Moh.In'ami | Hegemoni Yang Menglobal
Satu bulan lebih Ramadhân
telah meninggalkan kita, dan `Îdul Fithri belum juga ‘kembali’ menyapa. Padahal
perayaan dan gegap gempita `Îdul Fithri terasa luar biasa. Tidak seperti adanya
kaum muslim melihatnya hadir; bagi sebagian orang perayaan `Îdul Fithri lebih
bersifat jasmaniyah ketimbang merayakannya secara rohaniyah.
Genap
sudah satu bulan kita bermaaf-maafan, tetapi salah satu di antara kita masih
berbuat ulah pasca momen mulia itu –meski untuk berulah adalah hak asasi
masing-masing dan konsekuensi pertanggungjawabannya. Bahkan lidah manusia yang
dengan jujur dan tulus telah berani berucap minta maaf dan menyatakan tidak ada
lagi dendam, serta mengajak untuk melupakan masa lalu hanyalah ‘kata manis’,
isapan jempol belaka. Bukti bahwa lidah tidak bertulang.
Apakah
potret hidup seorang yang telah ‘kembali’ (baca: kembali ke fithrahnya) masih
tetap saja angkuh, arogan dan tidak peduli kepada sesama? Apakah ‘kembali’
hanya dimaknai sebagai representasi pribadi jasadiyah ketimbang rohaniyah? Jangan-jangan
kembali fithri ataukah belum sama sekali sudah tidak lagi menjadi hitungan?
Padahal,
kita adalah manusia. Tidak ada manusia yang terbebas dari godaan syetan,
kecuali yang mendapatkan perlindungan dari Allâh SWT. Setiap muslim mesti
menyadari bahwa tidak ada kehidupan tanpa tantangan dan rintangan. Dan
tantangan yang paling berat adalah justru datang dari diri sendiri. Melawan
hawâ nafsu. Dan pengendalian hawâ nafsu sudah dijalani pelatihannya oleh setiap
muslim selama sebulan penuh, di bulan Ramadhân yang telah berlalu.
1. Nafsu ‘menuntut’
Berbicara hawâ nafsu tidak bisa lepas dari apa
yang selalu menuntut dalam diri manusia; kebutuhan, keinginan dan nafsu.
Masing-masing memiliki kadar yang harus dipenuhi secara proporsional dan dengan
mengikuti tatanan yang telah Allâh SWT gariskan. Jika tidak, pasti manusia akan
menghamba pada nafsu.
Orang tidak bisa mengelak, masing-masing
individu adalah manusia biasa yang tidak suci dari dosa atau maksiat. Dengan
berbekal Îmân yang masih tertanam di dalam jiwa itulah setiap orang
mengupayakan perbaikan diri dan perhatian pribadi terhadap kesungguhan untuk
menghidupkan agama Allâh, mulai dari diri kita sendiri.
Derasnya laju pergerakan globalisasi dan
westernisasi mengantarkan orang, tanpa terasa dan sadar, mengejar kepentingan
yang mengarah pada kebutuhan jasmani. Sementara itu kebutuhan rohani jarang
mendapat prioritas –menemukan bagiannya, bahkan ditinggalkan dan
diterlantarkan. Padahal dimensi rohani inilah yang mampu menjadikan manusia
menuju kesejatian.
Begitu banyak yang dilahirkan dalam rangka
pemenuhan nafsu. Dan betapa banyaknya kemaksiatan yang muncul merupakan berkat
peran dan dominasi nafsu pada diri seseorang. Hingga pemuasan nafsu mengalami
kepongahan, keangkuhan dan sering menjadi orientasi. Kemudian orang
mengesampingkan penenteraman rohani dan tidak merawat hal-hal yang mengarah
pada penguatannya.
Betapa tantangan dan godaan di luar sangat
berat, dan dorongan dari dalam diri sendiri begitu dahsyat, hingga apapun yang
dilakukan cenderung kepada pemenuhan nafsu belaka.
2. Berhenti memperturutkan
Sudah menjadi watak, watuk dan wahing
(baca: tipikal dan karakter) hawâ nafsu yang senantiasa meminta untuk
‘dilayani’. Hingga manusia pun terus-menerus dan konsisten dalam mengikuti hawâ
nafsu, maka pemenuhan syahwat semakin kuat dan menjadi-jadi. Semakin dilayani,
semakin masuk kubangan hitam, orang tidak akan menemukan kesadaran, malah
yang terjadi adalah ketagihan. Bagaikan suatu zat aditif. Seperti air
laut. Semakin banyak meminumnya, semakin haus terasa.
Demikian juga halnya dengan kemaksiatan dan
dosa, jika tidak diperhatikan, disikapi dengan penyadaran, dicegah dan diputus
maka akan terus-menerus ‘meminta’. Maka, satukan tekad untuk menghentikan
kemaksiatan dan dosa dalam bentuk apapun. Dibutuhkan niat, kemauan keras dan
perasaan senantiasa dalam pengawasan Allâh; jika ingin melakukan maksiat,
segera ingat pada Allâh; jika hendak berbuat dosa, meski dalam keadaan sepi dan
tidak ada orang, segera sadar bahwa Allâh Maha Mengetahui.
Ibarat anak kecil yang sudah genap dua tahun,
orangtuanya –dalam hal ini ibunya– harus tegas dan sayang kepada sang ‘buah
hati’ untuk menghentikan ASI (air susu ibu). Bukti sayang orangtua adalah
menyapihnya. (Perhatikan QS. 31: 14, “dan menyapihnya dalam usia dua tahun”).
Apakah sang anak berhenti total dari minum susu
dengan tetap menerima asupan gizi, atau minum susu instan, atau susu kedelai,
atau lainnya, maka menjadi tugas orangtua untuk melakukan hal itu. Memberikan
konsumsi bergizi pada anak setelah genap dua tahun merupakan sebentuk
pengalihan dari ‘menetek’ ke ‘meminum’ segelas susu. Jika orangtuanya
membiarkan sang anak minum ASI, meski batas dua tahun telah lewat, atau bahkan
lebih hingga mencapai usia remaja maka jangan kaget bila sang anak akan terus
meminta (baca: menetek).
Terhadap dosa dan maksiat, seorang muslim juga
harus tegas dan berani memangkas mata rantai dosa dan maksiat, memutus jeratan
hawâ nafsu, dan berhenti memperturutkan pikiran ataupun perbuatan negatif dan
dilarang agama.
3. Ekspektasi vs realita
Sudah menjadi kebiasaan masyarakat untuk
melakukan seremonial Halâl bi Halâl; di rumah, di kantor, di
komunitas yang tergabung berbagai elemen dan kepentingan, dan lainnya. Hampir
bisa dipastikan jika terdapat suatu perkumpulan orang muslim mengadakan
kegiatan Halâl bi Halâl pada setiap bulan Syawwâl.
Beberapa waktu yang lalu, seorang pimpinan
sebuah perusahaan, yang mengerti agama, mendapat kesempatan untuk mengisi taushiyah
pada acara Halâl bi Halâl di perusahaannya. Ia mengatakan dengan
tegas dan lantang, “Apa yang telah berlalu adalah sesuatu yang hendaknya kita
lupakan. Sekarang sudah tidak ada lagi dendam. Semua telah dan saling
memaafkan”.
Kata-kata itu sangat menggembirakan bagi
sebagian besar pegawai dan karyawan. Pupus sudah segala macam
perselisihan dan perbedaan yang selama ini meruncing. Semua orang berharap ada
banyak kebaikan yang akan dibangun setelah pesta Halâl bi Halâl
berlangsung. Terlebih sang pimpinan perusahaan telah memberikan pernyataan yang
konstruktif dan final.
Dua pekan setelah itu perusahaan mengadakan
even tahunan yang melibatkan semua komponen yang bekerja di perusahaan. Sayang
sekali, penyakit lama pun muncul, dominasi dislike masih bercokol dalam
pribadi sang pemimpin. Beliau meninggalkan orang-orang yang tidak disukai.
Padahal mereka juga memiliki tugas pokok dan fungsi yang sama dengan pegawai maupun
karyawan lain.
Tak lama berselang, perusahaan mengadakan acara
rutin rekruitmen tenaga tahunan. Mestinya tak seorangpun dari pegawai dan
karyawan yang tidak terlibat di hajatan besar itu. Meski hanya sebagai
pengamat, pengaman, korektor, dewan sidang seleksi atau apapun sebutannya.
Harusnya tercermin guyub dan rukun.
Ternyata orang tidak tahan untuk tidak
melakukan sesuatu yang merupakan bukti bahwa ia berkuasa. Momen kegiatan
tahunan itu sebenarnya dapat menjadi sarana pembuktian bahwa benar-benar tidak
ada lagi problem yang selama ini terjadi. Namun, yang terjadi sebaliknya,
egoisme dan interest kelompok masih terasa dan nampak sekali.
Dari kegiatan itu nampaklah bahwa apa yang
menjadi pembicaraan pimpinan perusahaan dalam Halâl bi Halâl
hanya gincu, klise dan artifisial. Orang-orang yang dianggap
berseberangan dengan kelompok pimpinan, berselisih pendapat atau nyata-nyata
menentangnya tidak mendapatkan tugas apapun dalam acara rutin tahunan tersebut.
Inikah bentuk hegemoni nafsu pada karakter manusia muslim?
Oleh karena itu, setiap orang mesti
berhati-hati dan mewaspadai sepak terjang hawâ nafsu dan dampaknya. Peringatan
dan warning yang diberikan para ulama adalah sesungguhnya syahwat yang
sekejap dapat mengakibatkan kesedihan yang berkepanjangan. Hal ini berarti
bahwa kenikmatan (yang menjurus dan mengarah pada pemenuhan nafsu) diperoleh
dengan kemaksiatan, yang dianggap mengenakkan itu, akan berbuntut panjang;
penyesalan, keburukan, kenistaan dan kerugian di hari kiamat.
“Lâ khaira fî ladzdzatin ta`qibu nadaman”.
Tidak ada kebaikan pada suatu kenikmatan yang berakibat penyesalan. Tidak ada
artinya hidup dengan segala fasilitas yang penuh kesejahteraan namun berujung
pada penyesalan dunia dan âkhirat.
Ketika
orang senantiasa memenuhi setiap keinginan, apakah ini yang disebut puasa?
Apakah benar jika berpuasa lantas semua daftar menu makanan harus disantap saat
berbuka? Ataukah menafikan semua keinginan dan meniadakan kebutuhan itu yang
disebut berpuasa?
Indikator
keberhasilan shiyâm Ramadhân adalah kemampuan setiap orang muslim untuk
meminimalisir dan melepas setiap hegemoni hawâ nafsu yang mungkin saja muncul
di tengah seribu kemungkinan di depan mata.
Orang-orang
yang masih memiliki rasa keîmânan mampu melihat adanya ekspektasi yang
tersimpan, meski fakta yang berada di hadapannya sama sekali tidak mendukung,
cenderung memusuhi dan merusak ‘pasokan’ dapur agar tetap mengepul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar