Moh.In'ami | Eskalasi Dzikir
Jasmani-Ruhani
Akhir-akhir ini sering kali terjadi
kasus-kasus yang berhubungan dengan psikis masyarakat. Adanya problem
horizontal di kalangan individu, persoalan ketegangan rohani yang semakin
‘memanas’, pelarian atas problema yang dihadapi, sikap putus asa, hingga
perilaku bunuh diri. Kesemuanya menjadi indikator atas ketidak-mapanan
seseorang dalam spiritualitas. Pun tidak menutup kemungkinan belum kunjung
‘terpenuhi’nya pembangunan jiwa.
Permasalahan
sedemikian perlu dan butuh penyelesaian yang tepat. Tidak ada masalah yang
lepas dari pencarian jawaban. Untuk memberikan solusi yang terbaik hendaknya
segera ditemukan. Dan salah satu alternatif yang aman dan bebas madharat adalah
dzikir.
1. Esensi dzikir
Sejatinya dzikir merupakan ‘jurus’ ampuh yang mampu
menjembatani setiap dinding-dinding penghalang keterbukaan jiwa seseorang dalam
memahami dan memaknai hidup –orientasi dan etape akhir kehidupan manusia.
Setiap insân muslim, sebagai `abdullâh, mestinya
memahami bahwa kehidupan ini selalu dipenuhi oleh berbagai macam kenyataan
yang, tidak boleh tidak, harus dihadapi. Realitas yang menjadi bagian dari
sisi-sisi kehidupan adalah keniscayaan dalam hidup manusia secara individu
maupun sosial.
Orang boleh saja berkilah dan mencari alasan untuk tidak
mengakui adanya realitas –adanya ujian, tantangan, cobaan dan sebagainya.
Semakin kuat alasan seseorang untuk memungkirinya, maka semakin jelas dan nyata
bahwa realitas itu ‘menyatu’ dalam setiap sisi kehidupannya.
Agama Islâm, sebagai agama yang memberikan perhatian besar
bagi pemeluknya, menjelaskan adanya jiwa dan menunjukkan kehadirannya sebagai
eksistensi batin, di samping dimensi lahir yang maujûd. Sehingga apa
saja yang berasal dari masing-masing sisi lahir maupun batin akan membawa
konsekuensi yang jelas bagi pribadi seseorang.
Dalam konteks `ibâdah, seorang hamba memiliki suatu kewajiban
dan tanggungjawab yang harus diemban dan diselesaikan. Rukun Islâm dalam
representasi keislâman seseorang dan kesungguhannya dalam beragama dapat
dilihat sebagai fenomena yang sarat dengan kekuatan lahir dan batin manusia.
2. Fungsionalisasi Dzikir
Adalah dzikir yang akrab sekali dalam kehidupan insân muslim
selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan. Agaknya masing-masing individu
muslim memiliki pemaknaan yang berbeda, sesuai dengan kadar spiritual dan
kekuatan religius yang mampu ditangkapnya.
Betapa dzikir yang memiliki manfa’at besar dalam kehidupan
insân muslim sering mengalami reduksi. Kenyataan yang terjadi bahwa dzikir
menjadi rutinitas dan nir-makna. Sehingga manusia sering melewatkan hadrah
ilâhiyah yang sejatinya diperoleh dan dicerna menjadi klimaks kesadaran
beragama.
Sungguh terdapat kesempatan yang sama bagi setiap individu
dari kalangan umat Islâm dalam melakukan pendekatan (taqarrub) kepada
Allâh Al-Jalîl. Meski demikian belum banyak yang sungguh-sungguh
‘mendekati’ dan ‘bercengkerama’ dengan Rabbul Izzati. Ini terjadi oleh
adanya kesibukan yang ‘diadakan’ atau tuntutan hidup yang menghendaki untuk
segera dipenuhi –sebut saja mengejar target.
Setiap insân muslim –boleh-boleh saja– membuat rencana dan
rancangan demi masa depan yang lebih baik. Apa yang baru saja disebut
sebenarnya memiliki batasan dan keterbatasan. Batasan yang dimaksud bahwa
rencana yang dibuat oleh manusia akan berhadapan langsung dengan ketentuan dan
ketetapan Allâh Al-Qadîr. Semua yang direncanakan akan ‘tersungkur’ di
hadapan qudrah dan irâdah-Nya. Sedangkan keterbatasan adalah
bahwa apa yang dibuat dan dirancang berupa kumpulan keinginan yang hendak
dicapai dalam hidup atau ‘daftar’ pemenuhan tuntutan hidup akan menemukan
keterbatasannya sebelum segalanya benar-benar terpenuhi (baca: terjadi).
Ironisnya, hal-hal yang menjadi keinginan dan tuntutan di
atas belum memperhatikan sisi-sisi hidup secara seimbang. Keseimbangan yang
ideal selalu memberikan proporsi yang tepat bagi kebutuhan masing-masing sisi,
baik lahir maupun batin. Meski demikian, apa yang menjadi hak batin belum
sepenuhnya ditunaikan. Sebaliknya, apa yang digantungkan pada kehidupan untuk
memenuhi hak lahir cenderung mendapat perhatian lebih.
Adalah dzikir yang menjadi nutrisi jiwa yang dahsyat
(biasanya selalu dilekatkan dengan do’a). Perbedaan ras, suku, ormas, jenis
kelamin, umur, kesemuanya tidak menjadi soal dalam kaitannya dengan kebutuhan
nutrisi jiwa. Meski sebagian kalangan muslim beranggapan terhadap kalangan tertentu bahwa suatu pihak
disebut ‘kering’ secara rohani, atau kurang dalam hal `ibâdah, atau bahkan
memiliki tingkatan yang tinggi di bidang spiritual. Apa yang muncul dari
anggapan-anggapan tersebut belum tentu benar adanya. Sebab manusia tidak diperkenankan
mengatakan bahwa orang ini miskin nutrisi jiwa karena jauh kepada Allâh, atau
menganggap orang lain lebih rendah dalam hal kedekatan dengan-Nya. Walaupun
terdapat indikatornya.
Ghâlibnya, setiap orang melihat perilaku keagamaan orang lain
untuk mengatakan bahwa orang itu mengalami peningkatan secara konstan. Namun di
balik apa yang nampak pada diri seseorang, adalah hati yang tidak bisa dibaca
dan diselami secara utuh, meski oleh keilmuan psikologi sekalipun. Kekuatan
batin tetap menjadi rahasia pribadi dan privasi seorang muslim tanpa harus
mengatakannya pada orang lain bahwa ia telah sampai pada satu tingkat tertentu
dalam pengamalan keagamaan.
2. Merasakan Dzikir
Tingkat keislâman seseorang berpengaruh pada pemaknaan dzikir
dalam kehidupan. Sungguhpun demikian, tidak ada seorang muslim yang mengaku
bahwa dirinya telah mencapai tingkatan optimal dalam hal ini. Semakin ‘tinggi’
dan ‘dalam’ pemaknaan seorang muslim, semakin tawâdhu’ dan rendah hati
pula seluruh sikap dan tingkah lakunya.
Kepedulian kaum muslim dalam hal dzikir menjadi sinyalemen
bagi kekuatan dan kemantapannya dalam menjalani keberagamaan Islâm. Oleh sebab
menjalani praktik dzikir sangat diperlukan bagi jiwa dalam mengarungi bahtera
kehidupan. Keberadaan dzikir lafzhi dan ma`nâwi merupakan pintu
bagi jiwa dan raga untuk ‘berinteraksi’ secara total kepada Dzat Yang Maha
Segalanya.
Sebenarnya seorang muslim yang sedang berdzikir hendak
menegaskan bahwa muatan dzikir begitu penting dalam kehidupannya. Aspek
kejiwaan yang disentuh adalah ketenangan, ketenteraman dan kedamaian. Betapa
butuhnya setiap insan akan ketenangan dalam menjalani perjuangan hidupnya. Di
sisi lain, raga menemukan tempatnya yang tepat, di mana ketenteraman menjadi
bagian yang direngkuh sisi jiwa kemanusiaan seorang hamba Allâh. Dalam Alqur’ân
dinyatakan:
“(Yaitu) orang-orang yang berîmân dan hati mereka
manjadi tenteram dengan mengingat Allâh. Ingatlah, hanya dengan mengingati
Allâh-lah hati menjadi tenteram.” (QS. 13: 28)
Sa`îd bin `Âli bin Wahf al-Qahthâny dalam Hisnul
Muslim: Min Adzkâr al-Kitâb wa as-Sunnah menyeebutkan bahwa dzikir adalah
semua yang berasal dari nash-nash yang jelas. Apa yang datang dari Alqurân dan
As-Sunnah tidak dapat ditawar lagi. Ini adalah sebuah pilihan mutlak. Sehingga
dzikir dan do’a santri betul-betul bersumber pada pokok ajaran Islâm yang valid
dan shahîh. Tidak ada keraguan tentang keabsahan dzikir dimaksud.
Sungguh luar biasa, dzikir –yang menjadi bagian tak
terpisahkan dari setiap insan muslim– begitu erat kaitannya dengan maqâm
keîmânan dan ketaqwâan seseorang sebagai hamba Allâh Al-`Azhîm.
Dalam Pelatihan Shalât Khusyû` Abû Sangkan memberikan
anotasi bahwa tujuan berdzikir bukan sekedar membaca dan mengulang kalimat
suci. Dzikir merupakan upaya untuk membangkitkan kesadaran diri menuju
kesadaran yang lebih tinggi, yaitu bergeraknya rohani seorang muslim menuju
kepada Allâh. Artinya, di saat kita menyebut nama Allâh seharusnya kita
sekaligus mengarahkan jiwa kita tertuju kepada-Nya dan kembali kepada-Nya.
Kemudian, secara sadar, memberikan rûh kita untuk menerima bimbingan dan
tuntunan-Nya serta diterangi oleh sinar-Nya.
Keîmânan yang ada pada diri seorang muslim tidak dapat
dilepas dan dibiarkan tanpa perhatian, dan tidak pula internalisasi keîmânan
(baca: menghayati nilai-nilai Îmân dalam hidup) itu berhasil dalam pribadi
seorang muslim melainkan dibutuhkan ‘semangat’ untuk membangun sebuah
pembiasaan dalam berdzikir. Dengan demikian keîmânan telah menemukan bukti
otentik jati dirinya.
Mengapa banyak hal yang menjadi permohonan setiap insan
muslim tidak dikabulkan oleh Allâh Al-Mujîb? Sebelum menjawab pertanyaan
tersebut, ada baiknya kita telusuri terlebih dahulu kondisi jiwa-raga kita.
Adakah permintaan-permintaan kita itu lebih bernuansa keinginan jasmani (unsur
duniawi) atau lebih menuju kepada kebutuhan rohani (unsur ukhrâwi) semata, atau
mencakup keduanya? Jika telah kita temukan apa yang menjadi kenyataan –dalam
diri kita– berkenaan dengan dzikir dan do’a yang kita resapi, pelajari dan
amalkan, akan menjadi keniscayaan bagi kita untuk melatih keîmânan kita agar
selalu mendampingi do’a yang telah kita panjatkan. Artinya, keîmânan itu
mewujud dalam sebuah motivasi dan semangat bagi lahirnya keyakinan dalam batin
bahwa apa yang menjadi “do’a” (baca: do’a permohonan) itu benar-benar
dikabulkan. Mantap dalam berdzikir dan yakin dalam berdo’a.
Jika setiap insân muslim mengamalkan do’a –yang menjadi media
dalam ber-isti`ânah (baca: memohon pertolongan) kepada Allâh– sejatinya
ia telah menjalani suatu proses pemaknaan terhadap keyakinan (baca: realisasi
Îmân) yang ada pada dirinya. Begitu kuat keyakinan tersebut kepada Allâh,
dengan rasa dan karsa yang mantap, menjadi mudah dan terbukalah jalan bagi
Allâh, As-Salâm, untuk mengabulkan segala permohonan hamba-Nya. Namun
demikian sebaliknya, ketika do’a-do’a dilantunkan tanpa pemaknaan dari sebuah
keyakinan untuk mewujudkan apa yang diinginkan, tanpa kekuatan yang menggebu
–dengan iringan usaha lahiri dan batini– untuk memperoleh apa yang dimohonkan
kepada Allâh, tentu menjadi sulit dan tertutuplah jalan bagi dikabulkannya
semua permohonan itu. (Abdurrahmân, 1996)
Di sinilah letak urgensi dzikir yang sungguh-sungguh dan
penuh makna. Yang dengan kesungguhan dan pemaknaan itu Allâh melihat dan merahmati
setiap hamba-Nya, tanpa terkecuali. Oleh sebab itu, kesungguhan berdzikir dan
pemaknaan keyakinan –kepada Allâh– harus dimantapkan, diteguhkan, hingga tak
ada sesuatupun yang menghalangi antara seorang hamba dengan Penciptanya.
Sedemikian kuat
keyakinan seorang hamba dalam berdzikir sehingga ia menemukan pemaknaan dalam
ber-isti`ânah kepada Allâh, maka hal inilah realisasi dari permohonan
total hanya kepada Allâh, bukan kepada selain-Nya. Tanpa kompromi. Merujuk pada
firman Allâh –yang menjadi tuntunan bagi setiap insân muslim– berikut:
“Dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.”
(QS. 1: 5)
Masihkah kita
meminta dan memohon kepada selain Allâh? Hanya kepada-Nya-lah permintaan dan
permohonan (apapun adanya) hendaknya ditujukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar