Jumat, 18 Mei 2018


Moh.In'ami | Memotret Eksistensi Sunnatullâh


Allâh Rabb al-`âlamîn adalah Pusat. Pusat segala pusat. Pusat nilai, kebaikan, kebenaran, kesadaran, penciptaan, hukum, aturan, syarî`ah, juga tolok ukur. Dialah Yang Satu, satu-satunya sesuatu, satu-satunya Dzat, yang tidak terkurung dalam dimensi ruang maupun waktu. Selain Allâh, tanpa kecuali, semuanya terkurung dan terikat belaka dengan segala akibatnya.
Walaupun Allâh SWT adalah satu-satunya yang tidak terkungkung dalam dimensi-dimensi tadi namun Dia berkenan untuk dikenal manusia. Semata-mata karena seluruh sifat keilâhian-Nya yang teramat Agung dan Mulia, rahmat-Nya yang amat luas tertebar dan tertabur ke seluruh pelosok jagat raya yang membuat manusia diizinkan untuk mengenal dan mendekatkan diri pada-Nya. Juga karena kasih dan sayang-Nya yang tidak terbatas. Lebih dari itu Sang Pengasih bahkan mengajarkan kepada manusia cara berinteraksi dengan-Nya. Terhadap manusia yang papa dan tampak hina sekalipun, Allâh tetap berkenan menerimanya. Ini amat berbeda dengan manusia. Bila berpunya dan berkuasa sedikit saja sudah malas dan enggan disapa sesama, terlebih oleh orang yang di bawahnya.
Sesungguhnya bisa saja Allâh SWT bersimaharaja dengan diri-Nya sendiri dalam kesendirian-Nya dengan seluruh sifat kemuliaan, keluhuran, juga kemegahan-Nya sembari membiarkan manusia terbengkelai –tidak terurus. Tetapi Maha Suci Allâh dari gambaran naif seperti itu. Sang Penyayang terlalu Rahmân dan Rahîm untuk meninggalkan hamba-hamba-Nya. Meskipun ternyata banyak di antara manusia yang tidak tahu diuntung –tidak pintar bersyukur.

1. Makro kosmos

Sedemikian terbuka Sang Pencipta berkenan untuk dikenal namun cara manusia memahami-Nya beserta seluruh ajaran, tuntunan, qudrah dan irâdah-Nya lebih banyak berpusar di kisaran permukaan. Lebih dari itu selalu ‘mentok’ di titik yang tidak terpahami. Tidak selalu mudah bagi manusia untuk memahami semua itu. Salah satu sebabnya adalah kenyataan keterbatasan. Manusia adalah sesuatu yang berbatas dan terbatas. Berbatas karena dibatasi ruang dan waktu. Terbatas karena tidak semua hal dia mampu, disanggupi atau terjangkau. Sulit dilukiskan utuhnya sebuah pemahaman manakala pelaku pemahaman adalah kenyataan berbatas dan terbatas sementara sasaran pemahaman adalah Kenyataan Tak Berbatas dan Tak Terbatas. Oleh kenyataan nisbi terhadap Kenyataan Mutlak. Dan Tuhan adalah Kenyataan Mutlak sementara manusia adalah kenyataan maya.
Allâh dan makhlûq manusia beserta seluruh ciptaan lainnya adalah dua hal yang jelas-jelas berbeda. Dua hal yang berada dalam dua wilayah yang berbeda jauh. Pencipta adalah satu hal dan si tercipta adalah lain hal. Lalu, bagaimana sesuatu yang maya ‘mencerna’ sesuatu Yang Serba Maha jika tanpa kekurangan?. Tidak selalu mudah memang tetapi juga tidak boleh berhenti atau jalan di tempat untuk menyambut ‘sapaan’-Nya. Setidak-tidaknya upaya ‘penyelaman lebih jauh’ (jauh: menurut sudut pandang manusia) tersebut sebagai aktualisasi `ibâdah kepada-Nya. Dari sinilah Filsafat Ketuhanan mendapat sejumlah rujukan awal keberangkatannya.
Filsafat Ketuhanan (ada yang menyebutnya sebagai Teologi, Ilmu Tauhid, atau Ilmu Kalam) menitikberatkan ranah pembahasannya pada ajaran-ajaran dasar agama. Bila dibalik, tidak seluruh persoalan, nilai dan ajaran agama dibahas dalam Filsafat Ketuhanan. Al-Islâm terlampau luas untuk dilihat dari sudut pandang tunggal. Pemikiran-pemikiran Filsafat Ketuhanan-pun menjadi heterogen ketika berhadapan dengan kemajemukan umat. Pada gilirannya dinamika pemikiran tumbuh dan hidup. Harapannya, tentu saja, dinamika yang mengusung rahmat.

2. Membaca terma

Penting untuk disadari bahwa istilah ‘aliran’, ‘madzhab’ atau istilah lain yang sinonim tidak harus atau tidak selalu menunjukkan pengertian keluar dari mainstream maupun ‘sempalan’. Tidak harus bersifat ‘hitam’ atau ‘putih’. Sebab sebagai kenyataan kata, istilah-istilah semacam sering bersifat kategorisasi, pengelompokan, pemilahan dan semacamnya.
Khalifah `Umar bin `Abdul `Azîz, memerintah tahun 99-101 H, yang terkenal karena kealÎmân dan kesederhanaannya, menengarahi hal yang sama dalam kalimat berbeda: “Aku tidak senang jika sahabat-sahabat Nabi saw itu tidak berselisih, karena jika mereka hanya mempunyai semacam perkataan saja niscaya mereka menghadapi kesempitan.” Lebih tegas lagi Rasûlullâh saw dalam satu kesempatan menekankan sisi ‘rahmat’ dalam perbedaan –ikhtilâfu ummatî rahmatun. Dalam sisi ini bukan sasaran perbedaannya yang dikejar melainkan berkembangnya pusaran dinamika umat. Dan bila berjalan dengan arah yang benar berarti kemajuan.
Bahwa pemikiran-pemikiran dalam ruang Filsafat Ketuhanan berpengaruh terhadap cara kelompok maupun perseorangan umat bersikap dan bertindak. Seseorang bisa optimis dalam menyikapi hidup karena hembusan pemikiran dimaksud dan sebaliknya pesimis juga bisa karenanya. Demikian juga manakala bergairah atau tidak bergairah dalam hidup. Semua ini dengan segenap akibat dan konsekuensinya masing-masing.
Pemikiran-pemikiran Filsafat Ketuhanan memang seharusnya digagas dan diarahkan untuk meraih target batiniah dan lahiriah terbaik. Namun pada prakteknya tidak selalu demikian. Ini dibuktikan dengan catatan sejarah kelabu yang sempat terjadi di tubuh umat. Yang terbaik, tentu saja, manajemen dan pengelolaan bersama ihwal perbedaan-perbedaan pemikiran yang ada menjadi kekuatan-kekuatan yang lebih dan semakin konstruktif. Oleh Karena itu bergulirnya pemikiran-pemikiran yang bersifat merangkul dan merangkum, tanpa menyingkirkan, kiranya dapat dipandang sebagai sebuah harapan. Atau setidaknya sebagai sinergi positif.
Yang menjadi perdebatan dalam ranah ini adalah hal-hal yang berhubungan dengan kehendak dan perbuatan manusia. Perdebatan dan adu dalih selalu hangat jika sudah masuk pada: Apakah kehendak dan perbuatan manusia itu diciptakan Allâh SWT ataukah manusia memiliki kebebasan menciptakan kehendak dan perbuatannya sendiri? Terpaksa atau bebas? Dan pada giliran selanjutnya, kedua kutub pemikiran yang saling berhadapan tersebut di sisi lain –langsung maupun tidak– membiaskan penghadapan baru antara sifat kekuasaan mutlak Al-Khâliq diseberangkan dengan sifat mutlak keadilan-Nya. Pun kedua kutub pandangan tersebut sama-sama berakar pada dalîl-dalîl nash.
Aliran Asy`ariyah, dipelopori Abu Hasan al-Asy`âri, telah berusaha sepenuh hati menjembatani berbagai pemikiran Filsafat Ketuhanan yang ada ke dalam satu rumusan yang padu. Dalam perjalanannya pemikiran-pemikiran Asy`âriyah mendapat banyak tempat di hati umat.  Namun hal demikian bukan berarti sama sekali bebas dari tinjauan dan ujian sejarah. Ada yang menyebut rumusan-rumusan pemikiran Asy`âriyah sulit dipahami. Tidak sederhana. Bahkan yang mengatakan bahwa aliran Asy`âriyah pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari aliran Jabariyah. Apa makna semua ini? Problematika interpretasi makna dimungkinkan bisa plural dan bervariasi. Namun satu hal yang jelas, ‘kalimatan wasathan’ belum berlabuh dan menyandarkan diri di suatu tempat. ‘Pekerjaan rumah’ masih belum selesai. Menjadi tugas bersama untuk menuntaskannya.

3. Cara pandang

Sebuah ikhtiar untuk menjawab problem di atas hendaknya dilakukan. Tentu saja bukan untuk menyatakan bahwa upaya ini yang paling tuntas.  Setidaknya turut serta, patisipasi, memperkaya khasanah pemikiran dunia Islâm. Bila gagasan dalam upaya ini bisa diterima, dan dipandang dapat memberikan jawaban –sebagian atau seluruhnya– atas persoalan yang ada, maka semua ini semata-mata atas petunjuk dan bimbingan Allâh SWT. Semua ini ada dan datang dari-Nya.
Yang menjadi pusat perhatian dari upaya ini adalah keinginan untuk membangun semacam ‘jembatan’ yang menghubungkan (dan merangkum) berbagai pemikiran Filsafat Ketuhanan yang ada. Sebagaimana dimengerti, berbagai pemikiran yang ada, atau yang pernah ada, bila dikategorisasikan maka akan mengerucut ke dalam dua kelompok besar. Yang satu bercorak Mu`taziliy, meyakini manusia merdeka berkehendak dan berbuat. Balasan akhir berupa surga dan hukuman akhir dalam neraka adalah adil bila dikenakan pada manusia sebagai rentetan langsung dari kebebasan yang dimiliki. Ini tidak terlepas dari sifat Allâh Yang Maha Adil. Yang lain bercorak Jabariy, meyakini manusia tidak ubahnya laksana bidak-bidak catur dalam cengkeraman sang pecatur atau wayang dalam genggaman sang dalang. Kehendak dan perbuatan manusia bersifat terpaksa. Surga dan neraka juga dipandang sebagai paksaan. Ini tidak lain karena Allâh SWT Maha Kuasa atas segala sesuatu. Atas diri manusia.
Kedua corak tersebut jelas berjarak, berhadapan, vis a vis. Oleh karenanya bila terjembatani akan dapat saling didekatkan. Jembatan yang dibangun di sini tetap menjaga ‘ciri khas’ masing-masing ‘kelompok’, bukan untuk saling menolak atau menghapus yang satu atas nama yang lain. Jembatan yang akan diusung bukanlah jembatan yang ‘didatangkan dari jauh’, tetapi ‘dari dekat-dekat saja’. Dekat karena sering didengar, acap dilafazhkan. Ialah Sunnatullâh. Dalam rajutan hubungan ini, corak yang pertama menjadi lengkap bila dipertalikan dengan corak kedua. Sementara corak pemikiran kedua menjadi genap bersama corak pemikiran pertama. Saling menggenapi saling melengkapi. 
Sunnatullâh sebagai kenyataan solutif bagi semua perbedaan. Sunnatullâh sebagai ciptaan yang memberikan pewarnaan yang berbeda, menjelaskan adanya pluralitas dan menyatakan definisi dengan tegas eksistensi satu konsep dengan lainnya.
Melalui perspektif Sunnatullâh, semua friksi, distingsi dan aneka penampilan dari kenyataan yang ada di depan mata kita adalah suatu keniscayaan.ž








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...