih banyak lagi kenyataan yang, sejatinya dapat, diungkap.
Dan sangat mungkin manusia terjebak pada ‘relasi kuasa’ dalam status imâm dan
makmum ini. Padahal keberadaan imâm maupun makmum sama sekali bukan untuk
menjadikan satu sebagai subordinat bagi yang lain. Atau ketika semua
orang hendak menjadi imâm dapat berarti menerjang Sunnatullâh. Dan akan
menjadi absurd manakala dalam suatu komunitas tidak ada seorangpun yang
mau ditunjuk sebagai imâm.
2. Kembali ke (aturan) Allâh
Allâh SWT telah membuat ketetapan bagi makhlûq-Nya. Manusia.
Ketetapan itulah yang menjadi sandaran dan acuan dalam setiap langkah
kehidupannya. Mengapa orang tidak lagi peduli terhadap hukum Allâh ini,
sementara hukum atau aturan yang dibuat oleh manusia lebih dijadikan sebagai
pedoman melebihi yang telah di-nash dalam Alqurân?
Adakah kaum muslim merealisasikan tatanan yang telah Allâh
tetapkan, sementara untuk mencapai suatu kedudukan, pangkat atau jabatan, harus
menggunakan yang ‘umumnya’ orang melakukan? Mengikuti cara atau prosedur yang
‘umumnya’ orang menggunakan adalah jauh dari legalitas formal hukum Islâm.
Menjadi wajar di mata publik bahwa mengadopsi aspirasi
anggota kelompok yang mendukung suatu kepemimpinan yang berjalan adalah
prioritas ketimbang memperhatikan realitas yang sedang dialami orang lain atau
fakta yang terjadi pada anggota kelompok lain. Maka pembelaan pemimpin terhadap
para pendukungnya adalah tak terelakkan, sedangkan sikap kritis terhadap
siapapun yang masuk kategori penentang pemimpin sering dimaknai sebagai bentuk
balasan setimpal.
Jika manusia, yang memimpin maupun yang dipimpin, larut dalam
kebenaran yang dipersepsi tanpa mau membuka diri untuk mengembalikan kepada
hukum Allâh, maka tabuh genderang perseteruan tidak akan pernah padam. Terlebih
jika syetan telah menguasai masing-masing imâm dan makmum. Orang menjadi lupa
bahwa menjadi makmum dan imâm itu terdapat konsekuensi yang mesti dijalankan.
Pantas saja Allâh SWT berfirman,
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang telah
Allâh turunkan, maka janganlah kamu mengikuti hawâ nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS. 5: 48)
Sungguh ironis, seorang imâm yang batal wudhunya tidak mau
mundur dan digantikan makmum yang berada di belakangnya. Sungguh, carut marut
sistem ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya yang dibuat
manusia berawal dari kondisi ‘batalnya wudhu’ seseorang, apakah ia berstatus
makmum ataupun imâm.
3. Hanya fakta
Seorang imâm yang batal dan bersikeras untuk mengimâmi sebuah
jamâ`ah hingga selesai adalah tidak benar. Pun tidak tepat jika seorang yang
menjadi makmum memaksa imâm untuk mundur, oleh sebab yang seharusnya imâm tahu
bahwa ia harus mundur.
Kesadaran manusia, sebagai hamba Allâh yang shâlih, akan
memunculkan ketaatan pada hukum bahwa batal menjadikan siapapun tanpa
terkecuali untuk menyegerakan berwudhu. Jika orang yang batal itu sedang
menjalani tugas sebagai imâm, maka batalnya wudhu menjadi argumen bagi dirinya
untuk keluar dari shalât, berapapun raka`at yang terlaksana. Sebagai imâm,
tidak lagi ingin mencari atau membangun persepsi pada jamâ`ah akan keabsahan
shalâtnya, padahal ia batal. Tidak ada lagi penggalangan jamâ`ah untuk
mendukung kontinuitas statusnya sebagai imâm, meski ia batal. Pun tidak ada
keinginan sang imâm untuk menjadi imâm abadi, karena ia sadar untuk melakukan
kaderisasi.
Dalam konteks shalât, tidak ada seorang imâm yang meremehkan
makmum; meluruskan setiap shaf, mengajak untuk merapatkan barisan, dan
mempersilahkan siapa saja, di belakang, untuk mengisi shaf depan yang masih
kosong. Tidak ada imâm yang memberikan kesempatan kepada makmum berdasarkan
konsep like dan dislike. Sebagai imâm, ada kesadaran bahwa ia
bukanlah penentu diterima atau ditolaknya `ibâdah seseorang.
Dalam ranah
kepemimpinan, seorang pemimpin hendaknya peduli pada orang-orang yang berada di
bawah kewenangan dan otoritasnya. Tak seorangpun yang terlewatkan dari
perlakuan positif sang pemimpin. Keberadaan pemimpin bukan untuk sekelompok
orang. Tanggungjawab pemimpin adalah terhadap seluruh rakyat yang dipimpinnya.
Sabda Nabi saw, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin pasti akan
dimintai pertanggungjawaban.” Adakah di sekitar kita seorang pemimpin yang
(lebih) peduli (terhadap rakyat) sekaligus bertanggungjawab?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar