Sabtu, 12 Mei 2018

ISLAM APA ADANYA

Moh.In'ami | Islâm (tanpa) Label


Islâm adalah suatu sistem yang amat luas. Ia bisa dilihat dari berbagai perspektif, dimensi maupun kepentingan. Hasil bidikan dari proses ‘melihat’ tadi menyajikan beragam out-put, tergantung bagaimana titik bidikan tersebut didekati menurut konsep atau kuesioner: apa, mengapa, siapa, kapan, di mana dan bagaimana. Keanekaragaman tersebut dimungkinkan karena persepsi selalu tergantung dari posisi. Jika posisi bergeser maka persepsi pun akan ikut berbeda. Sementara kenyataan obyektif yang ada menunjukkan bahwa  tidak ada dua individu (atau lebih) di dunia ini yang memiliki posisi sama persis. Bahkan pasangan kembar pun dipastikan memiliki titik-titik perbedaan di antara sederet persamaan yang ada.

1. Persepsi masyarakat

Seseorang yang melakukan proses ‘melihat’ Islâm maka akan ada semacam ‘jarak’. Ada proses pra dan pasca. Pra proses melihat adalah ketika Islâm belum masuk dalam wilayah persepsi manusia, dan yang pasca adalah ketika sistem nilai tersebut sudah masuk dan berada dalam wilayah persepsi.
Jika manusia belum mengadakan obyektivikasi maka Islâm berada dalam tataran a-sistem. Islâm belum tersistem atau dengan kata lain sistemik. Islâm adalah Islâm. Islâm bukan 1001 ‘kotak’. Bukan sesuatu yang terkungkung dalam ruang dan waktu. Bukan sesuatu yang bermain dalam alam ide manusia. Ia adalah apa yang diturunkan Allâh melalui para Rasûl-Nya. Tetapi Islâm menjadi tersistem ketika memasuki kawasan obyektivikasi manusia. Tersistem karena sistemasi yang dibuat manusia. Sistemasi ini, sebagai sebuah proses, adalah sah sebab pada dasarnya merupakan pemudahan bagi manusia dalam caranya memahami agama.
Adanya istilah Rukun Islâm  lima, Rukun Îmân enam, cara shalât syaratnya sekian, witir sekian raka`ât berdasarkan kitâb ini dan itu, demikian juga yang lainnya, maka ini adalah hasil sistemasi. Angka 5 atau 6 maupun definisi ini itu menurut apa dan siapa bukanlah Islâm itu sendiri. Angka, teori, konsep, klasifikasi/kategori, definisi dan semacamnya lebih merupakan upaya untuk memudahkan dalam memahami dan mengajarkan Islâm.
Nyata bahwa Alqurân tidak pernah bertutur tentang angka 5 untuk Rukun Islâm, 6 untuk Rukun Îmân, 25 untuk jumlah nabi dan rasûl, 99 untuk Asma’ul Husna dan begitu seterusnya. Dari sudut ini menjadi sesuatu yang tidak mengejutkan bila ada orang-orang yang merasa perlu adanya tambahan nabi-nabi baru walaupun sudah ditutup oleh The Last Messenger of Allâh, Muhammad saw.
Mayoritas ayat memang mujmal. Dengan kata lain lebih memuat ‘garis-garis besar haluan Ilâhi’. Corak demikian justru mengandung rahasia dan hikmah yang besar yaitu keluwesan memasuki medan interpretasi dalam segenap ruang dan waktu. Dimensi ruang dan waktu ini penting mengingat perjalanan umat manusia tidak pernah tidak dalam dimensi-dimensi ini. Konsekuensinya, nilai-nilai yang terkandung dalam corak nash yang sepert ini melampaui batas-batas  ruang dan waktu yang meliputi di dalamnya aspek-aspek demografi, etnisitas, budaya, peradaban, rasa, warna, bahasa dan lain-lain. Ini memberi akibat positif yang logis di mana semua manusia akan merasa mendapatkan tempat dan naungan dalam panji-panji Kitâbullâh dan sunnah Rasûl-Nya, yaitu suatu kebenaran yang ‘tidak lekang karena panas atau lapuk karena hujan’. Sifat mujmal/global mengandung pengertian universal. Kebenaran universal adalah kebenaran yang sesungguhnya. Kebenaran universal, menurut watak kejadiannya, selalu abadi.

2. Memahami kehendak-Nya

Sifat mujmal suatu nash dapat digambarkan sebagai sesuatu ‘sarana’ nilai di mana dengan ‘sarana’ nilai ini semua keanekaragaman umat manusia, dalam segenap aspeknya, dapat terwadahi di dalamnya. Bila ini bisa ‘ditetapi’ dan ‘ditepati’ maka menjadi sangat pas dan sesuai sebab Islâm itu sendiri didesain untuk rahmatan lil-`âlamîn. Bukan didesain untuk kelompok-kelompok tertentu saja. Sebaliknya sifat mujmal tidak dapat digambarkan dengan asumsi tentang bagaimana seorang manusia melakukan tafsîr yang bersifat eksperimentatif untuk kepentingan yang tidak inklusif, tanpa mempertimbangkan banyak dan luasnya hal, mumpung ruang yang ‘disediakan’, oleh terutama nash-nash mujmal, luas dan bisa. Di sinilah proses-proses ‘salah pasang’ dan ‘salah tempat’ juga dapat terjadi.
Wacana universalitas Islâm di sini tidak dirancang untuk menonjolkan sisi mujmal sumber-sumber nilainya lalu melekatkan sifat universal sembari menihilkan sisi tafshîlî sumber-sumber nilainya hingga terus menafikan sifat universal yang dimiliki. Universalitas Islâm lebih digagas sebagai rumah besar yang memberi kedamaian, yang berdaya tampung besar untuk heteroginitas manusia, yang ini dimungkinkan karena memiliki ‘undang-undang’ yang cerdas dengan dua corak pendekatan yang paham situasi lapangan, yang juga mengusung misi universal lintas ruang dan waktu, yaitu rahmatan lil-`âlamîn. Di dalam rumah besar tersebut diselenggarakan proses-proses ‘memanusiakan manusia dengan cara manusiawi’ berlandaskan nilai-nilai Ilâhi.
Setiap agama memiliki dimensi yang kompleks dengan kompleksitas berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Dimensi ideologikal mengacu pada serangkaian kepercayaan/keîmânan atau hal-hal semakna terhadap Al-Khâliq. Dimensi ritual menyangkut ritus-ritus keagamaan. Dimensi intelektual mengindikasikan tingkat pemahaman terhadap doktrin-doktrin agama dimaksud. Dimensi mistikal menunjukkan pengalaman keagamaan berupa keinginan mencari makna hidup, kesadaran akan kehadiran Yang Maha Kuasa. Dimensi sosial, yang merupakan dimensi konsekuensi, merupakan menifesatasi ajaran agama yang meliputi seluruh perilaku dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam Islâm semua dimensi yang ada ini tidak mengalami penciutan apalagi pemangkasan. Ada dan utuh sejak awal hingga dewasa ini dan akan tetap seperti ini hingga kiamat kelak. Apalagi Islâm memiliki klaim ‘kâffah.’ Artinya ini adalah bukti tersendiri di sisi lain bahwa Islâm tidak tergerus diferensiasi. Oleh karena itu sebagai sesuatu yang universal adalah niscaya. Yang jelas, tidak semua agama demikian karena antara yang satu dan yang lainnya tidak sama baik  secara intrinsik maupun ekstrinsik.
Memang modernitas menghadirkan tidak sedikit problem. Modernitas itu bukan kemarin, kini atau esok. Dia bukan mutlak milik suatu waktu tertentu. Relatif adanya. Karena kemarin, kini dan esok selalu dibalut oleh problem-problem dengan pola sama. Perspekstif materialistik tidak melihat agama (sebagai) memiliki peran penting dalam kemoderenan, melainkan sebaliknya. Di sudut berbeda, perspektif idealistik memandang agama (sebagai) memiliki peran penting di sana. Ada banyak lokus penting yang tidak dimiliki modernitas tetapi dimiliki agama yang karenanya agama dirasakan sebagai sesuatu kebutuhan.
Fakta menegaskan bahwa Islâm selalu eksis dari dulu hingga sekarang. Materialisme tidak banyak membuktikan apa-apa. Terlihat dari nyala api Islâm sebagai gagasan tauhîd telah dimulai sejak Nabi Âdam as. Nyala api tersebut menjadi lebih besar sejak Bapak Tauhîd dunia, Nabi Ibrâhîm as, menerima peran kerasûlan. Dan Nabi Muhammad saw membuat nyalanya lebih besar lagi dari yang sudah besar sebelumnya. Hari-hari inipun masih tetap menyala.
Bukan sesuatu yang mengada-ada jika disebut Islâm bercakupan luas, seluas kesanggupannya itu sendiri. Adalah wajar Islâm memiliki kemampuan dan kesanggupan mewadahi aneka ragam persoalan secara lintas ruang dan waktu. Dalam hal ada sesuatu yang salah di keragaman tersebut, maka di dalam ‘rumah besar’ Islâm yang damai akan terselenggara saling komunikasi dan kontrol secara internal. Yang salah akan dengan sendirinya memperbaiki kesalahan tersebut dan kembali kepada yang benar untuk kemudian tetap mengikatkan diri dalam jamâ`ah kebersamaan.
Islâm dalam bentuknya sebagai gagasan-gagasan tauhîd, telah ada dan dibawa sejak Nabi Âdam as. Sekuel tauhid tidak putus sepeninggal Nabi pertama tersebut. Tauhîd, dengan segala konsekuensi logisnya, tetap ada dan diteruskan oleh para nabi penerus hingga  berujung pada Nabi dan Rasûl terakhir Muhammad saw. Para ulama bersama seluruh komponen umat yang ada tetap melanjutkan dan menjalani kehidupan bertauhîd. Dan akan tetap diteruskan oleh generasi-generasi berikut hingga tiba hari akhir. Nilai-nilai tauhîd yang ada dan terselenggara sepanjang sejarah kemanusiaan dan dengan jangkauan yang luas adalah bukti tersendiri tentang kemampuannya mendobrak sekat-sekat ruang dan waktu. Universal adanya.

3. Presisi universalitas

Tauhîd lebih mendapatkan titik artikulasi keuniversalannya dengan pelengkapan sejumlah besar nilai-nilai yang dibutuhkan adalah ketika Muhammad saw menerima peran-peran kerasûlannya. Penyempurnaan demi penyempurnaan telah diberikan yang dalam wujud ‘kompaknya’ disebut Islâm. Adagium sebagai ‘rahmatan lil `âlamîn’ menjadi sesuatu yang niscaya dan kontekstual, sebab memang itulah adanya. Firman Allâh: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. 21: 107). Bila rumah indah di atas adalah makro kosmos, maka Islâm dapat dinisbahkan sebagai kosmos itu sendiri mengingat bahwa proses nilai-nilai yang dibawanya bukanlah seperangkat sistem nilai yang sempit. (Lihat QS. 22: 78).
Islâm bukan hanya melengkapi diri dengan dua corak nash sebagaimana eksplanasi di atas tetapi juga memberi keluasan kepada pemeluk-pemeluknya untuk tidak hanya memahami sesuatu semata berlandaskan sumber-sumber tertulis (ayat-ayat qauliyah) tetapi juga sumber-sumber tidak tertulis yang terhampar luas di alam semesta (ayat-ayat kauniyah). Ibrâhîm as dapat dipandang sebagai ikon keberhasilan seorang anak manusia lebih memahami (baca: ‘menemukan’) Tuhannya setelah mengeksplorasi ‘ayat-ayat kauniyah’ dengan baik (QS. 6: 74-79). Sesuatu yang universal bisa didapatkan dari sumber-sumber ini.
Islâm sebagai tolok ukur nilai sudah ditawarkan kepada kemanusiaan sejak kelahirannya. Bukan sesuatu tanpa sebab Islâm dihadirkan. Banyak sumber nilai di dunia yang telah coba dijadikan manusia sebagai pegangan hidup. Tidak juga semua itu memenuhi harapan-harapan kemanusiaan secara kontinu. Ketika di banyak ruang dan waktu Islâm diwacanakan sebagai sumber-sumber nilai itu bukan sesuatu yang bersifat penawaran baru tetapi lebih kepada pentingnya memberi penguatan-penguatan di titik persoalan ini mengingat kebutuhan dunia akan sumber-sumber nilai yang tepat, yang dapat diharapkan mampu menjawab persoalan-persoalan hidup nyata terasa dari waktu ke waktu. Itu di satu segi. Segi lainnya, belum semua  individu manusia melihat pentingnya penguatan nilai-nilai Islâm untuk menjawab persoalan hidup yang selalu kompleks setiap waktu.
Manusia tidak bisa hidup hanya dengan otaknya. Tidak bisa hidup hanya dengan hatinya. Manusia hanya bisa hidup dengan kedua-duanya. Masing-masing otak dan hati membutuhkan ‘makanan’ di samping perawatan atau pemeliharaan teratur dan berkesinambungan. Manusia berhajat pada agama. Mungkin ada orang yang acuh bisa mengatakan mampu hidup tanpa agama tetapi sulit menghindari adanya saat-saat tertentu merindukan sentuhan rohani di tingkat tinggi. Atau setidaknya ada sesuatu yang kurang dalam dirinya –walaupun tidak diakui.
Suatu sistem nilai yang handal, kokoh, tetap, stabil, tidak berubah-ubah oleh sedotan ruang dan waktu, bisa dijadikan pegangan hidup, bersifat universal sehingga bisa berlaku universal, memiliki komitmen kebaikan dan perbaikan kemanusiaan adalah sesuatu yang dibutuhkan setiap individu di manapun ia menghadirkan diri. “Baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafûr bisa digagas dari titik berangkat sistem nilai tersebut agar semua apa yang “min azhzhulumât” dapat terdorong sejauh-jauhnya menuju “ila al-nûr”. Dan Islâm merupakan jawaban terdekat.ž








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...