Moh.In'ami | Memotret
Eksistensi Sunnatullâh
Allâh Rabb al-`âlamîn adalah
Pusat. Pusat segala pusat. Pusat nilai, kebaikan, kebenaran, kesadaran,
penciptaan, hukum, aturan, syarî`ah, juga tolok ukur. Dialah Yang Satu,
satu-satunya sesuatu, satu-satunya Dzat, yang tidak terkurung dalam dimensi
ruang maupun waktu. Selain Allâh, tanpa kecuali, semuanya terkurung dan terikat
belaka dengan segala akibatnya.
Walaupun Allâh
SWT adalah satu-satunya yang tidak terkungkung dalam dimensi-dimensi tadi namun
Dia berkenan untuk dikenal manusia. Semata-mata karena seluruh sifat
keilâhian-Nya yang teramat Agung dan Mulia, rahmat-Nya yang amat luas
tertebar dan tertabur ke seluruh pelosok jagat raya yang membuat manusia
diizinkan untuk mengenal dan mendekatkan diri pada-Nya. Juga karena kasih dan
sayang-Nya yang tidak terbatas. Lebih dari itu Sang Pengasih bahkan mengajarkan
kepada manusia cara berinteraksi dengan-Nya. Terhadap manusia yang papa dan
tampak hina sekalipun, Allâh tetap berkenan menerimanya. Ini amat berbeda
dengan manusia. Bila berpunya dan berkuasa sedikit saja sudah malas dan enggan
disapa sesama, terlebih oleh orang yang di bawahnya.
Sesungguhnya
bisa saja Allâh SWT bersimaharaja dengan diri-Nya sendiri dalam kesendirian-Nya
dengan seluruh sifat kemuliaan, keluhuran, juga kemegahan-Nya sembari
membiarkan manusia terbengkelai –tidak terurus. Tetapi Maha Suci Allâh dari
gambaran naif seperti itu. Sang Penyayang terlalu Rahmân dan Rahîm
untuk meninggalkan hamba-hamba-Nya. Meskipun ternyata banyak di antara manusia
yang tidak tahu diuntung –tidak pintar bersyukur.
1. Makro kosmos
Sedemikian terbuka Sang Pencipta berkenan untuk dikenal namun
cara manusia memahami-Nya beserta seluruh ajaran, tuntunan, qudrah dan irâdah-Nya
lebih banyak berpusar di kisaran permukaan. Lebih dari itu selalu ‘mentok’ di
titik yang tidak terpahami. Tidak selalu mudah bagi manusia untuk memahami
semua itu. Salah satu sebabnya adalah kenyataan keterbatasan. Manusia adalah
sesuatu yang berbatas dan terbatas. Berbatas karena dibatasi ruang dan waktu.
Terbatas karena tidak semua hal dia mampu, disanggupi atau terjangkau. Sulit
dilukiskan utuhnya sebuah pemahaman manakala pelaku pemahaman adalah kenyataan
berbatas dan terbatas sementara sasaran pemahaman adalah Kenyataan Tak Berbatas
dan Tak Terbatas. Oleh kenyataan nisbi terhadap Kenyataan Mutlak. Dan Tuhan
adalah Kenyataan Mutlak sementara manusia adalah kenyataan maya.
Allâh dan makhlûq –manusia beserta seluruh ciptaan lainnya– adalah dua hal yang jelas-jelas berbeda. Dua hal yang berada
dalam dua wilayah yang berbeda jauh. Pencipta adalah satu hal dan si tercipta
adalah lain hal. Lalu, bagaimana sesuatu yang maya ‘mencerna’ sesuatu Yang
Serba Maha jika tanpa kekurangan?. Tidak selalu mudah memang tetapi juga tidak
boleh berhenti atau jalan di tempat untuk menyambut ‘sapaan’-Nya.
Setidak-tidaknya upaya ‘penyelaman lebih jauh’ (jauh: menurut sudut pandang
manusia) tersebut sebagai aktualisasi `ibâdah kepada-Nya. Dari sinilah Filsafat
Ketuhanan mendapat sejumlah rujukan awal keberangkatannya.
Filsafat Ketuhanan (ada yang menyebutnya sebagai Teologi,
Ilmu Tauhid, atau Ilmu Kalam) menitikberatkan ranah pembahasannya pada
ajaran-ajaran dasar agama. Bila dibalik, tidak seluruh persoalan, nilai dan
ajaran agama dibahas dalam Filsafat Ketuhanan. Al-Islâm terlampau luas
untuk dilihat dari sudut pandang tunggal. Pemikiran-pemikiran Filsafat
Ketuhanan-pun menjadi heterogen ketika berhadapan dengan kemajemukan umat. Pada
gilirannya dinamika pemikiran tumbuh dan hidup. Harapannya, tentu saja,
dinamika yang mengusung rahmat.
2. Membaca terma
Penting untuk disadari bahwa istilah ‘aliran’, ‘madzhab’ atau
istilah lain yang sinonim tidak harus atau tidak selalu menunjukkan pengertian
keluar dari mainstream maupun ‘sempalan’. Tidak harus bersifat ‘hitam’
atau ‘putih’. Sebab sebagai kenyataan kata, istilah-istilah semacam sering
bersifat kategorisasi, pengelompokan, pemilahan dan semacamnya.
Khalifah `Umar bin `Abdul `Azîz, memerintah tahun 99-101 H,
yang terkenal karena kealÎmân dan kesederhanaannya, menengarahi hal yang sama
dalam kalimat berbeda: “Aku tidak senang jika sahabat-sahabat Nabi saw itu
tidak berselisih, karena jika mereka hanya mempunyai semacam perkataan saja
niscaya mereka menghadapi kesempitan.” Lebih tegas lagi Rasûlullâh saw dalam
satu kesempatan menekankan sisi ‘rahmat’ dalam perbedaan –ikhtilâfu
ummatî rahmatun. Dalam sisi ini bukan sasaran perbedaannya yang
dikejar melainkan berkembangnya pusaran dinamika umat. Dan bila berjalan dengan
arah yang benar berarti kemajuan.
Bahwa pemikiran-pemikiran dalam ruang Filsafat Ketuhanan berpengaruh
terhadap cara kelompok maupun perseorangan umat bersikap dan bertindak.
Seseorang bisa optimis dalam menyikapi hidup karena hembusan pemikiran dimaksud
dan sebaliknya pesimis juga bisa karenanya. Demikian juga manakala bergairah
atau tidak bergairah dalam hidup. Semua ini dengan segenap akibat dan
konsekuensinya masing-masing.
Pemikiran-pemikiran Filsafat Ketuhanan memang seharusnya
digagas dan diarahkan untuk meraih target batiniah dan lahiriah terbaik. Namun
pada prakteknya tidak selalu demikian. Ini dibuktikan dengan catatan sejarah
kelabu yang sempat terjadi di tubuh umat. Yang terbaik, tentu saja, manajemen
dan pengelolaan bersama ihwal perbedaan-perbedaan pemikiran yang ada menjadi
kekuatan-kekuatan yang lebih dan semakin konstruktif. Oleh Karena itu
bergulirnya pemikiran-pemikiran yang bersifat merangkul dan merangkum, tanpa
menyingkirkan, kiranya dapat dipandang sebagai sebuah harapan. Atau setidaknya
sebagai sinergi positif.
Yang menjadi perdebatan dalam ranah ini adalah hal-hal yang
berhubungan dengan kehendak dan perbuatan manusia. Perdebatan dan adu dalih
selalu hangat jika sudah masuk pada: Apakah kehendak dan perbuatan manusia itu
diciptakan Allâh SWT ataukah manusia memiliki kebebasan menciptakan kehendak
dan perbuatannya sendiri? Terpaksa atau bebas? Dan pada giliran selanjutnya,
kedua kutub pemikiran yang saling berhadapan tersebut di sisi lain –langsung
maupun tidak– membiaskan penghadapan baru antara sifat kekuasaan mutlak
Al-Khâliq diseberangkan dengan sifat mutlak keadilan-Nya. Pun kedua kutub
pandangan tersebut sama-sama berakar pada dalîl-dalîl nash.
Aliran Asy`ariyah, dipelopori Abu Hasan al-Asy`âri,
telah berusaha sepenuh hati menjembatani berbagai pemikiran Filsafat Ketuhanan
yang ada ke dalam satu rumusan yang padu. Dalam perjalanannya
pemikiran-pemikiran Asy`âriyah mendapat banyak tempat di hati umat. Namun hal demikian bukan berarti sama sekali
bebas dari tinjauan dan ujian sejarah. Ada yang menyebut rumusan-rumusan
pemikiran Asy`âriyah sulit dipahami. Tidak sederhana. Bahkan yang mengatakan
bahwa aliran Asy`âriyah pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari aliran
Jabariyah. Apa makna semua ini? Problematika interpretasi makna dimungkinkan
bisa plural dan bervariasi. Namun satu hal yang jelas, ‘kalimatan wasathan’
belum berlabuh dan menyandarkan diri di suatu tempat. ‘Pekerjaan rumah’ masih
belum selesai. Menjadi tugas bersama untuk menuntaskannya.
3. Cara pandang
Sebuah ikhtiar untuk menjawab problem di atas hendaknya
dilakukan. Tentu saja bukan untuk menyatakan bahwa upaya ini yang paling
tuntas. Setidaknya turut serta,
patisipasi, memperkaya khasanah pemikiran dunia Islâm. Bila gagasan dalam upaya
ini bisa diterima, dan dipandang dapat memberikan jawaban –sebagian atau
seluruhnya– atas persoalan yang ada, maka semua ini semata-mata atas petunjuk
dan bimbingan Allâh SWT. Semua ini ada dan datang dari-Nya.
Yang menjadi pusat perhatian dari upaya
ini adalah keinginan untuk membangun semacam ‘jembatan’ yang menghubungkan (dan
merangkum) berbagai pemikiran Filsafat Ketuhanan yang ada. Sebagaimana
dimengerti, berbagai pemikiran yang ada, atau yang pernah ada, bila
dikategorisasikan maka akan mengerucut ke dalam dua kelompok besar. Yang satu
bercorak Mu`taziliy, meyakini manusia merdeka berkehendak dan berbuat.
Balasan akhir berupa surga dan hukuman akhir dalam neraka adalah adil bila
dikenakan pada manusia sebagai rentetan langsung dari kebebasan yang dimiliki.
Ini tidak terlepas dari sifat Allâh Yang Maha Adil. Yang lain bercorak Jabariy,
meyakini manusia tidak ubahnya laksana bidak-bidak catur dalam cengkeraman sang
pecatur atau wayang dalam genggaman sang dalang. Kehendak dan perbuatan manusia
bersifat terpaksa. Surga dan neraka juga dipandang sebagai paksaan. Ini tidak
lain karena Allâh SWT Maha Kuasa atas segala sesuatu. Atas diri manusia.
Kedua corak tersebut jelas berjarak, berhadapan, vis a vis.
Oleh karenanya bila terjembatani akan dapat saling didekatkan. Jembatan yang
dibangun di sini tetap menjaga ‘ciri khas’ masing-masing ‘kelompok’, bukan
untuk saling menolak atau menghapus yang satu atas nama yang lain. Jembatan
yang akan diusung bukanlah jembatan yang ‘didatangkan dari jauh’, tetapi ‘dari
dekat-dekat saja’. Dekat karena sering didengar, acap dilafazhkan. Ialah Sunnatullâh.
Dalam rajutan hubungan ini, corak yang pertama menjadi lengkap bila
dipertalikan dengan corak kedua. Sementara corak pemikiran kedua menjadi genap
bersama corak pemikiran pertama. Saling menggenapi saling melengkapi.
Sunnatullâh
sebagai kenyataan solutif bagi semua perbedaan. Sunnatullâh sebagai ciptaan
yang memberikan pewarnaan yang berbeda, menjelaskan adanya pluralitas dan menyatakan
definisi dengan tegas eksistensi satu konsep dengan lainnya.
Melalui perspektif Sunnatullâh, semua friksi, distingsi dan
aneka penampilan dari kenyataan yang ada di depan mata kita adalah suatu
keniscayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar