Moh.In'ami | Totalitas Ketaatan
Dalam keseharian seorang muslim akan
dihadapkan berbagai masalah dan problem kehidupan. Sebagai wujud keadilan Allâh
SWT kepada seluruh hamba-Nya, Dia memberikan rahmat dan ujian, anugerah
dan cobaan, kekuatan sekaligus kelemahan. Kehidupan ini menjadi bukti atas
eksistensi Allâh Yang Rahmân dan Rahîm.
Seringkali orang
tidak menyadari bahwa segala yang terjadi dan apapun yang menjadi bagian hidup
manusia itu sejatinya berasal dari satu sumber, Allâh SWT. Pada titik ini, jika
manusia menemukan kesadaran, tidak ada suatu yang ruwet, sulit ataupun
susah yang dipandang sebagai yang memberatkan.
Apapun
masalahnya, pasti karena Allâh Al-Qahhâr yang mengizinkan terjadi pada
manusia, meskipun sebagian orang berusaha sekuat tenaga untuk menjadikan
masalah itu tidak menimpa atau peristiwa itu supaya tidak terjadi. Sebaliknya,
tidak ada suatu bentuk ikhtiar manusia yang mampu menggulirkan sebuah kebaikan
atau kebermanfaatan pada seseorang sementara Allâh Al-`Azîz tidak
berkehendak untuk diperolehnya sesuatu itu. Alqurân mengingatkan:
“Jika Allâh menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka
tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allâh menghendaki
kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan
kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan
Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 10: 107)
Untuk itulah
kita mengasah diri, mencoba untuk menemukan bahwa Dzat Yang Maha Segalanya
adalah Allâh SWT, tiada lain. Maka sudah seharusnya kita mengakui dalam setiap
nafas dan gerak kita sehari-hari, dengan menentukan dan menerima, bahwa tujuan
kita hanya Allâh semata.
Hendaknya kita
hanya takut kepada Allâh SWT dan bertaqwâ kepada-Nya semata, jangan sampai kita
takut kepada sesuatu selain-Nya. Karakter ini akan menjadi lekat dalam diri
seorang mukmin bila bersungguh-sungguh dalam bergantung kepada Allâh. Sadar
bahwa hanya Dia tempat berharap. Dialah yang memunculkan dari tidak ada menjadi
ada.
Jangan pula kita
menggantungkan segala keluh kesah; berupa manfaat yang kita harapkan
atau madhârat yang kita jauhi, segala bentuk persoalan yang kita hadapi,
kepada selain Allâh. Karena Dialah Yang Maha Memiliki, lagi Maha Kuasa, yang
dalam genggaman kekuasaan-Nya segala kehidupan dan kematian, persoalan rezeki,
kemuliaan, kehinaan, ketercukupan dan kekurangan. Semua ada pada-Nya.
Firman-Nya:
“Apa saja yang Allâh anugerahkan kepada manusia berupa rahmat,
maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya. Dan apa saja yang ditahan oleh
Allâh maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah
yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. 35: 2)
Masihkah ada
keraguan akan kekuasaan dan kasih sayang Allâh SWT untuk seluruh hamba-Nya?
Jika masih ada
yang ragu akan hal itu, maka orang itu tidak sadar telah mendapatkan hidung
secara gratis, paras yang elok, bentuk tubuh yang sempurna, dan kemampuan untuk
mendengar, melihat dan merasakan.
Sungguh Allâh
SWT tidak mengenal pilih kasih, tidak ada subyektivitas, dan yang pasti
supremasi hukum benar-benar ditegakkan. “Alaisallâh biahkamil hâkimîn”,
Bukankah Allâh hâkim yang seadil-adilnya? (QS. 95: 8).
1. Jaminan Allâh
Kebutuhan manusia telah disiapkan Allâh SWT. Alam semesta
telah diciptakan sebagai sarana untuk mewujudkan apa saja yang menjadi
ketertarikan manusia. Manusia mempunyai tugas utama mengelola alam semesta,
bukan untuk tujuan eksploitasi. Inilah fungsi manusia sebagai khalîfah di muka
bumi. Allâh berfirman:
“Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allâh kepadamu. Adakah
pencipta selain Allâh yang dapat memberikan rezeki kepada kamu dari langit dan
bumi? Tidak ada Tuhan selain Dia. Maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhîdan)?.”
(QS. 35: 3)
Ayat Alqurân di atas memberikan sebentuk keyakinan pada diri
setiap muslim untuk teguh dan kokoh dalam pendiriannya dan dengan segala
kekuatan yang dimilikinya untuk mengusahakan apa yang menjadi bagian dari
hidupnya.
Maka tatkala kita mengetahui bahwa segala persoalan itu
bermuara pada Allâh, dan segala sesuatu dalam genggaman-Nya lalu mengapa kita
masih saja bergantung (sepenuhnya) kepada makhlûq.
Mengapa juga rasa takut, harapan, atau sejenisnya masih saja
kepada selain Tuhan seru sekalian alam? Bukankah semua makhlûq sangat lemah
dalam hal memberi maslahat atau manfaat sekalipun? Bukankah para
penguasa, rakyat jelata, mereka yang kaya dan fakir, orang-orang lemah dan
kuat, semuanya terpaksa kembali kepada Tuhan mereka? Tak satupun di antara
mereka yang memiliki kelebihan dari lainnya yang kuasa untuk
(menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil)
suatu kemanfaatanpun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak
(pula) membangkitkan.
Maka dari itu hendaknya kita tidak
mengajukan pertolongan dan tidak pula meminta rezeki kecuali dari Tuhan kita.
Dan cukuplah Allâh menjadi Pelindung (bagimu), menjadi Penolong (bagimu), dan
Pemberi rezeki (bagimu). Bagaimana kita takut kepada selain Tuhan kita, sedang
kita menolong hamba-hamba-Nya dengan kekuasaan-Nya, padahal Dialah yang Maha
Kuasa atas segala sesuatu.
Ingatlah siapa yang mengurus penciptaan kita dan
memeliharanya, ketika itu kita masih dalam rahim tahap demi tahap. Ingatlah
ketika Tuhan kita memberikan anugerah nikmat dengan segala kebaikan-Nya kepada
yang muda dan yang tua di antara kita. Ingatlah siapa yang menghindarkan kita
dari keburukan, celaka, dan marabahaya, lalu bersikap lembut pada kita dalam
setiap keadaan dan perubahan yang terjadi. Siapa lagi yang memberikan makan
pada saat kita lapar, memberi kita pakaian pada saat kita telanjang, memberi
rasa aman ketika kita merasa ketakutan. Adakah yang mampu memberikan rezeki,
menjaga kita dari bahaya dan kehancuran. Tentu kewajiban kita untuk tidak
memuji, tidak bersyukur dan tidak pula menyanjung kecuali hanya kepada-Nya,
Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Dan hendaknya kita berdzikir,
mengingat-Nya, pada beberapa waktu malam dan siang, dan kita bertawakkal
kepada-Nya. Sehingga semua rasa takut kita, harapan dan perasaan senang hanya
tercurah kepada-Nya.
2. Hentikan ambiguitas!
Orang sering mengami kebimbangan dalam sebuah penantian. Apa
saja yang ditunggu selalu melahirkan sebuah kecemasan. Lebih-lebih yang
ditunggu adalah perkara besar. Ketika harapan tak kunjung datang, orang
cenderung meragukan apa yang telah menjadi janji dan kepastian.
Maka di setiap perjalan hidup kita, kesabaran adalah hal
penting yang menjadi penguat lahir dan batin kita. Menyongsong sebuah
kemenangan, menuju kebaikan yang diharapkan, menginginkan keadilan dalam hidup,
kesemuanya merupakan ikhtiar yang membutuhkan ‘amunisi’ kesabaran tinggi.
Untuk itulah, jangan berhenti di tengah jalan sebelum
segalanya terwujud. Jika kebenaran yang kita perjuangkan, jangan setengah hati
dalam memperjuangkannya. Jangan pula cari aman. Karena kebenaran selalu
berhadapan dengan kebâthilan.
Yang kadang sulit buat kita adalah memilih. Jika sudah nyata
bahwa yang benar adalah ini dan yang keliru adalah itu, maka jangan pernah
salah pilih. Meskipun, mungkin, akan terdapat banyak rintangan yang menghalang,
pun tantangan yang akan menerpa. Jangan pernah membunuh nurani yang ada dalam
diri sendiri. Kebenaran memiliki tempat yang layak di dalam diri kita. Jangan
ragu, enyahkan dan singkirkan kebâthilan dari diri kita, apapun bentuknya.
Ingat firman Allâh SWT yang menyebutkan:
“Katakanlah, telah datang kebenaran dan telah sirna kebâthilan, sungguh kebâthilan pasti akan sirna.” (QS. 17: 81).
Ayat ini hendaknya menjadi landasan dan pegangan setiap orang
muslim dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan.
3. Seutuhnya, tidak setengah hati
Pantaslah jika kebenaran yang kita perjuangkan itu selalu
membutuhkan pengorbanan. Tidak ada sesuatu yang ingin kita dapatkan, suatu
kebaikan atau apapun yang kita pandang bermanfaat, yang datang begitu saja di
depan mata atau bisa diperoleh secara gratis. Kebenaran yang datang dari Allâh
inilah yang harus kita pegangi kapan dan di manapun. Sebagai wujud rasa aman
dan tenang kita dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan, maka jangan
tanggung-tanggung dalam mencari back up. Allâh SWT –back up
sesungguhnya.
Jika menyebut back up itu maknanya kita butuh tempat
bergantung. Dan sebaik-baik tempat bergantung adalah Allâh. Maka, tegasnya,
jangan setengah-setengah. Hendaknya dengan sepenuh hati memegang pedoman Allâh
SWT. Jangan ragu atau khawatir akan pertolongan-Nya.
Kepasrahan secara total kepada Allâh dalam berbagai hal yang
dihadapi akan melahirkan rasa bergantung kepada-Nya. Tidak ada persoalan yang
tidak selesai di ‘tangan’ Allâh.
Merealisasikan
sikap bergantung kepada Allâh dalam setiap aspek kehidupan merupakan kelaziman
bagi seorang muslim. Tidak ada tempat lain, atau pihak lain yang mampu melebihi
kekuatan-Nya. Sedikit saja kita mencoba bergantung kepada selain Allâh, maka
jatuhlah kita ke jurang syirik (dosa besar yang dilarang Allâh). Na`ûdzubillâh.
Padahal dalam
QS. 112 ayat 2 disebutkan, “Allâh adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya
segala sesuatu.” Sudahkah kita bersandar kepada Allâh dalam segala urusan
kita? Jawabannya ada di tangan kita masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar