Minggu, 13 Mei 2018

Berdzikir Sepanjang Waktu


Moh.In'ami | Eskalasi Dzikir Jasmani-Ruhani


Akhir-akhir ini sering kali terjadi kasus-kasus yang berhubungan dengan psikis masyarakat. Adanya problem horizontal di kalangan individu, persoalan ketegangan rohani yang semakin ‘memanas’, pelarian atas problema yang dihadapi, sikap putus asa, hingga perilaku bunuh diri. Kesemuanya menjadi indikator atas ketidak-mapanan seseorang dalam spiritualitas. Pun tidak menutup kemungkinan belum kunjung ‘terpenuhi’nya pembangunan jiwa.
Permasalahan sedemikian perlu dan butuh penyelesaian yang tepat. Tidak ada masalah yang lepas dari pencarian jawaban. Untuk memberikan solusi yang terbaik hendaknya segera ditemukan. Dan salah satu alternatif yang aman dan bebas madharat adalah dzikir.

1. Esensi dzikir

Sejatinya dzikir merupakan ‘jurus’ ampuh yang mampu menjembatani setiap dinding-dinding penghalang keterbukaan jiwa seseorang dalam memahami dan memaknai hidup –orientasi dan etape akhir kehidupan manusia.
Setiap insân muslim, sebagai `abdullâh, mestinya memahami bahwa kehidupan ini selalu dipenuhi oleh berbagai macam kenyataan yang, tidak boleh tidak, harus dihadapi. Realitas yang menjadi bagian dari sisi-sisi kehidupan adalah keniscayaan dalam hidup manusia secara individu maupun sosial.
Orang boleh saja berkilah dan mencari alasan untuk tidak mengakui adanya realitas –adanya ujian, tantangan, cobaan dan sebagainya. Semakin kuat alasan seseorang untuk memungkirinya, maka semakin jelas dan nyata bahwa realitas itu ‘menyatu’ dalam setiap sisi kehidupannya.
Agama Islâm, sebagai agama yang memberikan perhatian besar bagi pemeluknya, menjelaskan adanya jiwa dan menunjukkan kehadirannya sebagai eksistensi batin, di samping dimensi lahir yang maujûd. Sehingga apa saja yang berasal dari masing-masing sisi lahir maupun batin akan membawa konsekuensi yang jelas bagi pribadi seseorang.
Dalam konteks `ibâdah, seorang hamba memiliki suatu kewajiban dan tanggungjawab yang harus diemban dan diselesaikan. Rukun Islâm dalam representasi keislâman seseorang dan kesungguhannya dalam beragama dapat dilihat sebagai fenomena yang sarat dengan kekuatan lahir dan batin manusia.

2. Fungsionalisasi Dzikir

Adalah dzikir yang akrab sekali dalam kehidupan insân muslim selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan. Agaknya masing-masing individu muslim memiliki pemaknaan yang berbeda, sesuai dengan kadar spiritual dan kekuatan religius yang mampu ditangkapnya.
Betapa dzikir yang memiliki manfa’at besar dalam kehidupan insân muslim sering mengalami reduksi. Kenyataan yang terjadi bahwa dzikir menjadi rutinitas dan nir-makna. Sehingga manusia sering melewatkan hadrah ilâhiyah yang sejatinya diperoleh dan dicerna menjadi klimaks kesadaran beragama.
Sungguh terdapat kesempatan yang sama bagi setiap individu dari kalangan umat Islâm dalam melakukan pendekatan (taqarrub) kepada Allâh Al-Jalîl. Meski demikian belum banyak yang sungguh-sungguh ‘mendekati’ dan ‘bercengkerama’ dengan Rabbul Izzati. Ini terjadi oleh adanya kesibukan yang ‘diadakan’ atau tuntutan hidup yang menghendaki untuk segera dipenuhi –sebut saja mengejar target.
Setiap insân muslim –boleh-boleh saja– membuat rencana dan rancangan demi masa depan yang lebih baik. Apa yang baru saja disebut sebenarnya memiliki batasan dan keterbatasan. Batasan yang dimaksud bahwa rencana yang dibuat oleh manusia akan berhadapan langsung dengan ketentuan dan ketetapan Allâh Al-Qadîr. Semua yang direncanakan akan ‘tersungkur’ di hadapan qudrah dan irâdah-Nya. Sedangkan keterbatasan adalah bahwa apa yang dibuat dan dirancang berupa kumpulan keinginan yang hendak dicapai dalam hidup atau ‘daftar’ pemenuhan tuntutan hidup akan menemukan keterbatasannya sebelum segalanya benar-benar terpenuhi (baca: terjadi).
Ironisnya, hal-hal yang menjadi keinginan dan tuntutan di atas belum memperhatikan sisi-sisi hidup secara seimbang. Keseimbangan yang ideal selalu memberikan proporsi yang tepat bagi kebutuhan masing-masing sisi, baik lahir maupun batin. Meski demikian, apa yang menjadi hak batin belum sepenuhnya ditunaikan. Sebaliknya, apa yang digantungkan pada kehidupan untuk memenuhi hak lahir cenderung mendapat perhatian lebih.
Adalah dzikir yang menjadi nutrisi jiwa yang dahsyat (biasanya selalu dilekatkan dengan do’a). Perbedaan ras, suku, ormas, jenis kelamin, umur, kesemuanya tidak menjadi soal dalam kaitannya dengan kebutuhan nutrisi jiwa. Meski sebagian kalangan muslim beranggapan  terhadap kalangan tertentu bahwa suatu pihak disebut ‘kering’ secara rohani, atau kurang dalam hal `ibâdah, atau bahkan memiliki tingkatan yang tinggi di bidang spiritual. Apa yang muncul dari anggapan-anggapan tersebut belum tentu benar adanya. Sebab manusia tidak diperkenankan mengatakan bahwa orang ini miskin nutrisi jiwa karena jauh kepada Allâh, atau menganggap orang lain lebih rendah dalam hal kedekatan dengan-Nya. Walaupun terdapat indikatornya.
Ghâlibnya, setiap orang melihat perilaku keagamaan orang lain untuk mengatakan bahwa orang itu mengalami peningkatan secara konstan. Namun di balik apa yang nampak pada diri seseorang, adalah hati yang tidak bisa dibaca dan diselami secara utuh, meski oleh keilmuan psikologi sekalipun. Kekuatan batin tetap menjadi rahasia pribadi dan privasi seorang muslim tanpa harus mengatakannya pada orang lain bahwa ia telah sampai pada satu tingkat tertentu dalam pengamalan keagamaan.

2. Merasakan Dzikir

Tingkat keislâman seseorang berpengaruh pada pemaknaan dzikir dalam kehidupan. Sungguhpun demikian, tidak ada seorang muslim yang mengaku bahwa dirinya telah mencapai tingkatan optimal dalam hal ini. Semakin ‘tinggi’ dan ‘dalam’ pemaknaan seorang muslim, semakin tawâdhu’ dan rendah hati pula seluruh sikap dan tingkah lakunya.
Kepedulian kaum muslim dalam hal dzikir menjadi sinyalemen bagi kekuatan dan kemantapannya dalam menjalani keberagamaan Islâm. Oleh sebab menjalani praktik dzikir sangat diperlukan bagi jiwa dalam mengarungi bahtera kehidupan. Keberadaan dzikir lafzhi dan ma`nâwi merupakan pintu bagi jiwa dan raga untuk ‘berinteraksi’ secara total kepada Dzat Yang Maha Segalanya.
Sebenarnya seorang muslim yang sedang berdzikir hendak menegaskan bahwa muatan dzikir begitu penting dalam kehidupannya. Aspek kejiwaan yang disentuh adalah ketenangan, ketenteraman dan kedamaian. Betapa butuhnya setiap insan akan ketenangan dalam menjalani perjuangan hidupnya. Di sisi lain, raga menemukan tempatnya yang tepat, di mana ketenteraman menjadi bagian yang direngkuh sisi jiwa kemanusiaan seorang hamba Allâh. Dalam Alqur’ân dinyatakan:
“(Yaitu) orang-orang yang berîmân dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allâh. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allâh-lah hati menjadi tenteram.” (QS. 13: 28)
Sa`îd bin `Âli bin Wahf al-Qahthâny dalam Hisnul Muslim: Min Adzkâr al-Kitâb wa as-Sunnah menyeebutkan bahwa dzikir adalah semua yang berasal dari nash-nash yang jelas. Apa yang datang dari Alqurân dan As-Sunnah tidak dapat ditawar lagi. Ini adalah sebuah pilihan mutlak. Sehingga dzikir dan do’a santri betul-betul bersumber pada pokok ajaran Islâm yang valid dan shahîh. Tidak ada keraguan tentang keabsahan dzikir dimaksud.
Sungguh luar biasa, dzikir –yang menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap insan muslim– begitu erat kaitannya dengan maqâm keîmânan dan ketaqwâan seseorang sebagai hamba Allâh Al-`Azhîm.
Dalam Pelatihan Shalât Khusyû` Abû Sangkan memberikan anotasi bahwa tujuan berdzikir bukan sekedar membaca dan mengulang kalimat suci. Dzikir merupakan upaya untuk membangkitkan kesadaran diri menuju kesadaran yang lebih tinggi, yaitu bergeraknya rohani seorang muslim menuju kepada Allâh. Artinya, di saat kita menyebut nama Allâh seharusnya kita sekaligus mengarahkan jiwa kita tertuju kepada-Nya dan kembali kepada-Nya. Kemudian, secara sadar, memberikan rûh kita untuk menerima bimbingan dan tuntunan-Nya serta diterangi oleh sinar-Nya.
Keîmânan yang ada pada diri seorang muslim tidak dapat dilepas dan dibiarkan tanpa perhatian, dan tidak pula internalisasi keîmânan (baca: menghayati nilai-nilai Îmân dalam hidup) itu berhasil dalam pribadi seorang muslim melainkan dibutuhkan ‘semangat’ untuk membangun sebuah pembiasaan dalam berdzikir. Dengan demikian keîmânan telah menemukan bukti otentik jati dirinya.
Mengapa banyak hal yang menjadi permohonan setiap insan muslim tidak dikabulkan oleh Allâh Al-Mujîb? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita telusuri terlebih dahulu kondisi jiwa-raga kita. Adakah permintaan-permintaan kita itu lebih bernuansa keinginan jasmani (unsur duniawi) atau lebih menuju kepada kebutuhan rohani (unsur ukhrâwi) semata, atau mencakup keduanya? Jika telah kita temukan apa yang menjadi kenyataan –dalam diri kita– berkenaan dengan dzikir dan do’a yang kita resapi, pelajari dan amalkan, akan menjadi keniscayaan bagi kita untuk melatih keîmânan kita agar selalu mendampingi do’a yang telah kita panjatkan. Artinya, keîmânan itu mewujud dalam sebuah motivasi dan semangat bagi lahirnya keyakinan dalam batin bahwa apa yang menjadi “do’a” (baca: do’a permohonan) itu benar-benar dikabulkan. Mantap dalam berdzikir dan yakin dalam berdo’a.
Jika setiap insân muslim mengamalkan do’a –yang menjadi media dalam ber-isti`ânah (baca: memohon pertolongan) kepada Allâh– sejatinya ia telah menjalani suatu proses pemaknaan terhadap keyakinan (baca: realisasi Îmân) yang ada pada dirinya. Begitu kuat keyakinan tersebut kepada Allâh, dengan rasa dan karsa yang mantap, menjadi mudah dan terbukalah jalan bagi Allâh, As-Salâm, untuk mengabulkan segala permohonan hamba-Nya. Namun demikian sebaliknya, ketika do’a-do’a dilantunkan tanpa pemaknaan dari sebuah keyakinan untuk mewujudkan apa yang diinginkan, tanpa kekuatan yang menggebu –dengan iringan usaha lahiri dan batini– untuk memperoleh apa yang dimohonkan kepada Allâh, tentu menjadi sulit dan tertutuplah jalan bagi dikabulkannya semua permohonan itu. (Abdurrahmân, 1996)
Di sinilah letak urgensi dzikir yang sungguh-sungguh dan penuh makna. Yang dengan kesungguhan dan pemaknaan itu Allâh melihat dan merahmati setiap hamba-Nya, tanpa terkecuali. Oleh sebab itu, kesungguhan berdzikir dan pemaknaan keyakinan –kepada Allâh– harus dimantapkan, diteguhkan, hingga tak ada sesuatupun yang menghalangi antara seorang hamba dengan Penciptanya.
Sedemikian kuat keyakinan seorang hamba dalam berdzikir sehingga ia menemukan pemaknaan dalam ber-isti`ânah kepada Allâh, maka hal inilah realisasi dari permohonan total hanya kepada Allâh, bukan kepada selain-Nya. Tanpa kompromi. Merujuk pada firman Allâh –yang menjadi tuntunan bagi setiap insân muslim– berikut:
Dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (QS. 1: 5)
Masihkah kita meminta dan memohon kepada selain Allâh? Hanya kepada-Nya-lah permintaan dan permohonan (apapun adanya) hendaknya ditujukan.ž









Tidak ada komentar:

Posting Komentar

IDUL ADHA DI MASA PANDEMI

  الحمد لله القائل: ﴿ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ﴾ [الحج: 32]، وأشهد أن لا إله إلا الله وح...