Jumat, 25 Mei 2018

Menyambut Kembali Fitri dan Kemenangan


Moh.In'ami | Hegemoni Yang Menglobal


Satu bulan lebih Ramadhân telah meninggalkan kita, dan `Îdul Fithri belum juga ‘kembali’ menyapa. Padahal perayaan dan gegap gempita `Îdul Fithri terasa luar biasa. Tidak seperti adanya kaum muslim melihatnya hadir; bagi sebagian orang perayaan `Îdul Fithri lebih bersifat jasmaniyah ketimbang merayakannya secara rohaniyah.
Genap sudah satu bulan kita bermaaf-maafan, tetapi salah satu di antara kita masih berbuat ulah pasca momen mulia itu –meski untuk berulah adalah hak asasi masing-masing dan konsekuensi pertanggungjawabannya. Bahkan lidah manusia yang dengan jujur dan tulus telah berani berucap minta maaf dan menyatakan tidak ada lagi dendam, serta mengajak untuk melupakan masa lalu hanyalah ‘kata manis’, isapan jempol belaka. Bukti bahwa lidah tidak bertulang.
Apakah potret hidup seorang yang telah ‘kembali’ (baca: kembali ke fithrahnya) masih tetap saja angkuh, arogan dan tidak peduli kepada sesama? Apakah ‘kembali’ hanya dimaknai sebagai representasi pribadi jasadiyah ketimbang rohaniyah? Jangan-jangan kembali fithri ataukah belum sama sekali sudah tidak lagi menjadi hitungan?
Padahal, kita adalah manusia. Tidak ada manusia yang terbebas dari godaan syetan, kecuali yang mendapatkan perlindungan dari Allâh SWT. Setiap muslim mesti menyadari bahwa tidak ada kehidupan tanpa tantangan dan rintangan. Dan tantangan yang paling berat adalah justru datang dari diri sendiri. Melawan hawâ nafsu. Dan pengendalian hawâ nafsu sudah dijalani pelatihannya oleh setiap muslim selama sebulan penuh, di bulan Ramadhân yang telah berlalu.

1. Nafsu ‘menuntut’

Berbicara hawâ nafsu tidak bisa lepas dari apa yang selalu menuntut dalam diri manusia; kebutuhan, keinginan dan nafsu. Masing-masing memiliki kadar yang harus dipenuhi secara proporsional dan dengan mengikuti tatanan yang telah Allâh SWT gariskan. Jika tidak, pasti manusia akan menghamba pada nafsu.
Orang tidak bisa mengelak, masing-masing individu adalah manusia biasa yang tidak suci dari dosa atau maksiat. Dengan berbekal Îmân yang masih tertanam di dalam jiwa itulah setiap orang mengupayakan perbaikan diri dan perhatian pribadi terhadap kesungguhan untuk menghidupkan agama Allâh, mulai dari diri kita sendiri.
Derasnya laju pergerakan globalisasi dan westernisasi mengantarkan orang, tanpa terasa dan sadar, mengejar kepentingan yang mengarah pada kebutuhan jasmani. Sementara itu kebutuhan rohani jarang mendapat prioritas –menemukan bagiannya, bahkan ditinggalkan dan diterlantarkan. Padahal dimensi rohani inilah yang mampu menjadikan manusia menuju kesejatian.
Begitu banyak yang dilahirkan dalam rangka pemenuhan nafsu. Dan betapa banyaknya kemaksiatan yang muncul merupakan berkat peran dan dominasi nafsu pada diri seseorang. Hingga pemuasan nafsu mengalami kepongahan, keangkuhan dan sering menjadi orientasi. Kemudian orang mengesampingkan penenteraman rohani dan tidak merawat hal-hal yang mengarah pada penguatannya.
Betapa tantangan dan godaan di luar sangat berat, dan dorongan dari dalam diri sendiri begitu dahsyat, hingga apapun yang dilakukan cenderung kepada pemenuhan nafsu belaka.

2. Berhenti memperturutkan

Sudah menjadi watak, watuk dan wahing (baca: tipikal dan karakter) hawâ nafsu yang senantiasa meminta untuk ‘dilayani’. Hingga manusia pun terus-menerus dan konsisten dalam mengikuti hawâ nafsu, maka pemenuhan syahwat semakin kuat dan menjadi-jadi. Semakin dilayani, semakin masuk kubangan hitam, orang tidak akan menemukan kesadaran, malah yang terjadi adalah ketagihan. Bagaikan suatu zat aditif. Seperti air laut. Semakin banyak meminumnya, semakin haus terasa.
Demikian juga halnya dengan kemaksiatan dan dosa, jika tidak diperhatikan, disikapi dengan penyadaran, dicegah dan diputus maka akan terus-menerus ‘meminta’. Maka, satukan tekad untuk menghentikan kemaksiatan dan dosa dalam bentuk apapun. Dibutuhkan niat, kemauan keras dan perasaan senantiasa dalam pengawasan Allâh; jika ingin melakukan maksiat, segera ingat pada Allâh; jika hendak berbuat dosa, meski dalam keadaan sepi dan tidak ada orang, segera sadar bahwa Allâh Maha Mengetahui.
Ibarat anak kecil yang sudah genap dua tahun, orangtuanya –dalam hal ini ibunya– harus tegas dan sayang kepada sang ‘buah hati’ untuk menghentikan ASI (air susu ibu). Bukti sayang orangtua adalah menyapihnya. (Perhatikan QS. 31: 14, “dan menyapihnya dalam usia dua tahun”).
Apakah sang anak berhenti total dari minum susu dengan tetap menerima asupan gizi, atau minum susu instan, atau susu kedelai, atau lainnya, maka menjadi tugas orangtua untuk melakukan hal itu. Memberikan konsumsi bergizi pada anak setelah genap dua tahun merupakan sebentuk pengalihan dari ‘menetek’ ke ‘meminum’ segelas susu. Jika orangtuanya membiarkan sang anak minum ASI, meski batas dua tahun telah lewat, atau bahkan lebih hingga mencapai usia remaja maka jangan kaget bila sang anak akan terus meminta (baca: menetek).
Terhadap dosa dan maksiat, seorang muslim juga harus tegas dan berani memangkas mata rantai dosa dan maksiat, memutus jeratan hawâ nafsu, dan berhenti memperturutkan pikiran ataupun perbuatan negatif dan dilarang agama.

3. Ekspektasi vs realita

Sudah menjadi kebiasaan masyarakat untuk melakukan seremonial Halâl bi Halâl; di rumah, di kantor, di komunitas yang tergabung berbagai elemen dan kepentingan, dan lainnya. Hampir bisa dipastikan jika terdapat suatu perkumpulan orang muslim mengadakan kegiatan Halâl bi Halâl pada setiap bulan Syawwâl.
Beberapa waktu yang lalu, seorang pimpinan sebuah perusahaan, yang mengerti agama, mendapat kesempatan untuk mengisi taushiyah pada acara Halâl bi Halâl di perusahaannya. Ia mengatakan dengan tegas dan lantang, “Apa yang telah berlalu adalah sesuatu yang hendaknya kita lupakan. Sekarang sudah tidak ada lagi dendam. Semua telah dan saling memaafkan”.
Kata-kata itu sangat menggembirakan bagi sebagian besar pegawai dan karyawan. Pupus sudah segala macam perselisihan dan perbedaan yang selama ini meruncing. Semua orang berharap ada banyak kebaikan yang akan dibangun setelah pesta Halâl bi Halâl berlangsung. Terlebih sang pimpinan perusahaan telah memberikan pernyataan yang konstruktif dan final.
Dua pekan setelah itu perusahaan mengadakan even tahunan yang melibatkan semua komponen yang bekerja di perusahaan. Sayang sekali, penyakit lama pun muncul, dominasi dislike masih bercokol dalam pribadi sang pemimpin. Beliau meninggalkan orang-orang yang tidak disukai. Padahal mereka juga memiliki tugas pokok dan fungsi yang sama dengan pegawai maupun karyawan lain.
Tak lama berselang, perusahaan mengadakan acara rutin rekruitmen tenaga tahunan. Mestinya tak seorangpun dari pegawai dan karyawan yang tidak terlibat di hajatan besar itu. Meski hanya sebagai pengamat, pengaman, korektor, dewan sidang seleksi atau apapun sebutannya. Harusnya tercermin guyub dan rukun.
Ternyata orang tidak tahan untuk tidak melakukan sesuatu yang merupakan bukti bahwa ia berkuasa. Momen kegiatan tahunan itu sebenarnya dapat menjadi sarana pembuktian bahwa benar-benar tidak ada lagi problem yang selama ini terjadi. Namun, yang terjadi sebaliknya, egoisme dan interest kelompok masih terasa dan nampak sekali.
Dari kegiatan itu nampaklah bahwa apa yang menjadi pembicaraan pimpinan perusahaan dalam Halâl bi Halâl hanya gincu, klise dan artifisial. Orang-orang yang dianggap berseberangan dengan kelompok pimpinan, berselisih pendapat atau nyata-nyata menentangnya tidak mendapatkan tugas apapun dalam acara rutin tahunan tersebut. Inikah bentuk hegemoni nafsu pada karakter manusia muslim?
Oleh karena itu, setiap orang mesti berhati-hati dan mewaspadai sepak terjang hawâ nafsu dan dampaknya. Peringatan dan warning yang diberikan para ulama adalah sesungguhnya syahwat yang sekejap dapat mengakibatkan kesedihan yang berkepanjangan. Hal ini berarti bahwa kenikmatan (yang menjurus dan mengarah pada pemenuhan nafsu) diperoleh dengan kemaksiatan, yang dianggap mengenakkan itu, akan berbuntut panjang; penyesalan, keburukan, kenistaan dan kerugian di hari kiamat.
Lâ khaira fî ladzdzatin ta`qibu nadaman”. Tidak ada kebaikan pada suatu kenikmatan yang berakibat penyesalan. Tidak ada artinya hidup dengan segala fasilitas yang penuh kesejahteraan namun berujung pada penyesalan dunia dan âkhirat.
Ketika orang senantiasa memenuhi setiap keinginan, apakah ini yang disebut puasa? Apakah benar jika berpuasa lantas semua daftar menu makanan harus disantap saat berbuka? Ataukah menafikan semua keinginan dan meniadakan kebutuhan itu yang disebut berpuasa?
Indikator keberhasilan shiyâm Ramadhân adalah kemampuan setiap orang muslim untuk meminimalisir dan melepas setiap hegemoni hawâ nafsu yang mungkin saja muncul di tengah seribu kemungkinan di depan mata.
Orang-orang yang masih memiliki rasa keîmânan mampu melihat adanya ekspektasi yang tersimpan, meski fakta yang berada di hadapannya sama sekali tidak mendukung, cenderung memusuhi dan merusak ‘pasokan’ dapur agar tetap mengepul.ž







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...