Islâm adalah suatu sistem yang amat
luas. Ia bisa dilihat dari berbagai perspektif, dimensi maupun kepentingan.
Hasil bidikan dari proses ‘melihat’ tadi menyajikan beragam out-put, tergantung
bagaimana titik bidikan tersebut didekati menurut konsep atau kuesioner: apa,
mengapa, siapa, kapan, di mana dan bagaimana. Keanekaragaman
tersebut dimungkinkan karena persepsi selalu tergantung dari posisi.
Jika posisi bergeser maka persepsi pun akan ikut berbeda. Sementara kenyataan
obyektif yang ada menunjukkan bahwa
tidak ada dua individu (atau lebih) di dunia ini yang memiliki posisi
sama persis. Bahkan pasangan kembar pun dipastikan memiliki titik-titik
perbedaan di antara sederet persamaan yang ada.
1. Persepsi masyarakat
Seseorang yang melakukan proses ‘melihat’ Islâm maka akan ada
semacam ‘jarak’. Ada proses pra dan pasca. Pra proses melihat
adalah ketika Islâm belum masuk dalam wilayah persepsi manusia, dan yang pasca
adalah ketika sistem nilai tersebut sudah masuk dan berada dalam wilayah
persepsi.
Jika manusia belum mengadakan obyektivikasi maka Islâm berada
dalam tataran a-sistem. Islâm belum tersistem atau dengan kata lain sistemik.
Islâm adalah Islâm. Islâm bukan 1001 ‘kotak’. Bukan sesuatu yang terkungkung
dalam ruang dan waktu. Bukan sesuatu yang bermain dalam alam ide manusia. Ia
adalah apa yang diturunkan Allâh melalui para Rasûl-Nya. Tetapi Islâm menjadi
tersistem ketika memasuki kawasan obyektivikasi manusia. Tersistem karena
sistemasi yang dibuat manusia. Sistemasi ini, sebagai sebuah proses, adalah sah
sebab pada dasarnya merupakan pemudahan bagi manusia dalam caranya memahami
agama.
Adanya istilah Rukun Islâm
lima, Rukun Îmân enam, cara shalât syaratnya sekian, witir sekian
raka`ât berdasarkan kitâb ini dan itu, demikian juga yang lainnya, maka ini
adalah hasil sistemasi. Angka 5 atau 6 maupun definisi ini itu menurut apa dan
siapa bukanlah Islâm itu sendiri. Angka, teori, konsep, klasifikasi/kategori,
definisi dan semacamnya lebih merupakan upaya untuk memudahkan dalam memahami
dan mengajarkan Islâm.
Nyata bahwa Alqurân tidak pernah bertutur tentang angka 5
untuk Rukun Islâm, 6 untuk Rukun Îmân, 25 untuk jumlah nabi dan rasûl, 99 untuk
Asma’ul Husna dan begitu seterusnya. Dari sudut ini menjadi sesuatu yang tidak
mengejutkan bila ada orang-orang yang merasa perlu adanya tambahan nabi-nabi
baru walaupun sudah ditutup oleh The Last Messenger of Allâh, Muhammad
saw.
Mayoritas ayat memang mujmal. Dengan kata lain
lebih memuat ‘garis-garis besar haluan Ilâhi’. Corak demikian justru mengandung
rahasia dan hikmah yang besar yaitu keluwesan memasuki medan
interpretasi dalam segenap ruang dan waktu. Dimensi ruang dan waktu ini penting
mengingat perjalanan umat manusia tidak pernah tidak dalam dimensi-dimensi ini.
Konsekuensinya, nilai-nilai yang terkandung dalam corak nash yang sepert ini
melampaui batas-batas ruang dan waktu
yang meliputi di dalamnya aspek-aspek demografi, etnisitas, budaya, peradaban,
rasa, warna, bahasa dan lain-lain. Ini memberi akibat positif yang logis di
mana semua manusia akan merasa mendapatkan tempat dan naungan dalam panji-panji
Kitâbullâh dan sunnah Rasûl-Nya, yaitu suatu kebenaran yang ‘tidak lekang
karena panas atau lapuk karena hujan’. Sifat mujmal/global
mengandung pengertian universal. Kebenaran universal adalah kebenaran yang
sesungguhnya. Kebenaran universal, menurut watak kejadiannya, selalu abadi.
2. Memahami kehendak-Nya
Sifat mujmal suatu nash dapat digambarkan sebagai sesuatu
‘sarana’ nilai di mana dengan ‘sarana’ nilai ini semua keanekaragaman umat
manusia, dalam segenap aspeknya, dapat terwadahi di dalamnya. Bila ini bisa
‘ditetapi’ dan ‘ditepati’ maka menjadi sangat pas dan sesuai sebab Islâm itu
sendiri didesain untuk rahmatan lil-`âlamîn. Bukan didesain untuk
kelompok-kelompok tertentu saja. Sebaliknya sifat mujmal tidak dapat
digambarkan dengan asumsi tentang bagaimana seorang manusia melakukan tafsîr
yang bersifat eksperimentatif untuk kepentingan yang tidak inklusif, tanpa
mempertimbangkan banyak dan luasnya hal, mumpung ruang yang
‘disediakan’, oleh terutama nash-nash mujmal, luas dan bisa. Di sinilah
proses-proses ‘salah pasang’ dan ‘salah tempat’ juga dapat terjadi.
Wacana universalitas Islâm di sini tidak dirancang untuk
menonjolkan sisi mujmal sumber-sumber nilainya lalu melekatkan sifat universal
sembari menihilkan sisi tafshîlî sumber-sumber nilainya hingga terus menafikan
sifat universal yang dimiliki. Universalitas Islâm lebih digagas sebagai rumah
besar yang memberi kedamaian, yang berdaya tampung besar untuk heteroginitas
manusia, yang ini dimungkinkan karena memiliki ‘undang-undang’ yang cerdas
dengan dua corak pendekatan yang paham situasi lapangan, yang juga mengusung
misi universal lintas ruang dan waktu, yaitu rahmatan lil-`âlamîn. Di
dalam rumah besar tersebut diselenggarakan proses-proses ‘memanusiakan manusia
dengan cara manusiawi’ berlandaskan nilai-nilai Ilâhi.
Setiap agama memiliki dimensi yang kompleks dengan
kompleksitas berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Dimensi ideologikal
mengacu pada serangkaian kepercayaan/keîmânan atau hal-hal semakna terhadap
Al-Khâliq. Dimensi ritual menyangkut ritus-ritus keagamaan. Dimensi
intelektual mengindikasikan tingkat pemahaman terhadap doktrin-doktrin
agama dimaksud. Dimensi mistikal menunjukkan pengalaman keagamaan berupa
keinginan mencari makna hidup, kesadaran akan kehadiran Yang Maha Kuasa. Dimensi
sosial, yang merupakan dimensi konsekuensi, merupakan menifesatasi ajaran
agama yang meliputi seluruh perilaku dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam Islâm semua dimensi yang ada ini tidak mengalami
penciutan apalagi pemangkasan. Ada dan utuh sejak awal hingga dewasa ini dan
akan tetap seperti ini hingga kiamat kelak. Apalagi Islâm memiliki klaim ‘kâffah.’
Artinya ini adalah bukti tersendiri di sisi lain bahwa Islâm tidak tergerus
diferensiasi. Oleh karena itu sebagai sesuatu yang universal adalah niscaya.
Yang jelas, tidak semua agama demikian karena antara yang satu dan yang lainnya
tidak sama baik secara intrinsik maupun
ekstrinsik.
Memang modernitas menghadirkan tidak sedikit problem.
Modernitas itu bukan kemarin, kini atau esok. Dia bukan mutlak milik suatu
waktu tertentu. Relatif adanya. Karena kemarin, kini dan esok selalu dibalut
oleh problem-problem dengan pola sama. Perspekstif materialistik tidak melihat
agama (sebagai) memiliki peran penting dalam kemoderenan, melainkan sebaliknya.
Di sudut berbeda, perspektif idealistik memandang agama (sebagai) memiliki
peran penting di sana. Ada banyak lokus penting yang tidak dimiliki modernitas
tetapi dimiliki agama yang karenanya agama dirasakan sebagai sesuatu kebutuhan.
Fakta menegaskan bahwa Islâm selalu eksis dari dulu hingga
sekarang. Materialisme tidak banyak membuktikan apa-apa. Terlihat dari nyala
api Islâm sebagai gagasan tauhîd telah dimulai sejak Nabi Âdam
as. Nyala api tersebut menjadi lebih besar sejak Bapak Tauhîd dunia,
Nabi Ibrâhîm as, menerima peran kerasûlan. Dan Nabi Muhammad saw membuat
nyalanya lebih besar lagi dari yang sudah besar sebelumnya. Hari-hari inipun
masih tetap menyala.
Bukan sesuatu yang mengada-ada jika disebut Islâm bercakupan
luas, seluas kesanggupannya itu sendiri. Adalah wajar Islâm memiliki kemampuan
dan kesanggupan mewadahi aneka ragam persoalan secara lintas ruang dan waktu.
Dalam hal ada sesuatu yang salah di keragaman tersebut, maka di dalam ‘rumah
besar’ Islâm yang damai akan terselenggara saling komunikasi dan kontrol secara
internal. Yang salah akan dengan sendirinya memperbaiki kesalahan tersebut dan
kembali kepada yang benar untuk kemudian tetap mengikatkan diri dalam jamâ`ah
kebersamaan.
Islâm dalam bentuknya sebagai gagasan-gagasan tauhîd,
telah ada dan dibawa sejak Nabi Âdam as. Sekuel tauhid tidak
putus sepeninggal Nabi pertama tersebut. Tauhîd, dengan segala
konsekuensi logisnya, tetap ada dan diteruskan oleh para nabi penerus
hingga berujung pada Nabi dan Rasûl
terakhir Muhammad saw. Para ulama bersama seluruh komponen umat yang ada
tetap melanjutkan dan menjalani kehidupan bertauhîd. Dan akan tetap
diteruskan oleh generasi-generasi berikut hingga tiba hari akhir. Nilai-nilai
tauhîd yang ada dan terselenggara sepanjang sejarah kemanusiaan dan
dengan jangkauan yang luas adalah bukti tersendiri tentang kemampuannya
mendobrak sekat-sekat ruang dan waktu. Universal adanya.
3. Presisi universalitas
Tauhîd lebih mendapatkan titik artikulasi
keuniversalannya dengan pelengkapan sejumlah besar nilai-nilai yang dibutuhkan
adalah ketika Muhammad saw menerima peran-peran kerasûlannya.
Penyempurnaan demi penyempurnaan telah diberikan yang dalam wujud ‘kompaknya’
disebut Islâm. Adagium sebagai ‘rahmatan lil `âlamîn’ menjadi
sesuatu yang niscaya dan kontekstual, sebab memang itulah adanya. Firman Allâh:
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi semesta alam.” (QS. 21: 107). Bila rumah indah di atas adalah makro
kosmos, maka Islâm dapat dinisbahkan sebagai kosmos itu sendiri mengingat bahwa
proses nilai-nilai yang dibawanya bukanlah seperangkat sistem nilai yang
sempit. (Lihat QS. 22: 78).
Islâm bukan hanya melengkapi diri dengan dua corak nash
sebagaimana eksplanasi di atas tetapi juga memberi keluasan kepada
pemeluk-pemeluknya untuk tidak hanya memahami sesuatu semata berlandaskan
sumber-sumber tertulis (ayat-ayat qauliyah) tetapi juga sumber-sumber
tidak tertulis yang terhampar luas di alam semesta (ayat-ayat kauniyah).
Ibrâhîm as dapat dipandang sebagai ikon keberhasilan seorang anak manusia lebih
memahami (baca: ‘menemukan’) Tuhannya setelah mengeksplorasi ‘ayat-ayat
kauniyah’ dengan baik (QS. 6: 74-79). Sesuatu yang universal bisa didapatkan
dari sumber-sumber ini.
Islâm sebagai tolok ukur nilai sudah ditawarkan kepada
kemanusiaan sejak kelahirannya. Bukan sesuatu tanpa sebab Islâm dihadirkan.
Banyak sumber nilai di dunia yang telah coba dijadikan manusia sebagai pegangan
hidup. Tidak juga semua itu memenuhi harapan-harapan kemanusiaan secara kontinu.
Ketika di banyak ruang dan waktu Islâm diwacanakan sebagai sumber-sumber nilai
itu bukan sesuatu yang bersifat penawaran baru tetapi lebih kepada pentingnya
memberi penguatan-penguatan di titik persoalan ini mengingat kebutuhan dunia
akan sumber-sumber nilai yang tepat, yang dapat diharapkan mampu menjawab
persoalan-persoalan hidup nyata terasa dari waktu ke waktu. Itu di satu segi.
Segi lainnya, belum semua individu manusia
melihat pentingnya penguatan nilai-nilai Islâm untuk menjawab persoalan hidup
yang selalu kompleks setiap waktu.
Manusia tidak bisa hidup hanya dengan otaknya. Tidak bisa
hidup hanya dengan hatinya. Manusia hanya bisa hidup dengan kedua-duanya.
Masing-masing otak dan hati membutuhkan ‘makanan’ di samping perawatan atau
pemeliharaan teratur dan berkesinambungan. Manusia berhajat pada agama. Mungkin
ada orang yang acuh bisa mengatakan mampu hidup tanpa agama tetapi sulit
menghindari adanya saat-saat tertentu merindukan sentuhan rohani di tingkat
tinggi. Atau setidaknya ada sesuatu yang kurang dalam dirinya –walaupun tidak
diakui.
Suatu sistem
nilai yang handal, kokoh, tetap, stabil, tidak berubah-ubah oleh sedotan ruang
dan waktu, bisa dijadikan pegangan hidup, bersifat universal sehingga bisa
berlaku universal, memiliki komitmen kebaikan dan perbaikan kemanusiaan adalah
sesuatu yang dibutuhkan setiap individu di manapun ia menghadirkan diri. “Baldatun
thayyibatun wa Rabbun Ghafûr” bisa digagas dari titik berangkat
sistem nilai tersebut agar semua apa yang “min azhzhulumât” dapat
terdorong sejauh-jauhnya menuju “ila al-nûr”. Dan Islâm merupakan
jawaban terdekat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar