Selasa, 29 Mei 2018

TOTALITAS KETAATAN: Taat pada Allah, pada Allah kita Taat


Moh.In'ami | Totalitas Ketaatan

Dalam keseharian seorang muslim akan dihadapkan berbagai masalah dan problem kehidupan. Sebagai wujud keadilan Allâh SWT kepada seluruh hamba-Nya, Dia memberikan rahmat dan ujian, anugerah dan cobaan, kekuatan sekaligus kelemahan. Kehidupan ini menjadi bukti atas eksistensi Allâh Yang Rahmân dan Rahîm.
Seringkali orang tidak menyadari bahwa segala yang terjadi dan apapun yang menjadi bagian hidup manusia itu sejatinya berasal dari satu sumber, Allâh SWT. Pada titik ini, jika manusia menemukan kesadaran, tidak ada suatu yang ruwet, sulit ataupun susah yang dipandang sebagai yang memberatkan.
Apapun masalahnya, pasti karena Allâh Al-Qahhâr yang mengizinkan terjadi pada manusia, meskipun sebagian orang berusaha sekuat tenaga untuk menjadikan masalah itu tidak menimpa atau peristiwa itu supaya tidak terjadi. Sebaliknya, tidak ada suatu bentuk ikhtiar manusia yang mampu menggulirkan sebuah kebaikan atau kebermanfaatan pada seseorang sementara Allâh Al-`Azîz tidak berkehendak untuk diperolehnya sesuatu itu. Alqurân mengingatkan:
Jika Allâh menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allâh menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 10: 107)
Untuk itulah kita mengasah diri, mencoba untuk menemukan bahwa Dzat Yang Maha Segalanya adalah Allâh SWT, tiada lain. Maka sudah seharusnya kita mengakui dalam setiap nafas dan gerak kita sehari-hari, dengan menentukan dan menerima, bahwa tujuan kita hanya Allâh semata.
Hendaknya kita hanya takut kepada Allâh SWT dan bertaqwâ kepada-Nya semata, jangan sampai kita takut kepada sesuatu selain-Nya. Karakter ini akan menjadi lekat dalam diri seorang mukmin bila bersungguh-sungguh dalam bergantung kepada Allâh. Sadar bahwa hanya Dia tempat berharap. Dialah yang memunculkan dari tidak ada menjadi ada.
Jangan pula kita menggantungkan segala keluh kesah; berupa manfaat yang kita harapkan atau madhârat yang kita jauhi, segala bentuk persoalan yang kita hadapi, kepada selain Allâh. Karena Dialah Yang Maha Memiliki, lagi Maha Kuasa, yang dalam genggaman kekuasaan-Nya segala kehidupan dan kematian, persoalan rezeki, kemuliaan, kehinaan, ketercukupan dan kekurangan. Semua ada pada-Nya. Firman-Nya:
Apa saja yang Allâh anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya. Dan apa saja yang ditahan oleh Allâh maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. 35: 2)
Masihkah ada keraguan akan kekuasaan dan kasih sayang Allâh SWT untuk seluruh hamba-Nya?
Jika masih ada yang ragu akan hal itu, maka orang itu tidak sadar telah mendapatkan hidung secara gratis, paras yang elok, bentuk tubuh yang sempurna, dan kemampuan untuk mendengar, melihat dan merasakan.
Sungguh Allâh SWT tidak mengenal pilih kasih, tidak ada subyektivitas, dan yang pasti supremasi hukum benar-benar ditegakkan. “Alaisallâh biahkamil hâkimîn”, Bukankah Allâh hâkim yang seadil-adilnya? (QS. 95: 8).

1. Jaminan Allâh

Kebutuhan manusia telah disiapkan Allâh SWT. Alam semesta telah diciptakan sebagai sarana untuk mewujudkan apa saja yang menjadi ketertarikan manusia. Manusia mempunyai tugas utama mengelola alam semesta, bukan untuk tujuan eksploitasi. Inilah fungsi manusia sebagai khalîfah di muka bumi. Allâh berfirman:
Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allâh kepadamu. Adakah pencipta selain Allâh yang dapat memberikan rezeki kepada kamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan selain Dia. Maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhîdan)?.” (QS. 35: 3)
Ayat Alqurân di atas memberikan sebentuk keyakinan pada diri setiap muslim untuk teguh dan kokoh dalam pendiriannya dan dengan segala kekuatan yang dimilikinya untuk mengusahakan apa yang menjadi bagian dari hidupnya.
Maka tatkala kita mengetahui bahwa segala persoalan itu bermuara pada Allâh, dan segala sesuatu dalam genggaman-Nya lalu mengapa kita masih saja bergantung (sepenuhnya) kepada makhlûq.
Mengapa juga rasa takut, harapan, atau sejenisnya masih saja kepada selain Tuhan seru sekalian alam? Bukankah semua makhlûq sangat lemah dalam hal memberi maslahat atau manfaat sekalipun? Bukankah para penguasa, rakyat jelata, mereka yang kaya dan fakir, orang-orang lemah dan kuat, semuanya terpaksa kembali kepada Tuhan mereka? Tak satupun di antara mereka yang memiliki kelebihan dari lainnya yang kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) suatu kemanfaatanpun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan.
Maka dari itu hendaknya kita tidak mengajukan pertolongan dan tidak pula meminta rezeki kecuali dari Tuhan kita. Dan cukuplah Allâh menjadi Pelindung (bagimu), menjadi Penolong (bagimu), dan Pemberi rezeki (bagimu). Bagaimana kita takut kepada selain Tuhan kita, sedang kita menolong hamba-hamba-Nya dengan kekuasaan-Nya, padahal Dialah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Ingatlah siapa yang mengurus penciptaan kita dan memeliharanya, ketika itu kita masih dalam rahim tahap demi tahap. Ingatlah ketika Tuhan kita memberikan anugerah nikmat dengan segala kebaikan-Nya kepada yang muda dan yang tua di antara kita. Ingatlah siapa yang menghindarkan kita dari keburukan, celaka, dan marabahaya, lalu bersikap lembut pada kita dalam setiap keadaan dan perubahan yang terjadi. Siapa lagi yang memberikan makan pada saat kita lapar, memberi kita pakaian pada saat kita telanjang, memberi rasa aman ketika kita merasa ketakutan. Adakah yang mampu memberikan rezeki, menjaga kita dari bahaya dan kehancuran. Tentu kewajiban kita untuk tidak memuji, tidak bersyukur dan tidak pula menyanjung kecuali hanya kepada-Nya, Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Dan hendaknya kita berdzikir, mengingat-Nya, pada beberapa waktu malam dan siang, dan kita bertawakkal kepada-Nya. Sehingga semua rasa takut kita, harapan dan perasaan senang hanya tercurah kepada-Nya.

2. Hentikan ambiguitas!

Orang sering mengami kebimbangan dalam sebuah penantian. Apa saja yang ditunggu selalu melahirkan sebuah kecemasan. Lebih-lebih yang ditunggu adalah perkara besar. Ketika harapan tak kunjung datang, orang cenderung meragukan apa yang telah menjadi janji dan kepastian.
Maka di setiap perjalan hidup kita, kesabaran adalah hal penting yang menjadi penguat lahir dan batin kita. Menyongsong sebuah kemenangan, menuju kebaikan yang diharapkan, menginginkan keadilan dalam hidup, kesemuanya merupakan ikhtiar yang membutuhkan ‘amunisi’ kesabaran tinggi.
Untuk itulah, jangan berhenti di tengah jalan sebelum segalanya terwujud. Jika kebenaran yang kita perjuangkan, jangan setengah hati dalam memperjuangkannya. Jangan pula cari aman. Karena kebenaran selalu berhadapan dengan kebâthilan.
Yang kadang sulit buat kita adalah memilih. Jika sudah nyata bahwa yang benar adalah ini dan yang keliru adalah itu, maka jangan pernah salah pilih. Meskipun, mungkin, akan terdapat banyak rintangan yang menghalang, pun tantangan yang akan menerpa. Jangan pernah membunuh nurani yang ada dalam diri sendiri. Kebenaran memiliki tempat yang layak di dalam diri kita. Jangan ragu, enyahkan dan singkirkan kebâthilan dari diri kita, apapun bentuknya. Ingat firman Allâh SWT yang menyebutkan:
Katakanlah, telah datang kebenaran dan telah sirna kebâthilan, sungguh kebâthilan pasti akan sirna.” (QS. 17: 81).
Ayat ini hendaknya menjadi landasan dan pegangan setiap orang muslim dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan.

3. Seutuhnya, tidak setengah hati

Pantaslah jika kebenaran yang kita perjuangkan itu selalu membutuhkan pengorbanan. Tidak ada sesuatu yang ingin kita dapatkan, suatu kebaikan atau apapun yang kita pandang bermanfaat, yang datang begitu saja di depan mata atau bisa diperoleh secara gratis. Kebenaran yang datang dari Allâh inilah yang harus kita pegangi kapan dan di manapun. Sebagai wujud rasa aman dan tenang kita dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan, maka jangan tanggung-tanggung dalam mencari back up. Allâh SWT back up sesungguhnya.
Jika menyebut back up itu maknanya kita butuh tempat bergantung. Dan sebaik-baik tempat bergantung adalah Allâh. Maka, tegasnya, jangan setengah-setengah. Hendaknya dengan sepenuh hati memegang pedoman Allâh SWT. Jangan ragu atau khawatir akan pertolongan-Nya.
Kepasrahan secara total kepada Allâh dalam berbagai hal yang dihadapi akan melahirkan rasa bergantung kepada-Nya. Tidak ada persoalan yang tidak selesai di ‘tangan’ Allâh.
Merealisasikan sikap bergantung kepada Allâh dalam setiap aspek kehidupan merupakan kelaziman bagi seorang muslim. Tidak ada tempat lain, atau pihak lain yang mampu melebihi kekuatan-Nya. Sedikit saja kita mencoba bergantung kepada selain Allâh, maka jatuhlah kita ke jurang syirik (dosa besar yang dilarang Allâh). Na`ûdzubillâh.
Padahal dalam QS. 112 ayat 2 disebutkan, “Allâh adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” Sudahkah kita bersandar kepada Allâh dalam segala urusan kita? Jawabannya ada di tangan kita masing-masing.ž









Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...